sinopsis Anya hancur saat mengetahui dirinya hamil dari Evan, pria yang pernah berjanji akan bertanggung jawab jika hal ini terjadi. Namun, ketika Anya berusaha menghubungi Evan dan meminta pertanggungjawaban, dia dihadapkan pada penolakan keras dari ibu Evan, yang menghina dan merendahkannya. Ibu Evan bahkan menawarkan uang untuk menggugurkan kandungan Anya, menyuruhnya pergi dan tak pernah kembali. Meski terluka, Anya menolak uang tersebut dan memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri. Lima tahun kemudian, Anya yang kini seorang ibu tunggal, telah berjuang membangun hidupnya dan bekerja di sebuah perusahaan besar. Tanpa diduga, dia bertemu kembali dengan Evan, yang ternyata adalah CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Evan, yang tidak mengetahui Anya memiliki anak darinya, merasa tertarik kembali kepada wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Dalam situasi ini, Anya harus menghadapi dilema emosional antara memaafkan masa lalu atau mempertahankan jarak demi melindungi dirinya dan anaknya. Namun, kenyataan bahwa Evan adalah ayah dari anak yang selama ini ia besarkan seorang diri membuat keadaan menjadi semakin rumit. Akankah Evan mengetahui kebenaran tentang anaknya? Dan bisakah Anya memberikan kesempatan kepada Evan untuk menjadi bagian dari kehidupan mereka?
View MoreBab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
**Bab 35: Kegelapan yang Mengintai (Revisi Halus)**Hujan masih mengguyur deras di luar rumah Tiara. Angin malam membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kepedihan di hati Bu Ijah dan Tiara. Setelah semua yang terjadi, Bu Ijah tak bisa tidur. Ia duduk termenung di ruang tamu dengan secangkir teh yang kini telah dingin, pikirannya terus dipenuhi oleh pengkhianatan Alex dan luka mendalam yang harus ditanggung oleh putrinya.Namun, di balik kesunyian malam yang kelam itu, ada bayang-bayang yang lebih besar mengintai. Di kamar yang tersembunyi, Tiara yang masih terjebak dalam keterasingan, tiba-tiba merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Di sudut ruangan, di balik cermin besar yang menggantung, muncul bayangan gelap yang perlahan membentuk siluet. Tiara menggigil, bukan karena suhu yang rendah, tetapi karena firasat buruk yang semakin menggema dalam jiwanya."Tiara…" suara halus berbisik, seakan datang dari dalam relung pikirannya.Dengan cepat, Tiara menoleh,
**Bab 20: Sunyi yang Menggelegar**"Apa yang kulihat barusan, gila. Dia membunuh orang tapi semua orang justru diam?" Rini masih terdiam, matanya berkaca-kaca karena rasa takut dan takjub. Suasana pesta yang awalnya riuh kini mendadak berubah menjadi keheningan yang menakutkan. Di antara kerumunan, beberapa wanita bahkan muntah karena tak mampu menahan kekejaman yang baru saja terjadi. "Dia saja..." gumam Rini pelan, seolah kata-kata itu tak mampu menggambarkan betapa mengerikannya pemandangan itu. Di sudut ruangan, sorot mata Rini menelusuri setiap gerak-gerik Zaky. Ia melihat bagaimana Zaky, dengan wajah dingin, menyelesaikan perbuatannya tanpa ada satu pun orang yang mencoba mengintervensi. Semua orang di ruangan itu seolah terhipnotis oleh kekejaman yang terjadi, dan keheningan itu semakin menambah ketegangan di udara. Rini merasa hatinya bergemuruh. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa semua orang bisa begitu diam. "Apakah mereka semua sudah terbiasa dengan kekejaman
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 50: Titik Balik yang Pahit "Ini Pak, semua data yang Bapak minta sudah aku masukkan di sini, Pak," kata Tika salah satu karyawati Evan. "Baiklah, letakkan situ nanti aku periksa!" Evan tetap terfokus pada pekerjaannya saat ini. "Oh iya, Pak. Aku sekalian mau memberikan laporan dari Bu Anya, tapi Bu Anya berpesan ke aku untuk memberikannya ke Bapak."Seketika Evan mengangkat kepala dan menatap tajam ke Tika. "Kenapa kamu yang mengantarnya?"Tika langsung gugup dan dengan terbata-bata ia berkata, "Bu Anya minta tolong ke- a-aku, Pak.""Berikan ini lagi padanya dan suruh dia untuk menemui ku langsung.""Tapi, Pak," kata Tika yang masih gugup, apalagi saat melihat tatapan tajam mata Evan. "Aku rasa aku sudah berkata cukup jelas, aku ingin kamu sekarang keluar dan suruh Anya mengantar ini langsung ke aku!" "Ba-baik Pak."Saat itu juga, Tika langsung menghampiri Anya di ruang kerjanya. "Tidak apa, Bu. Aku sudah diberi pesan oleh Pak Evan. Dia meminta agar laporan ini langsung kau
Bab 49.Jejak Luka di Balik Bayang-Bayang Evan berjalan dengan langkah berat menyusuri lorong yang remang, meninggalkan rumah Anya dengan perasaan campur aduk antara penyesalan dan tekad yang semakin membara. Setiap langkahnya diiringi oleh gema kata-kata Anya yang masih terngiang di telinganya, "Terlambat, Evan." Kata-kata itu menghantamnya bak peluru, bukan karena amarah semata, melainkan karena rasa frustrasi yang membuat dadanya sesak. Di dalam mobil mewah yang kini menjadi pelarian sementara, Evan duduk terpaku di kursi pengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, seakan berusaha menahan riak emosi yang hendak meluap. Ia menatap kosong ke arah lampu jalan yang bergantian menerangi wajahnya, mencoba menyusun strategi agar tidak semakin tenggelam dalam kegelapan masa lalunya. "Apakah benar aku terlambat? Ataukah masih ada harapan untuk kembali?” gumamnya dalam hati, menolak menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya sejak dulu. Ia mengambil ponselnya
Bab 48Evan berjalan menjauh dari rumah Anya dengan langkah berat. Hatinya berdebar kencang, bukan karena amarah, tetapi karena rasa frustrasi yang semakin menyesakkan dadanya. Tatapan dingin Anya dan kata-katanya yang tegas masih terngiang di kepalanya. "Terlambat, Evan."Dua kata itu terus bergema, membuatnya merasa seperti pria yang tidak pernah memiliki kesempatan sejak awal. Tetapi apakah benar terlambat? Tidak. Ia menolak percaya bahwa tidak ada jalan kembali. Evan masuk ke dalam mobilnya, tetapi tidak langsung menyalakan mesin. Kedua tangannya mencengkeram setir erat, menahan diri agar tidak melampiaskan emosinya dengan cara yang salah. Ia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih. Jika ia ingin mendapatkan Kenzo, ia harus memiliki strategi yang tepat. Anya bukan tipe wanita yang bisa diancam atau dipaksa. Ia sudah cukup mengenalnya untuk tahu bahwa semakin ia menekan, semakin keras Anya akan menolak. Tapi jika ia bisa membuatnya percaya bahwa kehadirannya dalam hid
Bab 47Evan melangkah melewati Chintya tanpa menoleh lagi. Rasa muaknya sudah mencapai puncak, dan ia tidak ingin membuang waktunya untuk berdebat dengan seseorang yang tidak mau menerima kenyataan. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya saat ini—Anya dan putranya, Kenzo. Saat Evan mencapai pintu, suara Saraswati kembali menggema di belakangnya, kali ini penuh dengan ancaman. "Kamu pikir kamu bisa begitu saja mengambil anak itu dari Anya? Kamu pikir dia akan memberikannya padamu begitu saja?" Evan berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Aku tidak akan mengambil Kenzo darinya. Aku hanya ingin ada di sisinya. Aku ayahnya, dan aku akan menebus waktu yang hilang." Saraswati mendengus sinis. "Kalau begitu, bersiaplah. Aku tidak akan diam saja, Evan. Aku akan memastikan anak itu tidak pernah menjadi bagian dari hidupmu!" Evan mengepalkan tangannya, menahan amarahnya agar tidak meledak. Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia membuka pintu dan melangkah keluar. *** Di sisi lain, Any
“Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments