Bab 7
Anya duduk di meja kerjanya dengan wajah masam. Tumpukan berkas yang baru saja diletakkan Evan terasa seperti gunung yang mustahil didaki. Ia memandang dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk: marah, kesal, dan putus asa. "Dia benar-benar gila!" gerutunya pelan sambil menatap tumpukan itu. "Tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia menyuruhku menyelesaikan semuanya dalam satu hari? Apa dia pikir aku robot?" Tangannya mulai membuka dokumen satu per satu, meskipun pikirannya penuh dengan sumpah serapah untuk pria yang kini berada di ruangannya. Anya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Evan selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita. Sementara itu, di ruangan lain, Evan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya tertuju pada layar komputer di depannya, yang memperlihatkan aktivitas Anya melalui kamera pengawas. Ia melihat bagaimana wanita itu berkutat dengan berkas-berkasnya, bibirnya bergerak seolah-olah sedang mengumpat. Evan tersenyum kecil. "Dasar keras kepala," gumamnya. Roy, asisten pribadinya, masuk ke ruangan membawa sebuah tablet. “Evan, ini laporan yang tadi Anda minta. Tapi, serius, apa kita tidak pulang sekarang? Sudah larut malam.” Evan menatap Roy sekilas, lalu kembali ke layar komputer. “Aku belum selesai bekerja.” Roy mendesah pelan. “Dan karyawan baru itu? Apa kamu benar-benar membiarkan dia mengerjakan semua berkas itu sendirian? Bukankah itu terlalu berlebihan? Lagipula, dia karyawan baru. Mungkin keluarganya sedang menunggunya di rumah.” Evan memutar kursinya menghadap Roy. Wajahnya tetap dingin. “Biarkan saja. Aku ingin melihat sejauh mana dia bisa bertahan.” Roy mengerutkan dahi, tetapi ia tidak berani membantah lebih jauh. Ia tahu betul bagaimana keras kepala bosnya itu. "Dia harus diberikan pelajaran, siapa suruh pernah mempermainkan ku," ucap Evan yang tidak sadar, membuat Roy membulatkan matanya dan berkata, "Apa Evan? Apa sebelumnya kamu dan Anya pernah ada hubungan, Evan?" "Kamu terlalu banyak ingin tahu urusanku, Roy. Diam lah, aku sedang tidak ingin diganggu!" Roy akhirnya diam dan tetap menunggu Evan mengawasi Anya dari layar monitor laptopnya. Di tempatnya, Anya terus bekerja meskipun rasa lelah mulai menghantamnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi tumpukan berkas di depannya masih terlihat seperti tidak berkurang. Satu per satu rekan kerjanya mulai pulang. "Anya, apa kamu belum mau pulang?" tanya seorang rekan kerja yang melintas. Anya mendongak dengan senyum lelah. “Aku harus menyelesaikan ini semua sebelum pulang.” Rekan kerjanya mengerutkan dahi. “Tapi sudah malam, loh. Semua orang sudah pulang. Kamu yakin tidak apa-apa?” “Aku tidak punya pilihan,” jawab Anya, mencoba terdengar ringan meskipun hatinya terasa berat. Setelah rekan kerjanya pergi, Anya menghela napas panjang. Matanya kembali tertuju pada dokumen-dokumen itu. “Dasar Evan. Kalau ini caranya menunjukkan kuasa, dia benar-benar brengsek.” Kembali ke Evan yang masih fokus memperhatikan Anya. "Apa kamu pikir aku akan kasihan ke kamu, Anya? Enggak Anya, aku tidak akan berhenti sampai kamu menyerah dan memohon ampun padaku," kata Evan di dalam hatinya. Namun, Roy, yang masih berada di ruangan itu, tidak bisa menahan diri untuk bersuara lagi. “Evan, ini tidak benar. Dia sudah bekerja sejak pagi. Kalau Anda terus begini, dia bisa sakit.” Evan melirik Roy dengan ekspresi datar. “Kamu tidak mengerti, Roy. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa melawan.” “Melawan apa? Anda ingin dia melawan Anda secara langsung?” Roy tampak bingung. Evan tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap layar komputer, memperhatikan bagaimana Anya terus bekerja meskipun terlihat frustrasi. Di meja kerjanya, Anya menutup sebuah dokumen dengan keras. “Ini benar-benar tidak masuk akal!” gumamnya dengan nada marah. Ia melirik jam di dinding, yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Perutnya keroncongan, tetapi ia tidak punya waktu untuk makan. “Kalau aku selesai, aku akan memastikan pria itu tahu betapa aku membencinya,” bisiknya dengan penuh tekad. Evan, yang mendengar gumaman Anya melalui mikrofon kecil di kamera, tersenyum tipis. “Benci? Bagus. Benci saja aku. Tapi aku ingin lihat sampai di mana kamu bisa bertahan,” gumamnya pelan. Anya terus bekerja hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kini, ia benar-benar sendirian di kantor. Semua lampu ruangan lain sudah dimatikan, hanya area mejanya yang masih terang. Tiba-tiba, suara langkah kaki membuatnya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Roy berdiri di depannya dengan ekspresi prihatin. “Anya, kamu tidak pulang?” tanya Roy dengan nada lembut. Anya tersenyum pahit. “Tidak bisa, Pak Roy. Bapak Evan bilang semua ini harus selesai hari ini juga.” Roy menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar saya bantu sedikit. Kamu tidak mungkin mengerjakan semuanya sendirian.” Anya menatap Roy dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya tidak ingin Anda ikut dimarahi hanya karena membantu saya.” Roy menggeleng pelan. “Aku sudah tahu bagaimana Evan. Dia memang suka menguji orang. Tapi kamu juga harus menjaga kesehatanmu, Anya.” Meskipun merasa terharu, Anya tetap menolak bantuan Roy. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya bisa mengatasinya. Saya tidak mau dianggap lemah.” Roy tersenyum tipis, lalu meninggalkan Anya sendirian. Dalam perjalanan keluar, ia kembali ke ruangan Evan. “Dia masih bekerja,” lapornya. Evan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Roy menggelengkan kepala, lalu berkata, “Kalau begitu, saya pulang dulu. Jangan terlalu lama di sini, Evan.” Setelah Roy pergi, Evan memutuskan untuk mematikan layar komputernya. Ia berdiri, mengambil jasnya, dan berjalan menuju meja Anya. Ketika Anya melihat Evan mendekat, ia menghentikan pekerjaannya dan menatapnya tajam. “Apa yang Anda inginkan sekarang?” tanyanya dengan nada dingin. Evan menatapnya sebentar sebelum berkata, “Sudah hampir tengah malam. Kenapa kamu masih di sini?” Anya melotot. “Karena Anda yang menyuruh saya menyelesaikan semua ini, Pak.” Evan tersenyum miring. "Dasar bodoh, bahkan setelah kamu berhasil menyelesaikan semuanya. Itu tidak berarti untukku. karena semua berkas itu tidak berguna." "Maksudnya?" Anya yang penasaran segera menatap ke bagian tanggal pembuatan dokumen. "Tahun 2000, apa kamu sengaja mengerjai ku, Evan?" tanyanya Anya sedikit gusar. "Bersikap sopan lah padaku, kalau tidak ingin ini menjadi hari terakhir mu!" Anya yang kesal sampai mengepalkan tangannya, tidak terbayangkan dibenak nya seberapa banyak waktunya habis untuk hal yang tidak berguna lagi. "Ini memang benar-benar kelewatan, Evan!" bola mata Anya melotot menatap gusar ke Evan, namun Evan acuh dan memilih meninggalkan Anya sendiri. "Kamu kurang ajar, Evan. Ini gak lucu!" teriak Anya pada Evan yang sudah berjalan mendahului Anya. Namun, Evan sempat menoleh ke belakang dan berkata, "Jam sekarang biasanya banyak yang berkeliaran, Anya!" Anya mendadak menoleh sekitar, tempat itu sudah begitu sepi dan hanya ada dirinya seorang. "Evan, tunggu aku!" bersambungBab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega
Bab 9 Gejolak Hati EvanMalam itu, Evan berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak tenang. Wajah Anya terus terbayang di benaknya, terutama saat ia melihat Anya bersama pria yang menjemputnya di depan gedung kantor tadi malam. Ada sesuatu yang mengusik hati Evan—campuran antara rasa penasaran dan kecemburuan yang tak ia pahami sepenuhnya. “Siapa dia?” gumam Evan pada dirinya sendiri. “Apa dia suaminya? Tapi di data lamaran kerjanya, statusnya masih single.” Bayangan Anya tersenyum pada pria itu membuat dadanya terasa panas. Evan memutar kembali ingatannya ke beberapa minggu lalu, ketika ia secara tidak sengaja melihat Anya bersama seorang anak kecil di taman dekat kantornya. Anak itu berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam legam dan wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat familiar. “Anya tidak punya adik lagi. Jadi, siapa anak itu?” pikir Evan. “Apa mungkin itu anaknya?” Evan mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi rasa penasaran itu terlalu
Bab 10Rahasia yang TerungkapPagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat bagi Anya. Ia mulai merasakan bahwa kehadirannya di dekat Evan selalu membawa situasi canggung. Namun, pekerjaan tetap harus diselesaikan, dan ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terganggu. Sementara itu, di ruang kerja Evan, Chintya berdiri di depan meja pria itu. Mata Chintya memperhatikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi sibuk mengetik di laptopnya, tetapi sesekali matanya melirik ke arah pintu, seolah menunggu seseorang masuk. "Kenapa kamu terus melihat pintu, Evan?" tanya Chintya dengan nada penasaran. Evan berhenti mengetik dan mengangkat bahunya. "Enggak, aku cuma memastikan tidak ada gangguan." Chintya memiringkan kepala, menatap Evan dengan curiga. "Kamu yakin? Aku rasa kamu menunggu seseorang." Evan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. "Kamu terlalu berlebihan, Chintya. Aku cuma fokus bekerja." Namun, Chintya tidak mudah percaya. Ia tahu ada sesuatu yan
Bab 11. keceplosan yang menimbulkan tanda tanya Chintya pulang dengan wajah masam. Langkahnya tergesa menuju ruang keluarga di mana Nyonya Rita sedang duduk santai, memperhatikan kuku jentiknya yang baru dihias. Tanpa banyak bicara, Chintya langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah ibunya. Rita melirik putrinya sejenak, lalu bertanya dengan nada santai, “Kamu kenapa, Nak? Kenapa pulang-pulang cemberut seperti itu?” Chintya mendesah panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada. “Aku kesal, Ma.” Rita mengerutkan kening. “Kesal kenapa? Cerita dong, Sayang.” “Itu si Evan, Ma!” Chintya mulai bicara dengan nada penuh emosi. “Ternyata dia punya hubungan masa lalu dengan salah satu karyawannya. Kurang ajar kan, Ma?"Rita menghentikan kegiatannya memperhatikan kuku, lalu menatap Chintya dengan penuh perhatian. “Maksud kamu apa? Mantan pacarnya Evan kerja di perusahaan Evan?” Chintya mengangguk dengan ekspresi cemberut. “Iya, Ma. Bisa bayangkan nggak? Mantan pacarnya ada di sek
Evan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia butuh jawaban kenapa Anya berubah padanya, sehingga Evan memutuskan untuk menemui Anya saat itu juga. Tidak peduli akan ia yang masih merasa lelah karena habis pulang kerja. “Aku harus mendatangi Anya ke rumahnya,” kata Evan penuh dengan tekat. Sedangkan Chintya tidak beranjak dari posisinya sedari tadi, dia masih duduk dan berbicara dengan Sarah mamanya Evan. “Ma, aku gak ngerti kenapa Evan selalu begini. Dia gak pernah peduli sama aku, apalagi pernikahan ini. Kita tinggal sebulan lagi, tapi dia bahkan gak mau ikut urus persiapannya. Apa dia benar-benar serius menikah denganku?” suara Chintya bergetar, antara marah dan putus asa. Sarah menghela napas panjang, menyesap teh hangatnya sebelum menatap Chintya dengan pandangan lembut. “Sayang, Evan itu cuma lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan pekerjaannya berat? Dia pasti capek. Coba kamu lebih pengertian.” “Pengertian?” Chintya mendengus, melipat tangannya dengan kesal. “Aku sudah cukup pen
Evan menginjak pedal gas lebih keras dari biasanya. Sepanjang perjalanan pulang, gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. "Kurang ajar! Kenapa bisa ada Chintya segala di sana? Apa dia sengaja mengikutiku? Kenapa dia selalu ikut campur urusanku?" tangannya mengepal keras pada setir mobil, lalu dengan frustrasi memukulnya. Suara dentingan klakson mobil yang tidak sengaja tertekan membuat orang-orang di sekitarnya menoleh, tapi Evan tidak peduli.Niat awalnya untuk bicara dengan Anya berubah menjadi kekacauan. Anya tidak sempat memberi penjelasan, dan Chintya justru membuat situasi semakin rumit. Bayangan wajah Anya yang terkejut dan wajah Chintya yang penuh amarah bercampur menjadi satu di kepalanya. Evan merasa sesak.Saat tiba di rumah, ia menghempaskan pintu mobil dengan kasar dan berjalan masuk dengan langkah berat. Namun, sebelum ia sempat mencapai kamarnya, suara ibunya, Sarah, menghentikan langkahnya."Evan! Kamu dari mana saja?!" Sarah berdiri di ruang tamu dengan wajah pen
Pagi itu, Anya masih duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Kenzo yang tertidur pulas. Mata kecil anak itu terpejam dengan tenang, sementara napasnya teratur. Anya merapikan selimut yang menutupi tubuh mungilnya sambil bergumam pelan, “Kalau bukan karena kamu, Kenzo, mungkin Mama sudah menyerah.” Namun, pagi yang damai itu ternoda oleh rasa malas yang terus menghantui. Anya melirik jam dinding, sudah hampir pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Ia belum bersiap sama sekali. Pikirannya dipenuhi konflik batin yang tidak kunjung reda. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, bersiap dan pergi bekerja. Tapi, bayangan bertemu dengan Evan, mantan kekasihnya sekaligus bos di tempat kerjanya, membuat tubuhnya seolah kehilangan energi. "Apa aku bisa skip aja kerja hari ini?" Anya membatin. Namun, ia juga sadar, hal itu tidak mungkin. Baru saja dua minggu ia bekerja di perusahaan itu, dan izin tanpa alasan jelas sama saja dengan mengundang masalah. “Libur gak yah? Kalau kerja pasti akan ketemu den
Anya berjalan dengan langkah berat menuju ruangannya. Pikiran tentang Evan dan semua masalah yang terjadi pagi ini terus berkecamuk di kepalanya. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia merasakan rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. “Lepaskan rambutku!” teriak Anya, berbalik dengan marah. Di hadapannya berdiri dua wanita. Salah satunya, yang lebih muda, memandangnya dengan penuh kebencian, Chintya. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, terlihat angkuh dengan tatapan tajam. Namun sebelum Anya sempat berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Anya mundur selangkah, memegang pipinya yang terasa panas. “Eh, Nyonya, kenapa kamu menamparku? Apa salahku, ha?!” kata Anya dengan suara bergetar, antara marah dan bingung. Wanita yang lebih tua itu, yang ternyata adalah ibu Chintya, Rita, menatap Anya dengan ekspresi penuh penghinaan. “Kamu bertanya apa salahmu? Hah! Kamu sudah mengganggu calon menantuku!” Anya mengerutkan kening, kebingungan. “Menan
Bab 74 – Luka yang Tak TerlihatAnya berdiri di depan cermin besar rumahnya bersama Nathan. Wajahnya masih sembab, namun sorot matanya memancarkan tekad yang membara. Ia mengusap air mata yang tersisa, meneguhkan hatinya bahwa ia tak akan membiarkan siapa pun merenggut Kenzo darinya. Nathan yang berdiri di dekat pintu hanya memperhatikannya dalam diam. Ia tahu betapa hancurnya hati Anya, tapi di balik itu, ia juga melihat kekuatan luar biasa yang sedang bersemi dalam diri wanita itu. “Aku harus bicara dengan Evan,” suara Anya memecah keheningan. Nathan menghela napas berat. “Kamu yakin? Kalau ibunya tahu, mereka bisa saja memanfaatkan pertemuan itu untuk menjatuhkanmu.” Anya berbalik, menatap Nathan dengan mata yang memerah. “Aku tidak peduli. Aku harus tahu alasannya. Kenapa tiba-tiba mereka begitu ngotot mengambil Kenzo? Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, dan aku harus mengetahuinya.” Nathan mendekat, meraih tangan Anya dengan lembut. “Aku akan menemanimu. Aku tidak akan
Bab 73 – Bara di Balik Dendam Anya berdiri mematung di depan pintu ruang kerja Evan, matanya menatap kosong pada layar ponselnya yang baru saja menampilkan nama Saraswati. Kata-kata dingin wanita itu terus terngiang di kepalanya—*“Bersiaplah kehilangan segalanya.”* Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Nathan yang berdiri di sisinya bisa merasakan betapa rapuh, sekaligus marahnya wanita itu saat ini. “Kita harus mengambil Kenzo kembali,” suara Anya terdengar pelan, tetapi penuh dengan tekad membara. Nathan mengangguk, matanya menatapnya penuh keyakinan. “Aku akan membantumu, Anya. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka memisahkanmu dari Kenzo.” Anya menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa menghadapi Saraswati dan Evan tidak akan semudah itu. “Kita butuh rencana,” lanjut Nathan. “Aku akan menghubungi pengacaraku. Kita bisa melawan mereka secara hukum.” Namun, Anya menggeleng p
Bab 72 – Api yang Membakar BatasAnya masih berdiri di hadapan Nathan, hatinya berkecamuk di antara rasa sakit dan pengakuan cinta pria itu. Ia ingin mempercayai Nathan—ingin menyerahkan bebannya—tetapi luka masa lalu mengingatkannya bahwa tidak ada yang benar-benar tulus. Namun, lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar di dalam genggaman. Nama *Mama* tertera di layar, membuat keningnya berkerut. Ia menjawab panggilan itu, tetapi yang menyambutnya adalah suara isakan panik. “Ada apa, Ma?” tanyanya, cemas. “Kenapa Mama menangis?” Nathan yang berdiri di sampingnya ikut khawatir, mencoba menangkap isi percakapan dari ekspresi tegang di wajah Anya. “Anya…,” suara Sarah bergetar di seberang sana. “Mamanya Evan… dia… dia membawa Kenzo. Mereka membawa pengacara dan… mengambil Kenzo begitu saja!” Dunia Anya seketika berhenti berputar. Dadanya terasa sesak, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Apa?” suaranya melengking, penuh amarah. Nathan mendekat, meletakkan tangannya di bahu An
Bab 71 – Bara di Balik CintaAnya melangkah keluar dari ruang kerja Evan dengan hati yang dipenuhi kepuasan. Permainan baru saja dimulai, dan ia sudah berada di depan. Senyum sinis menghiasi wajahnya saat membayangkan betapa hancurnya Chintya di dalam sana. Perempuan itu terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan. Dan kelemahan itulah yang akan ia manfaatkan. Namun, langkahnya terhenti di ujung koridor ketika seseorang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Nathan. Pria itu bersandar di dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap Anya tajam, penuh dengan ketidaksetujuan yang jelas. "Kita perlu bicara," ucap Nathan pelan, tapi nada suaranya tegas. Anya mendesah pelan, seolah enggan meladeni. "Kalau ini tentang Evan dan Chintya, aku tidak ingin mendengar ceramahmu, Nathan," jawabnya, melanjutkan langkah. Namun, Nathan dengan sigap meraih lengannya, menghentikannya. "Aku serius, Anya," suaranya lebih dalam, nyaris seperti peringatan. "Apa yang sedang kau
Bab 70 – Api Dalam Sekam Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang kerjanya, Evan duduk termenung di balik meja kayu besar, menatap kosong pada segelas whiskey yang belum ia sentuh. Pikirannya kacau—terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya. Chintya, Anya, pernikahan yang diambang kehancuran. Pintu ruang kerja terbuka pelan. Anya melangkah masuk tanpa mengetuk, mengenakan blus hitam yang membalut tubuhnya dengan anggun. Ada ekspresi tenang di wajahnya, tetapi tatapan matanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Aku pikir kau butuh teman bicara," ucap Anya lembut, menutup pintu di belakangnya. Evan mendesah, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Anya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak berakhir." Anya mendekat, berdiri di samping meja, lalu bersandar dengan santai. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Evan. Kau bukan pria jahat. Kau hanya terjebak dalam pernikahan yang tidak kau inginkan." Kat
Bab 69 – Di Ambang KehancuranJeritan itu memecah keheningan di ruangan. Anya sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya membeku di tempat. Sementara itu, Evan bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Chintya sebelum pisau di tangannya benar-benar melukai dirinya sendiri. “Lepaskan aku!” Chintya meronta, matanya merah dipenuhi air mata dan emosi yang meledak-ledak. “Tidak akan!” Evan menggenggam erat pergelangan tangan istrinya, suaranya keras namun terdengar panik. “Apa kau sudah gila, Chintya?! Kau pikir membahayakan dirimu sendiri akan menyelesaikan semua ini?” Chintya terisak, tubuhnya bergetar hebat. “Aku tidak peduli lagi, Evan! Kau tidak pernah mencintaiku! Untuk apa aku hidup kalau aku hanya jadi beban dalam hidupmu?!” “Jangan bicara seperti itu!” Evan mengeratkan cengkeramannya hingga pisau di tangan Chintya akhirnya terlepas dan jatuh ke lantai dengan dentingan tajam. Ia menghela napas kasar sebelum menatap istrinya yang kini menangis tanpa kendali. Any
Bab 68 – Batas KesabaranPagi itu, suasana rumah terasa mencekam.Chintya masih duduk di ranjang dengan wajah kusut. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan rasa sakit di kepalanya semakin parah akibat mabuk semalam. Hatinya penuh dengan kemarahan dan frustrasi. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri Evan, tetapi pria itu tetap mengabaikannya. Baru saja ia ingin kembali berbaring, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Saraswati masuk dengan wajah penuh amarah. "Bangun!" bentaknya tajam. Chintya mendesah lelah, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mama, aku masih pusing. Bisa tidak, nanti saja kita bicara?" Namun, Saraswati tidak peduli. Dengan langkah cepat, ia menarik selimut dari tubuh Chintya dan membuangnya ke lantai. "Dengar, Chintya. Aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan pernikahan ini. Aku sudah cukup bersabar melihat Evan bersikap dingin padamu, dan sekarang kau malah semakin memperburuk keadaan dengan keluyuran dan mabuk-mabukan?!" Chintya men
Bab 67 Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, ketika suara pintu utama berderit pelan, menandakan seseorang baru saja masuk ke dalam rumah. Evan yang masih terjaga di ruang kerjanya menoleh dengan kening berkerut. Ia melirik arlojinya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Langkah tertatih-tatih terdengar jelas di lantai marmer. Evan menghela napas panjang sebelum bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ruang tamu. Pandangannya langsung menangkap sosok Chintya yang berjalan sempoyongan. Wajah wanita itu memerah, matanya sayu, dan aroma alkohol menyengat dari tubuhnya. "Chintya," suara Evan terdengar dingin. "Kau baru pulang?" Chintya tersenyum miring, mencoba menyandarkan tubuhnya di dinding agar tidak jatuh. "Ya... aku pulang, sayang," ucapnya dengan suara yang terputus-putus. Evan mengepalkan tangannya, berusaha menahan kekecewaannya. "Kau mabuk?" Chintya terkikik pelan, seolah ucapan Evan adalah lelucon. "Hanya... sedikit. Aku butuh hiburan... Suamiku terlalu sibuk un
Bab 66 Saraswati berdiri kaku di ambang pintu setelah mendengar ucapan tajam Anya. Wajahnya memucat, tangannya terkepal di sisi tubuhnya menahan emosi yang meletup-letup di dadanya. Ia datang dengan keyakinan bisa menekan Anya, tetapi kini justru kata-kata gadis itu yang menusuk egonya dalam-dalam. "Apa kau lupa, Nyonya?" suara Anya terdengar dingin, tanpa sedikit pun gentar. "Lima tahun lalu, saat aku datang memohon tanggung jawab dari anakmu, kau malah mengusirku. Kau bahkan menyuruhku menggugurkan kandungan ini. Apa kau lupa bagaimana kau memperlakukan aku yang saat itu sedang mengandung darah daging keluargamu?" Saraswati terdiam, kedua bibirnya mengatup rapat. Ia tidak menduga Anya akan mengungkit luka lama itu. "Sekarang, setelah anakku lahir dan tumbuh sehat, kau tiba-tiba datang mengklaim Kenzo sebagai cucumu?" lanjut Anya. "Sungguh hebat sekali caramu memutar keadaan, Nyonya." Nafas Saraswati memburu, rasa malu dan amarah bercampur aduk di dadanya. "Aku hanya ingin ya