Nasib mempertemukan Kanaya, seorang yatim piatu dengan sepasang suami istri yang belum memiliki keturunan, Alan dan Arumi. Merasa kasihan, dan ingin menyelamatkan Kanaya, sepasang suami istri itu pun akhirnya mengadopsinya. Tahun demi tahun berlalu, Kanaya akhirnya tumbuh menjadi gadis yang cantik, tapi ada satu hal aneh yang mulai dirasakan Kanaya, dia lebih tertarik pada laki-laki dewasa yang matang dibandingkan laki-laki seumurannya. Termasuk tertarik pada ayah angkatnya sendiri. Tanpa Kanaya duga, gayung pun bersambut, dan Kanaya menjadi simpanan Alan. Hari demi hari, Kanaya lewati penuh dengan gamang, antara cinta, dan balas budi.
Lihat lebih banyakDi sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter
"Kamu baru sembuh, aku nggak mungkin tega mengatakan bagian paling menyakitkan dalam rumah tangga kita.""Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Sepintas, aku masih ingat senyuman hangatmu padaku, tapi sekarang kenapa jadi seperti ini? Siapa yang salah, aku atau kamu?"Alan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Arumi."Nggak penting siapa yang salah, kita berdua memang sudah tidak satu tujuan. Terlalu banyak ketidakcocokan, dan pola pikir."Arumi mengernyit, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Tapi kenapa tatapanmu begitu dingin padaku? Apa aku yang salah?"Alan menggeleng pelan. "Ini bukan tentang siapa yang salah. Kita memang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, begitu pula kamu. Aku sering kali merasa diabaikan sebagai seorang suami, dan kau berpikir aku ngga pernah mengerti keadaanmu. Kita sering bertengkar, hal-hal kecil jadi besar. Kita lelah, tapi tidak ada yang mau mengalah."Arumi menatap
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Kanaya .... Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali. Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil. Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini. Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan. Aku pun menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata. Akhirnya aku pun menangis ka...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen