Acara yang lancar siang tadi membuat Fadhil lega. Namun malam pertama ternyata membuatnya gelisah. Bayangan Sarah tak lepas dari kepala. Bukan. Bukan hanya karena secara fisik Sarah jauh lebih bisa membangkitkan hasrat walaupun telah memberinya anak-anak. Fadhil sadar bahwa cinta perlu proses. Begitupun dirinya dengan Sarah di waktu dulu.
“Kenapa, Mas? Kau baik baik saja?” tanya Zubaidah lembut. Fadhil tergagap. Panggilan ‘mas’ dari Zubaidah membuatnya merasa tak nyaman.
“Em, tak ada apa apa. Anu, kau bisa memanggilku, Abang. Bagaimana?” Dahi Zubaidah berkerur.
“Kenapa?”
“Tidak. Sarah sudah memanggilku begitu,” kata Fadhil ragu.
“O, baiklah.” Wanita yang kini tak menggunakan hijabnya di depan sang suami hanya tersenyum maklum. Sungguh istri yang penurut tanpa banyak protes.
Fadhil bertekat untuk sabar dan berusaha membahagiakan Zubaidah semampunya sebagai suami. Namun ternyata tidak mudah. Cinta belum tumbuh di hati lelaki itu. Fadhil sendiri tipe lelaki yang lurus saja terhadap wanita dan bukantipe pemain.
Di hari keempat pernikahan, Fadhil tidak bisa mengendalikan diri. Kesulitan melepaskan hasrat terdalam membuatnya tersiksa. Ketika malam menjalankan kewajiban membahagiakan Zubaidah tertunaikan, Fadhil tetap tidak bisa melepaskan hasratnya sendiri. Dengan cepat Fadhil membersihkan diri dan meraih dahi Zubaidah dalam kecupan.
“Tidurlah yang nyenyak. Aku rindu anak-anak. Kau tidak keberatan, kan?” Fadhil melesat pergi tanpa menunggu jawaban.
Zubaidah yang belum sepenuhnya sadar dari uforia kebahagiaan yang baru saja direguk bersama sang suami hanya terbengong dan mengangguk.
~
Rumah Sarah dan Zubaidah hanya beda beberapa blok. Perlu waktu lima belas menit jalan kaki sedikit lebih cepat, sudah bisa mencapainya. Kesanalah Fadhil pergi. Fadhil memiliki kunci dua rumah untuk bebas dimasuki.
Sarah terkejut bukan kepalang ketika Fadhil membuatnya terbangun.
“Mas....”
“Aku kangen.” Fadhil memotong kata-kata Sarah dan melepaskan kerinduan dan hasratnya yang tertunda secara beringas.
Meski kaget Sarah kemudian lupa karena belaian membuatnya terlena. Berdua mereka mengarungi samudera tak terbatas hingga terkulai kelelahan. Fadhil jatuh tertidur dalam pelukan istri pertamanya di mana seharusnya masih menjadi jatah malam istri ke dua. Fadhil mulai melakukan kecurangan. Tidak adil pada istrinya yang lain. Sungguh berbagi suami itu bukanlah hal ringan.
“Kau benar benar bayi besar.”
Sarah membelai rambut Fadhil yang tertidur pulas seperti bayi. Dihelanya napas menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahan suaminya. Sedikit rasa bersalah menyelinap diam-diam. Rasa cemburu yang membuncah di hari-hari jatah madunya akan suami, kini sirna entah kemana.
Sementara Zubaidah tidur dengan gelisah. Hari di mana dirinya mulai terbiasa tidur bersama seseorang yang memeluknya kini kembali sepi. Bahkan berkali kali berimpi buruk. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Jam dinding masih menunjukkan angka tiga. Zubaidah memutuskan bangkit dari pembaringan.
“Adakah sesuatu yang salah?” gumamnya ketika berulang kali.
~
Azan subuh berkumandang. Fadhil telah selesai mandi dan nampak segar bersiap-siap ke mushola untuk solat berjamaah.
“Sayang... ayo bangun, sudah subuh.” Fadhil menepuk lembut pipi Sarah yang kemudian menggeliat.
“Aku ke kantor dari rumah Zubaidah nanti,” katanya sambil berlalu meninggalkan Sarah yang masih berbaring.
Sarah mengerjapkan matanya yang masih mengantuk. Ingatannya mulai berputar. Tentang kedatangan suaminya yang tiba-tiba dan ... menyadari bahwa jatah hari bersama suaminya belum tiba. Sarah ingin menanyakan sesuatu tapi Fadhil telah meninggalkan kamarnya. Mendesah. Hanya itu yang dilakukan ketika didengarnya pintu depan membuka dan menutup kembali. Fadhil telah meninggalkan rumah dan kembali pada Zubaidah. Ada sesuatu yang mencubit hatinya. Sakit.
~
Suara merdu Zubaidah terhenti ketika Fadhil mengucapkan salam. Pagi selepas subuh, Zubaidah membaca beberapa juz dalam Al-quran. Berbeda dengan Sarah yang terbangun setelah subuh dengan kelelahan masih tersisa ketika hari kemarin berjibaku dengan segala urusan anak, rumah dan niaga kecil yang dikelolanya. Sarah hanya membaca mushaf selepas magrib dan membacanya beberapa ayat secara rutin bersama anak-anak, kemudian membantu mereka belajar atau mengerjakan tugas dari sekolah masing-masing.
“Waalaikumusalam. Kok langsung balik apa sudak ketemu anak anak?” tanya Zubaidah heran. Fadhil tampak salah tinggah.
“Em, sudah.”
Zubaidah melirik wajah suaminya yang segar dengan bau shampo menyengat. Menyadari tatapan menyelidik dari wanita di sampingnya rasa bersalah menyeruak begitu saja. Fadhil merengkuh tubuh Zubaidah dalam pelukan dan membisikkan kata maaf di telinga. Fadhil bahkan tidak bisa berbohong. Sikapnya menjelaskan sesuatu pada istri keduanya itu.
“Maaf untuk apa?” Zubaidah pura pura tak mengerti. Dengan senyum getir ditutupnya kembali mushaf di pangkuan dan bangkit.
“Baidah siapkan sarapan, Bang.” Fadhil mengangguk menatap punggung istrinya yang menjauh.
Hari-hari berlalu dan Fadhil masih kerap melakukan pelanggaran dalam memberikan nafkah batin bagi kedua istrinya. Sering kali di jatah malam Zubaidah, Fadhil telah lebih dulu menemui Sarah dan akhirnya memilih tidur dengan hanya memeluk istrinya saja dengan alasan capek banyak pekerjaan. Meski kecewa Zubaidah berusaha sabar. Toh banyak malam lain nanti, pikirnya
Mula-mula Zubaidah tidak menyadari perilaku suaminya sebagai bentuk kecurangan. Tidak mungkin juga dirinya memaksa sang suami melayani kebutuhan biologis setiap jatah malamnya tiba meski sangat ingin. Zubaidah tipe pemalu yang tak bisa memulainya lebuh dulu.
“Eh pengantin baru melamun aja,” ledek Bu Salwa teman Zubaidah mengajar membuatnya tersenyum malu. Hari ini jadwal mengajar pertamanya setelah cuti menikahnya habis.
“ Bu Baidah, sekarang sudah menjadi seorang istri. Mbok ya dandan sedikit biar pak suami lebih betah dirumah Ibu besok.” Begitu teman temannya meledek. Meski diam, Zubaidah memikirkannya.
Zubaidah belum paham akan sebuah kepuasan seorang suami. Hanya sebagai wanita dirinya juga ingin dipuji atau sekedar dibilang cantik oleh. Fadhil belum pernah sekedar memujinya. Sikap Fadhil biasa dan bersikap seperlunya. Zubaidah pun mulai melirik perawatan untuk mempercantik diri.
“Em, Bu Salwa.” Panggilan Zubaidah gugup pada rekan sesama guru yang tetap cantic diusia sebaya dirinya meski direpotkan pekerjaa, mengurus suami juga beberapa anak.
“Ya, Bu.”
“A, apa ibu bisa rekomendasikan salon perawatan yang bagus buat muslimah,” tanya Zubaidah yang ditanggapi dengan senyum menggoda juga kedipan sebelah mata.
“Ah, jangan begitu, Bu, malu.” Zubaidah menutup wajah dengan kedua tanggannya.
“Sini, sini! Ssttt.” Kemudian mereka sibuk berbisik bisik.
Zubaidah mulai rajin ke salon perawatan, sanggar olah tubuh juga memborong produk kecantikan. Busana pun tak lepas dari perhatian, terutama busana dalam rumah dan kamar. Saat ada suami, Zubaidah selalu memastikan keadaan rumah yang bersih dan rapi, masakan lezat juga penampilan menarik dan tubuh wangi. Mudah saja bagi Zubaidah yang memiliki gaji dan tanpa anak atau sesiapa untuk merecoki.
Zubaidah berkali-kali maju mundur cantik di depan cermin. “Cantik untuk suami juga ibadah,” gumamnya malu-malu pada bayangan di kaca kamarnya.
Benar saja. Fadhil mulai menatap Zubaidah lebih lama. “Hem wangi banget istri abang,” kata Fadhil sambil memeluknya dari belakang saat dirinya sedang membiat sarapan pagi ini. Sebagai orang Jawa panggilan abang sedikit janggal tapi siapa yang peduli? Yang penting pasangan ini sedang bahagia.
“Baidah lagi bikin sarapan, Bang.”
“Sarapan kamu dulu aja,” kata Fadhil sambil mematikan kompordan membopong tubuh istrinya ke kamar. Zubaidah memekik manja.
Fadhil mencumbunya di kamar dengan cara berbeda, juga menemukan wajah puas sang suami setelah melepas hasrat padanya. Detik detik tak terbayangkan seperti ini teryata rasanya mencapai klimaks. Zubaidah menyesal baru menyadari bahwa selama ini hanya bahagia sendirian.
Kebahagiaan sebagai pengantin baru kini jelas terlihat di wajah Zubaidah dan Fadhil. Orang-orang dekat mereka menatap takjub. “Pasangan yang serasi,” kata mereka.
“Iya, Setelah menikah aura kecantikan Bu Zubaidah memancarkan sinar terang,” kata yang lain menimpali. Mereka berdua hanya saling memandang dan tersenyum mesra.
“So weet….” Begitu ledek yang melihat interaksi pasangan ini saling memandang.
Namun begitulah manusia. Nafsu membuat apa pun yang telah tercapai selalu saja kurang. Begitu juga Zubaidah. Syetan membantu melambungkan angannya. Zubaidah tak puas hati dengan keberhasilannya memikat suami dengan pesona. Dalam hati kecil dia ingin mengalahkan Sarah yang dianggap sebagai saingan.
Karier dan penghasilan yang baik membuatnya mampu melakukan banyak hal untuk Fadhil. Suaminya itu pun mulai terlena. Fadhil lebih senang membawa Zubaidah untuk setiap acara dengan alasan Sarah repot dengan anak-anak. Sedikit demi sedikit Sarah tersisih.
“Pekan depan jangan bikin acara, Dek. Ada undangan pernikahan teman kantor.”
“Pekan depan bukannya, Abang jatahnya di Sarah?”
“Malamnya abang pulang kesana. Paling sampai jam sepuluh atau sebelasan kita udah sampai rumah lagi. Bawa Sarah repot sama anak anak.” Zubaidah tersenyum simpul mendengar penjelasan suaminya.
Zubaidah bukan hanya tidak pernah menuntut banyak hal pada suami, tapi juga melayani keseharian Fadhil jauh lebih baik. Sarah menuntut Fadhil untuk segala biaya anak-anak dan berbagai permintaan pertolongan urusan rumah tangga. Sementara Zubaidah memperlakukannya seperti raja. Minuman dan cemilan selalu terhidang di hadapan Fadhil. Zubaidah juga tak pernah mengizinkannya menyentuh piring bekas makan. Padahal Sarah terbiasa berseru;
“Cuci sekalian, Yang... nanti bertumpuk aku tidak sempat mengerjakannya!” atau “bantu ngepel ya, Yang... biar Sarah yang nyapu!”
Singkatnya Zubaidah menarik simpati suaminya jauh lebih baik dari Sarah.
~
Sarah menyadari perubahan sikap Fadhil. Kalau dulu suaminya cenderung padanya, kini sebaliknya. Fadhil kerap berlaku curang pada jatah kunjungan padanya. Lebih sering tidur di kamar anak dengan dalih kangen atau di depan tv sambil nonton bola kesukaan dan tertidur hingga pagi. Sarah tak punya waktu untuk merayunya pindah ke kamar karena kesibukan siang hari sudah menyita tenaganya hingga tertidur lelap saat menemukan bantal di ranjangnya.“Sibuk.” Begitu alasan yang di dapat saat Sarah minta penjelasan.“Kau, kan juga sibuk sama anak-anak, nanti kecapekan kalau aku sering pulang ke rumahmu dan minta jatah lebih,” katanya sambil tersenyum tengil menutupi kesalahannya.Sarah ingin membantah dan mengingatkan kembali agar suami berlaku adil. Namun Sarah memilih diam. Percuma mengajak diskusi suami yang pasti akan berakhir dengan naiknya temperamen masing masing. Pembagian waktu bergilir antara Zubaida
Fadhil melangkah pelan-pelan menuju rumah Sarah. Ia menyusupkan tangan ke saku celana. Udara malam mebuatnya merasa sejuk. Sampai depan pagar dirinya tertegun. Suasana sangat sepi. Tak seorang pun terlihat di luar rumah. Hari memang sudah larut.“Ah, iya, kuncinya. Aku lupa di mana menyimpannya.” Fadhil hanya bisa terpaku menatap rumah.Pandangannya menyapu ke seluruh bagian di area depan rumahnya. Bangunan yang menjadi saksi perjuangannya bersama Sarah. Saat dirinya hanyalah pegawai lapangan dengan gaji mingguan yang sangat minim untuk mencukupin kebutuhan keluarga, Istrinya masih bisa menyisihkan untuk ditabung sampai terbeli sebuah rumah sederhana yang bangunannya telah rusak di sana sini.“Kita bangun rumah ini dengan keringat dan akrab sama lapar demi satu sak semen.” Fadhil menyentuk ujung matanya yang basah.Baru disadari rumah itu lebih asri dari sebelumnya. Tana
Di rumahnya, Zubaidah bersimbah air mata. Kepalanya dipenuhi bayangan sang suami. Selama di tanah suci kemarin Fadhil khusuk beribadah. Bersikap dingin padanya dan tidak banyak bicara. Berbeda sekali dengan awal rencana keberangkatan yang disambut dengan suka cita .Hingga pulang ke tanah air, lelaki yang kini telah merampas utuh seluruh hatinya itu tak bersemangat di setiap acara yang digelar di rumah istri keduanya. Hanya kata seperlunya saja yang keluar jika dimintai pendapat dan bantuan. Cukup dikerjakannya saja apa pun yang diminta Zubaidah tanpa banyak suara.Terakhir menyelinap pergi diam-diam saat keluarga besar sang istri masih berkumpul dan berbincang hangat. Sekarang telah dini hari tanpa kabar dan juga enggan menjawab panggilan. Hal itu jelas meresahkan hati dan pikirannya.“Ada apa kak?” Laras yang malam itu menginap tengah menidurkan anaknya di kamar tamu, mendengar isak tanggis kakaknya.
Laras meninggalkan rumah Zubaidah tanpa pamit. Kakaknya itu berdiam di kamar sampai siang. Setelah perdebatan bersama kakaknya hingga pagi, Laras tidak tidur lagi. Ia menguping segala yang terjadi di luar kamar. Laras tahu, kakaknya sangat sedih dan menyesal. Laras bertahan pura-pura mengabaikannya.“Kakak harus belajar.” Tekadnya bulat untuk membantu jangan sampai kakaknya itu salah jalan.Cinta dan kecemburuan memang acap kali membuat kecerdasan seseorang tiba tiba menghilang. Sebagai seorang guru di sekolah yang berbasis dakwa, Zubaidah sebenarnya sangat paham akan hukum agama juga hokum pernikahan poligami yang dilakukannya. Sayang ego dan napsunya membuat ilmu yang tinggi tak berfungsi sebagaimana mestinya.~Sore hari Laras membawa anaknya mengunjungi Sarah. Langkahnya pelan sambil menimbang, apa yang perlu disampaikan pada sahabatnya. Ada rasa bersalah akan sikap kakaknya. Bagaimanapun dirinyalah yang mendoro
Suasana pagi dimana orangorang tengah sibuk dengan segala aktifitas, Zubaidah masih saja mondar mandir di tengah ruang keluarga di rumahnya. Bahkan lupa dengan pekerjaannya sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah.“Aku tidak bisa memaafkan diri kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Dia bergumam panik.Zubaidah tidak bisa ikut kerumah Sarah bersama Fadhil. Juga tidak bisa menjenguknya di rumah sakit. Zubaidah berharap, suaminya cepat memberi kabar.Suara ponsel mengagetkannya. Disambarnya segera mengira Sang Suami yang menelephon tapi segera saja kekecewaan hinggap. Sekolah tempatnya mengajar yang menghubungi karena ketidak hadirannya hari ini. Zubaidah mulai panic.“Ya ampun, lupa izin!” pekiknya.~Di rumah sakit Sarah segera ditangani oleh seorang dokter. Setelah diperiksa dengan teliti, dokter kembali mengalihkan perhatian pada wajah tegang
Sepekan lamanya Sarah berada di rumah sakit. Selama itu pula Fadhil berada di sampingnya tanpa sehari pun pulag ke rumah Zubaidah.Tak mengapa bagi wanita berkulit langsat yang kini tampak lebih hidup setelah menikah. Meski menjadi yang kedua dan harus berjuang keras untuk mendapakan cinta Sang Suami, Zubaidah sangat menghargai pernikahannya. Dengan kerendahan hati dirinya juga akan menerima konsekuensi dari sebuah keputusan menerima seorang pria beristri sebagai seorang suami yang membuatnya harus terus mengalah pada yang pertama.Pagi hari ketika Zubaidah tengah menikmati sarapan pagi sendirian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari belakang tubuhnya. Aroma yang kini telah familiar di hidungnya dan sangat dirindukan di harihari belakangan ini membuat perasaanya membuncah. Bisikan di telinga dengan deru napas yang menghangatkan di area sensitive leher belakang membuatnya membeku.“Aku merin
Pesawat membawa Fadhil pulang dari daerah Kepulauan kembali ke kota dimana diri dan keluarganya tinggal. Kelelahan baru dirasakannya ketika tubuh menyentuh kursi penumpang yang nyaman. Demi tak ingin berlama lama meninggalkan keluarga dirinya memaksimalkan waktu mengurus pekerjaan agar selesai segera. Fadhil menyelesaikan semua dalam waktu sepekan saja. Tawaran bersantai menikmati wisata local ditolaknya dengan halus beralasan keluarga sudah menunggunya saat ini. Binar terpesona tampak pada beberapa rekan wanita mengingat langkanya pria yang mengutamakan keluarga dari sebuah kesenangan. Terlebih saat baru saja berjibaku dengan kepenatan pekerjaan. Tanpa mengabari siapa pun Fadhil menarik koper di bandara dan memanggil taksi untuk membawanya pulang ke rumah Zubaidah. Istri ke duanya itu merasa surprice ketika mendapati Sang Suami menjulang di depan pintu yang baru saja terbuka. Jemari panjang sedikit kurusnya terangkat menu
Aroma kopi menggelitik hidung dan membangunkan tidur Fhadil. Pagi tadi lelaki berambut ikal itu kembali jatuh tertidur di sofa begitu istri keduanya pamit mengajar setelah sarapan bersama. Sesaat direnggangkannya tangan dan menghidu aroma kesukaan lebih kuat. “Siapa yang membuat kopi?” gumamnya. Memutar kepala, Fadhil memindai seluruh ruang kosong yang terasa sangat luas ketika sendirian. Rumah Zubaidah memang selalu sepi. Tiada sesiapa tinggal kecuali mereka berdua dan akan kosong ketika Siang hari saat keduanya berkegiatan di luar. Tanpa sadar dirinya menghela napas menyadari betapa Zubaidah telah begitu sabar menjalani hidup sendirian dalam kesepian. Sebersit rasa kasihan melintas begitu saja. “Kenapa melamun? Nanti kopinya keburu dingin.” “Baidah. Bukannya kamu tadi …” “Iya aku sudah pamit ngajar tadi tapi izin setelah selesaikan jam pertama pelajaran.
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit