sinopsis Anya hancur saat mengetahui dirinya hamil dari Evan, pria yang pernah berjanji akan bertanggung jawab jika hal ini terjadi. Namun, ketika Anya berusaha menghubungi Evan dan meminta pertanggungjawaban, dia dihadapkan pada penolakan keras dari ibu Evan, yang menghina dan merendahkannya. Ibu Evan bahkan menawarkan uang untuk menggugurkan kandungan Anya, menyuruhnya pergi dan tak pernah kembali. Meski terluka, Anya menolak uang tersebut dan memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri. Lima tahun kemudian, Anya yang kini seorang ibu tunggal, telah berjuang membangun hidupnya dan bekerja di sebuah perusahaan besar. Tanpa diduga, dia bertemu kembali dengan Evan, yang ternyata adalah CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Evan, yang tidak mengetahui Anya memiliki anak darinya, merasa tertarik kembali kepada wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Dalam situasi ini, Anya harus menghadapi dilema emosional antara memaafkan masa lalu atau mempertahankan jarak demi melindungi dirinya dan anaknya. Namun, kenyataan bahwa Evan adalah ayah dari anak yang selama ini ia besarkan seorang diri membuat keadaan menjadi semakin rumit. Akankah Evan mengetahui kebenaran tentang anaknya? Dan bisakah Anya memberikan kesempatan kepada Evan untuk menjadi bagian dari kehidupan mereka?
Узнайте больше“Tidak … tidak mungkin!”
Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.
Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."
Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.
Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.
Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.
Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada.
"Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.
Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bicara untuk menyelesaikan masalah ini.
Ketika sampai di rumah besar keluarga Evan, Anya sedikit gugup. Ia menekan bel dengan perasaan ragu, namun ia tahu ia harus melakukan ini.
Seorang wanita berpenampilan glamor membuka pintu. Wajahnya terlihat tidak ramah, bahkan tatapannya seolah langsung menilai Anya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Selamat malam, Bu. Apa Evan ada di rumah?" tanya Anya dengan suara lemah, mencoba tersenyum meski jelas terlihat ia sangat lelah dan sedih.
Wanita itu mengerutkan dahi dan memandang Anya dengan tatapan curiga. "Kamu siapa? Ada keperluan apa?"
Anya menarik napas dalam dan menjawab, "Sa-saya Anya, Bu. Saya teman Evan ... Saya ingin bicara sesuatu yang penting."
Tatapan wanita itu semakin dingin, bahkan ketika Anya mencoba menjabat tangannya, ia segera menarik tangannya, tidak mau bersentuhan dengan Anya.
"Evan tidak ada!" ujar wanita itu ketus. Ia hampir menutup pintu, tapi Anya dengan sigap mencegahnya.
“Saya sedang mengandung anak Evan, Bu,” kata gadis itu dengan suara bergetar.
Wanita itu terdiam sejenak, lalu mendadak tertawa sinis. "Apa katamu? Anak Evan? Jangan ngomong sembarangan!”
“Tapi, Bu—”
“Kamu pikir saya percaya pada trik murahanmu ini? Kamu pasti ingin mendapatkan perhatian dan uang dari keluarga kami. Iya kan?!” selak wanita itu kesal.
Anya menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Saya tidak bohong. Saya benar-benar sedang hamil anak Evan—"
“Jangan mimpi kamu!” sela wanita tua itu cepat. Ia mendengus dan melipat tangannya di depan dada. “Hanya perempuan murahan yang tidak jelas asal-usulnya yang akan muncul dan menebar fitnah seperti ini,” ujarnya dengan nada menghina.
Anya merasakan amarah membakar di dalam dirinya, namun ia mencoba tetap tenang. "Bu, saya hanya ingin Evan mengakui anak ini. Anak ini berhak tahu siapa ayahnya."
Mendengar hal itu, wanita tersebut semakin marah. Ia mendekat ke arah Anya dengan wajah penuh kebencian. "Saya tidak percaya satu kata pun dari mulutmu. Anak saya tidak mungkin menghamili seseorang, apalagi perempuan sepertimu!"
Anya tidak dapat menahan air matanya lagi, suaranya serak saat menjelaskan apa yang terjadi. “Tapi ini memang anak Evan, Bu. Dia yang membawaku ke kamar hotel malam itu. Dan dia berjanji akan menikahiku kalau aku hamil—”
“Itu artinya kamu yang murahan!” Wanita itu kembali menyela. “Jangan-jangan memang kamu yang menggoda anakku,” katanya sambil sinis, seakan merendahkan Anya yang tengah sedih di hadapannya.
“Bu, saya bukan wanita seperti—”
“Anakku terdidik dan punya moral, dia tidak mungkin mau dengan sampah seperti kamu!”
Anya mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri meski ingin rasanya ia mencengkeram mulut wanita berpakaian glamor dan memakai perhiasan begitu banyak di badannya itu.
“Kamu seharusnya ngaca. Lihatlah penampilanmu yang lusuh. Mana mungkin Evan bisa suka sama kamu!?”
Anya menunduk melihat penampilannya sendiri. Ia hanya mengenakan kaos dan celana panjang serta sandal jepit lusuh. Ia memang tidak sempat mengganti pakaian dengan yang lebih layak karena kalut.
Tiba-tiba wanita itu mengambil dompet dari tasnya, mengeluarkan segepok uang dan melemparkannya ke arah Anya. Beberapa lembar uang itu terjatuh di lantai.
“Itu kan yang kamu mau?” kata ibu Evan dengan senyum remeh. “Ambil uang itu dan jangan pernah ganggu anakku lagi!”
Anya merasakan matanya kembali memanas. Ia menatap wanita itu dengan penuh luka, namun ia tidak ingin harga dirinya hancur begitu saja.
Dengan suara yang bergetar, Anya berkata, "Nyonya, jangan hina aku dengan uang Anda. Saya tidak serendah itu. Saya tidak butuh uang Anda. Saya hanya ingin bayi saya diakui oleh ayahnya."
Wanita itu memutar matanya dengan kesal. "Sudah miskin, sombong lagi!" katanya sambil mendengus. “Kamu pikir saya mau mengakuinya sebagai cucu? Saya tidak sudi!”
Anya mengepalkan kedua tangan. Rahangnya tampak mengeras. Namun, ia menguatkan diri. Sudah cukup semua penghinaan yang ia terima, ia tidak ingin diinjak-injak lebih lama.
Anya lantas mengangkat dagu dan menatap ibu Evan dengan keberanian yang tersisa. "Tolong sampaikan kepada putra Anda bahwa saya akan membesarkan bayi ini seorang diri."
Tanpa menunggu jawaban, Anya membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari rumah besar itu, meninggalkan semua kata-kata kasar dan penghinaan yang dilemparkan padanya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi kuat, bukan untuk dirinya, tapi untuk anak yang ada di dalam kandungannya.
Namun, selang beberapa menit setelah kepergian Anya, sebuah mobil berhenti di depan teras. Pengemudinya turun dan tampak keheranan melihat banyak uang yang berceceran di atas lantai.
“Ada apa ini? Kenapa banyak uang yang berserakan, Ma?”
Wanita paruh baya bernama Saraswati itu lantas berkata, “Tadi dompet Mama jatuh, jadi uangnya tercecer. Ayo bantu punguti.”
Evan meragukan ucapan mamanya. Tapi melihat sang mama yang tampak tak ingin memberi penjelasan lebih lanjut, ia pun membantu mengumpulkan uang kertas berwarna merah itu.
“Persiapan untuk berangkat ke London sudah diurus semua?” Sarah bertanya pada anaknya sambil meliriknya lewat sudut mata.
“Sudah, Ma. Besok tinggal berangkat.”
“Baguslah,” sahut Sarah lega.
Dengan begitu, ia tak perlu khawatir sebab Evan tidak akan bertemu dengan gadis kampungan yang baru saja mengaku-ngaku tengah hamil anaknya.
Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men
Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih
Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Комментарии