Anya berjalan dengan langkah berat menuju ruangannya. Pikiran tentang Evan dan semua masalah yang terjadi pagi ini terus berkecamuk di kepalanya. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia merasakan rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. “Lepaskan rambutku!” teriak Anya, berbalik dengan marah. Di hadapannya berdiri dua wanita. Salah satunya, yang lebih muda, memandangnya dengan penuh kebencian, Chintya. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, terlihat angkuh dengan tatapan tajam. Namun sebelum Anya sempat berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Anya mundur selangkah, memegang pipinya yang terasa panas. “Eh, Nyonya, kenapa kamu menamparku? Apa salahku, ha?!” kata Anya dengan suara bergetar, antara marah dan bingung. Wanita yang lebih tua itu, yang ternyata adalah ibu Chintya, Rita, menatap Anya dengan ekspresi penuh penghinaan. “Kamu bertanya apa salahmu? Hah! Kamu sudah mengganggu calon menantuku!” Anya mengerutkan kening, kebingungan. “Menan
Bab 16 Drama Dua Keluarga dan Ultimatum EvanDi sebuah rumah mewah bergaya kolonial, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang biasanya tenang. Rita, dengan langkah penuh kemarahan, masuk ke ruangan itu sambil melempar tas tangannya ke sofa, tepat di samping Saraswati, ibu Evan. "Astaga, Jeng Rita! Ada apa ini?" tanya Saraswati, kaget dengan aksi mendadak itu. Rita melipat tangan di dadanya, menatap tajam ke arah Saraswati. "Apa kamu tidak pernah mengajari Evan cara menghormati hubungan dan keluarga?!" serunya dengan nada tinggi. Saraswati mengernyit, bingung. Ia menggerakkan kedua tangannya, mencoba meredakan suasana. "Apa maksudmu, Jeng? Apa yang sudah dilakukan Evan?" Chintya, yang berdiri di belakang ibunya, langsung menyela dengan suara penuh emosi. "Evan lebih memilih wanita itu daripada aku, Tante! Padahal aku sudah berusaha menjadi tunangan yang baik untuknya!" Saraswati terkejut, alisnya bertaut. "Wanita itu? Siapa yang kamu maksud, Chintya?" tanyanya penuh kebingungan
Bab 17. Anya masih menunggu jawaban dari Evan, ketika Evan bertanya tentang keadaannya. Dalam hatinya Anya sempat berkata, "Apa mungkin karena wanita tunangan Evan dan mamanya itu yah, sehingga Evan bertanya tentang keadaanku? Tapi Peduli apa dia? Kemana dia pergi saat aku sedang membutuhkannya?" "Aku bertanya kamu harus menjawab!" ujar Evan dengan nada membentak, tapi belum sempat Anya mengatakan apapun. Evan justru kembali berkata, "Tapi ya sudahlah, kamu kayaknya baik-baik saja." Anya tidak paham dengan Evan, dia bertanya lalu dia menjawab. Membuat Anya kebingungan saja. Terlebih saat Evan meninggalkan ruangan Anya baru beberapa langkah. Dan Evan langsung menoleh kembali menatap Chintya. "Ada apa sekarang, ha?" tanyanya dengan jengkel. "Aku cuman mau bilang, hati-hati ... dan apapun yang terjadi padamu. Segera kabari padaku, Anya. Dan jangan pergi lagi."Ucapan yang sangat membingungkan bagi Anya, sebab ia tidak tahu harus hati-hati dalam bentuk apa. Terlebih menurut Anya. Tida
Bab 18 Anya berdiri mematung di sudut ruangan, menggenggam dokumen yang tadi baru saja ia susun. Tubuhnya sedikit gemetar saat ia mendongak dan mendapati sosok yang begitu dikenalinya—Saraswati, ibu Evan, pria yang pernah mengisi hatinya. Wanita itu memandangnya dengan tatapan penuh kebencian, mengingatkan Anya akan kejadian lima tahun silam. Waktu itu, Saraswati tanpa ampun mengusirnya dari rumah danl melemparkan sejumlah uang sebagai penghinaan, setelah mengetahui kehamilannya yang melibatkan Evan. “Kamu…,” gumam Saraswati dengan suara penuh kemarahan. Anya belum sempat merespons ketika seorang wanita lain melangkah maju. Chintya, tunangan Evan, tampak seperti api yang siap meledak. “Dasar wanita jalang!” teriak Chintya tiba-tiba, menjambak rambut Anya dengan kasar. "Wanita jalang yang tidak tahu malu sampai dan kamu tidak selayaknya berada di sini!" Lanjut Chintya yang meluapkan amarahnya. “Aduh! Lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan? Ini sakit tau, gak!?" Anya merintih kesak
Bab 19.Perseteruan Evan dan Saraswati mamanya semakin berlanjut, ketika Saraswati sudah menunggu kepulangan Evan di rumah dengan wajah yang gusar. "Anak itu, aku yang sudah bersusah payah membesarkannya, dia justru lebih membela wanita sialan itu!" jengkelnya, sambil melipat kedua tangannya di dada. Aura kemarahan nya terlihat jelas, ketika Evan baru tiba dan langsung menghampiri Saraswati di ruang keluarga. "Kamu pulang juga akhirnya, Evan!" kata Saraswati dengan sinis menatap ke putranya. "Ma, apa yang Mama lakukan ini hanya memalukan Evan saja, Ma. Sudahlah Ma. Jangan pernah urusin urusan Evan di perusahaan Ma. Apalagi sampai melabrak karyawan Evan, Ma. untuk apa Ma?""Bela terus, bela terus dia Evan!" bentak Sarawati yang mana suaranya memenuhi ruangan. "Kenapa kamu membela wanita itu terus sih, Evan?" bentak Saraswati, nadanya penuh amarah. Evan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Ini bukan soal membela Anya, Ma. Ini soal sikap Mama yang sudah melangga
Bab 20. Hari semakin pagi, tapi Anya belum kunjung keluar dari dalam kamarnya. Sarah sang mama sampai keheranan. Saat melihat Anya yang biasanya disibukkan dengan rutinitas pagi yang padat. Namun, kali ini tampak berbeda. Anya masih berbaring di atas ranjangnya. Ingatannya tertuju pada surat pemecatan yang diberikan melalui Roy, asisten pribadi Evan. "Aku tidak menyangka Evan, sampai saat ini kamu masih menyakiti hatiku. Apa salahku, Evan?" tanyanya dalam diam.Tok tok tok "Anya, kamu belum bangun Nak? Nanti kamu terlambat loh, ayo buruan bangun Nak.""Mmmmm," jawab Anya dengan sebuah deheman, tapi ia tetap berbaring di atas ranjangnya tanpa ada keinginan untuk keluar dan membantu mamanya menyiapkan sarapan pagi. "Ini anak kenapa sih? Apa dia tidak ingat untuk tidak kerja?" Sarah kesal sehingga memutuskan untuk menghampiri Anya ke dalam kamarnya. "Anya!" katanya, dengan nada suaranya yang cukup tinggi, membuat Anya yang tidak sepenuhnya terbangun justru menatap Sarah sang mama."A
Bab 21Evan berdiri mematung di dekat pintu apartemennya, menatap Chintya yang masih duduk santai di ranjangnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan rasa frustrasinya. "Chintya, aku nggak mau mengulangi lagi. Kalau kamu tidak keluar dari sini, aku yang akan pergi." Namun, Chintya tidak bergeming. Dia malah mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai, dengan salah satu kaki terlipat di atas ranjang, memamerkan pahanya. Dengan senyum menggoda, dia menatap Evan sambil berkata, "Kenapa sih kamu harus tegang seperti ini? Aku ke sini karena aku rindu, sayang. Apa itu salah?" Evan memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Chintya. "Aku nggak punya waktu untuk ini. Aku lelah, Chintya. Kamu nggak bisa seenaknya datang ke sini tanpa izin." Chintya bangkit dari ranjang, mendekati Evan dengan langkah pelan. Dia berdiri hanya beberapa inci dari tubuh Evan, lalu berkata dengan nada lembut, "Evan, apa kamu sadar kalau sebentar lagi kita akan menikah? Kita ini pasangan, nggak
Bab 21Persimpangan TakdirPagi itu, suasana di ruang kerja Evan terasa tegang. Saraswati, ibunya, duduk di sofa dengan tatapan tajam mengarah padanya. Wajah Evan menunjukkan kelelahan, dan mungkin juga sedikit frustrasi. Baru saja ia selesai rapat penting dengan klien, namun Saraswati tetap menunggu di ruangannya, jelas dengan maksud tertentu."Evan, hari ini kamu harus menemani Chintya mengurus keperluan pernikahan kalian," ujar Saraswati dengan nada tegas. Tidak ada ruang untuk penolakan dalam suaranya.Evan mendesah pelan, mencoba meredam emosinya. “Bu, saya tidak bisa hari ini. Jadwal saya penuh dengan rapat dan pekerjaan yang tidak bisa ditunda.”Saraswati mengangkat alisnya, ekspresi wajahnya tak berubah. "Saya tidak peduli dengan jadwalmu, Evan. Yang saya tahu, pernikahanmu dengan Chintya sudah semakin dekat. Jika kamu tidak mulai serius mengurus ini, semuanya bisa kacau. Dan saya tidak mau mendengar alasan apapun."“Tapi, Bu…” Evan mencoba membela diri.Saraswati memotongnya
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
**Bab 35: Kegelapan yang Mengintai (Revisi Halus)**Hujan masih mengguyur deras di luar rumah Tiara. Angin malam membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kepedihan di hati Bu Ijah dan Tiara. Setelah semua yang terjadi, Bu Ijah tak bisa tidur. Ia duduk termenung di ruang tamu dengan secangkir teh yang kini telah dingin, pikirannya terus dipenuhi oleh pengkhianatan Alex dan luka mendalam yang harus ditanggung oleh putrinya.Namun, di balik kesunyian malam yang kelam itu, ada bayang-bayang yang lebih besar mengintai. Di kamar yang tersembunyi, Tiara yang masih terjebak dalam keterasingan, tiba-tiba merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Di sudut ruangan, di balik cermin besar yang menggantung, muncul bayangan gelap yang perlahan membentuk siluet. Tiara menggigil, bukan karena suhu yang rendah, tetapi karena firasat buruk yang semakin menggema dalam jiwanya."Tiara…" suara halus berbisik, seakan datang dari dalam relung pikirannya.Dengan cepat, Tiara menoleh,
Bab 53: Cemburu yang Dipendam Langit mulai berwarna jingga saat Anya melangkah keluar dari gedung kantor. Udara sore yang seharusnya menenangkan justru terasa berat di dadanya. Hari ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupnya. Sejak pagi, Chintya telah membuat suasana kerja menjadi neraka. Fitnah-fitnah yang dilontarkan istri Evan terus bergaung di telinganya. Tatapan sinis dari rekan-rekan kerja semakin mempertegas bahwa ia telah menjadi bahan gosip utama di kantor. Anya menghela napas panjang, mencoba menahan perasaan sesak yang terus menghimpitnya. Namun, saat ia hendak melangkah menuju halte untuk menunggu taksi online, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jendela mobil terbuka, memperlihatkan sosok pria yang tersenyum hangat ke arahnya. "Naiklah, aku jemput kamu hari ini," kata Nathan dengan suara lembut. Anya menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. "Nathan?" Nathan mengangguk. "Aku lihat kamu terlihat tidak baik hari ini. Jadi, aku pikir kamu butuh s
Bab 52: Runtuhnya Kesabaran Anya Hari-hari di kantor semakin terasa seperti neraka bagi Anya. Sejak gosip tentang dirinya menyebar luas, ia merasa seakan setiap mata yang menatapnya penuh dengan kebencian dan penghinaan. Namun, yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa semua ini terjadi karena ulah Chintya. Chintya semakin gencar menjalankan rencananya. Setiap kali Evan tidak berada di kantor, ia akan muncul dengan penuh percaya diri. Para karyawan, yang tahu betul siapa dia, langsung memberikan perhatian penuh. Beberapa bahkan berusaha mengambil muka di hadapan Chintya, berharap mendapat promosi atau keuntungan lainnya. "Bu Chintya, Anda cantik sekali hari ini. Apa ada yang bisa kami bantu?" seorang karyawan pria mencoba menarik perhatiannya. "Bu Chintya, kapan-kapan kita makan siang bersama, dong," sahut yang lain. Chintya hanya tersenyum angkuh. Ia tidak tertarik dengan mereka. Ia punya tujuan lain—menghancurkan mental Anya. Siang itu, ketika Chintya memasuki ruang
Bab 51. Fitnah di ruang kerja Setelah pertemuan yang memanas dengan Evan, Anya mencoba melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Namun, hatinya terus gelisah. Setiap kali ia melangkah ke kantor, ia merasa seperti ribuan pasang mata mengawasinya. Bisikan-bisikan di sudut ruangan mulai terdengar jelas, dan setiap kalimat seakan ditujukan untuk menghancurkan semangatnya. Di ruang kerja, Anya duduk sambil mengetik laporan. Namun, pikirannya melayang saat mendengar dua rekan kerja berbicara pelan di dekat pintu. “Kamu tahu nggak, katanya Anya itu ada hubungan sama Pak Evan,” bisik seorang karyawan. “Iya, aku juga dengar dari Bu Chintya. Katanya, Anya itu mau merebut suaminya sendiri. Berani sekali dia!” sahut yang lain. “Pantesan dia selalu dipanggil langsung ke ruang Pak Evan. Mungkin aja ada apa-apa di antara mereka,” karyawan itu menambahkan, lalu keduanya tertawa pelan. Anya mengepalkan tangannya di bawah meja. Dadanya terasa sesak mendengar fitnah yang dilemparkan begitu saja.
Bab 50: Titik Balik yang Pahit "Ini Pak, semua data yang Bapak minta sudah aku masukkan di sini, Pak," kata Tika salah satu karyawati Evan. "Baiklah, letakkan situ nanti aku periksa!" Evan tetap terfokus pada pekerjaannya saat ini. "Oh iya, Pak. Aku sekalian mau memberikan laporan dari Bu Anya, tapi Bu Anya berpesan ke aku untuk memberikannya ke Bapak."Seketika Evan mengangkat kepala dan menatap tajam ke Tika. "Kenapa kamu yang mengantarnya?"Tika langsung gugup dan dengan terbata-bata ia berkata, "Bu Anya minta tolong ke- a-aku, Pak.""Berikan ini lagi padanya dan suruh dia untuk menemui ku langsung.""Tapi, Pak," kata Tika yang masih gugup, apalagi saat melihat tatapan tajam mata Evan. "Aku rasa aku sudah berkata cukup jelas, aku ingin kamu sekarang keluar dan suruh Anya mengantar ini langsung ke aku!" "Ba-baik Pak."Saat itu juga, Tika langsung menghampiri Anya di ruang kerjanya. "Tidak apa, Bu. Aku sudah diberi pesan oleh Pak Evan. Dia meminta agar laporan ini langsung kau
Bab 49.Jejak Luka di Balik Bayang-Bayang Evan berjalan dengan langkah berat menyusuri lorong yang remang, meninggalkan rumah Anya dengan perasaan campur aduk antara penyesalan dan tekad yang semakin membara. Setiap langkahnya diiringi oleh gema kata-kata Anya yang masih terngiang di telinganya, "Terlambat, Evan." Kata-kata itu menghantamnya bak peluru, bukan karena amarah semata, melainkan karena rasa frustrasi yang membuat dadanya sesak. Di dalam mobil mewah yang kini menjadi pelarian sementara, Evan duduk terpaku di kursi pengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, seakan berusaha menahan riak emosi yang hendak meluap. Ia menatap kosong ke arah lampu jalan yang bergantian menerangi wajahnya, mencoba menyusun strategi agar tidak semakin tenggelam dalam kegelapan masa lalunya. "Apakah benar aku terlambat? Ataukah masih ada harapan untuk kembali?” gumamnya dalam hati, menolak menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya sejak dulu. Ia mengambil ponselnya
Bab 48Evan berjalan menjauh dari rumah Anya dengan langkah berat. Hatinya berdebar kencang, bukan karena amarah, tetapi karena rasa frustrasi yang semakin menyesakkan dadanya. Tatapan dingin Anya dan kata-katanya yang tegas masih terngiang di kepalanya. "Terlambat, Evan."Dua kata itu terus bergema, membuatnya merasa seperti pria yang tidak pernah memiliki kesempatan sejak awal. Tetapi apakah benar terlambat? Tidak. Ia menolak percaya bahwa tidak ada jalan kembali. Evan masuk ke dalam mobilnya, tetapi tidak langsung menyalakan mesin. Kedua tangannya mencengkeram setir erat, menahan diri agar tidak melampiaskan emosinya dengan cara yang salah. Ia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih. Jika ia ingin mendapatkan Kenzo, ia harus memiliki strategi yang tepat. Anya bukan tipe wanita yang bisa diancam atau dipaksa. Ia sudah cukup mengenalnya untuk tahu bahwa semakin ia menekan, semakin keras Anya akan menolak. Tapi jika ia bisa membuatnya percaya bahwa kehadirannya dalam hid