Di depan ayahnya yang sekarat, Cheryl harus menikah dengan pria asing yang dipilihkan untuknya. Pria yang dingin. Tatapannya tajam, tanpa sedikit pun kehangatan. Sikapnya pun sangat menyebalkan, membuat Cheryl langsung membencinya sejak pertemuan pertama. Tapi dibalik rasa benci itu, ada satu hal yang tak bisa ia sangkal—ia membutuhkan pria itu. Ketika nasib memaksa mereka terus bersama, Cheryl dihadapkan pada pesonanya yang tak terduga. "Hih. Bisa-bisanya aku menyukainya? Tidak. Jangan! Suatu saat pernikahan ini bisa saja kandas, tapi tidak boleh dengan perasaanku." Akankah Cheryl mampu melindungi perasaannya? Atau, justru menyerah pada daya tarik pria dingin yang terpaksa menikahinya itu?
View MoreBara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl
Malam itu, Venesia berpendar dalam cahaya keemasan. Lampu-lampu jalan memantulkan kilau lembut di permukaan kanal, menciptakan riak-riak cahaya yang menari di antara arus tenang. Dari balkon sebuah hotel bintang lima, pemandangan kota tampak seperti lukisan hidup. Gedung-gedung tua berdiri anggun di sepanjang tepian air, sementara gondola melintas perlahan, dayungnya mengiris permukaan air dengan keheningan yang indah. Sementara itu di dalam ruangan hotel, alunan musik klasik mengisi udara, berpadu dengan suara gelas beradu dan gumaman percakapan, menciptakan atmosfer hangat di antara mereka yang hadir.Di meja utama, dua keluarga besar duduk dalam keakraban yang dengan cepat tercipta. Para pelayan bergerak anggun, menuangkan anggur ke dalam gelas-gelas kristal para tamu tanpa sedikit pun mengganggu percakapan yang tengah mengalir.Di antara semua yang hadir, sosok Tuan Sigit paling mencuri perhatian. Pria tua itu mengenakan kemeja linen berwarna gading dengan kerah terbuka, dipaduk
Cheryl menyandarkan punggungnya ke kursi kantor, matanya berkilat kesal sembari mengusap kakinya yang masih berdenyut nyeri. Ia tak henti-hentinya menggerutu, "Kupikir dia dokter yang sabar, tapi ternyata bisa galak juga. Mau apa coba dia ke sini? Kelamaan! Apa susahnya sih kasih resep saja? Bisa-bisa aku keburu klenger kesakitan."Ia cepat-cepat meraih ponsel dan menghubungi OB. "Heri, tolong belikan Counterpain dan obat anti nyeri. Merk apa aja terserah, yang penting buat anti nyeri," ujarnya dengan nada tak sabar.Menunggu OB datang, Cheryl merebahkan diri di sofa, meringkuk sambil memegangi kakinya yang nyeri. Matanya terpejam, mencoba mengatur napas setiap kali rasa sakit itu kembali menyerang seperti sengatan tajam.“Sialan. Demi menghindari Bu Rini biar jangan sampai tahu alamat rumahku, aku malah nekat ke kantor dan sekarang jadi apes gini.”Cheryl mengerutkan kening, menduga-duga. “Aku kok masih nggak yakin ya kalau semua itu cuma kebetulan? Jangan-jangan Bu Rini memang ingi
“Saudari… Cheryl Anindita. Kami dengan bangga mengumumkan bahwa Anda lulus dengan nilai A plus.”Cheryl terpaku, hampir tak percaya. Ia mendapatkan nilai A plus dari dosen penguji yang terkenal killer? "Terima kasih, Pak...," ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.Nilai yang memuaskan ini bukan sekadar penghargaan untuk dirinya sendiri. Ini adalah persembahan terbesar yang bisa ia berikan untuk Bapak, sosok yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya sehingga Cheryl bisa mencapai titik ini.Di titik pencapaiannya ini, Cheryl tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Bapak, seseorang yang selama ini menjadi pendorong terbesar bagi setiap langkahnya."Bapak pasti senang banget dengar kabar ini," gumam Cheryl seraya menempelkan ponsel ke telinganya, menunggu suara hangat bapak menyapa di ujung sambungan telepon. Akan tetapi, hanya nada dering panjang yang ia dapati. Padahal biasanya bapaknya cepat merespons. Apalagi bapaknya tahu hari ini Cheryl sedang menghadapi hari penting. "Kok...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments