Fadhil berlenggang menyusuri jalanan komplek yang lengang. Kebanyakan warga sedang sibuk beraktifitas di kantor atau tempat usaha yang lain seperti kawasan niaga maupun industri yang umumnya berangkat pagi pulang sore hingga malam. Akan tetapi ada sekelompok ibu rumah tangga yang menobatkan diri sebagai Emak rebahan masih sempat bergerombol dan berbisikbisik sambil sesekali melirik lelaki yang tampak gagah melangkah santai dengan tangan terselip di saku celana.
“Pak Fadhil akhirnya ingat pulang.” Begitu kata seseorang dari mereka.
Merasa jengah Fadhil mempercepat langkah agar segera sampai lalu dengan menggumam salam diselipkannya anak kunci guna membuka rumah Sarah. Gagal. Ada sesuatu yang menyumbat lubang dari dalam. Reflek Fadhil memutar handel pintu dan terbuka. Perkiraannya salah. Ternyata Sarah ada di rumah. Wanita itu nampak kaget dan terbangun dari sofa tempatnya tengah bermalasan.
“Mas Fa
Fadhil mondar mandir dengan linglung di depan ruang UGD rumah sakit. Sesekali mencoba mengintip kesibukan dokter di dalam sana. Pikirannya kalut mengingat kondisi terakhir Sarah yang tak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes. Dirinya pun tak menyadari bahwa saat ini penampilannya juga kacau. Celana dan kaus yang dikenakan belepotan darah yang mulai mengering. Bau tak sedap menguar dari sana. Orang orang menjauh kala melewatinya. Fadhil merasa sendirian ketika tiba tiba mengingat Zubaidah. ‘Apa?! Rumah sakit lagi!? Kenapa, Bang?’ Zubaidah merasa lututnya lemas, mendengar tentang Sarah yang pendarahan. Di waktu waktu dekat ini disadari begitu banyak kejadian menguji kesabaran. Cobaan demi cobaan menimpa keluarga suaminya. Itu terjadi setelah dirinya hadir di antara mereka. ‘Belum tahu tapi dokter sedang berjuang menyelamatkannya. Sekarang belum sadar.’ Suara Fadhil serak penuh kesedihan
Cahaya matahari pagi menerobos jendela lantai dua rumah sakit, menghangatkan wajah Fadhil yang kuyu. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi sambil membaca Al-Quran, sesekali menatap pintu kaca tempat isterinya berada. Hatinya sedikit tenang. Dokter mengatakan masa kritis Sarah sudah lewat meski kini masih belum sadar seharusnya itu tidak akan lama. “Allah pasti berikan yang terbaik, Sayang,” bisik Fadhil seolah tengah bicara di telinga istrinya. Ketenangan tiba-tiba terusik oleh suara tangis ibu Sarah yang datang bersama bapaknya. Rupanya mereka langsung berangkat dari kampung halaman begitu Fadhil mengabari keadaan putri mereka semalam. “Bapak. Ibu.” Fadhil menyalami dan mencium tangan mereka khidmad, tapi ibu menariknya dengan kasar. “Apa yang kau lakukan pada anak ibu!?” “Ibu ....” Fadhil tak bisa berkata kata melihat kemarahan meluap di
Duduk kaku di antara kedua mertuanya yang menatap sengit sungguh menyiksa. Fadhil serasa menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bagi Fadhil membela diri dan mengatakan bahwa pada awalnya Sarahlah yang menginginkan dirinya berpoligami. Ketegangan melingkupi batin Fadhil terlebih saat suara bariton bapak memecah kesunyian.“Setelah bayinya lahir, kembalikan Sarah pada kami, Nak Fadhil!”Suara yang tenang itu bagai menggelegar di telinga lelaki yang kini telah goyah dalam berpijak.Tubuh Fadhil luruh bersimpuh dan memegang tangan bapak mertuanya. Wajah kuyu menjelaskan betapa gundah dan frustasi batinnya.“Maafkan saya, Pak. Sekarang Sarah belum sadar, tolong jangan membahas ini dulu. Tolonglah, Pak ....”Fadhil tak sanggup menahan tangisnya. Tak peduli apa tanggapan orang tentang lelaki yang cengeng. Namun
Fadhil berjalan keluar rumah sakit dengan linglung mencapai jalan raya. Memorinya berisi banyak hal berdesakan hilang timbul membuatnya mengernyit sakit karena berusaha focus. Dia meninggalkan mobilnya di rumah sakit dan pulang dengan taksi. Pikirannya yang tengah kalut tidak memungkinkan untuk menyetir. Berbahaya.Bayangan wajah Sarah menari di pelupuk mata. Begitu pun perjalanan pernikahannya dengan wanita yang akan memberinya 3 anak itu. Perempuan yang selalu kuat dan tegar menghadapi sikap kekanakan suami, lebih banyak memberi dari pada meminta, bekerja keras dalam membantu ekonomi keluarga, juga rajin mengingatkan agar suaminya lebih baik dan lebih baik lagi menjalankan kewajiban sebagai suami dan ayah.Dia rela diajak berjuang sejak awal pernikahan, saat keluarga kecilnya belum memiliki apa-apa tapi tidak pernah menuntut lebih saat suami mulai berjaya. Kenyataan ini membuat dadanya berdenyut sakit me
Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga
Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga
Dalam perjalanan Fadhil masih terbayang wajah kesal pura kecilnya. Ada sedikit rasa menyesal tidak mengabulkan keinginannya untuk ikut menjenguk Sang Bunda. Batin lelaki yang kali ini tampil sedikit berantakan itu saling berdebat membenarkan tindakan. Satu sisi mengatakan sebaiknya anak anak tidak mendekati rumah sakit karena banyak virus takut tertular. Namun sisi lain menyangkalnya. “Mungkin saja Sarah akan senang bertemu Habbil,” gumamnya. Sarah sangat menyayangi anak dan mereka juga sangat dekat dengan ibunya. Sarah sangat pandai mengambil hati dan menjadikan dirinya teman curhat yang asyik. Gelak tawa ceria mereka berdengung di telinga. Mengingat semuanya Fadhil tersenyum getir. Rasa bersalah kembali menguasai, sadar semua kekacauan ini karena kebodohannya sebagai suami dan ayah. Keluarga yang begitu sempurna terkoyak hanya oleh sifat kikir dan arogannya selama ini. Memalukan! Menyeti
Seperti angin Fadhil melarikan mobilnya dengan kencang. Jeritan klakson kembali bersahutan memperingatkannya tapi dihiraukan. Petugas keamanan kantor di pintu masuk bahkan tersentak mendapati sebuah mobil yang nyelonong masuk tanpa memelankan laju apalagi klakson kecil sebagai ganti sapaan seperti biasa. Petugas itu berlari mendekat untuk bertanya. Barangkali ada sesuatu yang darurat hingga pemilik mobil yang dikenalnya bertindak tidak wajar. Sayangnya begitu turun Fadhil justru menghiraukannya dan bergegas masuk dengan kepala menunduk memperhatikan langkah kaki seolah takut tersandung. “Kenapa dengan Pak Fadhil?” gumam lelaki berseragam biru dengan pentungan tergantung di pinggang itu bingung. Sampai di ruang kerjanya pun Fadhil hanya perlu duduk dan menyalakan computer di meja kerja tanpa sedikit berbasa basi dengan rekan seruangan seperti biasa. Jelas keadaannya juga sikap yang janggal memancing perhatian. Anton
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit