Pagi itu di kantor Daehan terasa seperti pagi yang biasa bagi Luna. Ia berjalan keluar dari kedai kopi favoritnya, membawa secangkir kopi untuk kepala timnya, lalu kembali ke kantor. Sebagai karyawan di tim desain, Luna selalu berusaha untuk bersikap profesional meskipun sering diremehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Hari ini pun, Luna menjalani rutinitasnya dengan tenang.
Sesampainya di kantor, suasana terasa sedikit berbeda. Ada kegaduhan kecil di area resepsionis, dan beberapa rekan kerjanya tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arah pintu masuk utama. Luna hanya mengernyit, tidak terlalu mempedulikannya dan melanjutkan langkah menuju ruang kepala timnya. Tapi sebelum dia sampai ke sana, langkahnya terhenti saat mendengar suara langkah sepatu hak tinggi yang tajam, menghentak lantai marmer kantor. Sebuah aura keanggunan dan pesona segera memenuhi ruangan. Seorang wanita cantik dengan penampilan menawan masuk ke kantor dengan penuh percaya diri. Rambut panjangnya tergerai indah, gaun elegan dan sepatu hak tinggi yang mahal melengkapi penampilannya. Wanita itu berjalan seperti model di atas catwalk, seolah semua mata tertuju padanya, dan memang benar, setiap orang di kantor melihatnya dengan takjub. Luna memandang wanita itu dari jauh, merasa ada sesuatu yang familiar namun tidak bisa segera mengenali siapa dia. Namun, ketika wanita itu melangkah menuju kantor Daehan, Luna mulai merasakan kejanggalan. Di dalam ruangan CEO, Daehan yang sedang sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba mendongak ketika pintu terbuka. Awalnya ia tampak terganggu, namun begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya, wajahnya seketika berubah. Dari tatapan dingin, kini senyumnya mengembang lebar, seolah baru saja melihat seseorang yang sangat ia rindukan. "Ryuka," ucap Daehan, hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Ryuka, seorang model internasional yang baru saja menyelesaikan kontraknya di luar negeri, tersenyum lembut pada Daehan. Mereka tidak bertemu selama satu tahun penuh. Perpisahan mereka terjadi dalam suasana yang tidak menyenangkan, Daehan marah besar ketika Ryuka memutuskan untuk meninggalkannya demi kariernya di luar negeri. Sejak itu, Daehan menolak menghubungi Ryuka, dan hubungannya dengan sang model terputus tanpa kepastian. Namun hari ini, melihat Ryuka berdiri di depannya dengan pesona yang tidak pernah pudar, semua amarah yang pernah Daehan rasakan seolah lenyap. Ryuka adalah wanita yang pernah mengisi hidupnya dengan begitu banyak kenangan indah, dan sekarang dia kembali, Daehan tidak bisa menahan perasaannya. "Apa kabar, Daehan?" sapa Ryuka dengan suara lembut yang membuat hati Daehan bergetar. Tanpa berpikir panjang, Daehan melangkah mendekat dan memeluk Ryuka dengan hangat. Mereka saling merindukan dengan sangat intens, dan pelukan itu seolah menghapus jarak dan waktu yang telah memisahkan mereka. Daehan merasakan kehangatan yang dulu ia rindukan, dan Ryuka membalas pelukannya dengan erat. "Aku merindukanmu," bisik Daehan. "Aku juga merindukanmu," balas Ryuka, suaranya terdengar penuh emosi. Mereka melepas rindu dengan sangat intens. Tatapan mata mereka penuh dengan hasrat dan kerinduan yang tertahan selama setahun. Daehan mengajak Ryuka duduk di sofa besar di kantornya, mereka berbicara tentang banyak hal, tertawa, dan menikmati momen kebersamaan yang hangat. Bahkan Daehan meraih tengkuk Ryuka dan mencium hingga melumat bibir ranum Ryuka. "Cup."suara decapan itu begitu nyaring terdengar. Di luar ruangan, Luna melihat kejadian itu dari jarak jauh. Pintu ruangan Daehan sedikit terbuka, dan dia bisa melihat bagaimana Daehan menyambut Ryuka dengan begitu hangat. Hatinya tercekat, meskipun dia tahu pernikahannya dengan Daehan hanyalah kontrak, melihat Daehan bersama wanita lain membuat perasaannya kacau. Luna mengalihkan pandangannya, berusaha fokus pada pekerjaannya dan menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya. Tak lama kemudian, Ryuka meninggalkan kantor Daehan setelah pertemuan mereka. "Sayang aku pergi dulu, jangan lupa nanti malam aku menunggumu di apartemenku."ucap manja Ryuka. Daehan terlihat lebih rileks dan bahagia, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya sedikit terangkat setelah bertemu dengan wanita yang pernah mengisi hatinya. "Iya sayang, aku pasti akan datang, tak sabar melepas rindu denganmu."Daehan mengulum senyumnya yang selama ini jarang terlihat. Namun bagi Luna, pertemuan itu membuka luka lain dalam dirinya. Dia tahu bahwa dia tidak memiliki tempat di hati Daehan. Pernikahan mereka hanyalah urusan bisnis, dan suatu saat akan berakhir. Tapi melihat Daehan yang begitu hangat dengan wanita lain, Luna mulai merasakan betapa rapuhnya dirinya di tengah hubungan yang penuh kepura-puraan ini. Di dalam kantornya, Daehan sedang duduk di depan layar CCTV yang terhubung ke berbagai sudut ruangan di perusahaan. Ia baru saja menyelesaikan pertemuan dengan Ryuka, dan meskipun hatinya merasa tenang setelah pertemuan itu, pikirannya tetap penuh dengan kekacauan akibat berbagai masalah perusahaan, terutama soal peretasan data dan penyelundupan produk. Ia sering memeriksa CCTV untuk memantau kinerja para karyawan, namun kali ini pandangannya tertuju pada sosok yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya: Luna. Luna, istrinya secara kontrak, yang bekerja sebagai karyawan biasa di tim desain. Selama ini Daehan menganggap pernikahan mereka hanya sekadar kesepakatan sementara, dan ia jarang memperhatikan sosok Luna di kantor. Namun, di layar CCTV, Luna tampak fokus dan serius, bekerja keras di mejanya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, tatapan Daehan tertuju pada wajah cantik Luna yang selama ini tidak pernah benar-benar ia perhatikan. Mata Daehan perlahan menyipit saat menyadari perasaan yang mengganjal di dadanya. Tapi sebelum dia bisa merenungkan lebih jauh, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghampiri Luna. Daehan memperbesar layar CCTV untuk melihat lebih jelas. Laki-laki itu adalah Ardha, manajer bagian promosi, seorang pria yang cukup populer di kalangan karyawan wanita karena penampilannya yang menarik dan sikap ramahnya. Daehan memperhatikan interaksi mereka dengan cermat. Ardha tersenyum lebar, berdiri dekat dengan meja Luna, dan tampak mengajaknya berbicara. "Makan siang, Luna? Ada restoran baru di dekat sini, makanan mereka enak sekali," ajaknya dengan santai. Luna tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dengan syarat, “Kalau Cindy ikut, aku ikut.” Ardha setuju, dan mereka segera mengatur rencana untuk makan siang di luar bersama Cindy, sahabat Luna di kantor. Daehan merasa dadanya tiba-tiba memanas. Amarah yang tidak ia pahami mulai muncul di dalam hatinya. Melihat Luna berinteraksi dengan pria lain membuatnya tidak nyaman, meskipun dia tahu itu tidak masuk akal. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin lama semakin sulit untuk menahannya. Waktu berlalu, dan Luna, Ardha, serta Cindy pergi makan siang ke sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari kantor. Mereka duduk dengan santai, bercakap-cakap sambil menikmati makanan. Suasana di meja itu penuh dengan tawa dan percakapan ringan. Namun, tanpa diduga, Daehan yang sedang dalam perjalanan untuk bertemu klien di restoran yang sama, masuk ke restoran tersebut bersama asisten pribadinya. Matanya segera menangkap pemandangan yang tidak ia inginkan: Luna sedang duduk bersama Ardha, tertawa dan berbicara dengan akrab. Mata Daehan menyipit, perasaan marah dan tidak nyaman semakin membara di dadanya. Daehan mencoba fokus pada pertemuan dengan kliennya, tetapi pikirannya terus terganggu oleh pemandangan Luna bersama pria lain. Setelah pertemuan selesai, Daehan memutuskan untuk ke toilet untuk menenangkan diri. Saat ia keluar dari toilet, secara tidak sengaja ia berpapasan dengan Luna yang juga sedang menuju ke arah yang sama. Pertemuan itu membuat suasana menjadi canggung. Daehan berdiri tegak, menatap Luna dengan tajam. Luna yang terkejut melihat Daehan, langsung mencoba menunduk dan berjalan menjauh, tetapi Daehan menghentikannya dengan nada dingin, "Kamu benar-benar pandai memanfaatkan kesempatan, ya? Menggoda laki-laki lain di belakangku." Luna mengangkat kepalanya, terkejut dengan tuduhan itu. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung. "Kamu sama saja dengan wanita-wanita lain yang hanya tahu cara memanfaatkan pria. Jangan berpura-pura polos," suara Daehan penuh sindiran, matanya berkilat marah. "Aku sudah melihat cara kamu berinteraksi dengan Ardha. Kamu penggoda, sama seperti—" Daehan berhenti sejenak, seolah menahan kata-katanya. Ia ingin mengatakan bahwa Luna sama seperti selingkuhan ayahnya, wanita yang menghancurkan keluarganya, tetapi ia sadar bahwa ucapannya akan terlalu kejam. Luna menatap Daehan dengan mata terluka. "Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," suaranya gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang. "Tidak perlu menjelaskan. Aku sudah melihat cukup," Daehan memotongnya, nadanya penuh dengan ketidakpedulian. Luna merasa tersinggung, tapi ia memilih untuk tidak membalas. Ia tahu bahwa berdebat dengan Daehan tidak akan membuahkan hasil. "Kalau kamu sudah selesai, aku akan kembali ke meja," ucapnya pelan sebelum berbalik dan berjalan pergi. Daehan berdiri di tempatnya, menatap punggung Luna yang menjauh. Hatinya berdebar keras, namun bukan karena amarah. Ada sesuatu yang mengganggunya, perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Luna bukanlah wanita penggoda seperti yang ia tuduhkan, dan jauh di dalam hatinya, Daehan tahu bahwa dia mungkin salah. Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui itu saat ini. Setelah Luna pergi, Daehan merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Pertemuannya dengan Ryuka, tekanan pekerjaan, dan sekarang interaksinya dengan Luna—semuanya membuatnya merasa kacau. Tanpa sadar, ia merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Pandangannya terhadap Luna tidak lagi sama. Ada perasaan asing yang mulai tumbuh, meskipun ia belum siap untuk menghadapinya. Di sisi lain, Luna kembali ke meja dengan hati yang terluka, tetapi ia berusaha menyembunyikannya di depan Ardha dan Cindy. Ia tidak mengerti mengapa Daehan selalu bersikap dingin dan tidak adil padanya. Pernikahan mereka hanyalah kontrak, tetapi Luna tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Meski demikian, ia tahu bahwa ia harus tetap profesional dan menjaga jarak dengan Daehan, tidak peduli seberapa sakit hatinya. ----- Setelah sampai di kantor Luna memberanikan diri menemui Daehan di ruangannya. "Kita perlu bicara."Luna dengan menahan sesak di dadanya."Jika kau memang mau kembali pada kekasihmu maka lepaskan aku ." "Deg." Apakah Daehan akan melepaskan Luna ? Bukankah kekasihnya sudah kembali? Bersambung....Pagi itu, Luna memasuki kantor Daehan dengan perasaan yang campur aduk. Keberaniannya sudah terkumpul selama berminggu-minggu, dan hari ini adalah saatnya ia berbicara. Selama beberapa bulan terakhir, hubungan mereka hanya dipenuhi ketegangan, cemoohan, dan luka yang terus membekas. "Sepertinya aku sudah tidak tahan lagi, aku harus pergi." Daehan selalu berkata kasar, menyudutkan Luna dengan komentar-komentar yang menyakitkan, dan memperlakukannya seolah-olah Luna hanya masalah kecil yang perlu segera dihilangkan. Tapi Luna sudah cukup. Dia tidak bisa terus hidup dalam pernikahan kontrak ini yang semakin hari hanya membuatnya merasa terjebak. Ketika pintu ruangan terbuka, Daehan sedang sibuk membaca dokumen di mejanya. Luna melangkah masuk, menutup pintu dengan pelan dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, “Pak Daehan, aku ingin kita berpisah. Daehan mendongak, sejenak terkejut melihat Luna berdiri di depannya dengan ekspresi serius. Dahinya berkerut dan nada sua
Malam itu, Daehan duduk di sofa apartemen Ryuka, mencoba menikmati malam yang seharusnya dipenuhi dengan keintiman dan gairah. Ryuka, model internasional dengan kecantikan luar biasa, tampak begitu memikat. Dengan gaun seksi yang memperlihatkan keindahan tubuhnya, Ryuka mengelilingi Daehan, tersenyum lembut saat dia mendekat. “Sudah lama kita tidak bertemu,” bisiknya manja, jemarinya melingkari leher Daehan, menariknya lebih dekat. Daehan tersenyum, mencoba untuk merespons, tapi hatinya terasa hampa. Ia memandang Ryuka, yang selama ini menjadi sosok yang ia cintai, namun malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sentuhannya, suaranya, bahkan senyumnya yang dulu begitu ia rindukan, kini terasa seolah jauh."Ya, aku juga sangat merindukanmu Ryuka." Daehan dengan ekpresi datarnya. Ryuka melanjutkan pembicaraan dengan nada yang penuh godaan, “Kau pasti merindukan momen-momen seperti ini, bukan?” Dia mendekat, mencium bibir Daehan dengan penuh gairah, tapi di balik semua itu, Daehan merasa pik
"Luna !"pekik seorang manajer kepada Luna .Luna langsung berdiri. "Iya, saya bu."ujar Luna . Kemudian Luna berdiri dari kursinya. "Kamu lihat siapa yang datang kan ? kenapa kamu tidak menyapanya?" Susan dengan suara yang tinggi. "Selamat pagi pak."Luna menyapa Daehan kemudian kembali bekerja. Daehan hanya menatap Luna dingin. Setelah masuk jam makan siang Luna bergegas karena sudah menyelesaikan pekerjaannya . Luna minta izin untuk pulang siang karena ada hal yang yang sangat penting. "Permisi bu, saya mau minta izin, saya harus ... menemui ayah saya ini sangat penting." "Hoo, setelah tadi pagi kamu bersikap angkuh sekarang mau mangkir kerja?"ujar Susan . "Bukan begitu bu ini hari yang penting untuk Ayah saya."lirih Luna. "Baik kalau kamu berani silahkan minta izin langsung pada Pak Daehan jika dia mengizinkan maka kamu saya izinkan pulang awal jika tidak maka kamu harus pulang sore."ujar Susan. "Baik bu."Luna bergegas ke ruangan Daehan. Ternyata ada Ryuka di ruang
Pagi itu di rumah Daehan, Luna bangun lebih awal seperti biasa. Meski suasana rumah selalu dingin karena sikap dingin Daehan, Luna tetap menjalani rutinitasnya dengan penuh tanggung jawab. Setelah menyelesaikan shalat Subuh, Luna berpakaian rapi untuk bekerja. Dia mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang yang dipadukan dengan hijab berwarna krem. Meski hatinya sering kali terasa berat, Luna tetap berusaha tenang, terutama dalam menghadapi tiga bulan tersisa dari pernikahan kontrak ini. Luna juga sudah menyiapkan pakaian kerja Daehan dengan hati-hati dan menata meja sarapan. Tidak ada sapaan hangat di antara mereka, hanya hening yang selalu mengisi ruang di rumah itu. Daehan yang biasanya cuek, sarapan cepat tanpa banyak bicara, lalu pergi begitu saja. Sementara itu, Luna hanya menunduk, berusaha tidak terlalu terpengaruh oleh sikap suaminya yang kerap sinis dan dingin. Baginya, yang terpenting adalah bertahan sampai kontrak selesai. Setelah memastikan semuanya siap, Luna
"Apa syaratnya pak?"ucap Luna. "Jangan pernah dekat dengan laki-laki lain."ujar Daehan. "Syarat yang mudah, lagipula aku memang tidak dekat dengan siapapun."Luna berlalu dari hadapan Daehan. Daehan sedang berada di ruang kerjanya ketika asistennya, Hana, masuk dengan sebuah undangan di tangannya. "Tuan Daehan," kata Hana dengan nada hormat, "ini undangan dari sebuah acara besar. Semua pengusaha top akan hadir. Pesta ini akan diadakan di hotel bintang lima akhir pekan ini. Saya rasa Anda perlu hadir." Daehan mengambil undangan itu dan melihat sejenak, kemudian dia mengangguk pelan. Acara ini memang penting bagi jaringan bisnisnya. "Siapkan semuanya," ujarnya dengan nada tegas. "Dan, oh, pastikan Luna juga siap." Hana terlihat bingung sesaat. "Luna, Tuan? Apa Anda ingin mengajak—" "Ya," potong Daehan cepat, meski di dalam hatinya, ia merasa sedikit ragu. Selama ini, dia selalu menutup rapat soal pernikahannya dengan Luna, bahkan di lingkungan sosialnya, Daehan hanya mengaku
Malam semakin larut Daehan mengajak Luna pulang, dan memang Luna sudah terlihat sangat mengantuk karena tak biasa tidur larut malam. "Huaaahh...."Luna menguap saat di mobil dan tanpa disadari Luna tertidur, kepalanya miring ke jendela mobil, Daehan dengan terpaksa mengarahkan kepala Luna agar bersandar di bahunya. "Dasar, menyusahkan saja, masa baru jam 12 saja sudah tidur, dasar koala." Gerutu Daehan dalam batinnya. Ini pertama kalinya Daehan menyentuh Luna, jantungnya berdegup sangat kencang kala wajah Luna begitu dengannya. Wajah yang sangat dibencinya. Setelah 30 menit akhirnya mereka sampai di rumah Daehan. Sang supir membukakan pintu. "Biar saya saja yang menggendongnya."Daehan mengangkat tubuh ramping Luna, seolah dia tidak merasa berat sama sekali."Menyusahkan saja, tapi... kenapa dia makin cantik saat tidur, dia lebih manis karena tidak membangkang." Daehan berjalan sambil meracau dalam batinnya. "Huhhhh, akhirnya."Daehan meletakkan tubuh Luna di ranjangnya untuk pe
Daehan dan tim manajemennya sedang merencanakan sebuah langkah besar untuk pengembangan produk baru di perusahaannya. Mereka memutuskan untuk mengadakan lomba desain sebagai bagian dari strategi untuk menemukan bibit-bibit berbakat yang mampu membawa ide-ide segar dan kreatif. Hadiah yang ditawarkan pun tidak main-main, sebesar 250 juta rupiah. Informasi tentang lomba ini segera tersebar luas melalui media sosial dan platform digital perusahaan, dan antusiasme peserta semakin meningkat setiap harinya. Lomba ini diadakan secara online selama satu minggu. Setiap peserta diminta untuk mengirimkan desain inovatif yang dapat diaplikasikan dalam pengembangan produk baru perusahaan Daehan. Tim juri terdiri dari desainer-desainer ternama yang sudah diakui di industri, membuat lomba ini semakin bergengsi. Daehan sendiri sangat bersemangat dengan ide ini, karena selain dapat menemukan bakat-bakat baru, ini juga bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat brand perusahaannya. "Lomba desain, ha
Daehan merasa marah sekaligus tidak rela mendengar pernyataan itu. Ia berdiri dari kursinya, menatap Luna tajam. "Kau pikir semua ini semudah itu? Kau pikir setelah kita menjalani semua ini, kau bisa pergi begitu saja?" Luna menelan ludah, berusaha untuk tidak terintimidasi oleh sikap Daehan. "Kita tahu pernikahan ini hanyalah kontrak, Pak Daehan. Tidak ada yang mengikat kita lebih dari itu. Sekarang, aku sudah bisa berdiri sendiri, aku tidak perlu lagi hidup dalam bayang-bayangmu." "Bayang-bayangku?" tanya Daehan dengan nada marah, melangkah mendekat ke arah Luna. "Luna, kau tidak mengerti. Pernikahan kita mungkin dimulai dengan kontrak, tapi sekarang ini sudah lebih dari sekadar itu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Luna menatap mata Daehan, merasakan amarah yang tersimpan di dalamnya. Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya ragu dengan keputusannya. "Apa maksudmu, Pak Daehan? Kau sendiri yang selalu menekankan bahwa pernikahan kita ha
Luna duduk di tepi jendela sebuah apartemen kecil di negara asing, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Keputusannya untuk pergi jauh dari Daehan terasa seperti belati yang menembus jantungnya. Namun, ancaman dari Tuan Kim Do Hyun tidak memberinya pilihan. Ia harus menjaga kebahagiaan Daehan dengan cara yang menyakitkan: meninggalkan pria yang ia cintai. Hari itu masih pagi, tapi hawa dingin membuat tubuh Luna menggigil. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak muram. Bekas air mata masih jelas di pipinya. Ia mengenang setiap momen indah bersama Daehan—senyumnya, perhatian kecilnya, bahkan pelukan hangatnya yang selalu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Tuan Kim Do Hyun telah mengatur segalanya. Tiket pesawat, akomodasi, dan dokumen perjalanan disiapkan dengan rapi. Luna hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan kesepakatan: pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daehan dan memulai hidup baru. “Ini demi Daehan,” p
Percakapan Luna dan Tuan Kim Malam itu, Luna duduk di sofa apartemennya, mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tangannya gemetar saat ia mengetik nomor Tuan Kim Do Hyun. Setelah beberapa dering, suara berat dan dingin menjawab di ujung telepon. “Luna, apa yang kau inginkan?” Tuan Kim langsung to the point. Luna menarik napas panjang. "Tuan Kim... Saya sudah memikirkan tawaran Anda." Ada keheningan singkat sebelum Tuan Kim menjawab, “Dan?” “Saya setuju,” kata Luna, suaranya hampir bergetar. “Saya akan meninggalkan Daehan.” Nada suara Tuan Kim berubah sedikit lebih lunak, namun tetap tegas. “Kau membuat keputusan yang bijak. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.” Luna tersenyum pahit, meskipun Tuan Kim tidak bisa melihatnya. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Daehan. Tapi... saya punya satu permintaan.” “Apa itu?” “Saya butuh waktu dua hari. Dua hari untuk menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan yang akan membua
Pertemuan yang Menguras Emosi Luna duduk di ruang tamu apartemennya dengan tatapan kosong. Ia memegang segelas teh yang sudah dingin, namun tak sedikit pun ia menyentuhnya. Pikirannya terus melayang pada Daehan, pada janji dan cinta mereka, serta calon bayi yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Hari-hari terakhir begitu berat setelah mengetahui ancaman dari Tuan Kim Do Hyun kepada suaminya. Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Luna tersentak. Dengan langkah ragu, ia menuju pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Tuan Do Hyun dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Aura pria itu begitu tegas hingga membuat Luna merasa menciut. "Selamat siang, Luna," ujar Do Hyun dengan nada datar. "Selamat siang, Tuan Kim," jawab Luna dengan sopan, meskipun ada gemetar di suaranya. "Bisakah kita bicara?" tanyanya tanpa basa-basi. Luna mengangguk dan mempersilakan Do Hyun masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Luna mencoba menenangkan hatinya, tetapi tatapan dingin Do Hyun membua
Hari itu, Luna sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil membaca buku kehamilan. Perutnya sudah semakin besar, dan ia mulai merasakan bayi dalam kandungannya bergerak lebih sering. Kebahagiaannya dengan Daehan perlahan pulih, meskipun masa lalu yang sulit tetap membayangi pikirannya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Luna mengerutkan kening, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Saat ia membukanya, wajah seorang wanita paruh baya dengan tatapan penuh harap muncul di hadapannya. “Luna…” suara wanita itu bergetar. Luna terdiam sejenak, mengenali wajah itu dari foto-foto lama yang tersimpan dalam kenangannya. Dina, ibunya yang telah lama pergi, kini berdiri di depan pintunya. “Aku ingin berbicara, Luna. Tolong izinkan aku masuk,” pinta Dina dengan suara lirih. Luna menahan napas, ingin segera menutup pintu. Tapi ia teringat bahwa Daehan-lah yang mengatur pertemuan ini. Setelah ragu sejenak, ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Pertemuan Penuh Kete
Daehan mengajak Luna makan malam di ruang tempat perjamuan yang terletak di lantai atas gedung kantor. Tempat yang biasanya digunakan untuk acara-acara besar kini sepi, hanya ada mereka bertiga — Daehan, Luna, dan Berryl, sang bos. Setelah menikmati makan malam yang sederhana namun lezat, Berryl terkejut ketika Daehan mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih banyak, Berryl, atas keringanannya terhadap Luna. Aku tahu dia sedang hamil dan sedang butuh banyak istirahat. Kamu sudah banyak membantu dengan memberi keringanan dalam pekerjaannya." Berryl hanya tersenyum, sedikit canggung mendengar pujian dari seorang pria sekaya Daehan. "Tidak masalah, Tuan Kim. Luna memang bekerja keras, dan saya tahu dia membutuhkan waktu untuk menjaga kesehatan. Saya senang bisa membantu." Luna yang duduk di samping Daehan hanya tersenyum kecil, merasa sedikit terharu. Tidak semua bos memperhatikan kesejahteraan karyawannya seperti Berryl. Namun, dia tahu bahwa keputusan Daehan untuk mengajakn
Luna memulai harinya seperti biasa, mengenakan pakaian kerja yang sopan dan sederhana. Ia tiba lebih awal di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Sementara itu, suasana kantor mulai terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua staf terlihat panik dan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kunjungan penting dari seorang CEO perusahaan besar yang akan berinvestasi di tempat mereka. Pagi itu, kantor Luna penuh dengan aktivitas. Semua karyawan tampak sibuk mempersiapkan kunjungan penting dari seorang CEO yang akan berinvestasi di perusahaan mereka. Sang bos, Berryl, seorang pria berusia 30 tahun yang karismatik dan ambisius, memberikan arahan kepada semua bawahan dengan suara tegas namun penuh antusias. “Semua harus terlihat sempurna hari ini! Ini adalah kesempatan besar untuk perusahaan kita. Cecil, kau yang akan bertugas menjamu CEO itu. Pastikan dia merasa nyaman dan terkesan,” ucap Berryl sambil melirik sekretaris cantiknya yang mengenakan pakaian formal namun
Luna tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kantornya. Hari itu banyak rapat dan target yang harus diselesaikan, membuatnya sedikit lelah. Namun, ia tetap berusaha terlihat profesional, menjaga penampilannya dengan baik. Rekan-rekannya sesekali melirik ke arah Luna yang sibuk, terkagum dengan dedikasi wanita itu meskipun tengah hamil. Sementara itu, Daehan juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, pikirannya terus melayang kepada Luna. Ada rasa rindu yang semakin besar setiap harinya, terutama saat melihat bagaimana Luna perlahan membuka. Sore itu, Luna yang baru saja selesai rapat terkejut melihat sosok Daehan berdiri di depan pintu kantor. Dengan buket bunga besar di tangannya, Daehan menatap Luna dengan senyum menawan yang membuat semua mata di kantor tertuju pada mereka. "Luna, aku di sini untuk menjemputmu," katanya sambil memberikan bunga itu. Wajah Luna memerah. "Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Daehan," jawabnya pelan. Daehan ha
Setelah hampir satu minggu dirawat di ruang VVIP rumah sakit, Daehan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Namun, ketidakhadirannya di kantor ternyata memberikan dampak besar. Asistennya, Rehan, yang biasanya sigap dan penuh semangat, mulai merasa kewalahan. Setiap hari telepon di mejanya terus berdering, email masuk tanpa henti, dan para manajer lini mengeluh tentang tumpukan keputusan yang membutuhkan persetujuan langsung dari Daehan. "Wakil direktur juga hampir kewalahan, Pak," ujar Rehan sambil menelepon Daehan untuk memberikan laporan. Suaranya terdengar lelah, namun ia tetap profesional. "Semua orang mengandalkan Anda, dan sejujurnya, kami belum menemukan ritme tanpa kehadiran Anda di kantor." Daehan, yang sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan bantal bersandar di punggungnya, mendengarkan laporan itu dengan ekspresi serius. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali tajam seperti biasa. "Rehan, beri tahu semua orang ba
Di tengah kesunyian ruang ICU, Luna duduk di samping tempat tidur Daehan, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ia tak bisa menahan air mata yang terus mengalir. "Ya Allah... berikan aku kekuatan menghadapi cobaan ini, suamiku kini terbaring di ICU, dan aku sedang mengandung, berikan kesembuhan untuk suamiku ya Allah."Daehan, pria yang selama ini memberinya banyak luka sekaligus kebaikan, kini terbaring tak berdaya di hadapannya. "Bagaimana pun dia suamiku, dia ayah anakku, aku tak mau terjadi sesuatu padanya."Rasa takut kehilangan dan harapan agar Daehan segera sadar membuat hatinya penuh sesak. Ia teringat saat-saat sulit dalam hidupnya ketika Daehan menjadi satu-satunya yang memberikan bantuan, meskipun dengan segala kebencian yang terpendam. "Luna, kau harus kuat," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski sebenarnya hatinya hancur. Luna mengusap tangan Daehan dengan lembut, berharap sentuhannya bisa memberinya semangat untuk bertahan. "Kamu yang menyelamatkanku saat aku