"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya.
"Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya. "Kalau begitu teruskan, Naya." "Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa. "Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?" "Oh iya." Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang. Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang melihatku, tapi aku harus sadar, di matanya aku tetaplah putri kecilnya. Putri kecil yang saat ini sedang merapikan pakaian ayahnya, seperti yang dia katakan tadi. "Sudah Pa ...." Mendengar suaraku, Papa terlihat terkejut. Entah mengapa, aku merasa Papa sedikit salah tingkah. "Oh udah ya? Terima kasih ya, Nay." "Sama-sama, Pa." Papa pun mengangguk, lalu aku duduk kembali di samping Kenan, dan menyelesaikan suapan-suapan terakhir di bibir mungil itu. Namun, Papa masih berdiri di tempatnya. Belum beranjak sama sekali, mungkin dia sedang menunggu Kenan selesai makan. "Udah selesai anak ganteng. Sekarang, kamu berangkat ya!" "Makasih ya, Kak Naya. Besok Kenan suapin Kak Naya aja ya?" Aku pun mengangguk setuju. Bocah kecil itu, kemudian bangkit dari kursi meja makan, lalu mendekat pada Papa yang sedari tadi masih berdiri di dekat kami. "Pa, kita berangkat sekarang yuk!" rengek Kenan. Lalu, dijawab anggukkan kepala oleh Papa. "Iya kita berangkat sekarang. Naya, kami pergi dulu ya!" "Iya Pa, hati-hati di jalan," jawabku, kemudian melambaikan tangan, sembari menatap kedua sosok itu. Tanpa sadar bibir ini tertarik, tiba-tiba saja anganku melambung tinggi. Membayangkan jika kami adalah sebuah keluarga kecil. 'Ah sh*t, Kanaya. Mimpimu terlalu jauh!' **** Pukul Jam 9 malam, akhirnya aku sampai di rumah. Aku memarkirkan mobil, tepat di samping mobil Papa. Namun, aku tak melihat di garasi itu ada mobil Mama. 'Apa Mama belum pulang?' batinku dalam hati. Tak menyangka, jika ternyata Mama begitu sibuk. Selama aku berada di Singapura, aku tahu Mama menjadi seorang influencer yang terkenal. Namun, aku tak menyangka jika jadwalnya, akan sepadat ini. Saat baru menapakkan kaki di teras rumah, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bahkan beberapa kali petir terdengar menyambar, dan begitu memekakkan telinga. Setelah sambaran petir dan kilat itu, tiba-tiba lampu rumahku, padam, dan membuat seluruh ruangan terlihat gelap. Suasana terlihat cukup mencekam, dan membuat bulu kudukku meremang. Aku pun buru-buru memasuki rumah, dan memanggil Bi Asih. "Bi ... Bi Asih ...!" "Iya Non, sebentar ya. Mang Udin lagi benerin genset. Gensetnya tiba-tiba nggak mau nyala. Bibi lagi temenin Mang Udin sebentar." Sahutan Bi Asih pun terdengar dari arah belakang. Aku hanya bisa menghela napas berat. Sejujurnya, aku takut gelap. Namun, sepertinya untuk saat ini aku hanya bisa pasrah. Suasana rumah begitu sunyi. Aku tak tahu, Kenan, dan Papa ada di mana. Mungkin, mereka sudah tidur. Meskipun takut, aku tak mau ambil pusing. Dengan bermodal senter ponsel, aku pun berjalan ke arah laci. Bermaksud untuk mengambil lilin di laci tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba suara petir kembali terdengar. Bahkan, kali ini suara petir itu, begitu keras. Spontan, aku pun berteriak, sembari terisak ketakutan, dan tiba-tiba di tengah rasa takutku, sebuah pelukan hangat pun mendekap tubuh ini. "Jangan takut, ini Papa. Ada Papa di sini." Aku tahu, Papa sedang memelukku. Namun, detik itu juga aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku bisa mencium dengan jelas, ada aroma alkohol pada tubuh Papa. Reflek, aku pun sedikit mendorong tubuhnya. Entah sadar, atau tidak, setelah mendapat dorongan itu, tiba-tiba Papa menarik pelan pinggang rampingku ke dalam pelukannya dan menghapus jarak di antara kami. Tepat bersamaan dengan itu, petir kembali menyambar. Aku pun balas memeluk tubuh kekar itu. Bukannya mengambil kesempatan, tapi aku memang benar-benar takut. Rasa takutku kali ini, memang sedikit mengacaukan nalar. Selain takut gelap, petir yang terus-menerus menyambar, membuatku kian kencang mendekap tubuh Papa. "Pa, aku takut ...." "Kamu tenang aja, di sini ada Papa." Aku hanya mengangguk pasrah, dalam dekapan Papa yang kian erat merapatkan tubuh kami. Aku sungguh tak lagi peduli pada aroma alkohol yang kian menyengat. Aku begitu hanyut dalam dekapan, dan pesonanya. Tubuhku kami yang saling menempel satu sama lain, membuatku bisa mendengar jelas degup jantung Papa, yang terdengar begitu cepat, tak beraturan. Sayup-sayup, napas yang memburu pun terdengar, dan menerpa wajahku. Aku tahu, bagaimanapun juga Papa adalah lelaki dewasa. Hal ini, sebenarnya menjadi peringatan padaku untuk menjaga jarak. Namun, aku tidak melakukan itu. Aku justru kian hanyut dalam situasi malam ini, yang seperti sebuah sensasi baru bagiku. Kami berpelukan erat, di tengah derasnya hujan. "Pa, antarin ke kamar ya!" Kulihat Papa memejamkan mata, mendengar permintaan dariku. Entah sadar, atau tidak, kini Papa mengusap rambut panjangku yang tergerai, penuh rasa sayang. "Pa, aku takut ...." "Iya, Papa antar ke kamar." Papa pun mengangguk setuju, lalu menuntunku ke kamar. Namun, saat mulai melangkah, kakiku tiba-tiba menginjak mainan Kenan, yang belum sempat Bi Asih bereskan. "Aww ... sakit ...!" Spontan, aku pun berteriak, dan melepaskan dekapan tanganku pada tubuh Papa. "Kenapa?" "Nginjek mainannya Kenan kayaknya, Pa." "Buat jalan sakit?" Aku pun mengangguk, entah anggukkan itu terlihat atau tidak, aku tak tahu. Setelah itu, Papa melepaskan dekapan tangannya pada tubuhku. Lalu, tanpa aba-aba, membopong tubuh ini menaiki tangga. Aku yang sudah hanyut dalam situasi itu, tak memedulikan apapun lagi. Begitu Papa membopong tubuhku, aku langsung melingkarkan tangan, di leher Papa, dan menyembunyikan wajah di dada bidang yang kini membopong tubuhku. Setelah sampai di kamar, Papa kemudian membaringkan tubuhku, di ranjang tanpa melepas pelukan tanganku di lehernya. Petir kembali menyambar dengan begitu keras. Aku yang ketakutan, tanpa sengaja, menarik leher Papa, hingga membuat tubuhnya jatuh ke atas tubuhku. Waktu seakan terhenti ketika dua mata ini saling bertatapan. Dalam kegelapan, wajah kami tepat berhadapan, begitu dekat, tanpa jarak. Tubuh Papa menindih tubuhku di atas ranjang. Sejenak kami hanya terdiam, entah apa yang ada di pikiran Papa, aku tak tahu. Yang jelas aku sangat menikmati momen romantis ini. Entah mendapat dorongan dari mana, tiba-tiba wajah Papa mendekat. "Pa ....""Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h