POV AUTHOR
Alan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya. Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan. Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan. Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya. Akan tetapi, siapa sangka kalau keputusan Alan, menjadi awal dari hambarnya hubungan rumah tangga mereka. Arumi saat ini memang begitu sibuk, hingga jarang sekali meluangkan waktunya untuk keluarga. Setiap hari, dia sering kali pulang larut malam. Bahkan, terkadang tidak pulang ke rumah. Pagi ini, hasrat Alan yang sudah menggebu, membuatnya diam-diam menyesap bibir Arumi. Sekalipun istrinya itu masih tertidur, tapi Alan tak peduli. Hasratnya seakan memuncak. Sudah dua minggu ini mereka tidak melakukan hubungan suami istri. Merasakan sentuhan pada bibirnya, perlahan Arumi pun sadar, dan tampak terkejut melihat apa yang Alan lakukan. Selanjutnya Arumi mulai mengikuti alur yang Alan mainkan. Lidah keduanya saling bermain, mengeksplor bagian masing-masing. Akan tetapi, saat keduanya asyik saling memagut, tiba-tiba suara ponsel Arumi berbunyi. Arumi pun melepaskan pagutan bibir mereka. Lalu mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Arumi kemudian menjawab panggilan ponsel itu. Sementara Alan yang terlihat begitu kesal. Dia hanya tersenyum sinis, seolah mengerti, siapa pagi ini yang sudah menelpon dan mengacaukan momen romantisnya bersama Arumi. Dia adalah Boby, seorang laki-laki gemulai yang sudah menjadi asisten Arumi, selama dua tahun terakhir ini. Alan akhirnya memilih untuk mengalah, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sementara itu, Arumi yang saat ini sedang menerima telepon dari Boby, tampak berjalan ke arah balkon kamar, dan terlibat obrolan serius tentang pekerjaan mereka. Bagi Arumi, Boby yang merupakan teman kuliahnya, merupakan sosok yang begitu menyenangkan, dan sangat mengerti dirinya. Arumi tampak tersenyum simpul saat melihat Alan yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Alan keluar dari kamar mandi, dan Arumi tampak sudah menyelesaikan percakapannya dengan Boby. "Udah nelponnya?" Arumi tak menjawab, hanya menghembuskan napas panjang. "Sampai kapan kamu terus-menerus sibuk kaya gini, dan nelantarin anak-anak, Arumi?" Arumi menoleh sinis pada suaminya. "Apa kamu bilang? Nelantarin anak, Mas? Sejak kapan? Apa kamu nggak liat aku selalu luangin waktu buat anak-anak, saat aku di rumah?" Alan pun tersenyum kecut. "Kalau di rumah? Kalo nggak? Bukannya kamu lebih banyak di luar rumah?" sahut Alan, sembari mengambil kemeja dari dalam lemari. Alan telah terbiasa hidup mandiri sebagai seorang suami. Sudah sejak lama, Arumi, tak lagi melakukan tugas yang seharusnya dia lakukan, seperti saat awal menikah dulu. Bahkan, hanya sekedar menyiapkan pakaian untuk Alan pun tak pernah lagi dia lakukan. "Mas, kita udah ngomongin ini ya. Kamu juga udah setuju sama kegiatan aku yang sekarang, 'kan!" "Dan aku menyesal! Arumi, coba pertimbangkan bagaimana perkembangan psikologis Kenan sekarang yang jarang didampingi olehmu? Dia bahkan lebih asyik dengan gatgetnya dibandingkan memahami dunia luar. Lalu, Kanaya yang sudah beranjak dewasa, dan dalam masa mencari jati diri. Dia juga butuh bimbingan, dan pengawasan kamu, Arumi!" "Kenan, nggak pernah kekurangan kasih sayang apapun dariku, Mas. Lagipula, bukankah di era sekarang, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan dunia maya? Lalu Kanaya, seharusnya kamu yang introspeksi, Mas." "Apa maksud, kamu?" sahut Alan ketus. "Kanaya udah dewasa. Dia pasti curiga kalo liat kamu sering mabuk. Kanaya juga bilang, dia udah dua kali dia liat kamu mabuk-mabukan! Apa kamu nggak sadar tadi malem kamu juga udah buat kegaduhan di rumah ini, Mas?" 'Kegaduhan tadi malam?' batin Alan sembari menautkan alis, mencoba mengingat apa yang telah terjadi padanya. "Kamu nggak inget kalo tadi malem kamu mabuk? Terus pingsan di sofa, waktu Kanaya mau bantu kamu jalan ke kamar? Aku sampe kaget tiba-tiba Kanaya ketuk pintu kamar malem-malem, terus bilang kalo kamu katanya pingsan," sambung Arumi, ketika melihat Alan hanya terdiam. Sekelebat bayangan tentang Kanaya pun kembali melintas dalam benak Alan. Ya, dia memang ingat ketika Kanaya turun, untuk mengambil minuman. Namun, setelah itu Alan lupa. "Kanaya ...?" gumam Alan lirih, disertai sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam hatinya. 'Aku sayang, Papa.' 'Papa juga sayang, Kanaya.' Percakapan itu tiba-tiba terngiang begitu saja dalam benak Alan. Namun, Alan tak tahu kapan percakapan itu terjadi. Mengapa ketika dia sedang berusaha mengingat kejadian tadi malam, yang terlintas hanya percakapan itu? 'Mungkin aku terlalu memikirkan bagaimana perasaan Kanaya saat seringkali liat aku mabuk. Aku yakin, percakapan itu saat Kanaya masih kecil. Bukankah, aku sering mengatakan itu ketika sedang menjemput Kanaya pulang sekolah? Jadi, saat aku mengingat apa yang terjadi tadi malam, hanya percakapan kami dulu yang aku ingat,' batin Alan, sembari menghembuskan napas panjang. "Mas, kamu temenin anak-anak dulu di bawah ya. Aku mau mandi." Suara Arumi pun seketika menyentak lamunan Alan, dan hanya dijawab dengan anggukan kepala. Jujur saja, Alan masih kesal. Arumi tetaplah Arumi yang seolah tidak memiliki perasaan bersalah, jika dia tegur. Arumi juga selalu menganggap enteng perasaannya, dan selalu berpikir jika rumah tangga mereka baik-baik saja. Padahal, ada begitu banyak kekecewaan yang telah lama Alan pendam. Arumi tetap hidup dengan kebenaran yang dia yakini sendiri, dan Alan, mau tak mau harus terbiasa dengan sikapnya itu. Alan pun merapikan pakaiannya, dengan asal. Lalu, keluar dari kamar sembari membawa dasi, dan tas kerjanya. Pertengkaran kecil dengan Arumi pagi ini, sudah membuat mood Alan berantakan. Alan menuruni tangga, lalu berjalan menuju ke meja makan. Di sana, sudah ada Kenan yang duduk sendiri, dan sibuk dengan gatget di tangannya. "Bocil ganteng, sarapannya udah siap nih!" Atensi Alan tiba-tiba teralihkan ketika mendengar suara lembut Kanaya, yang sedang berjalan dengan membawa masakan di tangan. Alan tahu, pasti Kanaya lagi yang membuat sarapan. Entah mengapa, saat ini, netra Alan tak bisa lepas dari sosok Kanaya yang terlihat begitu cantik. Hingga tanpa sadar, Alan bergumam lirih, "Kanaya, bukan lagi putri kecilku ...."Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d