Share

Bab 7. Privasi

Author: Bulandari f
last update Last Updated: 2024-12-20 23:42:03

Bab 7

Anya duduk di meja kerjanya dengan wajah masam. Tumpukan berkas yang baru saja diletakkan Evan terasa seperti gunung yang mustahil didaki. Ia memandang dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk: marah, kesal, dan putus asa.

"Dia benar-benar gila!" gerutunya pelan sambil menatap tumpukan itu. "Tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia menyuruhku menyelesaikan semuanya dalam satu hari? Apa dia pikir aku robot?"

Tangannya mulai membuka dokumen satu per satu, meskipun pikirannya penuh dengan sumpah serapah untuk pria yang kini berada di ruangannya. Anya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Evan selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita.

Sementara itu, di ruangan lain, Evan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya tertuju pada layar komputer di depannya, yang memperlihatkan aktivitas Anya melalui kamera pengawas. Ia melihat bagaimana wanita itu berkutat dengan berkas-berkasnya, bibirnya bergerak seolah-olah sedang mengumpat.

Evan tersenyum kecil. "Dasar keras kepala," gumamnya.

Roy, asisten pribadinya, masuk ke ruangan membawa sebuah tablet. “Evan, ini laporan yang tadi Anda minta. Tapi, serius, apa kita tidak pulang sekarang? Sudah larut malam.”

Evan menatap Roy sekilas, lalu kembali ke layar komputer. “Aku belum selesai bekerja.”

Roy mendesah pelan. “Dan karyawan baru itu? Apa kamu benar-benar membiarkan dia mengerjakan semua berkas itu sendirian? Bukankah itu terlalu berlebihan? Lagipula, dia karyawan baru. Mungkin keluarganya sedang menunggunya di rumah.”

Evan memutar kursinya menghadap Roy. Wajahnya tetap dingin. “Biarkan saja. Aku ingin melihat sejauh mana dia bisa bertahan.”

Roy mengerutkan dahi, tetapi ia tidak berani membantah lebih jauh. Ia tahu betul bagaimana keras kepala bosnya itu.

"Dia harus diberikan pelajaran, siapa suruh pernah mempermainkan ku," ucap Evan yang tidak sadar, membuat Roy membulatkan matanya dan berkata, "Apa Evan? Apa sebelumnya kamu dan Anya pernah ada hubungan, Evan?"

"Kamu terlalu banyak ingin tahu urusanku, Roy. Diam lah, aku sedang tidak ingin diganggu!"

Roy akhirnya diam dan tetap menunggu Evan mengawasi Anya dari layar monitor laptopnya.

Di tempatnya, Anya terus bekerja meskipun rasa lelah mulai menghantamnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi tumpukan berkas di depannya masih terlihat seperti tidak berkurang. Satu per satu rekan kerjanya mulai pulang.

"Anya, apa kamu belum mau pulang?" tanya seorang rekan kerja yang melintas.

Anya mendongak dengan senyum lelah. “Aku harus menyelesaikan ini semua sebelum pulang.”

Rekan kerjanya mengerutkan dahi. “Tapi sudah malam, loh. Semua orang sudah pulang. Kamu yakin tidak apa-apa?”

“Aku tidak punya pilihan,” jawab Anya, mencoba terdengar ringan meskipun hatinya terasa berat.

Setelah rekan kerjanya pergi, Anya menghela napas panjang. Matanya kembali tertuju pada dokumen-dokumen itu. “Dasar Evan. Kalau ini caranya menunjukkan kuasa, dia benar-benar brengsek.”

Kembali ke Evan yang masih fokus memperhatikan Anya. "Apa kamu pikir aku akan kasihan ke kamu, Anya? Enggak Anya, aku tidak akan berhenti sampai kamu menyerah dan memohon ampun padaku," kata Evan di dalam hatinya.

Namun, Roy, yang masih berada di ruangan itu, tidak bisa menahan diri untuk bersuara lagi. “Evan, ini tidak benar. Dia sudah bekerja sejak pagi. Kalau Anda terus begini, dia bisa sakit.”

Evan melirik Roy dengan ekspresi datar. “Kamu tidak mengerti, Roy. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa melawan.”

“Melawan apa? Anda ingin dia melawan Anda secara langsung?” Roy tampak bingung.

Evan tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap layar komputer, memperhatikan bagaimana Anya terus bekerja meskipun terlihat frustrasi.

Di meja kerjanya, Anya menutup sebuah dokumen dengan keras. “Ini benar-benar tidak masuk akal!” gumamnya dengan nada marah. Ia melirik jam di dinding, yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Perutnya keroncongan, tetapi ia tidak punya waktu untuk makan.

“Kalau aku selesai, aku akan memastikan pria itu tahu betapa aku membencinya,” bisiknya dengan penuh tekad.

Evan, yang mendengar gumaman Anya melalui mikrofon kecil di kamera, tersenyum tipis. “Benci? Bagus. Benci saja aku. Tapi aku ingin lihat sampai di mana kamu bisa bertahan,” gumamnya pelan.

Anya terus bekerja hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kini, ia benar-benar sendirian di kantor. Semua lampu ruangan lain sudah dimatikan, hanya area mejanya yang masih terang.

Tiba-tiba, suara langkah kaki membuatnya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Roy berdiri di depannya dengan ekspresi prihatin.

“Anya, kamu tidak pulang?” tanya Roy dengan nada lembut.

Anya tersenyum pahit. “Tidak bisa, Pak Roy. Bapak Evan bilang semua ini harus selesai hari ini juga.”

Roy menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar saya bantu sedikit. Kamu tidak mungkin mengerjakan semuanya sendirian.”

Anya menatap Roy dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya tidak ingin Anda ikut dimarahi hanya karena membantu saya.”

Roy menggeleng pelan. “Aku sudah tahu bagaimana Evan. Dia memang suka menguji orang. Tapi kamu juga harus menjaga kesehatanmu, Anya.”

Meskipun merasa terharu, Anya tetap menolak bantuan Roy. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya bisa mengatasinya. Saya tidak mau dianggap lemah.”

Roy tersenyum tipis, lalu meninggalkan Anya sendirian. Dalam perjalanan keluar, ia kembali ke ruangan Evan. “Dia masih bekerja,” lapornya.

Evan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Roy menggelengkan kepala, lalu berkata, “Kalau begitu, saya pulang dulu. Jangan terlalu lama di sini, Evan.”

Setelah Roy pergi, Evan memutuskan untuk mematikan layar komputernya. Ia berdiri, mengambil jasnya, dan berjalan menuju meja Anya.

Ketika Anya melihat Evan mendekat, ia menghentikan pekerjaannya dan menatapnya tajam. “Apa yang Anda inginkan sekarang?” tanyanya dengan nada dingin.

Evan menatapnya sebentar sebelum berkata, “Sudah hampir tengah malam. Kenapa kamu masih di sini?”

Anya melotot. “Karena Anda yang menyuruh saya menyelesaikan semua ini, Pak.”

Evan tersenyum miring. "Dasar bodoh, bahkan setelah kamu berhasil menyelesaikan semuanya. Itu tidak berarti untukku. karena semua berkas itu tidak berguna."

"Maksudnya?" Anya yang penasaran segera menatap ke bagian tanggal pembuatan dokumen. "Tahun 2000, apa kamu sengaja mengerjai ku, Evan?" tanyanya Anya sedikit gusar.

"Bersikap sopan lah padaku, kalau tidak ingin ini menjadi hari terakhir mu!"

Anya yang kesal sampai mengepalkan tangannya, tidak terbayangkan dibenak nya seberapa banyak waktunya habis untuk hal yang tidak berguna lagi.

"Ini memang benar-benar kelewatan, Evan!" bola mata Anya melotot menatap gusar ke Evan, namun Evan acuh dan memilih meninggalkan Anya sendiri.

"Kamu kurang ajar, Evan. Ini gak lucu!" teriak Anya pada Evan yang sudah berjalan mendahului Anya. Namun, Evan sempat menoleh ke belakang dan berkata, "Jam sekarang biasanya banyak yang berkeliaran, Anya!"

Anya mendadak menoleh sekitar, tempat itu sudah begitu sepi dan hanya ada dirinya seorang. "Evan, tunggu aku!"

bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 8. Bos ku mantan kekasihku

    Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega

    Last Updated : 2024-12-21
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 9. Gejolak Hati Evan

    Bab 9 Gejolak Hati EvanMalam itu, Evan berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak tenang. Wajah Anya terus terbayang di benaknya, terutama saat ia melihat Anya bersama pria yang menjemputnya di depan gedung kantor tadi malam. Ada sesuatu yang mengusik hati Evan—campuran antara rasa penasaran dan kecemburuan yang tak ia pahami sepenuhnya. “Siapa dia?” gumam Evan pada dirinya sendiri. “Apa dia suaminya? Tapi di data lamaran kerjanya, statusnya masih single.” Bayangan Anya tersenyum pada pria itu membuat dadanya terasa panas. Evan memutar kembali ingatannya ke beberapa minggu lalu, ketika ia secara tidak sengaja melihat Anya bersama seorang anak kecil di taman dekat kantornya. Anak itu berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam legam dan wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat familiar. “Anya tidak punya adik lagi. Jadi, siapa anak itu?” pikir Evan. “Apa mungkin itu anaknya?” Evan mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi rasa penasaran itu terlalu

    Last Updated : 2024-12-23
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 10. Rahasia yang Terungkap

    Bab 10Rahasia yang TerungkapPagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat bagi Anya. Ia mulai merasakan bahwa kehadirannya di dekat Evan selalu membawa situasi canggung. Namun, pekerjaan tetap harus diselesaikan, dan ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terganggu. Sementara itu, di ruang kerja Evan, Chintya berdiri di depan meja pria itu. Mata Chintya memperhatikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi sibuk mengetik di laptopnya, tetapi sesekali matanya melirik ke arah pintu, seolah menunggu seseorang masuk. "Kenapa kamu terus melihat pintu, Evan?" tanya Chintya dengan nada penasaran. Evan berhenti mengetik dan mengangkat bahunya. "Enggak, aku cuma memastikan tidak ada gangguan." Chintya memiringkan kepala, menatap Evan dengan curiga. "Kamu yakin? Aku rasa kamu menunggu seseorang." Evan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. "Kamu terlalu berlebihan, Chintya. Aku cuma fokus bekerja." Namun, Chintya tidak mudah percaya. Ia tahu ada sesuatu yan

    Last Updated : 2024-12-24
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   11

    Bab 11. keceplosan yang menimbulkan tanda tanya Chintya pulang dengan wajah masam. Langkahnya tergesa menuju ruang keluarga di mana Nyonya Rita sedang duduk santai, memperhatikan kuku jentiknya yang baru dihias. Tanpa banyak bicara, Chintya langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah ibunya. Rita melirik putrinya sejenak, lalu bertanya dengan nada santai, “Kamu kenapa, Nak? Kenapa pulang-pulang cemberut seperti itu?” Chintya mendesah panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada. “Aku kesal, Ma.” Rita mengerutkan kening. “Kesal kenapa? Cerita dong, Sayang.” “Itu si Evan, Ma!” Chintya mulai bicara dengan nada penuh emosi. “Ternyata dia punya hubungan masa lalu dengan salah satu karyawannya. Kurang ajar kan, Ma?"Rita menghentikan kegiatannya memperhatikan kuku, lalu menatap Chintya dengan penuh perhatian. “Maksud kamu apa? Mantan pacarnya Evan kerja di perusahaan Evan?” Chintya mengangguk dengan ekspresi cemberut. “Iya, Ma. Bisa bayangkan nggak? Mantan pacarnya ada di sek

    Last Updated : 2024-12-25
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   bab 12

    Evan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia butuh jawaban kenapa Anya berubah padanya, sehingga Evan memutuskan untuk menemui Anya saat itu juga. Tidak peduli akan ia yang masih merasa lelah karena habis pulang kerja. “Aku harus mendatangi Anya ke rumahnya,” kata Evan penuh dengan tekat. Sedangkan Chintya tidak beranjak dari posisinya sedari tadi, dia masih duduk dan berbicara dengan Sarah mamanya Evan. “Ma, aku gak ngerti kenapa Evan selalu begini. Dia gak pernah peduli sama aku, apalagi pernikahan ini. Kita tinggal sebulan lagi, tapi dia bahkan gak mau ikut urus persiapannya. Apa dia benar-benar serius menikah denganku?” suara Chintya bergetar, antara marah dan putus asa. Sarah menghela napas panjang, menyesap teh hangatnya sebelum menatap Chintya dengan pandangan lembut. “Sayang, Evan itu cuma lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan pekerjaannya berat? Dia pasti capek. Coba kamu lebih pengertian.” “Pengertian?” Chintya mendengus, melipat tangannya dengan kesal. “Aku sudah cukup pen

    Last Updated : 2024-12-26
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 13. Masa lalu yang menyakitkan

    Evan menginjak pedal gas lebih keras dari biasanya. Sepanjang perjalanan pulang, gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. "Kurang ajar! Kenapa bisa ada Chintya segala di sana? Apa dia sengaja mengikutiku? Kenapa dia selalu ikut campur urusanku?" tangannya mengepal keras pada setir mobil, lalu dengan frustrasi memukulnya. Suara dentingan klakson mobil yang tidak sengaja tertekan membuat orang-orang di sekitarnya menoleh, tapi Evan tidak peduli.Niat awalnya untuk bicara dengan Anya berubah menjadi kekacauan. Anya tidak sempat memberi penjelasan, dan Chintya justru membuat situasi semakin rumit. Bayangan wajah Anya yang terkejut dan wajah Chintya yang penuh amarah bercampur menjadi satu di kepalanya. Evan merasa sesak.Saat tiba di rumah, ia menghempaskan pintu mobil dengan kasar dan berjalan masuk dengan langkah berat. Namun, sebelum ia sempat mencapai kamarnya, suara ibunya, Sarah, menghentikan langkahnya."Evan! Kamu dari mana saja?!" Sarah berdiri di ruang tamu dengan wajah pen

    Last Updated : 2024-12-27
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 14. Kenapa dia yang marah padaku

    Pagi itu, Anya masih duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Kenzo yang tertidur pulas. Mata kecil anak itu terpejam dengan tenang, sementara napasnya teratur. Anya merapikan selimut yang menutupi tubuh mungilnya sambil bergumam pelan, “Kalau bukan karena kamu, Kenzo, mungkin Mama sudah menyerah.” Namun, pagi yang damai itu ternoda oleh rasa malas yang terus menghantui. Anya melirik jam dinding, sudah hampir pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Ia belum bersiap sama sekali. Pikirannya dipenuhi konflik batin yang tidak kunjung reda. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, bersiap dan pergi bekerja. Tapi, bayangan bertemu dengan Evan, mantan kekasihnya sekaligus bos di tempat kerjanya, membuat tubuhnya seolah kehilangan energi. "Apa aku bisa skip aja kerja hari ini?" Anya membatin. Namun, ia juga sadar, hal itu tidak mungkin. Baru saja dua minggu ia bekerja di perusahaan itu, dan izin tanpa alasan jelas sama saja dengan mengundang masalah. “Libur gak yah? Kalau kerja pasti akan ketemu den

    Last Updated : 2024-12-28
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 15.

    Anya berjalan dengan langkah berat menuju ruangannya. Pikiran tentang Evan dan semua masalah yang terjadi pagi ini terus berkecamuk di kepalanya. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia merasakan rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. “Lepaskan rambutku!” teriak Anya, berbalik dengan marah. Di hadapannya berdiri dua wanita. Salah satunya, yang lebih muda, memandangnya dengan penuh kebencian, Chintya. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, terlihat angkuh dengan tatapan tajam. Namun sebelum Anya sempat berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Anya mundur selangkah, memegang pipinya yang terasa panas. “Eh, Nyonya, kenapa kamu menamparku? Apa salahku, ha?!” kata Anya dengan suara bergetar, antara marah dan bingung. Wanita yang lebih tua itu, yang ternyata adalah ibu Chintya, Rita, menatap Anya dengan ekspresi penuh penghinaan. “Kamu bertanya apa salahmu? Hah! Kamu sudah mengganggu calon menantuku!” Anya mengerutkan kening, kebingungan. “Menan

    Last Updated : 2024-12-29

Latest chapter

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 101

    Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   bab

    Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 99.. Anya

    Bab 99..Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Tapi tidak ada yang bisa meredam semangat Evan untuk menyelesaikan semua urusannya secepat mungkin. Di pikirannya hanya satu: menemui Anya. Namun sayang, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Meeting penting dengan salah satu calon klien terbesar perusahaan, Pak Alex, memaksa Evan tetap tinggal di kantor. Evan mengenakan jas biru tua dengan dasi perak yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya kusut. Ia masuk ke ruang meeting besar di lantai sembilan, tempat semua petinggi perusahaan akan berkumpul. Roy sudah ada di sana, duduk di ujung meja dan sibuk dengan laptop serta berkas-berkas presentasi.Roy bangkit dan menghampiri Evan begitu pria itu duduk. “Kalau menurut data dan informasi yang aku terima Evan, Pak Alex ini sangat kompetitif dalam memilih perusahaan untuk proyek ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menyusun semua proposal dan data kerja sama yang solid. Kita unggul dari sisi efisiensi biaya dan k

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 98 - Di Balik Harapan yang Retak

    Bab 98 - Di Balik Harapan yang RetakMalam itu, angin menerobos masuk lewat celah jendela kamar Anya yang tak sepenuhnya tertutup. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi hasil cek hormon yang masih diletakkan di atas meja. Helaan napasnya berat, seperti beban yang ditarik dari dasar dadanya.Ia mendongak, menatap langit-langit kamar. “Apa semua ini pantas aku alami?” bisiknya lirih.Kepalanya masih berat oleh kejadian tadi sore. Tatapan Evan yang penuh kecurigaan, tuduhan tanpa bukti, dan luka lama yang digali lagi tanpa ampun. Anya merasa dirinya seperti kaca yang jatuh berkali-kali—retak, pecah, dan tak pernah benar-benar utuh lagi.Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Evan."Maaf… Aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Anya."Anya menatap layar itu lama. Tangannya sempat gemetar, tapi ia tak membalas. Hatinya terlalu lelah untuk menanggapi seseorang yang hanya datang ketika merasa bersalah, bukan karena ingin memperbaiki."Maaf tidak bisa merubah keadaan. Terkecuali kemb

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 97 - Jejak Luka yang Menganga

    Bab 97 - Jejak Luka yang MengangaEvan masih duduk di balik kemudi mobilnya, memandangi klinik yang kini seolah menelannya bulat-bulat. Detik demi detik berlalu seperti tetes air yang menghantam kesabarannya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya liar menebak-nebak apa yang sedang terjadi di dalam ruangan berwarna putih itu.“Kenapa selama ini aku tidak cukup untuknya?” gumamnya lirih, setengah bertanya pada takdir yang ia sendiri tak mampu pahami.Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Langkah kaki yang dinanti itu akhirnya terdengar. Evan segera menunduk, bersembunyi di balik kemudi sambil melirik melalui kaca spion. Napasnya tertahan ketika melihat Anya berjalan berdampingan dengan Nathan, menggenggam selembar kertas hasil pemeriksaan.Evan mengepalkan tangan. “Apa itu... hasil USG?” pikirnya, mencoba membaca ekspresi mereka. Nathan terlihat tenang, sementara Anya... senyum tipis itu membuat Evan serasa ditikam berkali-kali."Apa benar... dia sedang hamil? Dan Nathan yang menjadi ayah dar

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab. 96 - Luka yang Tak Kunjung Sembuh

    Bab 96 - Luka yang Tak Kunjung Sembuh Sarah terdiam. Matanya berkaca-kaca menyaksikan amarah putrinya yang meluap seperti bendungan jebol. Ia tahu betul, Anya sudah terlalu lama memendam luka. Luka yang terus digores oleh mereka yang mengaku mencintai, tapi justru mengambil segalanya. “Anya... cukup, Nak. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus membenci,” ucap Sarah lembut, tapi penuh ketegasan. Ia menggenggam bahu Anya, mencoba menenangkannya. Namun Anya menepis pelan tangan ibunya. Air matanya mengalir deras. “Bagaimana bisa aku memaafkan, Ma? Dia ambil Kenzo dariku! Sekarang bahkan pekerjaanku pun dia halangi. Apa Evan pikir dia Tuhan yang bisa mengatur segalanya?” Suara Anya meninggi. Napasnya memburu. Wajahnya merah karena amarah yang meluap. Sarah menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan saatnya menasihati panjang lebar. Tapi ia juga tahu, membiarkan Anya terbakar dalam dendam hanya akan menghancurkannya lebih dalam. “Evan memang salah... sangat salah. Tapi kamu j

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 95. Kemarahan Anya

    Bab 95"Aku tidak bisa membiarkan ini, Evan sudah benar-benar kelewatan," ujarnya menggerutu. setelah Anya mendapat kabar penolakan dari perusahaan tempat di mana ia hendak menjatuhkan lamaran. Tapi sayangnya Evan justru meminta asistennya Roy untuk mengawasi setiap gerak gerik Anya. Sampai-sampai Evan bisa menolak lamaran kerja Anya, sekalipun itu tidak berada di perusahaan Evan sendiri. "Aku tidak akan memaafkanmu Evan," lanjut ujar Anya. Sangking kesalnya, Anya memutuskan untuk menemui Evan hari itu juga. Sampai ia berangkat ke perusahaan Evan. Tapi sayangnya setibanya di perusahaan Evan, Anya justru tidak bisa bertemu dengan Evan. Kata mereka para pegawai Evan, Evan sedang keluar kantor. Anya awalnya tidak percaya, sampai ia mencari keberadaan mobil Evan di parkiran. Tapi benar saja, Anya tidak menemukan adanya mobil Evan. "Mungkinkah Evan keluar? Terus, aku harus bagaimana? Masak iya aku harus menemui Evan di rumahnya? Malas ah ketemu dengan dua wanita yang menyebalkan itu,"

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 94 – Kebenaran yang Terungkap

    Bab 94 – Kebenaran yang TerungkapLangit mendung menggantung rendah di atas gedung tinggi Sanjaya Grup saat Anya dan Dewi tiba di lobi utama. Perasaan harap dan gugup bercampur dalam dada Anya, sementara Dewi tampak optimis dan percaya diri. Mereka berdua melangkah menuju lantai tempat kantor HRD berada.“Tenang saja, Anya,” bisik Dewi saat mereka memasuki ruangan. “Aku sudah bilang ke mereka soal kamu. Mereka bahkan tampak tertarik.”Namun, saat Dewi menyampaikan kedatangan mereka kepada resepsionis, ekspresi ramah yang semula terpancar di wajah staf tersebut berubah menjadi kaku.“Satu momen, saya panggilkan Ibu Sisca dari HRD,” ujar staf tersebut dengan suara datar.Tak lama kemudian, Sisca—wanita paruh baya dengan raut wajah tegas dan pakaian formal rapi—muncul dari balik pintu kaca. Dewi langsung berdiri dan menyambutnya dengan senyum.“Selamat pagi, Bu Sisca. Ini Anya, teman saya yang ingin saya rekomendasikan. Dia sangat kompeten dan—”Namun, Sisca mengangkat tangannya, memoton

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 93 – Penolakan yang Mencurigakan

    Bab 93 – Penolakan yang Mencurigakan Dewi berdiri dengan gelisah di ruang HRD Sanjaya Grup. Ia baru saja menyerahkan dokumen lamaran milik Anya dan berharap prosesnya akan berjalan lancar. Salah satu staf HRD, Sisca, sedang membaca berkas lamaran itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Beberapa detik kemudian, Sisca menatap Dewi dengan pandangan serius. “Maaf, Bu Dewi, tapi sepertinya kami tidak bisa menerima lamaran dari saudari Anya.” Dewi mengerutkan kening. “Maaf? Maksudnya, kenapa? Bukankah kalian sedang butuh tambahan staf? Anya punya latar belakang kerja yang bagus. Dia sangat bersemangat untuk bekerja.” Sisca tampak sedikit canggung, tetapi ia tetap menjaga profesionalitasnya. “Kami merasa... Anya tidak sesuai dengan kriteria calon karyawan yang sedang kami cari.” “Apa maksudmu dengan 'tidak sesuai kriteria'?” tanya Dewi dengan nada heran. “Kalian bahkan belum mewawancarainya. Bagaimana bisa kalian tahu dia tidak cocok?” Sisca menunduk sebentar, lalu menatap Dewi dengan s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status