Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif.
Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu.
Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman.
“Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.”
Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.”
Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.”
Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen di tangannya. Namun, kata-kata Chintya tadi membuat dadanya terasa sesak. Matanya mencuri pandang ke arah mereka, dan hatinya semakin kacau.
‘Jadi, dia sudah punya wanita lain,’ pikir Anya, sambil mencoba menekan rasa pahit yang muncul di dadanya.
Ia berusaha keras untuk tidak terlihat terganggu, tetapi sulit rasanya mengabaikan semua itu.
‘Pantas saja selama ini dia tidak pernah mencari keberadaanku.’ Anya tersenyum kecut mengingat fakta itu.
Mungkin bagi Evan, malam lima tahun lalu itu tidak berarti apa-apa. Dia bahkan mungkin tidak tahu, buah kejadian malam itu adalah seorang anak lucu yang Anya cintai sepenuh hati.
‘Aku akan tanggung jawab kalau kamu sampai hamil, Anya.'
Omong kosong! Ucapan Evan itu akan selalu menjadi pengingat untuk Anya, tentang kebodohan dan keluguannya yang memberikan mahkotanya yang paling berharga kepada seorang pria brengsek.
“Sial, kenapa aku selalu mengingat itu sih?” gerutu Anya yang jadi kesal sendiri. “Seharusnya aku tidak bodoh dan tidak tidur dengannya, kalau ujung-ujungnya ….” Dada Anya jadi sesak, membuat ia memutuskan untuk melupakannya sejenak. “Aku harus fokus, karena tujuan utamaku kini mencari uang untuk Kenzo.”
Anya memutuskan mengabaikan apa yang ada di depan mata, ketika Chintya akhirnya keluar dari ruangan dengan langkah gemulai, Evan mengarahkan tatapannya pada Anya.
“Kamu kenapa?” tanyanya tiba-tiba, suaranya tenang tetapi nadanya tajam.
Anya mengangkat wajahnya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Tidak ada apa-apa, Pak.”
“Benarkah?” Evan berjalan mendekat, pandangannya menusuk. “Kamu terlihat... marah. Apa interaksi tadi mengganggumu?”
Anya tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Evan akan begitu langsung menyinggung hal tersebut.
Namun, ia segera menguasai dirinya dan menjawab dengan nada tegas, “Saya rasa itu bukan urusan saya, Pak. Saya di sini untuk bekerja, jadi sebaiknya kita fokus pada pekerjaan saja.”
Evan mengangkat alisnya sedikit, seperti terkejut dengan jawaban Anya. Namun, alih-alih melanjutkan pembicaraan, ia hanya mengangguk sambil tersenyum miring.
“Baik. Kalau begitu, kita kembali ke topik utama.”
Suasana di antara mereka tetap tegang, seolah ada sesuatu yang ditahan oleh keduanya. Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut, pintu ruangan terbuka sedikit.
Chintya berdiri di sana, menyandarkan tubuhnya ke pintu dengan senyuman kecil. “Aku lupa mengambil dompetku,” ucapnya ringan. Namun, matanya dengan jelas memindai wajah Anya, penuh kecurigaan.
Anya hanya menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. Wanita itu mengambil dompetnya dari meja Evan, lalu melirik Anya sekali lagi sebelum pergi.
Evan tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia jelas merasakan suasana yang tidak nyaman. Setelah Chintya benar-benar pergi, ia kembali fokus pada pekerjaannya.
___
Anya menghela napas panjang ketika ia akhirnya tiba di rumah. Kontrakan kecil itu terasa seperti pelarian dari segala ketegangan yang ia alami sepanjang hari. Ia melepaskan sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, di mana ibunya sedang duduk bersama Kenzo.
“Sudah pulang, Nak?” tanya Sarah sambil tersenyum.
Anya mengangguk, lalu duduk di sebelah ibunya. “Iya, Bu. Maaf agak terlambat. Bagaimana hari ini?”
“Baik. Kenzo sangat bersemangat bercerita tentang sekolahnya,” jawab Sarah.
Anya menoleh ke arah anaknya, yang sedang asyik bermain dengan mainan kecil di lantai. “Kenzo, sini,” panggilnya lembut.
Kenzo berlari kecil ke pelukan Anya. “Ma, sekolah tadi seru banget!”
Anya tersenyum mendengar antusiasme anaknya. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Kenzo tiba-tiba menatapnya dengan serius.
“Ma, aku mau tanya sesuatu,” katanya pelan.
“Apa, Nak?”
“Di mana Ayahku?”
Pertanyaan itu menghantam Anya seperti petir. Ia tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”
“Tadi di sekolah, teman-temanku bilang aku nggak punya Ayah. Mereka bilang aku aneh,” jawab Kenzo dengan polos, tetapi suaranya terdengar sedih.
Anya merasakan matanya mulai panas. Ia menarik Kenzo lebih dekat dan memeluknya erat. “Jangan dengarkan mereka, Nak. Kamu anak yang hebat, dan Ibu selalu ada untukmu.”
“Tapi aku ingin tahu, Ma,” desak Kenzo. “Kenapa aku tidak punya Ayah?”
Anya terdiam, tidak bisa memberikan jawaban. Di sudut ruangan, Sarah menatap mereka dengan tatapan penuh belas kasih, tetapi ia tidak ikut campur.
Saat suasana semakin hening, ponsel Anya tiba-tiba berdering. Ia menghela napas dan mengambil ponselnya dari dalam tas.
Nomor tak dikenal.
Anya ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab. “Halo?”
Suara di ujung telepon membuat tubuhnya menegang. “Ini aku.”
Suara itu dingin, tetapi jelas.
Itu Evan.
Anya merasakan darahnya berdesir. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Besok pagi, datang ke ruanganku. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan,” lanjut Evan tanpa basa-basi.
Anya menggenggam ponselnya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. “Baik, Pak.”
Telepon terputus, tetapi pikiran Anya justru semakin berputar. Ada apa sebenarnya? Apa yang ingin Evan bicarakan dengannya?
Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d
Ray mengetuk pintu ruang kerja Evan dengan ragu. Setelah mendapat izin masuk, ia membawa sebuah map berisi laporan yang harus ditandatangani. Namun, sebelum Ray sempat berbicara, Evan mengangkat tangan, menyuruhnya diam. "Ray, tinggalkan laporan itu di meja," perintah Evan sambil melipat tangan di depan dadanya. Ray menuruti tanpa banyak bicara, tetapi raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Biasanya, Evan akan langsung menandatangani laporan atau memberi arahan. Namun kali ini, suasana di ruangan terasa berbeda, penuh ketegangan yang sulit dijelaskan. "Ray," panggil Evan setelah beberapa saat diam. "Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang perlu kau lakukan untukku." "Ya, Pak? Apa itu ?" Ray berdiri tegak, mencoba menahan rasa gugup. Evan memandang Ray dengan serius. "Panggil Anya ke ruangan saya. Pastikan dia datang segera." Ray mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia bertanya-tanya. Anya adalah karyawan baru, dan ini bukan kali pertama Evan memintanya untuk melakukan hal yang tida
Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega
“Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica
Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. "Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu
Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It
Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber
Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega
Ray mengetuk pintu ruang kerja Evan dengan ragu. Setelah mendapat izin masuk, ia membawa sebuah map berisi laporan yang harus ditandatangani. Namun, sebelum Ray sempat berbicara, Evan mengangkat tangan, menyuruhnya diam. "Ray, tinggalkan laporan itu di meja," perintah Evan sambil melipat tangan di depan dadanya. Ray menuruti tanpa banyak bicara, tetapi raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Biasanya, Evan akan langsung menandatangani laporan atau memberi arahan. Namun kali ini, suasana di ruangan terasa berbeda, penuh ketegangan yang sulit dijelaskan. "Ray," panggil Evan setelah beberapa saat diam. "Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang perlu kau lakukan untukku." "Ya, Pak? Apa itu ?" Ray berdiri tegak, mencoba menahan rasa gugup. Evan memandang Ray dengan serius. "Panggil Anya ke ruangan saya. Pastikan dia datang segera." Ray mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia bertanya-tanya. Anya adalah karyawan baru, dan ini bukan kali pertama Evan memintanya untuk melakukan hal yang tida
Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d
Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen
Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber
Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It
Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. "Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu
“Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica