Share

Bab 3 Kesepakatan

Di rumah sederhana keluarga Luna, suasana terasa tegang. Arya, ayah Luna, duduk di kursi tua dengan wajah penuh kekhawatiran. Luna yang melihat Ayahnya yang baru pulang kerja melihat ekspresi ayahnya dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Luna bertanya. "Ayah, ada apa? Wajah Ayah terlihat pucat."

Arya menghela napas panjang. "Luna, ada sesuatu yang harus Ayah sampaikan padamu."

Luna duduk di samping ayahnya. "Apa itu, Ayah? Katakan saja."

"Hutang Ayah... ternyata mencapai 135 juta rupiah. Ayah tidak tahu bagaimana cara melunasinya."Arya menundukkan kepalanya.

Luna: Terkejut. "135 juta? Bagaimana bisa sebanyak itu, Ayah?"

Arya: "Bunga pinjaman online itu sangat tinggi. Ayah tidak menyangka akan seburuk ini."

Luna: Menunduk, berpikir keras. "Ayah, jangan khawatir. Aku akan mencari cara untuk membantu melunasi hutang itu."

Arya: "Tapi bagaimana caranya, Luna? Gajimu belum cukup untuk itu."

Luna menatap nanar."Aku akan mencari solusi, Ayah. Percayalah padaku."

Setelah percakapan itu, Luna merasa bingung dan tertekan. Ia tahu bahwa gajinya sebagai karyawan baru tidak akan cukup untuk membantu ayahnya. Tiba-tiba, terpikir olehnya satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya—Daehan.

Esok harinya, Luna memberanikan diri untuk menemui Daehan di kantornya. Ia mengetuk pintu ruangan Daehan dengan gugup.

Daehan tanpa mengangkat wajah dari berkas di mejanya. "Masuk."

Luna masuk perlahan. "Maaf mengganggu, Tuan Daehan. Bolehkah saya berbicara sebentar?"

Daehan melihat sekilas ke arahnya. "Kau? Ada apa?"

Luna menelan salivanya. "Saya... ingin meminta bantuan Anda."

Daehan menyandarkan diri di kursi, menatapnya dengan dingin. "Bantuan apa yang kau minta? Kau baru satu hari bekerja di sini dan sudah berani meminta bantuan?"

Luna berucap."Saya tahu ini terdengar tidak pantas, tapi situasinya mendesak. Ayah saya terjerat hutang besar, dan saya tidak tahu harus bagaimana."

Daehan menyeringai sinis. "Jadi, kau ingin aku memberimu uang?"

Luna: Menunduk. "Saya bersedia melakukan apapun sebagai gantinya. Tolonglah, Tuan."

Daehan berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Luna. "Apapun, katamu?"

Luna mengangguk pelan. "Ya, apapun."

Daehan memutar matanya, berpikir sejenak. "Kau tahu, ini menarik. Kebetulan aku juga membutuhkan sesuatu."

Luna memandangnya dengan harapan. "Apa itu, Tuan?"

"Ayahku akan menyerahkan perusahaan ini sepenuhnya padaku jika aku menikah. Masalahnya, aku tidak tertarik dengan pernikahan."batin Daehan.

Daehan menghampiri lebih dekat. "Kita bisa membuat kesepakatan. Kau butuh uang, aku butuh istri, secara teknis. Bagaimana kalau kita menikah secara kontrak?"

Luna terkejut. "Menikah? Tapi..."

Daehan dengan santai."Ini hanya pernikahan di atas kertas. Setelah aku mendapatkan perusahaan, kita bisa berpisah. Kau akan mendapatkan uang untuk melunasi hutang ayahmu."

Luna ragu-ragu. "Tapi itu tidak benar. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan."

Daehan menyeringai. "Kau yang bilang bersedia melakukan apapun. Atau mungkin kau punya pilihan lain?"

Luna terdiam, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa ini tidak benar. Di sisi lain, ia memikirkan ayahnya yang terjerat hutang.

Daehan mendesak."Waktu terus berjalan, Luna. Keputusan ada di tanganmu."

Luna menghela napas berat. "Baiklah. Saya setuju."

Daehan tersenyum puas. "Bagus. Kita akan membuat perjanjian tertulis. Ada beberapa syarat yang harus kau patuhi."

Luna mengernyitkan keningnya. "Syarat apa saja?"

Daehan menjelaskan. "Pertama, kau harus menjaga penampilan dan perilaku yang sesuai sebagai istri seorang direktur. Kedua, jangan pernah mencampuri urusanku. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau."

Luna merasa tidak nyaman. "Maksud Anda?"

Daehan menarik sudut bibirnya. "Aku sering pergi ke klub, bertemu dengan wanita-wanita. Itu bukan urusanmu."

Luna merasa terluka, tapi menahan diri. "Baik."

"Ketiga, pernikahan ini bersifat rahasia. Hanya keluarga inti yang akan tahu. Tidak ada publikasi."ucap Daehan dengan tegas dan dingin.

Luna mengangguk. "Saya mengerti."

Daehan bertepuk tangan."Bagus. Kita akan menikah minggu depan. Pastikan kau siap."

Luna mengangguk pelan. "Baik, Tuan."

Luna keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa telah menjual dirinya, tetapi demi ayahnya, ia rela melakukan apapun. Sementara itu, Daehan kembali duduk di kursinya, tersenyum sinis.

Beberapa hari kemudian, Luna pulang ke rumah dan menemui ayahnya.

Arya memanggil. "Luna, kau terlihat lelah. Apa kau baik-baik saja?"

Luna memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku baik-baik saja, Ayah."

Arya mengernyit. "Ada yang ingin kau bicarakan?"

Luna ragu sejenak. "Ayah, aku punya kabar baik. Aku sudah menemukan cara untuk melunasi hutang kita."

Arya: Terkejut. "Benarkah? Bagaimana caranya?"

Luna: "Aku akan menikah dengan Tuan Daehan."

Arya terkejut. . "Apa? Bagaimana bisa? Kalian saling mengenal?"

"Kami... bertemu di kantor. Ini keputusan bersama."Ujar Luna.

Arya menautkan kedua alisnya. "Luna, pernikahan bukanlah hal yang bisa diputuskan begitu saja. Apakah kau yakin?"

Luna hanya menunduk. "Ini demi kita, Ayah. Aku ingin membantu."

Arya menghela napas. "Jika itu yang kau inginkan, Ayah hanya bisa mendukungmu. Tapi pastikan kau tidak menyesalinya nanti."

Luna tersenyum getir."Terima kasih, Ayah."

Hari pernikahan pun tiba. Upacara berlangsung sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga inti. Daehan tampak dingin dan formal, sementara Luna berusaha tegar meski hatinya berat.

Arya seharusnya tersenyum bahagia, melihat putrinya menikah namun saat ini dia menahan tangisnya karena , pernikahan putrinya, itu karena dirinya.

Akad nikah berlangsung secara tertutup dan hanya dihadiri kerabat dekat Pak Arya saja. Setelah upacara selesai, Daehan langsung membawa Luna ke rumah mewahnnya. Dimana ada ayah dan ibu Daehan. Ayah Daehan berasal dari korea meskipun mereka sudah memeluk agam islam. Sang ibu terlihat anggun meski sudah berumur dia merupakan asli Indonesia. Dan dia menatap Luna dengan dingin meski tak banyak bicara.

"Dia ... mirip sekali dengan wanita itu ."Sarah mengumpat dalam batinnya.

"Ibu ,dia istriku, kuharap ibu bisa menerimanya, "ucap Daehan. Sang ibu sepertinya sudah faham bahwa Daehan menikah secara kontrak.

Daehan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke Luna. "Kamar kita di sini, tapi jangan tidur di ranjangku, kau tidur di sofa saja."ketus Daehan.

Luna: "Baik."

Daehan mendelikkan matanya "Ingat syarat-syarat kita. Jangan membuat masalah."

Luna menjawab."Saya mengerti."

Beberapa hari berlalu, Luna menjalani perannya sebagai istri kontrak dengan penuh tanggung jawab. Ia menjaga rumah, memasak, dan berusaha bersikap profesional. Namun, Daehan sering pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali. Suatu malam, Luna memutuskan untuk menunggu Daehan di ruang tamu.

Luna selesai melaksanakan sholat malam.Pukul 2 pagi, pintu terbuka. Daehan masuk dengan langkah goyah, jelas sedang mabuk.

Luna mengernyit "Daehan, kau baik-baik saja?"

Daehan menatapnya dengan mata sayu. "Kenapa kau masih bangun? Bukankah aku sudah bilang jangan mencampuri urusanku?"

"Aku hanya khawatir. Sudah larut malam." Luna mengikuti langkah Daehan.

Daehan tertawa sinis. "Khawatir? Lucu sekali. Kita hanya terikat kontrak, ingat?"

Luna menunduk. "Maaf."

Daehan mendekat dengan tatapan tajam. "Jangan berpikir kau bisa mengubah apapun. Hidupku bukan urusanmu."

Luna menjawab "Aku mengerti. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."

Daehan menghela napas, kemudian berbalik menuju kamarnya. "Sudahlah. Tidurlah."

Setelah kejadian itu, Luna semakin merasa terasing. Ia sadar bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis bagi Daehan. Namun, di dalam hatinya, ia mulai merasakan sesuatu yang lain. Ia melihat sisi lain dari Daehan. kesepian dan luka yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.

Suatu hari, saat pagi sebelum Daehan berangkat bekerja.

Luna memulai percakapan "Daehan, bisakah kita bicara sebentar?"

Daehan tanpa mengalihkan pandangan dari koran di tangannya. "Tentang apa?"

Luna perlahan mengucap."Aku tahu ini bukan pernikahan sebenarnya, tapi bisakah kita mencoba untuk lebih... saling memahami?"

Daehan: Meletakkan korannya, menatap Luna dengan datar. "Apa maksudmu?"

"Kita tinggal di rumah yang sama. Mungkin akan lebih baik jika kita bisa berkomunikasi dengan baik."ujar Luna.

Daehan menyeringai. "Kau ingin menjadi istri yang baik sekarang?"

"Aku hanya ingin situasi ini tidak terasa canggung."Luna meremas hijabnya.

Daehan mendengus. "Dengar, Luna. Aku tidak membutuhkan teman bicara atau istri yang peduli. Aku sudah menjalani hidupku dengan caraku sendiri."

Luna menahan kecewa. "Baiklah, jika itu yang kau inginkan."

Percakapan itu kembali membentangkan jarak antara mereka. Luna merasa usahanya sia-sia, sementara Daehan terus menutup diri. Namun, tanpa mereka sadari, benih-benih perubahan mulai tumbuh di hati masing-masing.

Luna berangkat bekerja lebih dulu menggunakan bis dia tak berani jika dia ikut sang suami.

"Kemana gadis bodoh itu, wajahnya semakin membuatku muak, dan marah ... dan bodohnya kenapa aku bisa menjadikan dia istri kontrakku."

"Daehan, apa kau yakin dengan keputusanmu menikahi gadis itu?"Sarah bertanya sambil menyantap sarapannya.

"Begitulah kenyataannya, Ayah ingin aku menikah, baru menyerahkan perusahaannya."Daehan sambil mengepalkan tangannya mengingat syarat sang ayah.

Dimana mereka sudah hidup terpisah Ayahnya menceraikan sang ibu dan menikah dengan seorang wanita.

"Haloo tuan ini kabar buruk" suara dari sambungan seluler.

"Ada apa Andrew?"

"Ada yang mencoba meretas data perusahaan tuan !".Andrew dengan nada cemas.

"Apa ?"

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status