Share

Bab 2. Dipecat

Penulis: Bulandari f
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-08 09:57:08

Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. 

Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. 

Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. 

Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. 

"Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. 

Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." 

Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu akhirnya membuatnya muntah di tengah ruang kerja. 

Semua orang di ruangan itu terdiam. Suasana hening pecah oleh desahan kaget dan bisikan-bisikan pelan. Beberapa rekan kerja Anya segera mendekat, menawarkan bantuan.

"Anya! Kamu kenapa?" tanya Karin panik. 

Anya mencoba menjawab, tetapi tubuhnya tidak sanggup lagi. Dia merasa lemas luar biasa, lalu jatuh pingsan di lantai. 

Saat siuman, Anya menemukan dirinya terbaring di sofa kecil di ruang medis kantor. Dokter kantor, seorang wanita paruh baya bernama Bu Siska, sedang memeriksanya dengan cermat. Di sisi lain, Karin menunggu dengan wajah cemas. 

"Anya, kamu harus jujur. Apa kamu sedang hamil?" tanya Bu Siska lembut, tetapi tegas. 

Pertanyaan itu menghantam hati Anya seperti palu godam. Tubuhnya membeku. Dia hanya bisa menatap Bu Siska dengan mata yang berkaca-kaca. 

Melihat reaksi Anya, Bu Siska menghela napas panjang. "Kondisi kamu menunjukkan semua tanda kehamilan, Nak. Jangan khawatir, kami hanya ingin memastikan kamu mendapatkan perawatan yang benar." 

Anya tidak menjawab, tetapi air matanya mulai mengalir. Dia tahu rahasianya tak mungkin disembunyikan lebih lama lagi. 

"Karin, tolong ambilkan air untuk Anya," kata Bu Siska, berusaha memberikan ruang kepada Anya. 

Namun, sebelum Karin sempat melangkah keluar, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Di sana berdiri Pak Edwin, bos besar perusahaan, dengan wajah yang gelap penuh amarah. 

"Anya! Apa yang sebenarnya terjadi? Saya dengar kabar aneh dari staf lainnya," suara Pak Edwin menggema di ruangan itu. 

Anya mencoba bangun, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Dengan suara pelan, dia berusaha menjelaskan, "Saya... saya tidak bermaksud menyembunyikan ini. Saya hamil, Pak…." 

Kata-kata itu menggantung di udara. Mata Pak Edwin membulat, dan wajahnya berubah merah padam. 

"Hamil? Tanpa suami? Apa kamu sadar ini bisa merusak citra perusahaan kita?!" bentaknya. 

"Pak Edwin, tolong tenang. Anya sedang tidak sehat," kata Bu Siska mencoba menengahi. 

"Tidak ada alasan untuk ini, Bu Siska! Perusahaan kita punya reputasi yang harus dijaga. Karyawan seperti ini hanya membawa masalah!" Pak Edwin melanjutkan dengan suara tinggi. 

Anya hanya bisa menangis terisak. Semua rasa lelah, takut, dan malu bercampur menjadi satu. Dia ingin menjelaskan keadaannya, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. 

"Mulai hari ini, kamu tidak perlu kembali bekerja. Kamu dipecat!" ujar Pak Edwin tanpa ampun. 

Anya keluar dari kantor dengan langkah gontai. Hujan deras mengguyur Jakarta, seakan mencerminkan hatinya yang hancur. Payung yang dipinjamkan Karin tak mampu melindungi tubuhnya yang gemetar karena dingin dan kelelahan. 

Di bawah derasnya hujan, Anya berhenti di trotoar, memandang kosong ke jalan raya. Pikiran tentang masa depannya semakin membuat dadanya sesak. Bagaimana dia akan bertahan tanpa pekerjaan? Bagaimana dia akan membesarkan anak ini sendirian? 

Namun, di tengah keputusasaannya, sebuah ingatan melintas di benaknya—wajah ibunya yang selalu mendukungnya, bahkan dalam situasi tersulit. 

"Kamu anak kuat, Anya," kata ibunya suatu waktu. "Tuhan tidak akan memberi cobaan yang melebihi kemampuan kita." 

Kata-kata itu menjadi sedikit penghiburan bagi Anya. Meski hatinya masih perih, dia bertekad untuk bertahan. Dia memegang perutnya dengan lembut, seolah memberi janji kepada anak yang sedang dikandungnya. 

"Kita akan baik-baik saja," bisiknya lirih, meski air matanya terus mengalir. 

“Seandainya Evan ada, mungkin semua ini tidak akan begini. Kamu di mana, Evan? Aku sedang mengandung anakmu….”

Tapi apa gunanya itu sekarang? Pria itu bahkan tak tahu ada di mana. Orang tuanya pun sudah lebih dulu menentang kehadirannya.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam yang berjalan kencang menggilas genangan air yang tidak jauh dari tempat Anya berdiri, membuat badan Anya terkena percikan air yang tergenang.

  

“Begini amat nasibmu, Nya,” ujar Anya pada diri sendiri, sambil mengibas-ngibas bajunya yang kini kotor dan basah.

Tapi ia tak ingin ambil pusing dan kembali berjalan menembus hujan. 

Di sisi lain, pria yang duduk di bangku penumpang, yang baru saja melintasi Anya, meminta supir untuk berhenti. 

“Stop!”

“Ada apa, Tuan?” tanya sang supir, terkejut karena tuannya tiba-tiba berteriak. 

“Aku seperti melihatnya barusan,” gumam Evan sambil menoleh ke arah belakang. Namun, sosok yang dicarinya itu tidak ada. 

Di trotoar yang tidak terlalu jauh di belakangnya, hanya ada seorang wanita tua yang tengah berdiri menggunakan payung. 

Tidak tampak keberadaan gadis yang dicarinya. “Apa aku salah lihat?”

Bab terkait

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 3. Pertemuan tak terduga

    Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 4. Siapa wanita itu?

    Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 5. Situasi rumit

    Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 6. Permainan Evan

    Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 7. Privasi

    Ray mengetuk pintu ruang kerja Evan dengan ragu. Setelah mendapat izin masuk, ia membawa sebuah map berisi laporan yang harus ditandatangani. Namun, sebelum Ray sempat berbicara, Evan mengangkat tangan, menyuruhnya diam. "Ray, tinggalkan laporan itu di meja," perintah Evan sambil melipat tangan di depan dadanya. Ray menuruti tanpa banyak bicara, tetapi raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Biasanya, Evan akan langsung menandatangani laporan atau memberi arahan. Namun kali ini, suasana di ruangan terasa berbeda, penuh ketegangan yang sulit dijelaskan. "Ray," panggil Evan setelah beberapa saat diam. "Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang perlu kau lakukan untukku." "Ya, Pak? Apa itu ?" Ray berdiri tegak, mencoba menahan rasa gugup. Evan memandang Ray dengan serius. "Panggil Anya ke ruangan saya. Pastikan dia datang segera." Ray mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia bertanya-tanya. Anya adalah karyawan baru, dan ini bukan kali pertama Evan memintanya untuk melakukan hal yang tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 8. Bos ku mantan kekasihku

    Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 1. Penolakan

    “Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08

Bab terbaru

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 8. Bos ku mantan kekasihku

    Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 7. Privasi

    Ray mengetuk pintu ruang kerja Evan dengan ragu. Setelah mendapat izin masuk, ia membawa sebuah map berisi laporan yang harus ditandatangani. Namun, sebelum Ray sempat berbicara, Evan mengangkat tangan, menyuruhnya diam. "Ray, tinggalkan laporan itu di meja," perintah Evan sambil melipat tangan di depan dadanya. Ray menuruti tanpa banyak bicara, tetapi raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Biasanya, Evan akan langsung menandatangani laporan atau memberi arahan. Namun kali ini, suasana di ruangan terasa berbeda, penuh ketegangan yang sulit dijelaskan. "Ray," panggil Evan setelah beberapa saat diam. "Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang perlu kau lakukan untukku." "Ya, Pak? Apa itu ?" Ray berdiri tegak, mencoba menahan rasa gugup. Evan memandang Ray dengan serius. "Panggil Anya ke ruangan saya. Pastikan dia datang segera." Ray mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia bertanya-tanya. Anya adalah karyawan baru, dan ini bukan kali pertama Evan memintanya untuk melakukan hal yang tida

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 6. Permainan Evan

    Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 5. Situasi rumit

    Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 4. Siapa wanita itu?

    Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 3. Pertemuan tak terduga

    Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 2. Dipecat

    Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. "Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 1. Penolakan

    “Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica

DMCA.com Protection Status