Adalah Sarah. Seorang ibu tiga anak yang kecewa dalam pernikahannya. Hidupnya jadi penuh warna ketika dirinya memutuskan memberikan izin pada sang suami untuk menikah lagi. Sayang, semua tak selalu berjalan sesuai harapan. Berbagai konflik rumah tangga dalam berbagi suami, mertua dan anak menjadi kerikil tajam yang harus dilaluinya.
view moreSarah terkantuk di ruang tv. Kehamilan ketiga membuatnya tampak malas dan tak bertenaga. Usia Sarah memang tidak muda lagi. Demi merindukan seorang anak perempuan Sarah memaksakan diri berusaha hamil lagi. Beberapa kali gagal tidak membuatnya kapok menahan sakit oleh tindakan dokter setiap keguguran. Walaupun tak yakin benar-benar akan melahirkan anak perempuan, Sarah bahagia menjalani hari-hari kehamilan.
“Tak apa... kalau memang laki-laki lagi, asalkan sehat pasti itulah yang terbaik Allah berikan padaku,” katanya legowo.
Sarah bahkan tidak mau dokter memberitahukan perkiraan jenis kelamin yang terbaca saat di-USG.
“Biarlah buat kejutan, Dok, yang penting sehat.”
Tidak seperti Sarah yang bahagia dengan kehamilan itu, keluarga besar Sarah justru menatapnya prihatin.
“Sarah ... untuk dua putra saja kau berjuang keras. Suamimu bukan lelaki yang berpikir dewasa mengikuti usianya. Bagaimana kau bisa berpikir menambah momongan, sementara berkali-kali juga kau hampir menyerah dari perkawinan?” Ibu menyayangkan keputusan putrinya saat diberi kabar kehamilan Sarah lewat telephon.
“Ibu, proses itu tidak penting. Selama aku masih bertahan menjadi istrinya, aku tetap miliknya. Anugrah dari-Nya satu hal yang berbeda. Ini kepercayaan besar bagiku sebagai wanita. Bagaimana mungkin tidak bahagia? Tidak semua wanita mendapatkannya, Bu.” Ibu Sarah hanya mengela napas panjang menghadapi kekerasan hati Sarah.
“Baiklah. Jaga diri baik-baik. Kabari ibu segera kalau merasa tidak sehat,” pesan ibu akhirnya.
~
Fadhil suami Sarah, sesungguhnya lelaki yang baik. Sarah sangat memahaminya. Kisah masa kecil membuat Fadhil tidak tahu cara mencintai. Kerap egois dan berlaku kikir pada anak istri. Suami yang satu ini sangat mencintai Sarah, hanya kadang dengan cara yang salah. Fadhil kerap membuat Sarah menangis.
Terlebih lagi, Fadhil tak pernah menyadari kesalahannya. Walaupun keluar maaf dari bibir, itu hanya untuk menenangkan istrinya. Sarah terkadang lelah dianggap anak kecil yang selalu dibohongi agar menjadi tenang. Sarah memang kerap histeris saat tidak sabar lagi mengingatkan dengan halus akan kewajiban Fadhil sebagai suami dan ayah.
“Menikahlah lagi! Kau akan tahu setiap wanita menuntut haknya pada suami. Tidak hanya aku!” Fadhil tertegun.
Itu hanya ucapan wanita yang marah. Sarah mencintai suaminya. Sangat. Sejujurnya diri tak pernah rela berbagi. Namun Sarah perempuan yang lembut hati walau terkadang keras pendirian. Bahkan ketika Sarah benar-benar ingin berbagi, itu tak ada hubungannya dengan segala kemarahan.
Entah suatu kelebihan atau kekurangan, Sarah memiliki sifat yang lemah. Mudah kasihan juga terbawa perasaan. Pedulinya teramat besar hingga kerap dimanfaatkan mereka yang membutuhkan. “Tak apa. Bismillah, dengan niat baik pasti akan baik juga akhirnya.” Begitu dalihnya tiap diingatkan. Hanya saja kali ini, Sarah seperti menggali lubang perangkapnya sendiri.
~
“Kakakku telah memasuki usia 40 tahun . Beliau wanita sholehah dan pandai. Rajin beribadah dan ulet mencari nafkah sendiri tanpa kekurangan. Bahkan jatah yatim salah satu agenda pengeluaran wajibnya. Sayang... keinginan menyempurnakan separuh ibadahnya tidak tersampaikan.” Curhatan hati seorang sahabat sangat membekas di hati Sarah.
Zubaidah. Nama yang anggun seperti orangnya dengan kulit sawo matang dan postur tinggi agak kurus. Zubaidah memang tidak bisa dibilang cantik, tapi cukup manis terutama saat tersenyum. Zubaidah selalu bersikap dewasa dan berkarisma. Berbeda dengan Sarah yang bertubuh mungil dan berisi. Berkulit bersih dan pembawaan ceria. Namun untuk hal tertentu, Sarah seorang yang tegas dan tanggap. Hingga tak banyak yang bisa membantah pada suatu keadaan, termasuk Fadhil sang suami.
“Dia ingin menyempurnakan ibadah, Pa ... aku ingin membantunya.”
“Tapi tidak dengan cara memberikan suamimu, kan?!” Fadhil marah.
“Kau memang berkali-kali minta cerai dariku. Tidak akan pernah! Sekarang kau cari cara lain lepas dariku? Kau tidak mencintaiku pun aku tidak peduli!” Fadhil membawa amarahnya pergi meninggalkan Sarah yang terpaku menatapnya.
“Kalau aku ingin lepas, bukan karena tidak cinta lagi, tapi lelah menuntutmu,” guram Sarah dengan mata merebak.
~
Hari-hari Sarah sebagai istri bukanlah yang diam duduk manis, menadah tangan pada suami. Hanya saja Fadhil bukan suami yang paham perjuangan isteri. Dirinya selalu menuntut isteri lebih dan lebih lagi. Bebas dari uang saku anak-anaknya, membuat Fadhil ingin juga bebas dari uang dapur. Tidak disiplin kewajiban bukanlah sifat Sarah seperti menunda kewajiban pembayaran. Fadhil yang santai dan cuek membuat Sarah hilang sabar dan terjadi pertengkaran. Fadhil pandai menenangkan Sarah dengan permohonan maaf tapi tidak pernah benar-benar bersedia merubah sikap hingga pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Sarah menjadi lelah dan ingin menyerah.
Fadhil akan berubah sementara hingga Sarah menjadi tenang kemudian mengulanginya lagi. Begitulah hingga berjalan belasan tahun. Lalu Sarah menyebutnya sifat dari sananya tidak bisa dirubah.
~
Nama Zubaidah kembali menghangat. Rupanya suami Sarah diam-diam memikirkan tawaran istrinya untuk menikah lagi. Membayangkannya membuat Fadhil senyum senyum sendiri saat melamun di mobil yang membawanya ke kantor pagi itu.
“Heh! Kesambet?” Anton sahabatnya menyenggol bahu.
“Kadang aku tak habis pikir. Istriku menawarkan kakak iparmu untuk kujadikan istri kedua.”
Anton suami Laras, sahabat Sarah, teman sekantor Fadhil. Rumah mereka yang terbilang dekat dan searah saat kekantor memungkinkan keduanya saling bergantian menumpang kendaraan untuk berhemat. Dalam perjalanan bersama itulah mereka saling bicara urusan lelaki dengan leluasa.
“Bagus dong, lanjutkan saja. Kakak iparku cuma sangat ingin menyempurnakan ibadah, aku yakin beliau tidak akan memberatkan kalian. Itu keberuntungan langka untuk lelaki dan suami. Barakallah!”
“Ha, ha, ha!” Mereka tergelak bersama.
~
“Sarah ... aku menerima tawaranmu menikahi Zubaidah.”
Sarah kaget mendengar pernyataan suaminya. Hati bergetar hebat. Benar dirinya pernah menawarkan tapi batin ternyata tidak pernah siap. Sarah membiarkan air meluap dari gelas yang tengah diisi untuk diberikan pada Fadhil.
“Sarah, airnya! Kau tidak apa-apa?” Fadhil mengambil gelas dari tangan istrinya dan membawa ke meja makan. Sarah mengikuti langkah Fadhil dengan kaku dan duduk di kursi.
“Kau benar... Zubaidah sangat ingin mengabdi pada seorang suami. Menyempurnakan ibadah karena Allah. Tawaranmu adalah kehormatan bagiku. Maaf aku salah mengartikannya waktu itu. Mari kita lakukan!”
Ketidak pekaan Fadhil tak diragukan lagi. Dirinya sama sekali tidak menyadari,darah menggenangi hati Sarah yang meradang. Sarah berusaha keras mengendalikan hatinya agar tidak meledakkan emosi.
“Sungguh ucapan adalah doa,” gumamnya.
Hari-hari Sarah kemudian adalah bara di dadanya. Sujud- sujud panjang mengiringi usaha keras hatinya untuk ikhlas. Hingga pernikahan sederhana penuh khidmad berlangsung diiringi tetes air mata beda makna dari orang-orang terdekat. Bahagia dan iba. Sarah dan kedua putranya tidak hadir dalam acara itu.
~
Hari pertama menjadi istri dan madu Zubaidah dipertemukan dengan Sarah. Tak ada lagi mata sembab semalam. Sarah menghapusnya dengan riasan yang lebih tebal dari biasanya. Ketegarannya meneladani karang. Dengan bahasa yang tegas tapi santun, Sarah mengajukan beberapa persyaratan.
“Tidak boleh hadir bersamaan dalam satu acara keluarga. Tidak boleh hadir dalam acara pribadi kita masing-masing. Untuk mendampingi acara suami, Mas Fadhil akan membawa salah satu dari kita. Urusan anak adalah prioritas. Waktu bergilir kita satu pekan, hanya malam dan akhir pekan. Hari biasa adalah waktu suami melakukan banyak hal. Dirumah siapa pun, mari jangan permasalahkan.”
Deretan panjang persyaratan yang dianjurkan Sarah tak sedikitpun dibantah Zubaidah.
~
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments