Share

Bab 12

POV AUTHOR

Alan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.

Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.

Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.

Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.

Akan tetapi, siapa sangka kalau keputusan Alan, menjadi awal dari hambarnya hubungan rumah tangga mereka. Arumi saat ini memang begitu sibuk, hingga jarang sekali meluangkan waktunya untuk keluarga. Setiap hari, dia sering kali pulang larut malam. Bahkan, terkadang tidak pulang ke rumah.

Pagi ini, hasrat Alan yang sudah menggebu, membuatnya diam-diam menyesap bibir Arumi. Sekalipun istrinya itu masih tertidur, tapi Alan tak peduli. Hasratnya seakan memuncak. Sudah dua minggu ini mereka tidak melakukan hubungan suami istri.

Merasakan sentuhan pada bibirnya, perlahan Arumi pun sadar, dan tampak terkejut melihat apa yang Alan lakukan. Selanjutnya Arumi mulai mengikuti alur yang Alan mainkan. Lidah keduanya saling bermain, mengeksplor bagian masing-masing.

Akan tetapi, saat keduanya asyik saling memagut, tiba-tiba suara ponsel Arumi berbunyi. Arumi pun melepaskan pagutan bibir mereka. Lalu mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas.

Arumi kemudian menjawab panggilan ponsel itu. Sementara Alan yang terlihat begitu kesal. Dia hanya tersenyum sinis, seolah mengerti, siapa pagi ini yang sudah menelpon dan mengacaukan momen romantisnya bersama Arumi.

Dia adalah Boby, seorang laki-laki gemulai yang sudah menjadi asisten Arumi, selama dua tahun terakhir ini. Alan akhirnya memilih untuk mengalah, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Sementara itu, Arumi yang saat ini sedang menerima telepon dari Boby, tampak berjalan ke arah balkon kamar, dan terlibat obrolan serius tentang pekerjaan mereka.

Bagi Arumi, Boby yang merupakan teman kuliahnya, merupakan sosok yang begitu menyenangkan, dan sangat mengerti dirinya. Arumi tampak tersenyum simpul saat melihat Alan yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Alan keluar dari kamar mandi, dan Arumi tampak sudah menyelesaikan percakapannya dengan Boby.

"Udah nelponnya?"

Arumi tak menjawab, hanya menghembuskan napas panjang.

"Sampai kapan kamu terus-menerus sibuk kaya gini, dan nelantarin anak-anak, Arumi?"

Arumi menoleh sinis pada suaminya. "Apa kamu bilang? Nelantarin anak, Mas? Sejak kapan? Apa kamu nggak liat aku selalu luangin waktu buat anak-anak, saat aku di rumah?"

Alan pun tersenyum kecut. "Kalau di rumah? Kalo nggak? Bukannya kamu lebih banyak di luar rumah?" sahut Alan, sembari mengambil kemeja dari dalam lemari. Alan telah terbiasa hidup mandiri sebagai seorang suami.

Sudah sejak lama, Arumi, tak lagi melakukan tugas yang seharusnya dia lakukan, seperti saat awal menikah dulu. Bahkan, hanya sekedar menyiapkan pakaian untuk Alan pun tak pernah lagi dia lakukan.

"Mas, kita udah ngomongin ini ya. Kamu juga udah setuju sama kegiatan aku yang sekarang, 'kan!"

"Dan aku menyesal! Arumi, coba pertimbangkan bagaimana perkembangan psikologis Kenan sekarang yang jarang didampingi olehmu? Dia bahkan lebih asyik dengan gatgetnya dibandingkan memahami dunia luar. Lalu, Kanaya yang sudah beranjak dewasa, dan dalam masa mencari jati diri. Dia juga butuh bimbingan, dan pengawasan kamu, Arumi!"

"Kenan, nggak pernah kekurangan kasih sayang apapun dariku, Mas. Lagipula, bukankah di era sekarang, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan dunia maya? Lalu Kanaya, seharusnya kamu yang introspeksi, Mas."

"Apa maksud, kamu?" sahut Alan ketus.

"Kanaya udah dewasa. Dia pasti curiga kalo liat kamu sering mabuk. Kanaya juga bilang, dia udah dua kali dia liat kamu mabuk-mabukan! Apa kamu nggak sadar tadi malem kamu juga udah buat kegaduhan di rumah ini, Mas?"

'Kegaduhan tadi malam?' batin Alan sembari menautkan alis, mencoba mengingat apa yang telah terjadi padanya.

"Kamu nggak inget kalo tadi malem kamu mabuk? Terus pingsan di sofa, waktu Kanaya mau bantu kamu jalan ke kamar? Aku sampe kaget tiba-tiba Kanaya ketuk pintu kamar malem-malem, terus bilang kalo kamu katanya pingsan," sambung Arumi, ketika melihat Alan hanya terdiam.

Sekelebat bayangan tentang Kanaya pun kembali melintas dalam benak Alan. Ya, dia memang ingat ketika Kanaya turun, untuk mengambil minuman. Namun, setelah itu Alan lupa.

"Kanaya ...?" gumam Alan lirih, disertai sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam hatinya.

'Aku sayang, Papa.'

'Papa juga sayang, Kanaya.'

Percakapan itu tiba-tiba terngiang begitu saja dalam benak Alan. Namun, Alan tak tahu kapan percakapan itu terjadi. Mengapa ketika dia sedang berusaha mengingat kejadian tadi malam, yang terlintas hanya percakapan itu?

'Mungkin aku terlalu memikirkan bagaimana perasaan Kanaya saat seringkali liat aku mabuk. Aku yakin, percakapan itu saat Kanaya masih kecil. Bukankah, aku sering mengatakan itu ketika sedang menjemput Kanaya pulang sekolah? Jadi, saat aku mengingat apa yang terjadi tadi malam, hanya percakapan kami dulu yang aku ingat,' batin Alan, sembari menghembuskan napas panjang.

"Mas, kamu temenin anak-anak dulu di bawah ya. Aku mau mandi."

Suara Arumi pun seketika menyentak lamunan Alan, dan hanya dijawab dengan anggukan kepala. Jujur saja, Alan masih kesal.

Arumi tetaplah Arumi yang seolah tidak memiliki perasaan bersalah, jika dia tegur. Arumi juga selalu menganggap enteng perasaannya, dan selalu berpikir jika rumah tangga mereka baik-baik saja. Padahal, ada begitu banyak kekecewaan yang telah lama Alan pendam.

Arumi tetap hidup dengan kebenaran yang dia yakini sendiri, dan Alan, mau tak mau harus terbiasa dengan sikapnya itu.

Alan pun merapikan pakaiannya, dengan asal. Lalu, keluar dari kamar sembari membawa dasi, dan tas kerjanya. Pertengkaran kecil dengan Arumi pagi ini, sudah membuat mood Alan berantakan.

Alan menuruni tangga, lalu berjalan menuju ke meja makan. Di sana, sudah ada Kenan yang duduk sendiri, dan sibuk dengan gatget di tangannya.

"Bocil ganteng, sarapannya udah siap nih!"

Atensi Alan tiba-tiba teralihkan ketika mendengar suara lembut Kanaya, yang sedang berjalan dengan membawa masakan di tangan. Alan tahu, pasti Kanaya lagi yang membuat sarapan.

Entah mengapa, saat ini, netra Alan tak bisa lepas dari sosok Kanaya yang terlihat begitu cantik. Hingga tanpa sadar, Alan bergumam lirih, "Kanaya, bukan lagi putri kecilku ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status