Bab 8
Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tegang. Ketika lift mulai bergerak turun, Evan akhirnya berbicara. “Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar, Anya?” Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Anya tertegun, tidak menyangka Evan akan membahas hal itu. Ia menatap pria itu, mencoba mencari tahu apakah ia serius. “Evan, aku…” Anya baru saja membuka mulut ketika pintu lift terbuka, mengakhiri percakapan mereka. Pada saat yang sama, ponsel Anya berdering. Ia merogoh tasnya dan melihat nama yang tertera di layar: Nathan. Dengan cepat, Anya mengangkat panggilan itu. “Iya, halo, Nathan.” Suara Nathan terdengar dari seberang, lembut namun penuh kekhawatiran. “Kamu di mana, Anya? Ibumu khawatir karena kamu belum pulang.” Anya melirik ke arah Evan yang sedang berjalan keluar lift. “Aku sebentar lagi keluar. Ini sedang di jalan,” jawab Anya, berusaha terdengar santai meski tubuhnya terasa lelah luar biasa. “Baiklah. Aku menunggumu di parkiran perusahaan. Jangan terlalu lama, ya,” kata Nathan. Anya terkejut. “Kamu menjemputku?” “Ya, tadi aku ke rumahmu. Ibumu bilang kamu belum pulang, jadi aku langsung ke sini.” Mendengar itu, Anya merasa lega. “Oke, aku segera ke sana. Tunggu sebentar, ya.” Setelah menutup telepon, Anya mempercepat langkahnya, meninggalkan Evan yang kini berdiri mematung di lobi. Namun, Evan memperhatikan semuanya. Ekspresi wajahnya berubah saat mendengar percakapan Anya dengan Nathan. “Siapa pria itu? Apa dia kekasihnya?” pikir Evan sambil mengepalkan tangannya. Ketika Anya keluar dari gedung, ia melihat Nathan berdiri di dekat parkiran. Pria itu tersenyum hangat, wajahnya menunjukkan kelegaan. “Untung saja kamu di sini, Nathan,” kata Anya sambil menghampiri pria itu. “Kalau tidak, aku tidak tahu harus pulang pakai apa. Aku sudah lelah banget.” Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti butuh bantuan. Makanya aku langsung ke sini. Tapi apa ini tidak terlalu lama untuk pulang kerja, Anya?" Nathan menoleh ke arah jarum jamnya, yang mana jarum jam Nathan menunjukkan pukul 12 malam lewat sepuluh menit. "Sudah tengah malam, Anya. Apa kamu gila baru pulang sekarang?" Anya langsung memasang wajah lesu, dia teringat bagaimana Evan mengerjai nya hari ini. "Dokumen itu dokumen lama, aku tidak membutuhkannya," kata-kata itu, membuat geram Anya, apalagi karena Anya sudah meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas dari Evan. "Apa terjadi sesuatu padamu, Anya?" tanya Nathan sedikit curiga. "Sudahlah, aku malas untuk membahasnya." Anya balas tersenyum. “Terima kasih, Nathan. Kamu selalu ada di saat aku butuh.” Sementara itu, dari kejauhan, Evan muncul dengan mobilnya. Ia berhenti di depan gedung, tepat di jalur tempat Nathan dan Anya berdiri. Dengan sengaja, Evan membunyikan klaksonnya cukup keras, menarik perhatian mereka berdua. Anya terkejut dan menatap ke arah mobil yang familiar itu. Evan duduk di belakang kemudi, menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak. “Jalanan masih luas, Evan,” ujar Anya dengan nada kesal. “Lewat samping situ kan bisa. Kenapa harus lewat sini?” Evan tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia tetap membunyikan klaksonnya, memaksa mereka untuk menepi. Nathan, yang merasa terganggu, menarik lengan Anya dengan lembut. “Ayo kita pindah. Dia jelas-jelas tidak sabar.” Setelah mereka menepi, Evan akhirnya menginjak gas dan pergi tanpa sepatah kata pun. Namun, ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang berbeda: ada kemarahan yang membara di balik sikap dinginnya. Nathan menatap mobil yang menjauh itu, lalu menoleh ke Anya. “Siapa pria itu, Anya? Apa dia teman kerjamu?” Anya menghela napas panjang. “Bukan. Dia itu bosku. Tapi enggak penting, kok. Ayo kita pulang. Aku sudah benar-benar lelah.” Nathan mengangguk, meskipun ia masih penasaran dengan hubungan Anya dan pria itu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Di dalam mobil, Evan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Pikirannya penuh dengan bayangan Anya dan Nathan. Ia merasa dadanya sesak, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya. “Siapa pria itu? Apa dia kekasih Anya?” Evan bertanya pada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Satu hal yang pasti: perasaan itu mulai mengganggunya. Sementara itu, di perjalanan pulang bersama Nathan, Anya mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian di kantor. Namun, bayangan Evan dan sikapnya yang dingin terus menghantuinya. “Kenapa dia menanyakan soal masa lalu?” pikir Anya. “Apa dia masih memikirkan apa yang terjadi di antara kami dulu?” Nathan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah Anya yang tampak lelah dan sedikit tegang. “Kamu baik-baik saja, Anya? Kamu kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu.” Anya tersentak dari lamunannya. “Oh, aku baik-baik saja. Hanya lelah saja.” Nathan tersenyum tipis. “Kalau begitu, istirahatlah begitu sampai rumah. Kamu bekerja terlalu keras.” Anya mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa kelelahan fisik bukan satu-satunya masalahnya. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melibatkan Evan, yang terus menghantui pikirannya. "Hmmmm, tapi terima kasih Nathan. Aku tidak tahu jadinya bagaimana aku kalau kamu tidak datang menjemput ku, Nathan." "Gak usah dibahas lagi, Anya. Lagian kamu tahu kan, kalau aku hanya ingin yang terbaik untukmu?" Sekali lagi, Anya tersenyum. Hanya Nathan yang bisa membuatnya merasa dihargai, tidak seperti Evan yang pergi setelah meninggalkan benihnya. Bahkan rasa sakit hati ketika nyonya Saraswati mengusirnya dari rumah dan melempar uang ke arahnya, masih selalu terngiang di benaknya. "Kalau bukan karena aku butuh uang untuk masa depan Kenzo, Evan. Mungkin, aku tidak akan mau bekerja di perusahaanmu. Jangankan bekerja di perusahaanmu. Menatap kamu saja aku tidak mau, Evan! Apa yang kamu lakukan dan apa yang mamamu lakukan padaku waktu itu. Begitu menyakitkan, Evan," kata Anya yang bermonolog sendiri di dalam hatinya. BersambungBab 9 Gejolak Hati EvanMalam itu, Evan berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak tenang. Wajah Anya terus terbayang di benaknya, terutama saat ia melihat Anya bersama pria yang menjemputnya di depan gedung kantor tadi malam. Ada sesuatu yang mengusik hati Evan—campuran antara rasa penasaran dan kecemburuan yang tak ia pahami sepenuhnya. “Siapa dia?” gumam Evan pada dirinya sendiri. “Apa dia suaminya? Tapi di data lamaran kerjanya, statusnya masih single.” Bayangan Anya tersenyum pada pria itu membuat dadanya terasa panas. Evan memutar kembali ingatannya ke beberapa minggu lalu, ketika ia secara tidak sengaja melihat Anya bersama seorang anak kecil di taman dekat kantornya. Anak itu berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam legam dan wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat familiar. “Anya tidak punya adik lagi. Jadi, siapa anak itu?” pikir Evan. “Apa mungkin itu anaknya?” Evan mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi rasa penasaran itu terlalu
Bab 10Rahasia yang TerungkapPagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat bagi Anya. Ia mulai merasakan bahwa kehadirannya di dekat Evan selalu membawa situasi canggung. Namun, pekerjaan tetap harus diselesaikan, dan ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terganggu. Sementara itu, di ruang kerja Evan, Chintya berdiri di depan meja pria itu. Mata Chintya memperhatikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi sibuk mengetik di laptopnya, tetapi sesekali matanya melirik ke arah pintu, seolah menunggu seseorang masuk. "Kenapa kamu terus melihat pintu, Evan?" tanya Chintya dengan nada penasaran. Evan berhenti mengetik dan mengangkat bahunya. "Enggak, aku cuma memastikan tidak ada gangguan." Chintya memiringkan kepala, menatap Evan dengan curiga. "Kamu yakin? Aku rasa kamu menunggu seseorang." Evan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. "Kamu terlalu berlebihan, Chintya. Aku cuma fokus bekerja." Namun, Chintya tidak mudah percaya. Ia tahu ada sesuatu yan
Bab 11. keceplosan yang menimbulkan tanda tanya Chintya pulang dengan wajah masam. Langkahnya tergesa menuju ruang keluarga di mana Nyonya Rita sedang duduk santai, memperhatikan kuku jentiknya yang baru dihias. Tanpa banyak bicara, Chintya langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah ibunya. Rita melirik putrinya sejenak, lalu bertanya dengan nada santai, “Kamu kenapa, Nak? Kenapa pulang-pulang cemberut seperti itu?” Chintya mendesah panjang, lalu melipat kedua tangannya di dada. “Aku kesal, Ma.” Rita mengerutkan kening. “Kesal kenapa? Cerita dong, Sayang.” “Itu si Evan, Ma!” Chintya mulai bicara dengan nada penuh emosi. “Ternyata dia punya hubungan masa lalu dengan salah satu karyawannya. Kurang ajar kan, Ma?"Rita menghentikan kegiatannya memperhatikan kuku, lalu menatap Chintya dengan penuh perhatian. “Maksud kamu apa? Mantan pacarnya Evan kerja di perusahaan Evan?” Chintya mengangguk dengan ekspresi cemberut. “Iya, Ma. Bisa bayangkan nggak? Mantan pacarnya ada di sek
Evan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia butuh jawaban kenapa Anya berubah padanya, sehingga Evan memutuskan untuk menemui Anya saat itu juga. Tidak peduli akan ia yang masih merasa lelah karena habis pulang kerja. “Aku harus mendatangi Anya ke rumahnya,” kata Evan penuh dengan tekat. Sedangkan Chintya tidak beranjak dari posisinya sedari tadi, dia masih duduk dan berbicara dengan Sarah mamanya Evan. “Ma, aku gak ngerti kenapa Evan selalu begini. Dia gak pernah peduli sama aku, apalagi pernikahan ini. Kita tinggal sebulan lagi, tapi dia bahkan gak mau ikut urus persiapannya. Apa dia benar-benar serius menikah denganku?” suara Chintya bergetar, antara marah dan putus asa. Sarah menghela napas panjang, menyesap teh hangatnya sebelum menatap Chintya dengan pandangan lembut. “Sayang, Evan itu cuma lagi banyak pikiran. Kamu tahu kan pekerjaannya berat? Dia pasti capek. Coba kamu lebih pengertian.” “Pengertian?” Chintya mendengus, melipat tangannya dengan kesal. “Aku sudah cukup pen
Evan menginjak pedal gas lebih keras dari biasanya. Sepanjang perjalanan pulang, gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya. "Kurang ajar! Kenapa bisa ada Chintya segala di sana? Apa dia sengaja mengikutiku? Kenapa dia selalu ikut campur urusanku?" tangannya mengepal keras pada setir mobil, lalu dengan frustrasi memukulnya. Suara dentingan klakson mobil yang tidak sengaja tertekan membuat orang-orang di sekitarnya menoleh, tapi Evan tidak peduli.Niat awalnya untuk bicara dengan Anya berubah menjadi kekacauan. Anya tidak sempat memberi penjelasan, dan Chintya justru membuat situasi semakin rumit. Bayangan wajah Anya yang terkejut dan wajah Chintya yang penuh amarah bercampur menjadi satu di kepalanya. Evan merasa sesak.Saat tiba di rumah, ia menghempaskan pintu mobil dengan kasar dan berjalan masuk dengan langkah berat. Namun, sebelum ia sempat mencapai kamarnya, suara ibunya, Sarah, menghentikan langkahnya."Evan! Kamu dari mana saja?!" Sarah berdiri di ruang tamu dengan wajah pen
Pagi itu, Anya masih duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Kenzo yang tertidur pulas. Mata kecil anak itu terpejam dengan tenang, sementara napasnya teratur. Anya merapikan selimut yang menutupi tubuh mungilnya sambil bergumam pelan, “Kalau bukan karena kamu, Kenzo, mungkin Mama sudah menyerah.” Namun, pagi yang damai itu ternoda oleh rasa malas yang terus menghantui. Anya melirik jam dinding, sudah hampir pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Ia belum bersiap sama sekali. Pikirannya dipenuhi konflik batin yang tidak kunjung reda. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, bersiap dan pergi bekerja. Tapi, bayangan bertemu dengan Evan, mantan kekasihnya sekaligus bos di tempat kerjanya, membuat tubuhnya seolah kehilangan energi. "Apa aku bisa skip aja kerja hari ini?" Anya membatin. Namun, ia juga sadar, hal itu tidak mungkin. Baru saja dua minggu ia bekerja di perusahaan itu, dan izin tanpa alasan jelas sama saja dengan mengundang masalah. “Libur gak yah? Kalau kerja pasti akan ketemu den
Anya berjalan dengan langkah berat menuju ruangannya. Pikiran tentang Evan dan semua masalah yang terjadi pagi ini terus berkecamuk di kepalanya. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika ia merasakan rambutnya ditarik dengan keras dari belakang. “Lepaskan rambutku!” teriak Anya, berbalik dengan marah. Di hadapannya berdiri dua wanita. Salah satunya, yang lebih muda, memandangnya dengan penuh kebencian, Chintya. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih tua, terlihat angkuh dengan tatapan tajam. Namun sebelum Anya sempat berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Anya mundur selangkah, memegang pipinya yang terasa panas. “Eh, Nyonya, kenapa kamu menamparku? Apa salahku, ha?!” kata Anya dengan suara bergetar, antara marah dan bingung. Wanita yang lebih tua itu, yang ternyata adalah ibu Chintya, Rita, menatap Anya dengan ekspresi penuh penghinaan. “Kamu bertanya apa salahmu? Hah! Kamu sudah mengganggu calon menantuku!” Anya mengerutkan kening, kebingungan. “Menan
Bab 16 Drama Dua Keluarga dan Ultimatum EvanDi sebuah rumah mewah bergaya kolonial, suasana tegang menyelimuti ruang tamu yang biasanya tenang. Rita, dengan langkah penuh kemarahan, masuk ke ruangan itu sambil melempar tas tangannya ke sofa, tepat di samping Saraswati, ibu Evan. "Astaga, Jeng Rita! Ada apa ini?" tanya Saraswati, kaget dengan aksi mendadak itu. Rita melipat tangan di dadanya, menatap tajam ke arah Saraswati. "Apa kamu tidak pernah mengajari Evan cara menghormati hubungan dan keluarga?!" serunya dengan nada tinggi. Saraswati mengernyit, bingung. Ia menggerakkan kedua tangannya, mencoba meredakan suasana. "Apa maksudmu, Jeng? Apa yang sudah dilakukan Evan?" Chintya, yang berdiri di belakang ibunya, langsung menyela dengan suara penuh emosi. "Evan lebih memilih wanita itu daripada aku, Tante! Padahal aku sudah berusaha menjadi tunangan yang baik untuknya!" Saraswati terkejut, alisnya bertaut. "Wanita itu? Siapa yang kamu maksud, Chintya?" tanyanya penuh kebingungan
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
**Bab 35: Kegelapan yang Mengintai (Revisi Halus)**Hujan masih mengguyur deras di luar rumah Tiara. Angin malam membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kepedihan di hati Bu Ijah dan Tiara. Setelah semua yang terjadi, Bu Ijah tak bisa tidur. Ia duduk termenung di ruang tamu dengan secangkir teh yang kini telah dingin, pikirannya terus dipenuhi oleh pengkhianatan Alex dan luka mendalam yang harus ditanggung oleh putrinya.Namun, di balik kesunyian malam yang kelam itu, ada bayang-bayang yang lebih besar mengintai. Di kamar yang tersembunyi, Tiara yang masih terjebak dalam keterasingan, tiba-tiba merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Di sudut ruangan, di balik cermin besar yang menggantung, muncul bayangan gelap yang perlahan membentuk siluet. Tiara menggigil, bukan karena suhu yang rendah, tetapi karena firasat buruk yang semakin menggema dalam jiwanya."Tiara…" suara halus berbisik, seakan datang dari dalam relung pikirannya.Dengan cepat, Tiara menoleh,
Bab 53: Cemburu yang Dipendam Langit mulai berwarna jingga saat Anya melangkah keluar dari gedung kantor. Udara sore yang seharusnya menenangkan justru terasa berat di dadanya. Hari ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupnya. Sejak pagi, Chintya telah membuat suasana kerja menjadi neraka. Fitnah-fitnah yang dilontarkan istri Evan terus bergaung di telinganya. Tatapan sinis dari rekan-rekan kerja semakin mempertegas bahwa ia telah menjadi bahan gosip utama di kantor. Anya menghela napas panjang, mencoba menahan perasaan sesak yang terus menghimpitnya. Namun, saat ia hendak melangkah menuju halte untuk menunggu taksi online, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jendela mobil terbuka, memperlihatkan sosok pria yang tersenyum hangat ke arahnya. "Naiklah, aku jemput kamu hari ini," kata Nathan dengan suara lembut. Anya menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. "Nathan?" Nathan mengangguk. "Aku lihat kamu terlihat tidak baik hari ini. Jadi, aku pikir kamu butuh s
Bab 52: Runtuhnya Kesabaran Anya Hari-hari di kantor semakin terasa seperti neraka bagi Anya. Sejak gosip tentang dirinya menyebar luas, ia merasa seakan setiap mata yang menatapnya penuh dengan kebencian dan penghinaan. Namun, yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa semua ini terjadi karena ulah Chintya. Chintya semakin gencar menjalankan rencananya. Setiap kali Evan tidak berada di kantor, ia akan muncul dengan penuh percaya diri. Para karyawan, yang tahu betul siapa dia, langsung memberikan perhatian penuh. Beberapa bahkan berusaha mengambil muka di hadapan Chintya, berharap mendapat promosi atau keuntungan lainnya. "Bu Chintya, Anda cantik sekali hari ini. Apa ada yang bisa kami bantu?" seorang karyawan pria mencoba menarik perhatiannya. "Bu Chintya, kapan-kapan kita makan siang bersama, dong," sahut yang lain. Chintya hanya tersenyum angkuh. Ia tidak tertarik dengan mereka. Ia punya tujuan lain—menghancurkan mental Anya. Siang itu, ketika Chintya memasuki ruang
Bab 51. Fitnah di ruang kerja Setelah pertemuan yang memanas dengan Evan, Anya mencoba melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Namun, hatinya terus gelisah. Setiap kali ia melangkah ke kantor, ia merasa seperti ribuan pasang mata mengawasinya. Bisikan-bisikan di sudut ruangan mulai terdengar jelas, dan setiap kalimat seakan ditujukan untuk menghancurkan semangatnya. Di ruang kerja, Anya duduk sambil mengetik laporan. Namun, pikirannya melayang saat mendengar dua rekan kerja berbicara pelan di dekat pintu. “Kamu tahu nggak, katanya Anya itu ada hubungan sama Pak Evan,” bisik seorang karyawan. “Iya, aku juga dengar dari Bu Chintya. Katanya, Anya itu mau merebut suaminya sendiri. Berani sekali dia!” sahut yang lain. “Pantesan dia selalu dipanggil langsung ke ruang Pak Evan. Mungkin aja ada apa-apa di antara mereka,” karyawan itu menambahkan, lalu keduanya tertawa pelan. Anya mengepalkan tangannya di bawah meja. Dadanya terasa sesak mendengar fitnah yang dilemparkan begitu saja.
Bab 50: Titik Balik yang Pahit "Ini Pak, semua data yang Bapak minta sudah aku masukkan di sini, Pak," kata Tika salah satu karyawati Evan. "Baiklah, letakkan situ nanti aku periksa!" Evan tetap terfokus pada pekerjaannya saat ini. "Oh iya, Pak. Aku sekalian mau memberikan laporan dari Bu Anya, tapi Bu Anya berpesan ke aku untuk memberikannya ke Bapak."Seketika Evan mengangkat kepala dan menatap tajam ke Tika. "Kenapa kamu yang mengantarnya?"Tika langsung gugup dan dengan terbata-bata ia berkata, "Bu Anya minta tolong ke- a-aku, Pak.""Berikan ini lagi padanya dan suruh dia untuk menemui ku langsung.""Tapi, Pak," kata Tika yang masih gugup, apalagi saat melihat tatapan tajam mata Evan. "Aku rasa aku sudah berkata cukup jelas, aku ingin kamu sekarang keluar dan suruh Anya mengantar ini langsung ke aku!" "Ba-baik Pak."Saat itu juga, Tika langsung menghampiri Anya di ruang kerjanya. "Tidak apa, Bu. Aku sudah diberi pesan oleh Pak Evan. Dia meminta agar laporan ini langsung kau
Bab 49.Jejak Luka di Balik Bayang-Bayang Evan berjalan dengan langkah berat menyusuri lorong yang remang, meninggalkan rumah Anya dengan perasaan campur aduk antara penyesalan dan tekad yang semakin membara. Setiap langkahnya diiringi oleh gema kata-kata Anya yang masih terngiang di telinganya, "Terlambat, Evan." Kata-kata itu menghantamnya bak peluru, bukan karena amarah semata, melainkan karena rasa frustrasi yang membuat dadanya sesak. Di dalam mobil mewah yang kini menjadi pelarian sementara, Evan duduk terpaku di kursi pengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, seakan berusaha menahan riak emosi yang hendak meluap. Ia menatap kosong ke arah lampu jalan yang bergantian menerangi wajahnya, mencoba menyusun strategi agar tidak semakin tenggelam dalam kegelapan masa lalunya. "Apakah benar aku terlambat? Ataukah masih ada harapan untuk kembali?” gumamnya dalam hati, menolak menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya sejak dulu. Ia mengambil ponselnya
Bab 48Evan berjalan menjauh dari rumah Anya dengan langkah berat. Hatinya berdebar kencang, bukan karena amarah, tetapi karena rasa frustrasi yang semakin menyesakkan dadanya. Tatapan dingin Anya dan kata-katanya yang tegas masih terngiang di kepalanya. "Terlambat, Evan."Dua kata itu terus bergema, membuatnya merasa seperti pria yang tidak pernah memiliki kesempatan sejak awal. Tetapi apakah benar terlambat? Tidak. Ia menolak percaya bahwa tidak ada jalan kembali. Evan masuk ke dalam mobilnya, tetapi tidak langsung menyalakan mesin. Kedua tangannya mencengkeram setir erat, menahan diri agar tidak melampiaskan emosinya dengan cara yang salah. Ia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih. Jika ia ingin mendapatkan Kenzo, ia harus memiliki strategi yang tepat. Anya bukan tipe wanita yang bisa diancam atau dipaksa. Ia sudah cukup mengenalnya untuk tahu bahwa semakin ia menekan, semakin keras Anya akan menolak. Tapi jika ia bisa membuatnya percaya bahwa kehadirannya dalam hid