Flashback: Tiga Tahun Lalu di Sekolah
Tiga tahun yang lalu, suasana sekolah favorit di Bandung selalu terasa penuh antusiasme, terutama di pagi hari. Para siswa berdatangan dengan semangat, dan sekolah ini dikenal dengan murid-muridnya yang berprestasi dan dari kalangan terpandang. Di antara mereka, ada satu sosok yang selalu menjadi pusat perhatian: Kim Daehan. Siswa kelas 12 ini bukan hanya dikenal karena wajah tampannya yang khas oriental, tetapi juga karena gaya hidupnya yang penuh kemewahan dan sikapnya yang arogan. Luna baru saja diterima di sekolah tersebut dengan beasiswa karena kecerdasannya yang luar biasa. Ia meraih peringkat tertinggi di ujian masuk, yang mengantarkannya masuk ke sekolah ini, meski berasal dari keluarga sederhana. Namun, di balik kecemerlangannya, Luna adalah sosok yang pemalu dan lebih suka menjauh dari keramaian. Pagi itu, Luna berjalan tergesa-gesa di lorong sekolah, tangannya memegang minuman dingin yang baru saja ia beli di kantin. Kepalanya sedikit tertunduk, seperti biasa, menghindari tatapan siswa-siswa lain yang sibuk dengan urusan mereka. Ia berusaha mencari kelasnya yang berada di ujung koridor. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat tubuhnya tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang. Minuman dingin yang ia pegang tumpah ke tubuh orang itu, membuatnya basah seketika. "Hei..!"suara berat penuh amarah terdengar dari pria yang baru saja ia tabrak. Luna mendongak, dan wajahnya memucat saat menyadari siapa yang berdiri di depannya. Kim Daehan, dengan kaos putihnya yang kini basah karena minuman, menatap Luna dengan tatapan tajam. Mata Daehan seakan berkilat marah, dan di sekeliling mereka, kerumunan siswa mulai berkumpul, menyaksikan kejadian tersebut. "Ma-maafkan aku," suara Luna terdengar kecil, nyaris bergetar. Namun, permintaan maaf Luna sama sekali tidak mengurangi kemarahan Daehan. Ia menyeringai sinis, tatapannya penuh cemooh. "Kau pikir permintaan maafmu bisa mengeringkan bajuku yang basah ini?" ucapnya dengan nada rendah tapi tajam, membuat Luna semakin gemetar. "Aku benar-benar tidak sengaja. Aku akan mengganti...," Luna mencoba menjelaskan, namun Daehan memotongnya dengan tawa dingin. "Mengganti? Dengan apa? Uang beasiswamu? Atau kau ingin menyuruhku menunggu hingga kau punya cukup uang?" Sindiran Daehan disambut tawa teman-temannya yang sejak tadi berdiri di belakangnya, seperti pengikut setia yang siap menyokong apapun yang dikatakan pemimpin mereka. Luna hanya bisa terdiam. Kata-kata Daehan menusuk hatinya. Ia tahu, Daehan berasal dari keluarga kaya raya, sementara dirinya hanya gadis sederhana yang berhasil masuk ke sekolah ini karena otaknya, bukan karena kekayaan. Daehan melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke arah Luna yang masih terpaku. "Kau tahu, wajahmu ini... benar-benar membuatku muak," bisiknya dengan nada dingin. "Kau mengingatkanku pada seseorang yang sangat kubenci." Luna terkejut mendengar kata-katanya. Ia tidak mengerti kenapa Daehan begitu membencinya, padahal ini adalah pertama kalinya mereka berinteraksi. Namun, jauh di dalam hati Daehan, ada luka lama yang terbuka setiap kali ia melihat wajah Luna. Wajah Luna mirip dengan wanita yang menghancurkan keluarganya—selingkuhan ayahnya, wanita yang menyebabkan ibunya hidup dalam penderitaan. "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi," tambah Daehan sebelum ia melangkah pergi, diikuti oleh teman-temannya. Sejak saat itu, hubungan antara Luna dan Daehan tak pernah membaik. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, Daehan selalu menatap Luna dengan pandangan penuh kebencian. Luna sendiri tak pernah berusaha mendekatinya, meskipun ia tidak mengerti alasan kebencian Daehan. Di sisi lain, Daehan semakin sering menunjukkan sikap arogan dan menindas, terutama terhadap mereka yang dianggapnya lemah. Suatu hari, saat Luna sedang duduk di perpustakaan, menyelesaikan tugas sekolahnya, ia tak sengaja mendengar obrolan teman-teman Daehan. “Kau tahu kan, kenapa Daehan begitu benci sama gadis itu?” bisik salah satu dari mereka sambil melirik ke arah Luna yang duduk sendirian di meja pojok. “Iya, aku dengar wajah gadis itu mirip sekali dengan wanita yang membuat keluarganya berantakan. alias Selingkuhan ayahnya,” sahut temannya dengan suara rendah. Luna tertegun mendengar percakapan itu. Ia baru menyadari bahwa kebencian Daehan padanya bukan sekadar karena insiden minuman tumpah itu, melainkan ada luka mendalam yang terpendam di balik sikap kasar dan sinisnya. Luna tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ia merasa tidak adil jika dirinya dijadikan pelampiasan atas masalah pribadi Daehan, tetapi ia juga bisa merasakan bahwa di balik semua sikap arogan itu, ada rasa sakit yang begitu dalam. Sejak mendengar percakapan tersebut, Luna berusaha menghindari Daehan sebisa mungkin. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh dalam masalah Daehan. Namun, hal itu sulit dilakukan karena Daehan dan teman-temannya selalu ada di sekitar sekolah, dan entah mengapa, Daehan selalu berhasil membuat situasi menjadi tidak nyaman setiap kali mereka bertemu. --- Flashback off Waktu terus berlalu, dan Luna akhirnya lulus dari sekolah tersebut dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia melanjutkan hidupnya dengan tekad kuat untuk membantu keluarganya. Namun, luka kecil dari masa lalu itu tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya. Sementara itu, Daehan, dengan segala pesona dan kekayaannya, terus melanjutkan hidup dengan sikap yang sama: arogan, dingin, dan penuh kebencian terhadap dunia di sekitarnya. Namun, di dalam hatinya, setiap kali melihat Luna, ia selalu diingatkan pada luka keluarganya yang belum sembuh. Dan kini, setelah tiga tahun berlalu, nasib membawa mereka bertemu kembali di tempat yang berbeda, dengan situasi yang sangat berbeda. Luna tidak lagi gadis pemalu yang hanya bisa diam saat ditindas, dan Daehan bukan lagi sekadar anak SMA yang penuh dengan dendam. Tapi meski mereka telah tumbuh, luka di masa lalu mereka tetap ada, dan entah bagaimana, pertemuan mereka kali ini akan mengubah segalanya. "Gadis itu kenapa harus muncul lagi dihadapanku, dia .. membuatku muak, dan aku semakin marah jika melihat wajahnya. Apalagi dengan sikap munafiknya, yang sok ramah."gumam Daehan. Seperti sedang menahan emosinya. Seorang asisten kepercayaan Daehan yaitu Leo datang ."Tuan meeting akan segera dimulai, para client sudah menunggu anda tuan." "Heumm, baiklah aku akan segera ke sana."Daehan tanpa buang waktu lagi mereka sudah Daehan dengan langkah tegap dan gagah dengan tinggi 183 cm membuat laki-laki tinggi dan tampan terlihat sangat menarik. "Selamat pagi tuan Kim, kau semakin terlihat dewasa dan tampan saja ."ucap seorang client yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya. Daehan menjalankan perusahaan Kim grup di bidang tekstil dan mengekspornya ke luar negeri. "Terimakasih silahkan duduk."Daehan hanya memberikan senyum sekilas. "Baik kita mulai saja, sehubungan dengan produk fashion baru yang akan luncurkan untuk musim tahun yang akan datang, tim survey kita sudah mendapatkan data."ujar client tersebut dengan sangat detail. "Ya anda benar tuan Andrew, aku akan mengadakan suatu ajang yang akan menemukan bakat para desiner muda dan hasilnya akan kita jadikan sebagai trend musim yang akan datang." ujar Daehan sambil menganggukkan kepalanya. Selesai sudah meeting mereka Daehan berhasil meyakinkan clientnya dan mendapatkan tender barunya. ------ Sementara sang ayah pulang dengan wajah yang lesu. "Assalamualaikum."ucap Arya ayah Luna. "Waalaikumsalam salam ayah."Luna menjawab dan menghampiri sang ayah. "Ayah sangat lelah ya ?"Luna mengambil.jaket sang ayah yang berkendara menggunakan sepeda motor yang sudah jelek . "Iya, ayah mandi dulu."Arya tersenyum samar dan berlalu dari hadapan Luna. Luna tahu apa yang membuat sang ayah murung. "Ayah, maaf ya, ini semua karena Luna."gumam Luna. Tiba-tiba terdengar notif melalui pesan singkat bahwa dia diterima bekerja di perusahaan tempat Luna interview. "Alhamdulillah ya Allah ,akhirnya aku diterima bekerja."Luna mengucap syukur. Dia mengabarkan kepada sang ayah satu-satunya yang dia milki setelah sang ibu meninggalkan dirinya sejak Luna kecil. "Ayah, Luna diterima bekerja."Luna tersenyum dengan gembira namun sayang senyuman itu pudar sang ayah malah menangis . "Ayah, ada apa?"Luna mendekati sang ayah "Ayah, tak menyangka jika uang yang ayah pinjam akan berbunga-bunga puluhan kali lipat karena ayah telat membayar, dan sekarang hutang ayah menjadi 135 juta nak." "Apa? lalu bagaimana kita harus membayarnya ayah, sedang rumah ini saja kita mengontrak, lalu apa yang akan terjadi ayah ? Luna khawatir Ayah akan dikejar oleh mereka!"Luna nampak sangat khawatir terlihat dari raut wajahnya. "Iya nak, tapi ayah harus menghadapinya tidak ada jalan lain."ujar Arya. "Ya Allah kemana aku harus mencari uang sebanyak itu ?"Bahkan aku masih baru saja mendapat pekerjaan, bagaimana kami menghadapi hari-hari kami nanti ? Bersambung...Di rumah sederhana keluarga Luna, suasana terasa tegang. Arya, ayah Luna, duduk di kursi tua dengan wajah penuh kekhawatiran. Luna yang melihat Ayahnya yang baru pulang kerja melihat ekspresi ayahnya dan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Luna bertanya. "Ayah, ada apa? Wajah Ayah terlihat pucat." Arya menghela napas panjang. "Luna, ada sesuatu yang harus Ayah sampaikan padamu." Luna duduk di samping ayahnya. "Apa itu, Ayah? Katakan saja." "Hutang Ayah... ternyata mencapai 135 juta rupiah. Ayah tidak tahu bagaimana cara melunasinya."Arya menundukkan kepalanya. Luna: Terkejut. "135 juta? Bagaimana bisa sebanyak itu, Ayah?" Arya: "Bunga pinjaman online itu sangat tinggi. Ayah tidak menyangka akan seburuk ini." Luna: Menunduk, berpikir keras. "Ayah, jangan khawatir. Aku akan mencari cara untuk membantu melunasi hutang itu." Arya: "Tapi bagaimana caranya, Luna? Gajimu belum cukup untuk itu." Luna menatap nanar."Aku akan mencari solusi, Ayah. Percayalah padaku." Sete
Luna duduk di meja kerjanya di sudut ruangan kantor, memandang layar laptop dengan fokus. Sebagai salah satu karyawan tim desain di perusahaan Daehan, ia bekerja keras dan menjalankan tugasnya dengan profesional. Tidak ada seorang pun di kantor yang tahu bahwa Luna adalah istri sah Daehan. "Hei ,Luna tolong belikan aku kopi ya caramel machiatto "ucap seorang senior di tim desain tersebut. "Baik ka, aku belikan."Luna pergi ke kantin . Pernikahan mereka memang dirahasiakan, Daehan menginginkan semua tetap tertutup, sementara Luna pun tidak berani membocorkan kesepakatan pernikahan kontrak mereka. Hanya enam bulan yang perlu ia jalani, setelah itu mereka akan berpisah, dan ia bisa melanjutkan hidupnya. Namun, meskipun mereka sudah menikah, kehidupan Luna di kantor tidak berubah. Dia diperlakukan seperti karyawan biasa, bahkan sering diremehkan oleh beberapa rekan kerjanya. "Luna ... tolong kau buat laporan ini ya sore ini harus selesai." "Baik bu "Luna menganggukkan kepalan
Pagi itu di kantor Daehan terasa seperti pagi yang biasa bagi Luna. Ia berjalan keluar dari kedai kopi favoritnya, membawa secangkir kopi untuk kepala timnya, lalu kembali ke kantor. Sebagai karyawan di tim desain, Luna selalu berusaha untuk bersikap profesional meskipun sering diremehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Hari ini pun, Luna menjalani rutinitasnya dengan tenang. Sesampainya di kantor, suasana terasa sedikit berbeda. Ada kegaduhan kecil di area resepsionis, dan beberapa rekan kerjanya tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arah pintu masuk utama. Luna hanya mengernyit, tidak terlalu mempedulikannya dan melanjutkan langkah menuju ruang kepala timnya. Tapi sebelum dia sampai ke sana, langkahnya terhenti saat mendengar suara langkah sepatu hak tinggi yang tajam, menghentak lantai marmer kantor. Sebuah aura keanggunan dan pesona segera memenuhi ruangan. Seorang wanita cantik dengan penampilan menawan masuk ke kantor dengan penuh percaya diri. Rambut panjangnya tergerai indah,
Pagi itu, Luna memasuki kantor Daehan dengan perasaan yang campur aduk. Keberaniannya sudah terkumpul selama berminggu-minggu, dan hari ini adalah saatnya ia berbicara. Selama beberapa bulan terakhir, hubungan mereka hanya dipenuhi ketegangan, cemoohan, dan luka yang terus membekas. "Sepertinya aku sudah tidak tahan lagi, aku harus pergi." Daehan selalu berkata kasar, menyudutkan Luna dengan komentar-komentar yang menyakitkan, dan memperlakukannya seolah-olah Luna hanya masalah kecil yang perlu segera dihilangkan. Tapi Luna sudah cukup. Dia tidak bisa terus hidup dalam pernikahan kontrak ini yang semakin hari hanya membuatnya merasa terjebak. Ketika pintu ruangan terbuka, Daehan sedang sibuk membaca dokumen di mejanya. Luna melangkah masuk, menutup pintu dengan pelan dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, “Pak Daehan, aku ingin kita berpisah. Daehan mendongak, sejenak terkejut melihat Luna berdiri di depannya dengan ekspresi serius. Dahinya berkerut dan nada sua
Malam itu, Daehan duduk di sofa apartemen Ryuka, mencoba menikmati malam yang seharusnya dipenuhi dengan keintiman dan gairah. Ryuka, model internasional dengan kecantikan luar biasa, tampak begitu memikat. Dengan gaun seksi yang memperlihatkan keindahan tubuhnya, Ryuka mengelilingi Daehan, tersenyum lembut saat dia mendekat. “Sudah lama kita tidak bertemu,” bisiknya manja, jemarinya melingkari leher Daehan, menariknya lebih dekat. Daehan tersenyum, mencoba untuk merespons, tapi hatinya terasa hampa. Ia memandang Ryuka, yang selama ini menjadi sosok yang ia cintai, namun malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sentuhannya, suaranya, bahkan senyumnya yang dulu begitu ia rindukan, kini terasa seolah jauh."Ya, aku juga sangat merindukanmu Ryuka." Daehan dengan ekpresi datarnya. Ryuka melanjutkan pembicaraan dengan nada yang penuh godaan, “Kau pasti merindukan momen-momen seperti ini, bukan?” Dia mendekat, mencium bibir Daehan dengan penuh gairah, tapi di balik semua itu, Daehan merasa pik
"Luna !"pekik seorang manajer kepada Luna .Luna langsung berdiri. "Iya, saya bu."ujar Luna . Kemudian Luna berdiri dari kursinya. "Kamu lihat siapa yang datang kan ? kenapa kamu tidak menyapanya?" Susan dengan suara yang tinggi. "Selamat pagi pak."Luna menyapa Daehan kemudian kembali bekerja. Daehan hanya menatap Luna dingin. Setelah masuk jam makan siang Luna bergegas karena sudah menyelesaikan pekerjaannya . Luna minta izin untuk pulang siang karena ada hal yang yang sangat penting. "Permisi bu, saya mau minta izin, saya harus ... menemui ayah saya ini sangat penting." "Hoo, setelah tadi pagi kamu bersikap angkuh sekarang mau mangkir kerja?"ujar Susan . "Bukan begitu bu ini hari yang penting untuk Ayah saya."lirih Luna. "Baik kalau kamu berani silahkan minta izin langsung pada Pak Daehan jika dia mengizinkan maka kamu saya izinkan pulang awal jika tidak maka kamu harus pulang sore."ujar Susan. "Baik bu."Luna bergegas ke ruangan Daehan. Ternyata ada Ryuka di ruang
Pagi itu di rumah Daehan, Luna bangun lebih awal seperti biasa. Meski suasana rumah selalu dingin karena sikap dingin Daehan, Luna tetap menjalani rutinitasnya dengan penuh tanggung jawab. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, Luna berpakaian rapi untuk bekerja. Dia mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang yang dipadukan dengan hijab berwarna krem. Meski hatinya sering kali terasa berat, Luna tetap berusaha tenang, terutama dalam menghadapi tiga bulan tersisa dari pernikahan kontrak ini. Luna juga sudah menyiapkan pakaian kerja Daehan dengan hati-hati dan menata meja sarapan. Tidak ada sapaan hangat di antara mereka, hanya hening yang selalu mengisi ruang di rumah itu. Daehan yang biasanya cuek, sarapan cepat tanpa banyak bicara, lalu pergi begitu saja. Sementara itu, Luna hanya menunduk, berusaha tidak terlalu terpengaruh oleh sikap suaminya yang kerap sinis dan dingin. Baginya, yang terpenting adalah bertahan sampai kontrak selesai. Setelah memastikan semuanya siap, Luna
"Apa syaratnya pak?"ucap Luna. "Jangan pernah dekat dengan laki-laki lain."ujar Daehan. "Syarat yang mudah, lagipula aku memang tidak dekat dengan siapapun."Luna berlalu dari hadapan Daehan. Daehan sedang berada di ruang kerjanya ketika asistennya, Hana, masuk dengan sebuah undangan di tangannya. "Tuan Daehan," kata Hana dengan nada hormat, "ini undangan dari sebuah acara besar. Semua pengusaha top akan hadir. Pesta ini akan diadakan di hotel bintang lima akhir pekan ini. Saya rasa Anda perlu hadir." Daehan mengambil undangan itu dan melihat sejenak, kemudian dia mengangguk pelan. Acara ini memang penting bagi jaringan bisnisnya. "Siapkan semuanya," ujarnya dengan nada tegas. "Dan, oh, pastikan Luna juga siap." Hana terlihat bingung sesaat. "Luna, Tuan? Apa Anda ingin mengajak—" "Ya," potong Daehan cepat, meski di dalam hatinya, ia merasa sedikit ragu. Selama ini, dia selalu menutup rapat soal pernikahannya dengan Luna, bahkan di lingkungan sosialnya, Daehan hanya mengaku
Luna duduk di tepi jendela sebuah apartemen kecil di negara asing, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Keputusannya untuk pergi jauh dari Daehan terasa seperti belati yang menembus jantungnya. Namun, ancaman dari Tuan Kim Do Hyun tidak memberinya pilihan. Ia harus menjaga kebahagiaan Daehan dengan cara yang menyakitkan: meninggalkan pria yang ia cintai. Hari itu masih pagi, tapi hawa dingin membuat tubuh Luna menggigil. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak muram. Bekas air mata masih jelas di pipinya. Ia mengenang setiap momen indah bersama Daehan—senyumnya, perhatian kecilnya, bahkan pelukan hangatnya yang selalu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Tuan Kim Do Hyun telah mengatur segalanya. Tiket pesawat, akomodasi, dan dokumen perjalanan disiapkan dengan rapi. Luna hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan kesepakatan: pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daehan dan memulai hidup baru. “Ini demi Daehan,” p
Percakapan Luna dan Tuan Kim Malam itu, Luna duduk di sofa apartemennya, mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tangannya gemetar saat ia mengetik nomor Tuan Kim Do Hyun. Setelah beberapa dering, suara berat dan dingin menjawab di ujung telepon. “Luna, apa yang kau inginkan?” Tuan Kim langsung to the point. Luna menarik napas panjang. "Tuan Kim... Saya sudah memikirkan tawaran Anda." Ada keheningan singkat sebelum Tuan Kim menjawab, “Dan?” “Saya setuju,” kata Luna, suaranya hampir bergetar. “Saya akan meninggalkan Daehan.” Nada suara Tuan Kim berubah sedikit lebih lunak, namun tetap tegas. “Kau membuat keputusan yang bijak. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.” Luna tersenyum pahit, meskipun Tuan Kim tidak bisa melihatnya. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Daehan. Tapi... saya punya satu permintaan.” “Apa itu?” “Saya butuh waktu dua hari. Dua hari untuk menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan yang akan membua
Pertemuan yang Menguras Emosi Luna duduk di ruang tamu apartemennya dengan tatapan kosong. Ia memegang segelas teh yang sudah dingin, namun tak sedikit pun ia menyentuhnya. Pikirannya terus melayang pada Daehan, pada janji dan cinta mereka, serta calon bayi yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Hari-hari terakhir begitu berat setelah mengetahui ancaman dari Tuan Kim Do Hyun kepada suaminya. Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Luna tersentak. Dengan langkah ragu, ia menuju pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Tuan Do Hyun dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Aura pria itu begitu tegas hingga membuat Luna merasa menciut. "Selamat siang, Luna," ujar Do Hyun dengan nada datar. "Selamat siang, Tuan Kim," jawab Luna dengan sopan, meskipun ada gemetar di suaranya. "Bisakah kita bicara?" tanyanya tanpa basa-basi. Luna mengangguk dan mempersilakan Do Hyun masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Luna mencoba menenangkan hatinya, tetapi tatapan dingin Do Hyun membua
Hari itu, Luna sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil membaca buku kehamilan. Perutnya sudah semakin besar, dan ia mulai merasakan bayi dalam kandungannya bergerak lebih sering. Kebahagiaannya dengan Daehan perlahan pulih, meskipun masa lalu yang sulit tetap membayangi pikirannya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Luna mengerutkan kening, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Saat ia membukanya, wajah seorang wanita paruh baya dengan tatapan penuh harap muncul di hadapannya. “Luna…” suara wanita itu bergetar. Luna terdiam sejenak, mengenali wajah itu dari foto-foto lama yang tersimpan dalam kenangannya. Dina, ibunya yang telah lama pergi, kini berdiri di depan pintunya. “Aku ingin berbicara, Luna. Tolong izinkan aku masuk,” pinta Dina dengan suara lirih. Luna menahan napas, ingin segera menutup pintu. Tapi ia teringat bahwa Daehan-lah yang mengatur pertemuan ini. Setelah ragu sejenak, ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Pertemuan Penuh Kete
Daehan mengajak Luna makan malam di ruang tempat perjamuan yang terletak di lantai atas gedung kantor. Tempat yang biasanya digunakan untuk acara-acara besar kini sepi, hanya ada mereka bertiga — Daehan, Luna, dan Berryl, sang bos. Setelah menikmati makan malam yang sederhana namun lezat, Berryl terkejut ketika Daehan mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih banyak, Berryl, atas keringanannya terhadap Luna. Aku tahu dia sedang hamil dan sedang butuh banyak istirahat. Kamu sudah banyak membantu dengan memberi keringanan dalam pekerjaannya." Berryl hanya tersenyum, sedikit canggung mendengar pujian dari seorang pria sekaya Daehan. "Tidak masalah, Tuan Kim. Luna memang bekerja keras, dan saya tahu dia membutuhkan waktu untuk menjaga kesehatan. Saya senang bisa membantu." Luna yang duduk di samping Daehan hanya tersenyum kecil, merasa sedikit terharu. Tidak semua bos memperhatikan kesejahteraan karyawannya seperti Berryl. Namun, dia tahu bahwa keputusan Daehan untuk mengajakn
Luna memulai harinya seperti biasa, mengenakan pakaian kerja yang sopan dan sederhana. Ia tiba lebih awal di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Sementara itu, suasana kantor mulai terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua staf terlihat panik dan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kunjungan penting dari seorang CEO perusahaan besar yang akan berinvestasi di tempat mereka. Pagi itu, kantor Luna penuh dengan aktivitas. Semua karyawan tampak sibuk mempersiapkan kunjungan penting dari seorang CEO yang akan berinvestasi di perusahaan mereka. Sang bos, Berryl, seorang pria berusia 30 tahun yang karismatik dan ambisius, memberikan arahan kepada semua bawahan dengan suara tegas namun penuh antusias. “Semua harus terlihat sempurna hari ini! Ini adalah kesempatan besar untuk perusahaan kita. Cecil, kau yang akan bertugas menjamu CEO itu. Pastikan dia merasa nyaman dan terkesan,” ucap Berryl sambil melirik sekretaris cantiknya yang mengenakan pakaian formal namun
Luna tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kantornya. Hari itu banyak rapat dan target yang harus diselesaikan, membuatnya sedikit lelah. Namun, ia tetap berusaha terlihat profesional, menjaga penampilannya dengan baik. Rekan-rekannya sesekali melirik ke arah Luna yang sibuk, terkagum dengan dedikasi wanita itu meskipun tengah hamil. Sementara itu, Daehan juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, pikirannya terus melayang kepada Luna. Ada rasa rindu yang semakin besar setiap harinya, terutama saat melihat bagaimana Luna perlahan membuka. Sore itu, Luna yang baru saja selesai rapat terkejut melihat sosok Daehan berdiri di depan pintu kantor. Dengan buket bunga besar di tangannya, Daehan menatap Luna dengan senyum menawan yang membuat semua mata di kantor tertuju pada mereka. "Luna, aku di sini untuk menjemputmu," katanya sambil memberikan bunga itu. Wajah Luna memerah. "Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Daehan," jawabnya pelan. Daehan ha
Setelah hampir satu minggu dirawat di ruang VVIP rumah sakit, Daehan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Namun, ketidakhadirannya di kantor ternyata memberikan dampak besar. Asistennya, Rehan, yang biasanya sigap dan penuh semangat, mulai merasa kewalahan. Setiap hari telepon di mejanya terus berdering, email masuk tanpa henti, dan para manajer lini mengeluh tentang tumpukan keputusan yang membutuhkan persetujuan langsung dari Daehan. "Wakil direktur juga hampir kewalahan, Pak," ujar Rehan sambil menelepon Daehan untuk memberikan laporan. Suaranya terdengar lelah, namun ia tetap profesional. "Semua orang mengandalkan Anda, dan sejujurnya, kami belum menemukan ritme tanpa kehadiran Anda di kantor." Daehan, yang sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan bantal bersandar di punggungnya, mendengarkan laporan itu dengan ekspresi serius. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali tajam seperti biasa. "Rehan, beri tahu semua orang ba
Di tengah kesunyian ruang ICU, Luna duduk di samping tempat tidur Daehan, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ia tak bisa menahan air mata yang terus mengalir. "Ya Allah... berikan aku kekuatan menghadapi cobaan ini, suamiku kini terbaring di ICU, dan aku sedang mengandung, berikan kesembuhan untuk suamiku ya Allah."Daehan, pria yang selama ini memberinya banyak luka sekaligus kebaikan, kini terbaring tak berdaya di hadapannya. "Bagaimana pun dia suamiku, dia ayah anakku, aku tak mau terjadi sesuatu padanya."Rasa takut kehilangan dan harapan agar Daehan segera sadar membuat hatinya penuh sesak. Ia teringat saat-saat sulit dalam hidupnya ketika Daehan menjadi satu-satunya yang memberikan bantuan, meskipun dengan segala kebencian yang terpendam. "Luna, kau harus kuat," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski sebenarnya hatinya hancur. Luna mengusap tangan Daehan dengan lembut, berharap sentuhannya bisa memberinya semangat untuk bertahan. "Kamu yang menyelamatkanku saat aku