"Mau apa?" sahut Kanaya, ketika melihat Alan tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. "Em ... maksud Papa, apa kamu masih punya keinginan untuk kuliah di luar negeri?" Kanaya pun mengulum senyum. "Bukannya kemarin Papa nggak bolehin aku kuliah di sana?" "Jadi, kamu mau menuruti Papa?" "Sejak kapan aku jadi anak pembangkang?" jawab Kanaya dengan begitu polos, hingga membuat Alan terkekeh."Kok Papa ketawa sih? Emangnya ada yang lucu?" "Ada ...." "Apa ...?" "Kamu ...," jawab Alan, sembari mencubit kedua pipi Kanaya gemas, dan tentunya sikap Alan tersebut membuat Kanaya seketika salah tingkah. Tak hanya itu, pipi Kanaya pun kini tampak merona.Bergegas Kanaya pun bangkit, berpura-pura membersihkan meja, dan mengangkat piring bekas makan malam Alan ke arah belakang, untuk menyembunyikan rona merah di pipi.Akan tetapi, sikap Kanaya tersebut, tentunya mengundang tanda tanya dalam benak Alan. Dia bahkan berpikir, jika Kanaya bersikap cuek seperti itu karena tidak suka jika Alan menyebut
"Pa ....""Kamu ketakutan, sampe keliatan berantakan gini."Alan tersenyum, lalu menyibak helaian rambut yang ada di wajah Kanaya. Rambut gadis itu memang berantakan, disertai raut wajah yang masih terlihat takut. Sementara itu, Kanaya yang sedari tadi, otaknya sudah traveling terlalu jauh hanya bisa terdiam, sembari menatap Alan dengan tatapan datar. Perasaannya pun terasa begitu gamang."Kita ganti film-nya aja ya. Kanaya yang Papa kenal, dari dulu emang nggak suka nonton horor, 'kan?" Kanaya pun mengangguk, tak lagi menolak. Sejujurnya dia masih canggung dengan keadaan seperti ini. Tenggorokannya juga terasa begitu kelu. Berada di dekat Alan, benar-benar memacu adrenalinnya. Detik berikutnya, film sudah berganti. Namun, Kanaya yang sebenarnya sudah cukup mengantuk, akhirnya tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Tak berapa lama, gadis itu pun sudah terlelap di samping Alan. Alan yang mendengar dengkuran halus pun menoleh, dan mendapati Kanaya saat ini sudah tertidur. Alan mena
Alan pun menoleh, dan mendapati Arumi telah berdiri di belakangnya. Dalam benak Alan, sebenarnya dia cukup terkejut jika ternyata Arumi sudah pulang, karena wanita itu mengatakan akan pulang siang, atau sore ini."Aku pulang lebih awal, karena ...." Belum selesai Arumi berkata, tiba-tiba Alan sudah membalikkan tubuh, seolah tak ingin mendengar penjelasan istrinya."Mas Alan, kamu kenapa?" panggil Arumi. Dia kemudian berlari ke arah Alan, dan memeluknya dari arah belakang."Mas aku kangen ...."Alan hanya terdiam, tak membalikkan tubuh, ataupun membalas pelukan itu. "Kenapa Mas, apa kamu nggak kangen sama aku?"Alan kemudian tersenyum sinis, sembari melepaskan pelukan istrinya. "Apa itu penting bagimu? Selama ini aku selalu merindukanmu, tapi apa kau pernah memikirkan perasaanku? Yang kau pikirkan cuma kepentinganmu!""Apa maksudmu, Mas?""Jadi kau belum menyadari keegoisanmu? Kau selalu pergi kapanpun kau mau tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, dan anak-anak. Setelah itu, tanpa ras
Butiran bening, kini mulai jatuh, dan membasahi wajah cantik Kanaya. Tak dapat dipungkiri, hatinya terasa begitu sakit. Meskipun sebisa mungkin, dia menyakinkan diri jika dirinya baik-baik saja, dan tak pantas merasakan perasaan seperti ini. Namun, hati tak bisa berbohong.Kanaya kemudian berlari ke kamar, menutup pintu kamar itu, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Setelah itu, tangisnya pun pecah. Walaupun Kanaya sudah mati-matian membendungnya, tapi rasanya begitu sulit.Kanaya tahu ini salah. Tidak sepantasnya dia bersikap seperti ini. Namun, rasa sakit itu terasa begitu menusuk kalbu."Rasa cinta memang terkadang begitu menyakitkan, dan aku terjerumus pada luka akibat jatuh dari mimpi yang melampaui bintang. Kini, aku ingin melupakan, dan kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam."Sayup-sayup lantunan sebuah lagu pun terdengar dari layar televisi di kamar Kanaya."Kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam." Gumaman lirih pun terdengar dari bibir
Alan kembali menghubungi Kanaya, tapi ponsel itu masih saja tidak aktif."Astaga, apa yang sebenarnya dilakukan anak itu?"Tak kehilangan akal, Alan pun mencari tahu posisi mobi Kanaya melalui GPS yang dia taruh di mobil tersebut."Astaga, kenapa mobilnya berhenti di sana? Lagi apa dia di tempat seperti itu?" pekik Alan panik, ketika menyadari jika mobil Kanaya tengah berhenti di sebuah tempat yang dikenal cukup berbahaya. Tempat itu, tak hanya sepi, tapi juga banyak preman. Alan sebenarnya memang sengaja memasang GPS di mobil milik Kanaya. Entah mengapa, sejak Kanaya pulang, dia sering kali merasa cemas jika Kanaya pergi ke luar.Alan hanya ingin memantau pergaulan putrinya, dan si saat seperti ini, tampaknya hal tersebut sangat bermanfaat.Melihat Kanaya yang sekarang begitu cantik, sering kali, Alan takut, sesuatu hal yang buruk terjadi pada Kanaya. Apalagi, di tengah pergaulan remaja di masa seperti sekarang, Alan hanya ingin kehidupan Kanaya terkontrol.Setelah memastikan di man
Kanaya terdiam mendengar perkataan Alan. Kata sayang yang terucap dari bibir Alan terdengar begitu menggetarkan hatinya . Meskipun, dia pun tahu jika yang dimaksud dengan sayang itu, rasa sayang orang tua pada anaknya, tidak lebih. "Kanaya, kamu nggak apa-apa, 'kan?" "Kenapa malah Papa yang tanya kaya gitu sama Kanaya? Bukankah Papa yang saat ini terluka? Tuh lihat, bibir Papa aja berdarah," jawab Kanaya saat melihat tetesan darah yang keluar dari sudut bibir Alan. Sebenarnya kemampuan bela Alan cukup bagus, dan membuat ketiga preman itu kewalahan. Namun, jumlah yang tak seimbang, tentunya membuat ada beberapa bagian tubuh Alan yang terluka. "Papa nggak apa-apa, ini udah biasa. Kamu udah telpon Om Brata, 'kan? Biar mobil kamu diurus sama Om Brata, dan anak buah Papa." "Iya, sekarang kita pulang ya. Atau, Papa mau Kanaya antar ke rumah sakit?" Alan menggelengkan kepala. "Ini luka kecil Kanaya. Kamu nggak usah lebay kaya gini." "Ya udah nanti Naya obati aja ya. Sekarang, ki
Kini giliran Kanaya yang memejamkan mata, tak tahu harus berbuat apa. Jangan ditanya tentang perasaannya. Yang jelas, campur aduk, hingga rasanya hampir kehilangan kewarasan.Berciuman dengan laki-laki yang dicintai, memang terdengar normal. Namun, beda ceritanya jika lelaki itu adalah ayah angkatnya.Di mata Kanaya, Alan adalah sosok laki-laki yang sangat mencintai istrinya. Namun, entah mengapa di saat seperti ini, dia justru mau menciumnya. Kanaya benar-benar tak tahu jawabannya. Otaknya kini sudah terlalu riuh. Begitu pula dengan perasaannya.Sementara itu, apa yang dirasakan Alan pun tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Kanaya. Kejadian itu, rasanya begitu cepat.Alan yang sedari tadi sudah tergoda dengan Kanaya, kian didukung oleh keadaan yang membelenggu pada situasi yang membuat dirinya, tak bisa berkutik pada pesona Kanaya.Setelah mati-matian, Alan menampik, dan mencoba menghindar darinya. Kini, pertahanan itu luruh. Pertahanan itu luluh lantak seketika, dan sekarang y
Alan yang mendengar ungkapan suka dari Kanaya pun terkekeh. "Kamu suka sama laki-laki berumur kaya Papa?" sahut Alan. Lalu, dijawab anggukkan kepala malu-malu kucing oleh Kanaya.Alan pun kembali terkekeh. Dia kemudian membelai wajah putih Kanaya yang malam ini terlihat begitu cantik."Pa, kita pulang sekarang. Mama pasti udah nunggu." Alan menganggukkan kepalanya, lalu mengendarai mobilnya kembali.Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Dalam benak Alan, dan Kanaya, mereka terlalu sibuk memikirkan apa yang terjadi.Semua terasa mengalir begitu saja. Kanaya tentunya masih tak menyangka semua ini akan terjadi. Dicium oleh oleh laki-laki yang dia cintai, sungguh membuat dirinya melayang. Meskipun, lelaki tersebut adalah ayah angkatnya.Kanaya pikir, memiliki hubungan lebih dengan Alan adalah sesuatu hal yang mustahil. Kanaya juga berpikir, jika Alan sangatlah mencintai Arumi, dan tidak pernah tertarik pada wanita lain. Namun, nyatanya tidak.Melihat Kanaya yang terdiam. Perlahan, Alan
Malam itu, suasana cukup tegang. Pak Rama menatap Rain dengan penuh kecurigaan. Sedangkan Rain, tetep kekeuh pada pendiriannya, jika dia sama sekali tak pernah berbuat hal yang dituduhkan Pak Rama."Anda tidak tahu seberapa banyak rasa sakit yang pernah saya derita karena mencintai putri Anda. Saya nggak mungkin berbuat seperti itu, Pak Rama."Rain tetap berusaha menghormati, meskipun sebenarnya merasa terpukul dengan tuduhan itu. Namun, ia tahu bahwa diam saja bukan pilihan. Dengan suara tenang, ia berusaha membela dirinya tanpa memperkeruh keadaan."Lalu siapa? Di foto yang tersebar, jelas sekali foto tersebut bersifat pribadi, dan sudut pengambilannya pun dari sudut pandangmu, bukan orang lain. Jadi, siapa lagi yang melakukan kalau bukan kamu?""Maaf, Pak, saya akui, foto-foto itu memang saya yang memilikinya. Namun, saya sama sekali tidak pernah melakukan itu. Saya tahu, kondisi Arumi sedang terpuruk, saya tidak mungkin berbuat hal seperti itu padanya.""Nggak usah kebanyakan alas
"Aku penasaran sama berita itu deh, aku boleh liat pemberitaan tentang Kak Arumi di TV, nggak, Mas?" tanya Kanaya, yang tak leluasa jika melihat berita tersebut dari ponsel Alan."Nggak sayang, aku nggak mau sesuatu terjadi sama kamu. Keadaan kamu masih gini, kalo tiba-tiba kamu sakit kepala gimana?"Alan memasang wajah galak. Jujur saja, dia khawatir jika di televisi, masih ada pemberitaan buruk tentang dirinya, dan Kanaya. Alan tak mau hal tersebut mengganggu psikologis Kanaya, yang saat ini sedang dalam masa pemulihan."Mas, please. Aku janji ga bakalan masukin ati sama pikiran kalo liat berita itu. Selama satu minggu ini, aku kayak hidup di gua. Ngga tahu tentang berita apapun di luar sana. Padahal, aku juga bisa kok filter berita, tanpa baca komentar netizen juga. Please, boleh ya ...."Alan hanya menghembuskan napas panjang, belum menyetujui permintaan Kanaya."Mas please. Katanya cinta ...."Rengekan, serta raut wajah Kanaya yang menggemaskan, akhirnya membuat Alan luluh."Ya u
Beberapa saat kemudian, Alan sudah sampai di rumah sakit. Kala itu, hujan masih turun dengan derasnya.Dengan langkah cepat, dia berjalan di koridor, diiringi senandung merdu rintik hujan yang membasahi atap rumah sakit. Napasnya tersengal, bajunya sedikit basah karena cipratan air hujan, tapi dia tidak peduli. Untuk saat ini, dia hanya ingin menemui Kanaya secepatnya.Alan benar-benar rindu pada kekasihnya itu, meskipun baru berpisah sebentar saja. Entah mengapa, sejak Kanaya kecelakaan, Alan tak bisa pergi terlalu lama dari Kanaya.Alan seolah masih trauma, dan takut, meninggalkan Kanaya terlalu lama, karena kecelakaan itu, hampir saja membuat dirinya hampir saja kehilangan Kanaya untuk selama-lamanya.Alan berjalan dengan langkah terburu-buru. Begitu tiba di depan pintu kamar, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dada, seolah ingin meluapkan rindu yang dia pendam.Perlahan, dia membuka pintu dan melihat Kanaya yang sepertinya sedang tidur d
Di Sisi Lain ....Setelah Arumi keluar dari ruang mediasi, Alan masih berada di ruangan tersebut, bercakap-cakap dengan tim kuasa hukumnya.Hingga beberapa saat kemudian, setelah dirasa cukup berdiskusi, Alan bangkit. Lalu, dengan langkah yang terasa lebih ringan dari sebelumnya dia berjalan keluar dari ruangan tersebut.Udara yang dia hirup, terasa lebih segar, seolah dunia baru saja membuka lembaran baru untuknya. Proses mediasi yang beberapa saat lalu membebani pikiran akhirnya selesai, dan Alan tidak bisa menyangkal rasa lega yang memenuhi dada, ketika Arumi akhirnya menyetujui perceraian tersebut.Alan benar-benar bahagia, bisa lepas dari Arumi. Namun, bukan berarti dia tidak menghargai masa lalu. Ada waktu-waktu indah, ada kenangan yang pernah dia bangun bersama, tapi hubungannya, dan Arumi sudah terlalu lama menjadi ladang pertengkaran, yang juga diwarnai dengan ketidaksetiaan masing-masing pasangan.Setiap percakapan berubah menjadi perdebatan, setiap keputusan terasa seperti
Pak Rama menarik napas panjang, menggenggam jemari tangan Arumi dengan lembut."Papa tahu, ini pasti membingungkan dan berat untukmu. Mama kamu sedang berjuang melawan penyakit yang tidak terlihat."Nada bicara Pak Rama terdengar bergetar, rasanya berat untuk menjelaskan keadaan Bu Dahlia. Namun, dia sadar, cepat atau lambat, Arumi pasti tahu keadaan ibunya."Apa maksud Papa?" sahut Arumi yang tak mengerti dengan perkataan Pak Rama. Ingin rasanya menolak praduga yang sedari tadi berkecamuk di dalam dada."Mama kamu mengalami tekanan mental, sampai menggangu kejiwaannya.""Maksud Papa, Mama ...."Arumi tak melanjutkan perkataannya. Wanita itu, tampak begitu syok. Seolah tahu maksud Arumi, Pak Rama pun menganggukkan kepalanya.Sebenarnya, Pak Rama pun tidak tega harus mengatakan ini pada Arumi, yang pasti mentalnya sedang tidak baik-baik saja, karena perceraian yang sedang dia jalani."Nggak, nggak mungkin ....""Arumi, kamu juga sebenarnya sudah menyadari perubahan Mama kamu, 'kan? Seb
"Bukan apa-apa, Mas. Aku cuma salah ngomong," sahut Arumi gagap.Sedangkan Alan tersenyum kecut, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arumi. Laki-laki itu, kini menatap Arumi dengan tatapan nyalang.Arumi kian gugup, dia memilih diam dengan perasaan campur aduk. Dia masih berharap ada sedikit celah untuk memperbaiki pernikahannya dengan Alan, laki-laki yang sudah mengarungi rumah tangga dengannya selama belasan tahun. Namun, setelah lebih dari satu jam berbicara di hadapan mediator, semuanya terasa sia-sia. Alan tetap pada pendiriannya, ingin bercerai. Tidak ada kompromi, tidak ada celah untuk bertahan.Arumi menghela napas panjang, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia mencoba menahan air matanya, tetapi hatinya terasa begitu berat. Inilah akhirnya. Harapan yang tersisa kini sirna."Baik, setelah sesi mediasi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan untuk mempertahankan pernikahan. Apakah kalian berdua yakin dengan keputusan ini?""Mas, ini benar
Pagi ini, langit tampak mendung. Dengan langkah berat, Alan turun dari mobil, matanya nanar menatap gedung pengadilan yang berdiri kokoh di depannya. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menekan, membuat napasnya tersengal meski udara begitu sejuk. Tangannya gemetar saat merapikan kancing kemeja, bukan karena dingin, ataupun tak rela berpisah.Namun, karena gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Marah, dan kecewa, semua bercampur menjadi satu, tak berbentuk, tak terlihat, tapi begitu nyata dirasa. Rasanya Alan masih enggan untuk bertemu dengan wanita yang hari ini dia gugat cerai. Rasanya hati Alan masih sulit untuk berdamai, dan bersikap biasa saja pada Arumi.Arumi, wanita yang dulu sangat dia cintai dengan sepenuh hati, dan dia pilih untuk menjadi ibu dari anak-anaknya, telah mengkhianati kepercayaannya. Meskipun, Alan juga melakukan hal yang sama, tapi dia melakukan semua itu, karena sikap Arumi yang begitu egois padanya. Padahal, dulu Alan sangat mencint
Pagi ini, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit kelabu seakan memahami kegundahan yang menyelimuti hati Arumi.Saat ini, dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah tirai jendela yang bergoyang pelan ditiup angin. Setelah perdebatannya dengan Pak Rama kemarin, Arumi memutuskan untuk menyetujui semua perintah ayahnya, termasuk salah satunya pulang ke rumah.Akan tetapi, yang membuat dirinya semakin pilu adalah hari ini merupakan, hari sidang pertama perceraiannya dengan Alan.Hari yang selama ini coba dia tolak, dengan berbagai cara. Namun semua itu terasa sia-sia, dan kini, dia tak bisa lagi menghindari.Tangan Arumi gemetar saat meraih cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Pahitnya kopi itu, seolah mencerminkan rasa di hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menenangkan gelombang emosi yang terus menghantamnya. Ada sedih, ada marah, ada ketakutan yang menyesak di dada.Bukan ini yang dia bayangkan ketika dulu pertama kali menjalani rumah tangga denga
Pagi ini, sinar matahari menerobos lembut melalui celah tirai kamar. Udara masih terasa dingin, sisa embun malam yang belum sepenuhnya menguap. Dengan mata yang masih berat, Arumi menggeliat perlahan, mencoba mengumpulkan kesadaran setelah terlelap semalaman.Namun, ketenangan pagi itu buyar seketika saat terdengar suara ketukan di pintu. Arumi ragu-ragu, dan cemas jika sosok yang datang, adalah laki-laki yang semalaman datang dan mengusik ketenangannya. Jantung Arumi berdegup lebih cepat. "Siapa yang datang sepagi ini?"Arumi bergumam lirih. Dengan langkah enggan, dia berjalan menuju pintu, masih dengan kantuk yang menggantung di kelopak matanya.Saat daun pintu terbuka, waktu seakan berhenti. Di hadapannya berdiri sosok yang begitu dikenalnya—ayahnya. Pak Rama saat ini berdiri di depannya. Mata laki-laki paruh baya itu, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Arumi tahu, ayahnya pasti sangat marah padanya. Namun, dia tampak mencoba mengendalikan perasaannya.Arumi tercekat, bib