Share

Bab 7

"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya.

"Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu.

"Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku.

"Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya.

"Kalau begitu teruskan, Naya."

"Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa.

"Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?"

"Oh iya."

Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.

Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang melihatku, tapi aku harus sadar, di matanya aku tetaplah putri kecilnya. Putri kecil yang saat ini sedang merapikan pakaian ayahnya, seperti yang dia katakan tadi.

"Sudah Pa ...." Mendengar suaraku, Papa terlihat terkejut. Entah mengapa, aku merasa Papa sedikit salah tingkah.

"Oh udah ya? Terima kasih ya, Nay."

"Sama-sama, Pa."

Papa pun mengangguk, lalu aku duduk kembali di samping Kenan, dan menyelesaikan suapan-suapan terakhir di bibir mungil itu. Namun, Papa masih berdiri di tempatnya. Belum beranjak sama sekali, mungkin dia sedang menunggu Kenan selesai makan.

"Udah selesai anak ganteng. Sekarang, kamu berangkat ya!"

"Makasih ya, Kak Naya. Besok Kenan suapin Kak Naya aja ya?" Aku pun mengangguk setuju.

Bocah kecil itu, kemudian bangkit dari kursi meja makan, lalu mendekat pada Papa yang sedari tadi masih berdiri di dekat kami.

"Pa, kita berangkat sekarang yuk!" rengek Kenan. Lalu, dijawab anggukkan kepala oleh Papa.

"Iya kita berangkat sekarang. Naya, kami pergi dulu ya!"

"Iya Pa, hati-hati di jalan," jawabku, kemudian melambaikan tangan, sembari menatap kedua sosok itu.

Tanpa sadar bibir ini tertarik, tiba-tiba saja anganku melambung tinggi. Membayangkan jika kami adalah sebuah keluarga kecil.

'Ah sh*t, Kanaya. Mimpimu terlalu jauh!'

****

Pukul Jam 9 malam, akhirnya aku sampai di rumah. Aku memarkirkan mobil, tepat di samping mobil Papa. Namun, aku tak melihat di garasi itu ada mobil Mama.

'Apa Mama belum pulang?' batinku dalam hati. Tak menyangka, jika ternyata Mama begitu sibuk.

Selama aku berada di Singapura, aku tahu Mama menjadi seorang influencer yang terkenal. Namun, aku tak menyangka jika jadwalnya, akan sepadat ini.

Saat baru menapakkan kaki di teras rumah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bahkan beberapa kali petir terdengar menyambar, dan begitu memekakkan telinga. Setelah sambaran petir dan kilat itu, tiba-tiba lampu rumahku, padam, dan membuat seluruh ruangan terlihat gelap.

Suasana terlihat cukup mencekam, dan membuat bulu kudukku meremang. Aku pun buru-buru memasuki rumah, dan memanggil Bi Asih.

"Bi ... Bi Asih ...!"

"Iya Non, sebentar ya. Mang Udin lagi benerin genset. Gensetnya tiba-tiba nggak mau nyala. Bibi lagi temenin Mang Udin sebentar." Sahutan Bi Asih pun terdengar dari arah belakang.

Aku hanya bisa menghela napas berat. Sejujurnya, aku takut gelap. Namun, sepertinya untuk saat ini aku hanya bisa pasrah. Suasana rumah begitu sunyi. Aku tak tahu, Kenan, dan Papa ada di mana. Mungkin, mereka sudah tidur.

Meskipun takut, aku tak mau ambil pusing. Dengan bermodal senter ponsel, aku pun berjalan ke arah laci. Bermaksud untuk mengambil lilin di laci tersebut.

Akan tetapi, tiba-tiba suara petir kembali terdengar. Bahkan, kali ini suara petir itu, begitu keras. Spontan, aku pun berteriak, sembari terisak ketakutan, dan tiba-tiba di tengah rasa takutku, sebuah pelukan hangat pun mendekap tubuh ini.

"Jangan takut, ini Papa. Ada Papa di sini."

Aku tahu, Papa sedang memelukku. Namun, detik itu juga aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku bisa mencium dengan jelas, ada aroma alkohol pada tubuh Papa. Reflek, aku pun sedikit mendorong tubuhnya.

Entah sadar, atau tidak, setelah mendapat dorongan itu, tiba-tiba Papa menarik pelan pinggang rampingku ke dalam pelukannya dan menghapus jarak di antara kami.

Tepat bersamaan dengan itu, petir kembali menyambar. Aku pun balas memeluk tubuh kekar itu. Bukannya mengambil kesempatan, tapi aku memang benar-benar takut.

Rasa takutku kali ini, memang sedikit mengacaukan nalar. Selain takut gelap, petir yang terus-menerus menyambar, membuatku kian kencang mendekap tubuh Papa.

"Pa, aku takut ...."

"Kamu tenang aja, di sini ada Papa."

Aku hanya mengangguk pasrah, dalam dekapan Papa yang kian erat merapatkan tubuh kami. Aku sungguh tak lagi peduli pada aroma alkohol yang kian menyengat. Aku begitu hanyut dalam dekapan, dan pesonanya.

Tubuhku kami yang saling menempel satu sama lain, membuatku bisa mendengar jelas degup jantung Papa, yang terdengar begitu cepat, tak beraturan. Sayup-sayup, napas yang memburu pun terdengar, dan menerpa wajahku.

Aku tahu, bagaimanapun juga Papa adalah lelaki dewasa. Hal ini, sebenarnya menjadi peringatan padaku untuk menjaga jarak. Namun, aku tidak melakukan itu. Aku justru kian hanyut dalam situasi malam ini, yang seperti sebuah sensasi baru bagiku. Kami berpelukan erat, di tengah derasnya hujan.

"Pa, antarin ke kamar ya!"

Kulihat Papa memejamkan mata, mendengar permintaan dariku. Entah sadar, atau tidak, kini Papa mengusap rambut panjangku yang tergerai, penuh rasa sayang.

"Pa, aku takut ...."

"Iya, Papa antar ke kamar."

Papa pun mengangguk setuju, lalu menuntunku ke kamar. Namun, saat mulai melangkah, kakiku tiba-tiba menginjak mainan Kenan, yang belum sempat Bi Asih bereskan.

"Aww ... sakit ...!" Spontan, aku pun berteriak, dan melepaskan dekapan tanganku pada tubuh Papa.

"Kenapa?"

"Nginjek mainannya Kenan kayaknya, Pa."

"Buat jalan sakit?"

Aku pun mengangguk, entah anggukkan itu terlihat atau tidak, aku tak tahu. Setelah itu, Papa melepaskan dekapan tangannya pada tubuhku. Lalu, tanpa aba-aba, membopong tubuh ini menaiki tangga.

Aku yang sudah hanyut dalam situasi itu, tak memedulikan apapun lagi. Begitu Papa membopong tubuhku, aku langsung melingkarkan tangan, di leher Papa, dan menyembunyikan wajah di dada bidang yang kini membopong tubuhku.

Setelah sampai di kamar, Papa kemudian membaringkan tubuhku, di ranjang tanpa melepas pelukan tanganku di lehernya.

Petir kembali menyambar dengan begitu keras. Aku yang ketakutan, tanpa sengaja, menarik leher Papa, hingga membuat tubuhnya jatuh ke atas tubuhku.

Waktu seakan terhenti ketika dua mata ini saling bertatapan. Dalam kegelapan, wajah kami tepat berhadapan, begitu dekat, tanpa jarak. Tubuh Papa menindih tubuhku di atas ranjang.

Sejenak kami hanya terdiam, entah apa yang ada di pikiran Papa, aku tak tahu. Yang jelas aku sangat menikmati momen romantis ini. Entah mendapat dorongan dari mana, tiba-tiba wajah Papa mendekat.

"Pa ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status