Share

Mari Berdamai

Penulis: Wening
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-05 22:05:29

Sepekan lamanya Sarah berada di rumah sakit. Selama itu pula Fadhil berada di sampingnya tanpa sehari pun pulag ke rumah  Zubaidah.Tak mengapa bagi wanita berkulit langsat yang kini tampak lebih hidup setelah menikah. Meski menjadi yang kedua dan harus berjuang keras untuk mendapakan cinta Sang Suami, Zubaidah sangat menghargai pernikahannya. Dengan kerendahan hati dirinya juga akan menerima konsekuensi dari  sebuah keputusan menerima seorang pria beristri sebagai seorang suami yang membuatnya harus terus mengalah pada yang pertama.

Pagi hari ketika  Zubaidah tengah menikmati sarapan pagi sendirian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari belakang  tubuhnya. Aroma yang  kini telah familiar di hidungnya dan sangat dirindukan di harihari belakangan ini membuat perasaanya membuncah. Bisikan di telinga dengan deru napas yang menghangatkan di area sensitive  leher belakang  membuatnya membeku.

“Aku merindukanmu.”

“Mas… gimana Sa ….”

Sesuatu yang lembut membungkam suaranya lalu tubuh itu serasa melayang dan berayun seiring langkah Fadhil menuju ke kamar. Seperti mimpi Zubaidah tak ingin terbangun cepat. Tangannya melingkar kuat di leher lelaki yang tengah dirindukan sentuhannya. Menatapnya tanpa ingin berpaling meski sekedipan mata takut memoment indah ini lenyap. Bahkan hingga tubuhnya dengan nyata merasai permukaan pembaringan yang lembut.

“Ahk!”

Kesadaran Zubaidah kembali bersama pekikan kaget karena sentuhan menghentak di dadanya. Fadhil bermain tak selembut biasanya. Segala kepenatan pikiran teralihkan bersama hasrat lelakinya yang cukup lama tertahan. Berulang kali wanita dalam kungkungannya memekik tertahan.

*

Zubaidah mengeringkan rambutnya sambil mondar mandir menyiapkan segala sesuatu bagi Sang Suami. Tak sedikit pun rasa berat di hati melakukan semua termasuk mandi ulang ketika dandanan telah rapi siap mengajar pagi ini.

“Kenapa mendadak tugas luar, Bang? Apa Baidah perlu cuti untuk mendapingimu?”

“Tidah usah.” Fadhil menjawab pertanyaan istrinya singkat sambil menikmati sarapannya yang terlambat.

Kantornya mengirim Fadhil keluar kota seperti biasanya. Ia tidak ingin membawa isteri kali ini dan pergi sediri. Dua pekan bisa memberinya waktu untuk banyak berpikir. Selain pekerjaan ada banyak PR yang harus diselesaikan mengenai rumah tangganya. Pekerjaan berat melebihi projek kantor yang tengah digarapnya.

 Zubaidah yang ingin bertemu Sarah secara pribadi merasa inilah waktu yang tepat ketika suami mereka tidak ada. Lagipula sudah sangat terlambat baginya untuk mengajar hari ini, jadi cuti saja. Mempersiapkan bekal perjalanan suaminya menyita waktu dengan banyak jeda karena keintiman yang sama sama mereka inginkan.

Sarah tertegun ketika Zubaidah berdiri di ambang pintu rumahnya. Sapu yang dipegang mengambang di udara yang semula diangkat untuk menjangkau sarang labalaba di pojokan dinding. Sarah sedang bebersih.

“Boleh aku masuk?” Sarah menggeser tubuhnya memberi jalan tanpa menjawab. Menutup pintu lalu mengikuti Zubaidah ke arah ruang tamu.

“Silakan duduk!” Suara Sarah kaku dan canggung. Zubaidah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Itu membuat Sarah tidak suka.

“Ada perlu apa, Mbak kesini?” Pertanyaannya sedikit ketus.

“Aku mengerti kalau, Dik Sarah tidak suka padaku. Aku memang tidak tahu terima kasih.” Sarah mengerutkan dahi. Berpikir keras menduga apa kiranya tujuan kata-kata Zubaidah.

“Selama setahun lebih  jadi madumu, aku dibutakan nafsu ingin menguasai suami seutuhnya tanpa menyadari wanita lain yang secara utuh merelakan sebagian untukku. Maafkan aku.”

Zubaidah menunduk menekuri lantai setelah berbicara. Menunggu sambutan tuan rumah yang masih diam membeku. Mungkin tengah memilah kata yang tepat untuk menanggapi.

“Sudahlah, Mbak. Mari kita perbaiki saja kedepannya. Sejujurnya Sarah tidak benar-benar merelakan suami sebagian apa lagi seutuhnya. Sarah tidak pernah benar-benar ikhlas!” Zubaidah menatap Sarah dengan tegang.

“Tapi... mari sama-sama bersabar demi Mas Fadhil bahagia.” Zubaidah melepas napas lega demi kalimat Sarah yang terakhir.

“Dik, Sarah. Selama ini aku sering mengambil jatahmu dengan curang. Sekarang, kalau kau ingin waktu lebih bersama Mas Fadhil... aku tidak apa-apa.” Sarah kembali menatap curiga.

“Jangan melihatku begitu! Sejujurnya aku tidak ikhlas juga mengatakan ini, tapi... aku berhutang. Aku janji akan membayarnya sedikit demi sedikit. Apa lagi... kau sedang mengandung dan butuh perhatian lebih.”

 “Terima kasih, Mbak,” kata Sarah tulus.

“Ah, sudahlah! Lagi pula... aku takut sekali terjadi hal buruk padamu kemarin,” kata Zubaidah pelan menyerupai gumam.

“Baiklah Sarah, aku pergi. Seperti maumu aku akan menjauh darimu.”

“Maafkan, Sarah.”

“Tidak. Akulah yang harus berterima kasih. Laras sudah beritahu aku, kau tidak ingin  kita di perbandingkan. Padahal, Dik, kau  jauh lebih cantik dariku. Lebih muda dan lebih sempurna sebagai wanita. Menjadi ibu kau melindungi tanpa kusadari. Aku tampak lebih banyak beribadah darimu. Tapi sebenarnya kau bahkan beribadah nyaris tanpa jeda. Saat hamil, menyusui lalu mengurus harta dan anak-anak suami. Aku iri padamu, Dik Sarah... juga malu. Maafkan aku dan terima kasih banyak.”

Sarah hanya bisa diam mematung tanpa tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya mereka berpelukan erat dalam ketulusan. Tak tahan berlama-lama, Zubaidah pun pamit pulang. Sarah menatap punggung Zubaidah yang mulai menjauh dan menghilang di tikungan jalan dengan rasa haru.

~

Bab terkait

  • Damai dalam Poligami   Bab. 9

    Pesawat membawa Fadhil pulang dari daerah Kepulauan kembali ke kota dimana diri dan keluarganya tinggal. Kelelahan baru dirasakannya ketika tubuh menyentuh kursi penumpang yang nyaman. Demi tak ingin berlama lama meninggalkan keluarga dirinya memaksimalkan waktu mengurus pekerjaan agar selesai segera. Fadhil menyelesaikan semua dalam waktu sepekan saja. Tawaran bersantai menikmati wisata local ditolaknya dengan halus beralasan keluarga sudah menunggunya saat ini. Binar terpesona tampak pada beberapa rekan wanita mengingat langkanya pria yang mengutamakan keluarga dari sebuah kesenangan. Terlebih saat baru saja berjibaku dengan kepenatan pekerjaan. Tanpa mengabari siapa pun Fadhil menarik koper di bandara dan memanggil taksi untuk membawanya pulang ke rumah Zubaidah. Istri ke duanya itu merasa surprice ketika mendapati Sang Suami menjulang di depan pintu yang baru saja terbuka. Jemari panjang sedikit kurusnya terangkat menu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Damai dalam Poligami   Bab.10

    Aroma kopi menggelitik hidung dan membangunkan tidur Fhadil. Pagi tadi lelaki berambut ikal itu kembali jatuh tertidur di sofa begitu istri keduanya pamit mengajar setelah sarapan bersama. Sesaat direnggangkannya tangan dan menghidu aroma kesukaan lebih kuat. “Siapa yang membuat kopi?” gumamnya. Memutar kepala, Fadhil memindai seluruh ruang kosong yang terasa sangat luas ketika sendirian. Rumah Zubaidah memang selalu sepi. Tiada sesiapa tinggal kecuali mereka berdua dan akan kosong ketika Siang hari saat keduanya berkegiatan di luar. Tanpa sadar dirinya menghela napas menyadari betapa Zubaidah telah begitu sabar menjalani hidup sendirian dalam kesepian. Sebersit rasa kasihan melintas begitu saja. “Kenapa melamun? Nanti kopinya keburu dingin.” “Baidah. Bukannya kamu tadi …” “Iya aku sudah pamit ngajar tadi tapi izin setelah selesaikan jam pertama pelajaran.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09
  • Damai dalam Poligami   Bab. 11

    Fadhil berlenggang menyusuri jalanan komplek yang lengang. Kebanyakan warga sedang sibuk beraktifitas di kantor atau tempat usaha yang lain seperti kawasan niaga maupun industri yang umumnya berangkat pagi pulang sore hingga malam. Akan tetapi ada sekelompok ibu rumah tangga yang menobatkan diri sebagai Emak rebahan masih sempat bergerombol dan berbisikbisik sambil sesekali melirik lelaki yang tampak gagah melangkah santai dengan tangan terselip di saku celana. “Pak Fadhil akhirnya ingat pulang.” Begitu kata seseorang dari mereka. Merasa jengah Fadhil mempercepat langkah agar segera sampai lalu dengan menggumam salam diselipkannya anak kunci guna membuka rumah Sarah. Gagal. Ada sesuatu yang menyumbat lubang dari dalam. Reflek Fadhil memutar handel pintu dan terbuka. Perkiraannya salah. Ternyata Sarah ada di rumah. Wanita itu nampak kaget dan terbangun dari sofa tempatnya tengah bermalasan. “Mas Fa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-10
  • Damai dalam Poligami   Bab. 12

    Fadhil mondar mandir dengan linglung di depan ruang UGD rumah sakit. Sesekali mencoba mengintip kesibukan dokter di dalam sana. Pikirannya kalut mengingat kondisi terakhir Sarah yang tak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes. Dirinya pun tak menyadari bahwa saat ini penampilannya juga kacau. Celana dan kaus yang dikenakan belepotan darah yang mulai mengering. Bau tak sedap menguar dari sana. Orang orang menjauh kala melewatinya. Fadhil merasa sendirian ketika tiba tiba mengingat Zubaidah. ‘Apa?! Rumah sakit lagi!? Kenapa, Bang?’ Zubaidah merasa lututnya lemas, mendengar tentang Sarah yang pendarahan. Di waktu waktu dekat ini disadari begitu banyak kejadian menguji kesabaran. Cobaan demi cobaan menimpa keluarga suaminya. Itu terjadi setelah dirinya hadir di antara mereka. ‘Belum tahu tapi dokter sedang berjuang menyelamatkannya. Sekarang belum sadar.’ Suara Fadhil serak penuh kesedihan

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-10
  • Damai dalam Poligami   Bab. 13

    Cahaya matahari pagi menerobos jendela lantai dua rumah sakit, menghangatkan wajah Fadhil yang kuyu. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi sambil membaca Al-Quran, sesekali menatap pintu kaca tempat isterinya berada. Hatinya sedikit tenang. Dokter mengatakan masa kritis Sarah sudah lewat meski kini masih belum sadar seharusnya itu tidak akan lama. “Allah pasti berikan yang terbaik, Sayang,” bisik Fadhil seolah tengah bicara di telinga istrinya. Ketenangan tiba-tiba terusik oleh suara tangis ibu Sarah yang datang bersama bapaknya. Rupanya mereka langsung berangkat dari kampung halaman begitu Fadhil mengabari keadaan putri mereka semalam. “Bapak. Ibu.” Fadhil menyalami dan mencium tangan mereka khidmad, tapi ibu menariknya dengan kasar. “Apa yang kau lakukan pada anak ibu!?” “Ibu ....” Fadhil tak bisa berkata kata melihat kemarahan meluap di

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Damai dalam Poligami   Bab. 14

    Duduk kaku di antara kedua mertuanya yang menatap sengit sungguh menyiksa. Fadhil serasa menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bagi Fadhil membela diri dan mengatakan bahwa pada awalnya Sarahlah yang menginginkan dirinya berpoligami. Ketegangan melingkupi batin Fadhil terlebih saat suara bariton bapak memecah kesunyian.“Setelah bayinya lahir, kembalikan Sarah pada kami, Nak Fadhil!”Suara yang tenang itu bagai menggelegar di telinga lelaki yang kini telah goyah dalam berpijak.Tubuh Fadhil luruh bersimpuh dan memegang tangan bapak mertuanya. Wajah kuyu menjelaskan betapa gundah dan frustasi batinnya.“Maafkan saya, Pak. Sekarang Sarah belum sadar, tolong jangan membahas ini dulu. Tolonglah, Pak ....”Fadhil tak sanggup menahan tangisnya. Tak peduli apa tanggapan orang tentang lelaki yang cengeng. Namun

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Damai dalam Poligami   Bab. 15

    Fadhil berjalan keluar rumah sakit dengan linglung mencapai jalan raya. Memorinya berisi banyak hal berdesakan hilang timbul membuatnya mengernyit sakit karena berusaha focus. Dia meninggalkan mobilnya di rumah sakit dan pulang dengan taksi. Pikirannya yang tengah kalut tidak memungkinkan untuk menyetir. Berbahaya.Bayangan wajah Sarah menari di pelupuk mata. Begitu pun perjalanan pernikahannya dengan wanita yang akan memberinya 3 anak itu. Perempuan yang selalu kuat dan tegar menghadapi sikap kekanakan suami, lebih banyak memberi dari pada meminta, bekerja keras dalam membantu ekonomi keluarga, juga rajin mengingatkan agar suaminya lebih baik dan lebih baik lagi menjalankan kewajiban sebagai suami dan ayah.Dia rela diajak berjuang sejak awal pernikahan, saat keluarga kecilnya belum memiliki apa-apa tapi tidak pernah menuntut lebih saat suami mulai berjaya. Kenyataan ini membuat dadanya berdenyut sakit me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Damai dalam Poligami   Bab 16

    Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-12

Bab terbaru

  • Damai dalam Poligami   Bab.84 Buah Dari Perbuatan Masa Lalu

    Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya

  • Damai dalam Poligami   Bab 83. Tak ingin Kehilangan

    Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan

  • Damai dalam Poligami   Bab 82. Misteri Lantai Teratas

    Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa

  • Damai dalam Poligami   Bab 81. Suasana yang Aneh

    Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana

  • Damai dalam Poligami   Bab 80. Ingin Menjaganya

    Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b

  • Damai dalam Poligami   Bab 79. Kelahiran Arjuna

    Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap

  • Damai dalam Poligami   Bab 78. Kesadaran Fadhil

    Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan

  • Damai dalam Poligami   Bab 77

    “Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya

  • Damai dalam Poligami   Bab 76

    Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit

DMCA.com Protection Status