Fadhil melangkah pelan-pelan menuju rumah Sarah. Ia menyusupkan tangan ke saku celana. Udara malam mebuatnya merasa sejuk. Sampai depan pagar dirinya tertegun. Suasana sangat sepi. Tak seorang pun terlihat di luar rumah. Hari memang sudah larut.
“Ah, iya, kuncinya. Aku lupa di mana menyimpannya.” Fadhil hanya bisa terpaku menatap rumah.
Pandangannya menyapu ke seluruh bagian di area depan rumahnya. Bangunan yang menjadi saksi perjuangannya bersama Sarah. Saat dirinya hanyalah pegawai lapangan dengan gaji mingguan yang sangat minim untuk mencukupin kebutuhan keluarga, Istrinya masih bisa menyisihkan untuk ditabung sampai terbeli sebuah rumah sederhana yang bangunannya telah rusak di sana sini.
“Kita bangun rumah ini dengan keringat dan akrab sama lapar demi satu sak semen.” Fadhil menyentuk ujung matanya yang basah.
Baru disadari rumah itu lebih asri dari sebelumnya. Tanaman bunga tumbuh subur menjuntai dari teras lantai dua. Rumahnya yang semula beratap terbuka menjadi sangat tertutup dan angkuh. Fadhil tahu, Sarah sengaja menutup bagian rumah yang terbuka juga menutup diri demi menghindari gunjingan tetangga.
Tetangga mengenal baik Zubaidah juga Sarah, hingga tumbuh berbagai persepsi tentang rumah tangga mereka. Sarah tidak mau selalu menjelaskan berbagai hal yang tak henti membuat mereka penasaran. Tak selalu hal baik. Seringkali mereka mengorek segala kekurangan Sarah untuk mencari alasan, mengapa suaminya mendua. Itu semua beban yang tidak ringan baginya. Fadhil menyadari penuh hal itu.
“Begitu banyak yang harus kau tanggung, Sayang.” Fadhil mengela napas panjang. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Jika kata seandainya ada gunanya.
Fadhil berbalik dan melangkah bermaksud kembali, ketika sebuah pantulan cahaya berkilat dari balkon. Fadhil menajamkan mata. Sebuah layar yang berkedip, batinnya bersorak.
Sarah suka menulis di sela kesibukan. Hobi yang telah menerbitkan beberapa buku. Karya nyata yang tidak penah mendapat dukungannya. Fadhil tak suka diabaikan karena Sarah akan melupakan segalanya kalau jemarinya sudah menari dia atas keybort. Ketika mengikuti event dan terbentur deadline, Sarah memburunnya di balkon rumah.
Biasanya selain menghindari gangguan Fadhil , udara segar dan beberapa buah tomat yang dipetik dari pot di atas sana membuat mata Sarah kembali terjaga dari kantuk. Tentu saja bersama mug besar beisi kopi hitam juga disanding.
Fadhil cepat mengambil ponsel dari saku menekannya mengetik beberapa kata. Cemas menunggu karena takut wanita diatas sana tak menyadari pesan yang masuk.
Beberapa saat kemudian senyumnya merekah ketika bayangan Sarah melesat turun. Tak lama pintu terbuka. Fadhil memburu dan memeluk tubuh mungil Sarah dengan erat begitu pintu kembali menutup.
“Selamat datang Pak Haji.” Seloroh Sarah yang menuai sentil di hidungnya.
“Mas, masih saja melakukan itu. Aku bukan anak kecil.” Suara Sarah yang manja membuat Fadhil enggan melepas pelukannya.
“Kami, kan cuma umroh.”
“Aamiin, kan saja.” Mereka tergelak bersama sambil melangkah menuju ke kamar.
“Sssstt … nanti anak anak terbangun,” kata Sarah sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Seperti hari-hari lalu mereka yang tanpa beban seolah lupa akan segala permasalahan dan perdebatan yang meruncing belakangan ini. Mereka berbaring berdua diatas pembaringan dengan tangan saling menggenggam, Fadhil dan Sarah, hangat dalam pikiran masing-masing.
“Sarah...”
“Hmmm...”
“Aku lelah... memiliki dua istri bukanlah hal indah indah saja seperti bayangan para lelaki yang sangat mengidamkannya. Beban batinnya melebihi apa yang di sebut indah. Aku mulai merasa tertekan.” Sarah mempererat genggaman tangannya.
“Mas Fadhil... bagaimanapun kami cuma dua orang wanita yang kau miliki. Jadilah kuat. Berusahalah adil. Jangan terganggu oleh tuntutan kewajiban. Jangan juga terlena manja dengan harta. Itu cobaan berat, harta bisa menjelma jadi syetan.” Sarah bicara sambil memanyunkan bibir teringat lagi akan kekesalan pada sang suami yang kini justru gemas melihatnya.
Fadhil memburu wajah istrinya demi mendapatkan bibir mungil yang terus bergerak. Sarah hapal tingkah suami yang tak suka karena merasa tersindir, berusaha menghindar. Hal itu justru membuat sumi istri ini menikmati kebersamaan dalam canda canda manis.
Penampilan Sarah jadi berantakan. Sang suami justru merapikannya dengan melepas hingga menjadi polos. Sarah hanya bisa pasrah menerima serangan suami. Menjadikan semua sebagai ibadah dalam mahligai mereka .
“Sarah, biar kau minta ribuan kali bagaimana aku bisa melepasmu kalau kau begitu membuatku merasa lebih baik dan lebih baik lagi saat sama kamu?” Fadhil bicara sambil merapikan anak rambut istrinya di dahi yang basah oleh keringat selepas aktifitas mereka.
“Sarah tidak benar-benar menginginkannya, Mas. Itu karena aku marah dan cemburu.” Wanita itu menyusupkan wajah pada bantal menghindari tangan Fadhil.
“Kau yang mengawali semua ini, kan?”
“Dan, Mas menerimanya tanpa berpikir itu bisa menyakitiku.” Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci.
“Kita sama sama salah. Takdir sudah bicara jadi mari jalani dengan sabar.” Fadhil mengngguk.
“Tidurlah sudah malam. Atau kau akan menyelesaikan tulisanmu?”
“Sudah selesai, Mas.”
Bib! Bib! Suara ponsel bergetar membuat keduanya terdiam. Nama Zubaidah menari-nari di layar kecil milik Fadhil.
“Apa, Mas tak pamit? Mungkin dia khawatir. Terima saja tak apa apa.”
“Dia telah mengambil jatahmu terlalu banyak, biarkan bersabar sedikit,” kata Fadhil sambil menjauhkan ponsel yang tetap bergetar dan berbunyi. Bib! Bib!
Fadhil kembali merengkuh istrinya dan membawanya berbaring. Mejamkan mata meski tahu Sarah tak melepas tatapan padanya sebelum ikut menyerah dan terlelap dalam pelukan suaminya.
~
Di rumahnya, Zubaidah bersimbah air mata. Kepalanya dipenuhi bayangan sang suami. Selama di tanah suci kemarin Fadhil khusuk beribadah. Bersikap dingin padanya dan tidak banyak bicara. Berbeda sekali dengan awal rencana keberangkatan yang disambut dengan suka cita .Hingga pulang ke tanah air, lelaki yang kini telah merampas utuh seluruh hatinya itu tak bersemangat di setiap acara yang digelar di rumah istri keduanya. Hanya kata seperlunya saja yang keluar jika dimintai pendapat dan bantuan. Cukup dikerjakannya saja apa pun yang diminta Zubaidah tanpa banyak suara.Terakhir menyelinap pergi diam-diam saat keluarga besar sang istri masih berkumpul dan berbincang hangat. Sekarang telah dini hari tanpa kabar dan juga enggan menjawab panggilan. Hal itu jelas meresahkan hati dan pikirannya.“Ada apa kak?” Laras yang malam itu menginap tengah menidurkan anaknya di kamar tamu, mendengar isak tanggis kakaknya.
Laras meninggalkan rumah Zubaidah tanpa pamit. Kakaknya itu berdiam di kamar sampai siang. Setelah perdebatan bersama kakaknya hingga pagi, Laras tidak tidur lagi. Ia menguping segala yang terjadi di luar kamar. Laras tahu, kakaknya sangat sedih dan menyesal. Laras bertahan pura-pura mengabaikannya.“Kakak harus belajar.” Tekadnya bulat untuk membantu jangan sampai kakaknya itu salah jalan.Cinta dan kecemburuan memang acap kali membuat kecerdasan seseorang tiba tiba menghilang. Sebagai seorang guru di sekolah yang berbasis dakwa, Zubaidah sebenarnya sangat paham akan hukum agama juga hokum pernikahan poligami yang dilakukannya. Sayang ego dan napsunya membuat ilmu yang tinggi tak berfungsi sebagaimana mestinya.~Sore hari Laras membawa anaknya mengunjungi Sarah. Langkahnya pelan sambil menimbang, apa yang perlu disampaikan pada sahabatnya. Ada rasa bersalah akan sikap kakaknya. Bagaimanapun dirinyalah yang mendoro
Suasana pagi dimana orangorang tengah sibuk dengan segala aktifitas, Zubaidah masih saja mondar mandir di tengah ruang keluarga di rumahnya. Bahkan lupa dengan pekerjaannya sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah.“Aku tidak bisa memaafkan diri kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Dia bergumam panik.Zubaidah tidak bisa ikut kerumah Sarah bersama Fadhil. Juga tidak bisa menjenguknya di rumah sakit. Zubaidah berharap, suaminya cepat memberi kabar.Suara ponsel mengagetkannya. Disambarnya segera mengira Sang Suami yang menelephon tapi segera saja kekecewaan hinggap. Sekolah tempatnya mengajar yang menghubungi karena ketidak hadirannya hari ini. Zubaidah mulai panic.“Ya ampun, lupa izin!” pekiknya.~Di rumah sakit Sarah segera ditangani oleh seorang dokter. Setelah diperiksa dengan teliti, dokter kembali mengalihkan perhatian pada wajah tegang
Sepekan lamanya Sarah berada di rumah sakit. Selama itu pula Fadhil berada di sampingnya tanpa sehari pun pulag ke rumah Zubaidah.Tak mengapa bagi wanita berkulit langsat yang kini tampak lebih hidup setelah menikah. Meski menjadi yang kedua dan harus berjuang keras untuk mendapakan cinta Sang Suami, Zubaidah sangat menghargai pernikahannya. Dengan kerendahan hati dirinya juga akan menerima konsekuensi dari sebuah keputusan menerima seorang pria beristri sebagai seorang suami yang membuatnya harus terus mengalah pada yang pertama.Pagi hari ketika Zubaidah tengah menikmati sarapan pagi sendirian dikejutkan oleh sebuah pelukan hangat dari belakang tubuhnya. Aroma yang kini telah familiar di hidungnya dan sangat dirindukan di harihari belakangan ini membuat perasaanya membuncah. Bisikan di telinga dengan deru napas yang menghangatkan di area sensitive leher belakang membuatnya membeku.“Aku merin
Pesawat membawa Fadhil pulang dari daerah Kepulauan kembali ke kota dimana diri dan keluarganya tinggal. Kelelahan baru dirasakannya ketika tubuh menyentuh kursi penumpang yang nyaman. Demi tak ingin berlama lama meninggalkan keluarga dirinya memaksimalkan waktu mengurus pekerjaan agar selesai segera. Fadhil menyelesaikan semua dalam waktu sepekan saja. Tawaran bersantai menikmati wisata local ditolaknya dengan halus beralasan keluarga sudah menunggunya saat ini. Binar terpesona tampak pada beberapa rekan wanita mengingat langkanya pria yang mengutamakan keluarga dari sebuah kesenangan. Terlebih saat baru saja berjibaku dengan kepenatan pekerjaan. Tanpa mengabari siapa pun Fadhil menarik koper di bandara dan memanggil taksi untuk membawanya pulang ke rumah Zubaidah. Istri ke duanya itu merasa surprice ketika mendapati Sang Suami menjulang di depan pintu yang baru saja terbuka. Jemari panjang sedikit kurusnya terangkat menu
Aroma kopi menggelitik hidung dan membangunkan tidur Fhadil. Pagi tadi lelaki berambut ikal itu kembali jatuh tertidur di sofa begitu istri keduanya pamit mengajar setelah sarapan bersama. Sesaat direnggangkannya tangan dan menghidu aroma kesukaan lebih kuat. “Siapa yang membuat kopi?” gumamnya. Memutar kepala, Fadhil memindai seluruh ruang kosong yang terasa sangat luas ketika sendirian. Rumah Zubaidah memang selalu sepi. Tiada sesiapa tinggal kecuali mereka berdua dan akan kosong ketika Siang hari saat keduanya berkegiatan di luar. Tanpa sadar dirinya menghela napas menyadari betapa Zubaidah telah begitu sabar menjalani hidup sendirian dalam kesepian. Sebersit rasa kasihan melintas begitu saja. “Kenapa melamun? Nanti kopinya keburu dingin.” “Baidah. Bukannya kamu tadi …” “Iya aku sudah pamit ngajar tadi tapi izin setelah selesaikan jam pertama pelajaran.
Fadhil berlenggang menyusuri jalanan komplek yang lengang. Kebanyakan warga sedang sibuk beraktifitas di kantor atau tempat usaha yang lain seperti kawasan niaga maupun industri yang umumnya berangkat pagi pulang sore hingga malam. Akan tetapi ada sekelompok ibu rumah tangga yang menobatkan diri sebagai Emak rebahan masih sempat bergerombol dan berbisikbisik sambil sesekali melirik lelaki yang tampak gagah melangkah santai dengan tangan terselip di saku celana. “Pak Fadhil akhirnya ingat pulang.” Begitu kata seseorang dari mereka. Merasa jengah Fadhil mempercepat langkah agar segera sampai lalu dengan menggumam salam diselipkannya anak kunci guna membuka rumah Sarah. Gagal. Ada sesuatu yang menyumbat lubang dari dalam. Reflek Fadhil memutar handel pintu dan terbuka. Perkiraannya salah. Ternyata Sarah ada di rumah. Wanita itu nampak kaget dan terbangun dari sofa tempatnya tengah bermalasan. “Mas Fa
Fadhil mondar mandir dengan linglung di depan ruang UGD rumah sakit. Sesekali mencoba mengintip kesibukan dokter di dalam sana. Pikirannya kalut mengingat kondisi terakhir Sarah yang tak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes. Dirinya pun tak menyadari bahwa saat ini penampilannya juga kacau. Celana dan kaus yang dikenakan belepotan darah yang mulai mengering. Bau tak sedap menguar dari sana. Orang orang menjauh kala melewatinya. Fadhil merasa sendirian ketika tiba tiba mengingat Zubaidah. ‘Apa?! Rumah sakit lagi!? Kenapa, Bang?’ Zubaidah merasa lututnya lemas, mendengar tentang Sarah yang pendarahan. Di waktu waktu dekat ini disadari begitu banyak kejadian menguji kesabaran. Cobaan demi cobaan menimpa keluarga suaminya. Itu terjadi setelah dirinya hadir di antara mereka. ‘Belum tahu tapi dokter sedang berjuang menyelamatkannya. Sekarang belum sadar.’ Suara Fadhil serak penuh kesedihan
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit