Bab 8
Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tegang. Ketika lift mulai bergerak turun, Evan akhirnya berbicara. “Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar, Anya?” Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Anya tertegun, tidak menyangka Evan akan membahas hal itu. Ia menatap pria itu, mencoba mencari tahu apakah ia serius. “Evan, aku…” Anya baru saja membuka mulut ketika pintu lift terbuka, mengakhiri percakapan mereka. Pada saat yang sama, ponsel Anya berdering. Ia merogoh tasnya dan melihat nama yang tertera di layar: Nathan. Dengan cepat, Anya mengangkat panggilan itu. “Iya, halo, Nathan.” Suara Nathan terdengar dari seberang, lembut namun penuh kekhawatiran. “Kamu di mana, Anya? Ibumu khawatir karena kamu belum pulang.” Anya melirik ke arah Evan yang sedang berjalan keluar lift. “Aku sebentar lagi keluar. Ini sedang di jalan,” jawab Anya, berusaha terdengar santai meski tubuhnya terasa lelah luar biasa. “Baiklah. Aku menunggumu di parkiran perusahaan. Jangan terlalu lama, ya,” kata Nathan. Anya terkejut. “Kamu menjemputku?” “Ya, tadi aku ke rumahmu. Ibumu bilang kamu belum pulang, jadi aku langsung ke sini.” Mendengar itu, Anya merasa lega. “Oke, aku segera ke sana. Tunggu sebentar, ya.” Setelah menutup telepon, Anya mempercepat langkahnya, meninggalkan Evan yang kini berdiri mematung di lobi. Namun, Evan memperhatikan semuanya. Ekspresi wajahnya berubah saat mendengar percakapan Anya dengan Nathan. “Siapa pria itu? Apa dia kekasihnya?” pikir Evan sambil mengepalkan tangannya. Ketika Anya keluar dari gedung, ia melihat Nathan berdiri di dekat parkiran. Pria itu tersenyum hangat, wajahnya menunjukkan kelegaan. “Untung saja kamu di sini, Nathan,” kata Anya sambil menghampiri pria itu. “Kalau tidak, aku tidak tahu harus pulang pakai apa. Aku sudah lelah banget.” Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti butuh bantuan. Makanya aku langsung ke sini. Tapi apa ini tidak terlalu lama untuk pulang kerja, Anya?" Nathan menoleh ke arah jarum jamnya, yang mana jarum jam Nathan menunjukkan pukul 12 malam lewat sepuluh menit. "Sudah tengah malam, Anya. Apa kamu gila baru pulang sekarang?" Anya langsung memasang wajah lesu, dia teringat bagaimana Evan mengerjai nya hari ini. "Dokumen itu dokumen lama, aku tidak membutuhkannya," kata-kata itu, membuat geram Anya, apalagi karena Anya sudah meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas dari Evan. "Apa terjadi sesuatu padamu, Anya?" tanya Nathan sedikit curiga. "Sudahlah, aku malas untuk membahasnya." Anya balas tersenyum. “Terima kasih, Nathan. Kamu selalu ada di saat aku butuh.” Sementara itu, dari kejauhan, Evan muncul dengan mobilnya. Ia berhenti di depan gedung, tepat di jalur tempat Nathan dan Anya berdiri. Dengan sengaja, Evan membunyikan klaksonnya cukup keras, menarik perhatian mereka berdua. Anya terkejut dan menatap ke arah mobil yang familiar itu. Evan duduk di belakang kemudi, menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak. “Jalanan masih luas, Evan,” ujar Anya dengan nada kesal. “Lewat samping situ kan bisa. Kenapa harus lewat sini?” Evan tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia tetap membunyikan klaksonnya, memaksa mereka untuk menepi. Nathan, yang merasa terganggu, menarik lengan Anya dengan lembut. “Ayo kita pindah. Dia jelas-jelas tidak sabar.” Setelah mereka menepi, Evan akhirnya menginjak gas dan pergi tanpa sepatah kata pun. Namun, ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang berbeda: ada kemarahan yang membara di balik sikap dinginnya. Nathan menatap mobil yang menjauh itu, lalu menoleh ke Anya. “Siapa pria itu, Anya? Apa dia teman kerjamu?” Anya menghela napas panjang. “Bukan. Dia itu bosku. Tapi enggak penting, kok. Ayo kita pulang. Aku sudah benar-benar lelah.” Nathan mengangguk, meskipun ia masih penasaran dengan hubungan Anya dan pria itu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Di dalam mobil, Evan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Pikirannya penuh dengan bayangan Anya dan Nathan. Ia merasa dadanya sesak, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya. “Siapa pria itu? Apa dia kekasih Anya?” Evan bertanya pada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Satu hal yang pasti: perasaan itu mulai mengganggunya. Sementara itu, di perjalanan pulang bersama Nathan, Anya mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian di kantor. Namun, bayangan Evan dan sikapnya yang dingin terus menghantuinya. “Kenapa dia menanyakan soal masa lalu?” pikir Anya. “Apa dia masih memikirkan apa yang terjadi di antara kami dulu?” Nathan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah Anya yang tampak lelah dan sedikit tegang. “Kamu baik-baik saja, Anya? Kamu kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu.” Anya tersentak dari lamunannya. “Oh, aku baik-baik saja. Hanya lelah saja.” Nathan tersenyum tipis. “Kalau begitu, istirahatlah begitu sampai rumah. Kamu bekerja terlalu keras.” Anya mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa kelelahan fisik bukan satu-satunya masalahnya. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melibatkan Evan, yang terus menghantui pikirannya. "Hmmmm, tapi terima kasih Nathan. Aku tidak tahu jadinya bagaimana aku kalau kamu tidak datang menjemput ku, Nathan." "Gak usah dibahas lagi, Anya. Lagian kamu tahu kan, kalau aku hanya ingin yang terbaik untukmu?" Sekali lagi, Anya tersenyum. Hanya Nathan yang bisa membuatnya merasa dihargai, tidak seperti Evan yang pergi setelah meninggalkan benihnya. Bahkan rasa sakit hati ketika nyonya Saraswati mengusirnya dari rumah dan melempar uang ke arahnya, masih selalu terngiang di benaknya. "Kalau bukan karena aku butuh uang untuk masa depan Kenzo, Evan. Mungkin, aku tidak akan mau bekerja di perusahaanmu. Jangankan bekerja di perusahaanmu. Menatap kamu saja aku tidak mau, Evan! Apa yang kamu lakukan dan apa yang mamamu lakukan padaku waktu itu. Begitu menyakitkan, Evan," kata Anya yang bermonolog sendiri di dalam hatinya. BersambungBab 9 Gejolak Hati EvanMalam itu, Evan berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak tenang. Wajah Anya terus terbayang di benaknya, terutama saat ia melihat Anya bersama pria yang menjemputnya di depan gedung kantor tadi malam. Ada sesuatu yang mengusik hati Evan—campuran antara rasa penasaran dan kecemburuan yang tak ia pahami sepenuhnya. “Siapa dia?” gumam Evan pada dirinya sendiri. “Apa dia suaminya? Tapi di data lamaran kerjanya, statusnya masih single.” Bayangan Anya tersenyum pada pria itu membuat dadanya terasa panas. Evan memutar kembali ingatannya ke beberapa minggu lalu, ketika ia secara tidak sengaja melihat Anya bersama seorang anak kecil di taman dekat kantornya. Anak itu berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam legam dan wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat familiar. “Anya tidak punya adik lagi. Jadi, siapa anak itu?” pikir Evan. “Apa mungkin itu anaknya?” Evan mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi rasa penasaran itu terlalu
Bab 10Rahasia yang TerungkapPagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat bagi Anya. Ia mulai merasakan bahwa kehadirannya di dekat Evan selalu membawa situasi canggung. Namun, pekerjaan tetap harus diselesaikan, dan ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terganggu. Sementara itu, di ruang kerja Evan, Chintya berdiri di depan meja pria itu. Mata Chintya memperhatikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi sibuk mengetik di laptopnya, tetapi sesekali matanya melirik ke arah pintu, seolah menunggu seseorang masuk. "Kenapa kamu terus melihat pintu, Evan?" tanya Chintya dengan nada penasaran. Evan berhenti mengetik dan mengangkat bahunya. "Enggak, aku cuma memastikan tidak ada gangguan." Chintya memiringkan kepala, menatap Evan dengan curiga. "Kamu yakin? Aku rasa kamu menunggu seseorang." Evan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. "Kamu terlalu berlebihan, Chintya. Aku cuma fokus bekerja." Namun, Chintya tidak mudah percaya. Ia tahu ada sesuatu yan
Bab 11. keceplosan yang menimbulkan tanda tanya Chintya pulang dengan wajah masam. Langkahnya tergesa menuju ruang keluarga di mana Nyonya Rita sedang duduk santai, memperhatikan kuku jentiknya yang baru dihias. Tanpa banyak bicara, Chintya langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah ibunya. Rita melirik putrinya sejenak, lalu bertanya dengan nada santai, “Kamu kenapa, Nak? Kenapa pulang-pulang cemberut seperti itu?” Chintya mendesah panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada. “Aku kesal, Ma.” Rita mengerutkan kening. “Kesal kenapa? Cerita dong, Sayang.” “Itu si Evan, Ma!” Chintya mulai bicara dengan nada penuh emosi. “Ternyata dia punya hubungan masa lalu dengan salah satu karyawannya. Kurang ajar kan, Ma?"Rita menghentikan kegiatannya memperhatikan kuku, lalu menatap Chintya dengan penuh perhatian. “Maksud kamu apa? Mantan pacarnya Evan kerja di perusahaan Evan?” Chintya mengangguk dengan ekspresi cemberut. “Iya, Ma. Bisa bayangkan nggak? Mantan pacarnya ada di sek
Evan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia butuh jawaban kenapa Anya berubah padanya, sehingga Evan memutuskan untuk menemui Anya saat itu juga. Tidak peduli akan ia yang masih merasa lelah karena habis pulang kerja. “Aku harus mendatangi Anya ke rumahnya,” kata Evan penuh dengan tekat. Sedangkan Chintya tidak beranjak dari posisinya sedari tadi, dia masih duduk dan berbicara dengan Sarah mamanya Evan. “Ma, aku gak ngerti kenapa Evan selalu begini. Dia gak pernah peduli sama aku, apalagi pernikahan ini. Kita tinggal sebulan lagi, tapi dia bahkan gak mau ikut urus persiapannya. Apa dia benar-benar serius menikah denganku?” suara Chintya bergetar, antara marah dan putus asa. Sarah menghela napas panjang, menyesap teh hangatnya sebelum menatap Chintya dengan pandangan lembut. “Sayang, Evan itu cuma lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan pekerjaannya berat? Dia pasti capek. Coba kamu lebih pengertian.” “Pengertian?” Chintya mendengus, melipat tangannya dengan kesal. “Aku sudah cukup pen
Evan menginjak pedal gas lebih keras dari biasanya. Sepanjang perjalanan pulang, gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. "Kurang ajar! Kenapa bisa ada Chintya segala di sana? Apa dia sengaja mengikutiku? Kenapa dia selalu ikut campur urusanku?" tangannya mengepal keras pada setir mobil, lalu dengan frustrasi memukulnya. Suara dentingan klakson mobil yang tidak sengaja tertekan membuat orang-orang di sekitarnya menoleh, tapi Evan tidak peduli.Niat awalnya untuk bicara dengan Anya berubah menjadi kekacauan. Anya tidak sempat memberi penjelasan, dan Chintya justru membuat situasi semakin rumit. Bayangan wajah Anya yang terkejut dan wajah Chintya yang penuh amarah bercampur menjadi satu di kepalanya. Evan merasa sesak.Saat tiba di rumah, ia menghempaskan pintu mobil dengan kasar dan berjalan masuk dengan langkah berat. Namun, sebelum ia sempat mencapai kamarnya, suara ibunya, Sarah, menghentikan langkahnya."Evan! Kamu dari mana saja?!" Sarah berdiri di ruang tamu dengan wajah pen
Pagi itu, Anya masih duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Kenzo yang tertidur pulas. Mata kecil anak itu terpejam dengan tenang, sementara napasnya teratur. Anya merapikan selimut yang menutupi tubuh mungilnya sambil bergumam pelan, “Kalau bukan karena kamu, Kenzo, mungkin Mama sudah menyerah.” Namun, pagi yang damai itu ternoda oleh rasa malas yang terus menghantui. Anya melirik jam dinding, sudah hampir pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Ia belum bersiap sama sekali. Pikirannya dipenuhi konflik batin yang tidak kunjung reda. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, bersiap dan pergi bekerja. Tapi, bayangan bertemu dengan Evan, mantan kekasihnya sekaligus bos di tempat kerjanya, membuat tubuhnya seolah kehilangan energi. "Apa aku bisa skip aja kerja hari ini?" Anya membatin. Namun, ia juga sadar, hal itu tidak mungkin. Baru saja dua minggu ia bekerja di perusahaan itu, dan izin tanpa alasan jelas sama saja dengan mengundang masalah. “Libur gak yah? Kalau kerja pasti akan ketemu den
Anya berjalan dengan langkah berat menuju ruangannya. Pikiran tentang Evan dan semua masalah yang terjadi pagi ini terus berkecamuk di kepalanya. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia merasakan rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. “Lepaskan rambutku!” teriak Anya, berbalik dengan marah. Di hadapannya berdiri dua wanita. Salah satunya, yang lebih muda, memandangnya dengan penuh kebencian, Chintya. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, terlihat angkuh dengan tatapan tajam. Namun sebelum Anya sempat berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Anya mundur selangkah, memegang pipinya yang terasa panas. “Eh, Nyonya, kenapa kamu menamparku? Apa salahku, ha?!” kata Anya dengan suara bergetar, antara marah dan bingung. Wanita yang lebih tua itu, yang ternyata adalah ibu Chintya, Rita, menatap Anya dengan ekspresi penuh penghinaan. “Kamu bertanya apa salahmu? Hah! Kamu sudah mengganggu calon menantuku!” Anya mengerutkan kening, kebingungan. “Menan
Bab 16 Drama Dua Keluarga dan Ultimatum EvanDi sebuah rumah mewah bergaya kolonial, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang biasanya tenang. Rita, dengan langkah penuh kemarahan, masuk ke ruangan itu sambil melempar tas tangannya ke sofa, tepat di samping Saraswati, ibu Evan. "Astaga, Jeng Rita! Ada apa ini?" tanya Saraswati, kaget dengan aksi mendadak itu. Rita melipat tangan di dadanya, menatap tajam ke arah Saraswati. "Apa kamu tidak pernah mengajari Evan cara menghormati hubungan dan keluarga?!" serunya dengan nada tinggi. Saraswati mengernyit, bingung. Ia menggerakkan kedua tangannya, mencoba meredakan suasana. "Apa maksudmu, Jeng? Apa yang sudah dilakukan Evan?" Chintya, yang berdiri di belakang ibunya, langsung menyela dengan suara penuh emosi. "Evan lebih memilih wanita itu daripada aku, Tante! Padahal aku sudah berusaha menjadi tunangan yang baik untuknya!" Saraswati terkejut, alisnya bertaut. "Wanita itu? Siapa yang kamu maksud, Chintya?" tanyanya penuh kebingungan
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu.Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.”Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.”Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.”Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.”Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap pipi wanita
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Bab 109. Darah yang Sama, Luka yang SamaSaraswati masih terisak, air matanya mengalir deras. Evan memegang tangan ibunya erat-erat, dadanya sesak menunggu jawaban. Ruangan rumah sakit itu terasa lebih pengap dari biasanya. Hujan di luar belum juga reda, seolah ikut menangisi semua luka yang terbongkar malam itu.“Ma… katakan… apa benar?” suara Evan bergetar, matanya merah.Saraswati mencoba berbicara, namun suaranya masih lemah. “Maafkan Mama… Nak…”Roy berdiri di sisi Evan, ikut menahan emosi. “Bu Saraswati… kami butuh kejelasan.”Saraswati menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga. “Iya, Evan… Reza… dia ayah kandungmu.”Deg.Kalimat itu seakan menjatuhkan bom di hati Evan. Tangannya gemetar, seolah tidak mampu menopang beban rahasia itu.“Kenapa… Ma? Kenapa selama ini Mama bohong sama aku?”Saraswati menatap Evan dengan tatapan sayu. “Mama… terpaksa, Nak… saat itu Mama nggak punya pilihan. Mama hamil kamu… tapi Rendra… suami Mama, nggak tahu. Waktu itu Reza… dia kasar, di
Bab 108. Kamu anakku, Evan Beberapa hari berlalu, Saraswati masih belum sadarkan diri. Evan hampir tak pernah beranjak dari samping ranjang ibunya. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. Roy masih setia menemani, meski suasana di antara mereka sering diwarnai diam. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, seorang perawat datang menghampiri Evan. “Maaf, Pak Evan… ada seorang pria yang ingin bertemu. Katanya penting.” Evan mengernyit. “Siapa?” “Beliau menolak menyebutkan nama… tapi memaksa, katanya ini soal masa lalu Ibu Saraswati.” Evan saling pandang dengan Roy. “Suruh masuk.” Tak lama, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan wajah asing, mata tajam, dan senyum licik masuk ke ruangan. Tubuhnya tegap, meski keriput sudah mulai terlihat di wajahnya. “Evan… akhirnya kita ketemu juga.” “Siapa lo?” bentak Evan, langsung berdiri. Pria itu menoleh sebentar ke Saraswati yang terbaring lemah. “Aku... orang yang pernah sangat dekat sama ibumu. Bahkan… lebih dari yan
Bab 107 Di rumah Evan, suasana begitu mencekam. Saraswati baru saja tiba dari perjalanan singkatnya, wajahnya masih penuh amarah dan kecewa. Evan yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri saat melihat ibunya datang. "Mama... kenapa nggak langsung ke bandara? Kan besok malam Mama harus berangkat!" ujar Evan, berusaha menahan nada suaranya. Saraswati menatap Evan dengan sorot tajam. "Kamu pikir Mama ini pengecut kayak yang kamu kira? Mama nggak akan pergi dari sini cuma karena kamu takut sama Nathan atau Anya itu!" Evan mengepalkan tangannya. "Mama, ini demi keselamatan Mama! Situasi sekarang kacau! Dan Mama harus tahu diri, selama ini Mama sudah hancurin hidup orang, bahkan nyakitin Anya!" "Anya! Anya! Anya! Dari dulu yang kamu bela cuma perempuan itu! Kamu lupa siapa yang besarin kamu, Evan?! Kamu tega ngomong kayak gitu ke Mama kamu sendiri?!" bentak Saraswati, suaranya meninggi. "Karena Mama keterlaluan! Mama maksa Nathan buat jauhin Anya, bikin dia tersiksa… M