Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya.
Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang.
Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut.
Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan.
"Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak.
Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih."
Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu akhirnya membuatnya muntah di tengah ruang kerja.
Semua orang di ruangan itu terdiam. Suasana hening pecah oleh desahan kaget dan bisikan-bisikan pelan. Beberapa rekan kerja Anya segera mendekat, menawarkan bantuan.
"Anya! Kamu kenapa?" tanya Karin panik.
Anya mencoba menjawab, tetapi tubuhnya tidak sanggup lagi. Dia merasa lemas luar biasa, lalu jatuh pingsan di lantai.
Saat siuman, Anya menemukan dirinya terbaring di sofa kecil di ruang medis kantor. Dokter kantor, seorang wanita paruh baya bernama Bu Siska, sedang memeriksanya dengan cermat. Di sisi lain, Karin menunggu dengan wajah cemas.
"Anya, kamu harus jujur. Apa kamu sedang hamil?" tanya Bu Siska lembut, tetapi tegas.
Pertanyaan itu menghantam hati Anya seperti palu godam. Tubuhnya membeku. Dia hanya bisa menatap Bu Siska dengan mata yang berkaca-kaca.
Melihat reaksi Anya, Bu Siska menghela napas panjang. "Kondisi kamu menunjukkan semua tanda kehamilan, Nak. Jangan khawatir, kami hanya ingin memastikan kamu mendapatkan perawatan yang benar."
Anya tidak menjawab, tetapi air matanya mulai mengalir. Dia tahu rahasianya tak mungkin disembunyikan lebih lama lagi.
"Karin, tolong ambilkan air untuk Anya," kata Bu Siska, berusaha memberikan ruang kepada Anya.
Namun, sebelum Karin sempat melangkah keluar, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Di sana berdiri Pak Edwin, bos besar perusahaan, dengan wajah yang gelap penuh amarah.
"Anya! Apa yang sebenarnya terjadi? Saya dengar kabar aneh dari staf lainnya," suara Pak Edwin menggema di ruangan itu.
Anya mencoba bangun, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Dengan suara pelan, dia berusaha menjelaskan, "Saya... saya tidak bermaksud menyembunyikan ini. Saya hamil, Pak…."
Kata-kata itu menggantung di udara. Mata Pak Edwin membulat, dan wajahnya berubah merah padam.
"Hamil? Tanpa suami? Apa kamu sadar ini bisa merusak citra perusahaan kita?!" bentaknya.
"Pak Edwin, tolong tenang. Anya sedang tidak sehat," kata Bu Siska mencoba menengahi.
"Tidak ada alasan untuk ini, Bu Siska! Perusahaan kita punya reputasi yang harus dijaga. Karyawan seperti ini hanya membawa masalah!" Pak Edwin melanjutkan dengan suara tinggi.
Anya hanya bisa menangis terisak. Semua rasa lelah, takut, dan malu bercampur menjadi satu. Dia ingin menjelaskan keadaannya, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.
"Mulai hari ini, kamu tidak perlu kembali bekerja. Kamu dipecat!" ujar Pak Edwin tanpa ampun.
Anya keluar dari kantor dengan langkah gontai. Hujan deras mengguyur Jakarta, seakan mencerminkan hatinya yang hancur. Payung yang dipinjamkan Karin tak mampu melindungi tubuhnya yang gemetar karena dingin dan kelelahan.
Di bawah derasnya hujan, Anya berhenti di trotoar, memandang kosong ke jalan raya. Pikiran tentang masa depannya semakin membuat dadanya sesak. Bagaimana dia akan bertahan tanpa pekerjaan? Bagaimana dia akan membesarkan anak ini sendirian?
Namun, di tengah keputusasaannya, sebuah ingatan melintas di benaknya—wajah ibunya yang selalu mendukungnya, bahkan dalam situasi tersulit.
"Kamu anak kuat, Anya," kata ibunya suatu waktu. "Tuhan tidak akan memberi cobaan yang melebihi kemampuan kita."
Kata-kata itu menjadi sedikit penghiburan bagi Anya. Meski hatinya masih perih, dia bertekad untuk bertahan. Dia memegang perutnya dengan lembut, seolah memberi janji kepada anak yang sedang dikandungnya.
"Kita akan baik-baik saja," bisiknya lirih, meski air matanya terus mengalir.
“Seandainya Evan ada, mungkin semua ini tidak akan begini. Kamu di mana, Evan? Aku sedang mengandung anakmu….”
Tapi apa gunanya itu sekarang? Pria itu bahkan tak tahu ada di mana. Orang tuanya pun sudah lebih dulu menentang kehadirannya.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam yang berjalan kencang menggilas genangan air yang tidak jauh dari tempat Anya berdiri, membuat badan Anya terkena percikan air yang tergenang.
“Begini amat nasibmu, Nya,” ujar Anya pada diri sendiri, sambil mengibas-ngibas bajunya yang kini kotor dan basah.
Tapi ia tak ingin ambil pusing dan kembali berjalan menembus hujan.
Di sisi lain, pria yang duduk di bangku penumpang, yang baru saja melintasi Anya, meminta supir untuk berhenti.
“Stop!”
“Ada apa, Tuan?” tanya sang supir, terkejut karena tuannya tiba-tiba berteriak.
“Aku seperti melihatnya barusan,” gumam Evan sambil menoleh ke arah belakang. Namun, sosok yang dicarinya itu tidak ada.
Di trotoar yang tidak terlalu jauh di belakangnya, hanya ada seorang wanita tua yang tengah berdiri menggunakan payung.
Tidak tampak keberadaan gadis yang dicarinya. “Apa aku salah lihat?”
Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It
Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber
Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen
Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d
Bab 7 Anya duduk di meja kerjanya dengan wajah masam. Tumpukan berkas yang baru saja diletakkan Evan terasa seperti gunung yang mustahil didaki. Ia memandang dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk: marah, kesal, dan putus asa. "Dia benar-benar gila!" gerutunya pelan sambil menatap tumpukan itu. "Tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia menyuruhku menyelesaikan semuanya dalam satu hari? Apa dia pikir aku robot?" Tangannya mulai membuka dokumen satu per satu, meskipun pikirannya penuh dengan sumpah serapah untuk pria yang kini berada di ruangannya. Anya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Evan selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita. Sementara itu, di ruangan lain, Evan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya tertuju pada layar komputer di depannya, yang memperlihatkan aktivitas Anya melalui kamera pengawas. Ia melihat bagaimana wanita itu berkutat dengan berkas-berkasnya, bibirnya bergerak seolah-olah sedang mengumpat. Evan tersenyum kecil. "Dasar ke
Bab 8 Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya. Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung. Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah. “Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi. Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tega
Bab 9 Gejolak Hati EvanMalam itu, Evan berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang tidak tenang. Wajah Anya terus terbayang di benaknya, terutama saat ia melihat Anya bersama pria yang menjemputnya di depan gedung kantor tadi malam. Ada sesuatu yang mengusik hati Evan—campuran antara rasa penasaran dan kecemburuan yang tak ia pahami sepenuhnya. “Siapa dia?” gumam Evan pada dirinya sendiri. “Apa dia suaminya? Tapi di data lamaran kerjanya, statusnya masih single.” Bayangan Anya tersenyum pada pria itu membuat dadanya terasa panas. Evan memutar kembali ingatannya ke beberapa minggu lalu, ketika ia secara tidak sengaja melihat Anya bersama seorang anak kecil di taman dekat kantornya. Anak itu berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam legam dan wajah yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat familiar. “Anya tidak punya adik lagi. Jadi, siapa anak itu?” pikir Evan. “Apa mungkin itu anaknya?” Evan mencoba mengabaikan pikirannya, tetapi rasa penasaran itu terlalu
Bab 10Rahasia yang TerungkapPagi itu, suasana di kantor terasa lebih berat bagi Anya. Ia mulai merasakan bahwa kehadirannya di dekat Evan selalu membawa situasi canggung. Namun, pekerjaan tetap harus diselesaikan, dan ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terganggu. Sementara itu, di ruang kerja Evan, Chintya berdiri di depan meja pria itu. Mata Chintya memperhatikan gerak-gerik Evan yang sejak tadi sibuk mengetik di laptopnya, tetapi sesekali matanya melirik ke arah pintu, seolah menunggu seseorang masuk. "Kenapa kamu terus melihat pintu, Evan?" tanya Chintya dengan nada penasaran. Evan berhenti mengetik dan mengangkat bahunya. "Enggak, aku cuma memastikan tidak ada gangguan." Chintya memiringkan kepala, menatap Evan dengan curiga. "Kamu yakin? Aku rasa kamu menunggu seseorang." Evan menghela napas panjang, mencoba menghindari tatapan tajam Chintya. "Kamu terlalu berlebihan, Chintya. Aku cuma fokus bekerja." Namun, Chintya tidak mudah percaya. Ia tahu ada sesuatu yan
Bab 96 - Cinta yang DiujiNathan yang baru sampai rumah langsung menatap ibunya dengan mata yang penuh kemarahan. Hatinya terasa seperti terbakar oleh kata-kata Bu Rina yang seolah-olah menganggap Anya sebagai sampah yang tidak pantas berada dalam hidupnya.'Kamu dari mana saja, Nathan? Tadi Citra menunggumu cukup lama disini, Nathan," ujar Bu Rina tiba-tiba, tapi Nathan memilih untuk tidak menanggapinya. Ia justru berjalan berlalu menuju arah kamarnya membuat Bu Rina kebingungan dengan apa yang terjadi pada anaknya Nathan. "Nathan, kamu kenapa sih? Nathan," panggil Bu Rina. Karena tidak ada jawaban, membuat Bu Rina justru berjalan menghentikan langkah Nathan dan tiba-tiba membalikkan badan Nathan menatap ke arahnya. "Nathan, kamu berani mengabaikan ibu?" pertanyaan itu membuat Nathan tidak tahan lagi, sampai akhirnya Nathan berkata, "Bu, sebenarnya apa yang Ibu mau?" tanya Nathan dengan suara bergetar menahan emosi.Bu Rina menghela napas panjang, lalu menatap putranya dengan taja
Bab 95 – Api yang Kian MembesarAnya masih berdiri di ambang pintu, dadanya naik turun menahan emosi setelah Chintya pergi meninggalkan apartemennya. Pipinya masih terasa panas akibat tamparan tadi, tetapi lebih dari itu, kata-kata Chintya terus terngiang di kepalanya. *"Aku peringatkan, Anya! Berhenti berpura-pura menjadi korban! Jangan berani lagi mengganggu rumah tanggaku, atau aku pastikan hidupmu akan lebih menderita!"* Anya mengeratkan genggamannya. Ia tidak akan mundur. Ia tidak akan menyerah. Jika Chintya berpikir ancaman itu bisa menghentikannya, maka dia salah besar. Namun, jauh di dalam hatinya, ada ketakutan yang mulai tumbuh. Chintya bukan hanya wanita biasa—dia istri Evan, seseorang yang memiliki posisi kuat dalam hidupnya. Jika Chintya benar-benar berniat menghancurkannya, ia harus siap menghadapi konsekuensi besar. Saat pikirannya masih kacau, suara ketukan pintu kembali terdengar. Anya menghela napas panjang, berharap itu bukan Chintya yang kembali untuk melan
Bab 94 – Luka yang Belum SembuhNathan menghela napas panjang sambil menggenggam erat tangan Anya. Amarahnya belum reda setelah pertemuan dengan Evan. Matanya masih menyiratkan kemarahan yang tertahan.“Anya, kamu harus melawan. Jangan biarkan Evan memperlakukanmu seperti ini.”Anya terdiam. Kata-kata Nathan menggema di kepalanya, tapi ada perasaan lain yang berkecamuk di hatinya. Hatinya terluka bukan hanya karena Evan merendahkannya, tetapi juga karena ia masih belum bisa sepenuhnya membenci pria itu.“Aku hanya ingin Kenzo kembali padaku, Nathan,” suara Anya bergetar. “Aku tidak peduli dengan Evan, tidak peduli dengan masa lalu, aku hanya ingin anakku.”Nathan mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita harus melawan. Kalau dia tidak mau mengembalikan Kenzo dengan cara baik-baik, kita akan menggunakan cara lain.”Anya menatap Nathan dengan keraguan. “Maksudmu?”Nathan tersenyum tipis, tapi ada ketegasan di matanya. “Kita bisa membawa masalah ini ke pengadilan, Anya. Kamu ibunya. Kam
Bab 93 – Pertemuan yang MenyakitkanEvan duduk di dalam mobil dengan jantung berdegup kencang. Ia menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan bahwa pesan dari Anya memang benar-benar ada. Ia masih tidak percaya bahwa Anya ingin bertemu dengannya. Rasa bahagia mengalir di hatinya, seolah-olah ada harapan baru yang muncul. Mungkinkah Anya sudah memaafkannya? Apakah ini kesempatan baginya untuk memperbaiki semuanya?Dengan semangat yang sedikit berlebihan, Evan menghidupkan mesin mobil dan segera menuju kafe tempat mereka berjanji bertemu. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus membayangkan bagaimana pertemuan ini akan berjalan. Ia membayangkan Anya tersenyum padanya, mengatakan bahwa semua sudah berakhir dan mereka bisa kembali seperti dulu.Namun, begitu ia tiba di kafe dan melihat Anya turun dari mobil bersama Nathan, hatinya langsung mencelos. Senyumnya yang tadinya mengembang perlahan pudar. Evan mengepalkan tangannya di atas meja saat melihat bagaimana Nathan dengan santainya m
Bab 92 – Kecurigaan Chintya dan Amarah yang Memuncak.Pagi masih terasa dingin ketika Evan melangkah masuk ke rumah. Wajahnya tampak letih, pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam—Anya yang marah, Nathan yang nyaris menghajarnya, dan perasaan bersalah yang semakin menekan dadanya. Namun, sebelum sempat menghela napas lega, suara Chintya yang tajam menyambutnya. "Dari mana saja kamu semalaman?" Evan menoleh dan menemukan Chintya berdiri di depan pintu ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya menatap tajam, penuh dengan kemarahan yang ditahan. "Aku…" Evan berusaha mencari alasan yang masuk akal, tetapi kepalanya masih terlalu lelah untuk berpikir jernih. Chintya melangkah mendekat, ekspresinya semakin tegang. "Kamu pikir aku bodoh, Evan? Aku menunggumu semalaman, menghubungimu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Lalu tiba-tiba kamu pulang pagi dengan wajah seperti itu?" Evan mengusap wajahnya. "Chintya, aku tidak ingin bertengkar sekarang." "Oh, kamu pikir aku akan
Bab 91 – Malam yang Penuh PenyesalanLangit malam tampak kelam, seolah ikut merasakan kehampaan di hati Anya. Ia berjalan tanpa arah di trotoar kota, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya yang basah oleh air mata. Hidupnya terasa seperti kapal yang kehilangan arah, hanyut dalam ombak keputusasaan. Anya tidak punya siapa-siapa lagi. Ia kehilangan pekerjaan, kehilangan hak asuh Kenzo, dan bahkan kehilangan sahabatnya. Semua terasa begitu gelap dan tak ada cahaya harapan di ujungnya. Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan sebuah klub malam. Lampu neon berkelap-kelip, musik menggelegar dari dalam, dan suara tawa orang-orang mabuk terdengar di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Anya melangkah masuk. Di dalam klub, suasana begitu ramai dan bising. Anya berjalan menuju bar dan tanpa ragu memesan minuman keras. Ia ingin melupakan segalanya—rasa sakit, kehilangan, dan terutama Evan. Satu gelas... dua gelas... tiga gelas... Namun, bukannya menghilang, rasa sakit itu justru se
Bab 90 – Perang Hak AsuhDi ruang makan rumah Evan, suasana tampak tegang. Saraswati duduk dengan anggun di kursinya, menyesap teh dengan ekspresi penuh perhitungan. Evan, yang duduk di seberangnya, terlihat lelah dan frustasi. Ia baru saja pulang dari kantor dan ingin istirahat, tetapi ibunya tiba-tiba memulai pembicaraan yang membuatnya semakin terbebani. “Kau sungguh bodoh, Evan,” suara Saraswati terdengar tajam. Evan menghela napas, meletakkan sendok di atas piring. “Apa lagi kali ini, Ma?” “Kau bilang tidak akan memperjuangkan hak asuh Kenzo. Kau benar-benar ingin menyerahkan anakmu begitu saja pada Anya?” Saraswati menatapnya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Evan memijit pelipisnya. “Ma, sejak awal aku tidak ingin memperpanjang perkara ini. Kalau Anya ingin mengambil hak asuh Kenzo, biarkan saja. Itu memang haknya sebagai ibu.” Saraswati langsung menaruh cangkir tehnya dengan kasar di meja. “Kau benar-benar tidak berpikir panjang, Evan! Jangan jadi pria bodoh!”
Bab 89 – Luka di Antara KitaDi rumah mewah milik Evan, Kenzo duduk di ruang keluarga dengan wajah murung. Tangannya memainkan mobil-mobilan kecil di atas meja, tetapi hatinya tidak berada di sana. Bocah kecil itu mendongak ke arah neneknya, Saraswati, yang sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh. "Nek," suara kecilnya memecah keheningan. Saraswati menoleh dengan senyum lembut. "Ada apa, sayang?" Kenzo menggigit bibirnya ragu-ragu, lalu akhirnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Kapan aku bisa bertemu Mama? Aku sangat rindu Mama, Nek." Senyum di wajah Saraswati sedikit memudar, tapi ia segera menguasai dirinya. "Mama Anya sedang di luar kota, sayang. Dia sudah menghubungi kami, tapi katanya dia sibuk dan tidak bisa bertemu denganmu sekarang." Kenzo mengerutkan kening. "Benarkah?" Saraswati mengangguk mantap. "Ya, Nenek tidak mungkin berbohong padamu. Mama Anya bilang dia punya banyak urusan dan belum sempat menemui Kenzo. Kasihan ya, Nak." Mata Kenzo
Bab 88 – Cinta yang Diuji Anya menutup pintu dengan kasar, seolah ingin menutup semua kenangan yang kembali berputar di kepalanya. Tapi bagaimana pun juga, suara Evan yang terus memanggil namanya masih bergema di benaknya. Sarah menatap putrinya dengan napas berat. "Apa kau benar-benar yakin dengan keputusanmu, Nak?" Anya menghela napas panjang, berusaha mengontrol emosinya. "Ibu, aku sudah cukup menderita karena Evan. Aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama lagi." Sarah mengangguk pelan, tapi raut wajahnya tetap terlihat khawatir. "Aku hanya tidak ingin kau menyesal nanti, Anya. Karena dari cara Evan memandangmu tadi, aku bisa melihat bahwa dia benar-benar menginginkan kesempatan kedua." Anya tersenyum pahit. "Tapi kesempatan itu sudah hilang, Bu." Sementara itu, di luar rumah, Evan masih berdiri dengan tubuh yang kedinginan. Ia mengeratkan jaketnya yang sudah basah, menatap pintu rumah Anya dengan tatapan penuh tekad. **---** Keesokan harinya, kabar tentang Eva