POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
"Pa ...!" Suara Kanaya, sontak menyentak lamunan Alan, yang sedari tadi sedang memperhatikannya."Sini sarapan!" sambung Kanaya kembali.Alan pun mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah meja makan. Meskipun ada rasa canggung, mengingat apa yang dikatakan Arumi beberapa saat lalu. Alan merasa tak enak hati, sudah dua kali dia terpergok sedang mabuk oleh Kanaya. "Selamat pagi jagoan Papa!" Alan mencubit pipi chubby Kenan yang masih asyik dengan game-nya."Kenan, udah jangan mainan terus. Sekarang sarapan dulu!" Kanaya mengambil gatget di tangan Kenan, dan mengambilkan sarapan untuknya."Wah avocado toast, enak nih!" pekik Kenan, saat melihat isi piringnya."Susunya mana, Kak?" Alan hanya tersenyum melihat tingkah putranya. Pagi ini, Kenan terdengar begitu cerewet, dan juga antusias. Sejak kedatangan Kanaya, Kenan memang terlihat lebih ceria. Seolah menemukan kebahagiaan baru."Ini susu buat Kenan, ini teh jahe buat Papa."Alan pun menoleh pada Kanaya, yang sedang menghidangkan teh j
Mobil Mercedes Maybach S Class warna hitam berhenti di depan lobi kantor sebuah gedung perkantoran di pusat ibu kota. Seorang laki-laki membuka pintu mobil, dan menyerahkan kunci itu pada staf yang sudah ada di depan lobi gedung.Dengan penuh percaya diri, laki-laki tersebut masuk ke dalam gedung itu melewati beberapa orang yang menatap dan juga menyapanya."Selamat pagi, Pak Alan!""Selamat pagi," jawabnya tanpa melihat ke sekeliling. Tatapan mata tajamnya lurus ke arah depan, meskipun dia sadar saat ini orang-orang yang dia lewati sedang menatapnya. Namun, dia tidak terlalu mempedulikan itu.Tampan, dan menarik itulah dirinya, dengan tinggi menjulang sekitar 180 cm, rambut cepak yang tersisir rapi, dan wajah rupawan disertai bulu tipis di rahang tegasnya. Meskipun, usianya hampir memasuki 40 tahun. Namun, pesonanya tak pernah pudar sedikitpun, dan tetap saja mampu menarik kaum hawa yang melihatnya.Saat berada di depan lift, Alan tampak mengetatkan dasi, kemudian dengan beralaskan s
"Ma, Papa nggak bolehin aku kuliah di Aussie," ujar Kanaya, membuka percakapan ketika dia, dan Arumi saat ini sedang melakukan perawatan kuku di sebuah salon."Mama udah nyangka. Papa kamu kadang emang jalan pikirannya susah ditebak." Arumi menjawab dengan enteng, sembari mengutak-atik ponsel dengan tangan kirinya. Kanaya pun terkekeh mendengar penuturan mamanya. "Iya 'kan, Nay? Dulu dia ngotot banget minta kamu kuliah di luar negeri. Setelah kamu pulang, dia nggak bolehin kamu pergi lagi. Aneh, 'kan? Emang geje itu Papa kamu."Kanaya mengulum senyum. Sebenarnya ada sebuah kebahagiaan tersendiri dalam benak Kanaya. Penolakan Alan, atas permintaannya seolah menunjukkan jika ayahnya itu ingin tetap bersama dirinya. Meskipun, Alan hanya menganggap Kanaya sebatas putri kecilnya, tidak lebih."Makanya Nay, kemarin mama juga bilang 'kan, kamu masih punya banyak kesempatan kalo pengen kaya mama. Biarpun Papa kamu sempat nolak, tapi mama yakin, suatu saat dia bisa berubah pikiran. Dulu aja m
"Mau apa?" sahut Kanaya, ketika melihat Alan tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. "Em ... maksud Papa, apa kamu masih punya keinginan untuk kuliah di luar negeri?" Kanaya pun mengulum senyum. "Bukannya kemarin Papa nggak bolehin aku kuliah di sana?" "Jadi, kamu mau menuruti Papa?" "Sejak kapan aku jadi anak pembangkang?" jawab Kanaya dengan begitu polos, hingga membuat Alan terkekeh."Kok Papa ketawa sih? Emangnya ada yang lucu?" "Ada ...." "Apa ...?" "Kamu ...," jawab Alan, sembari mencubit kedua pipi Kanaya gemas, dan tentunya sikap Alan tersebut membuat Kanaya seketika salah tingkah. Tak hanya itu, pipi Kanaya pun kini tampak merona.Bergegas Kanaya pun bangkit, berpura-pura membersihkan meja, dan mengangkat piring bekas makan malam Alan ke arah belakang, untuk menyembunyikan rona merah di pipi.Akan tetapi, sikap Kanaya tersebut, tentunya mengundang tanda tanya dalam benak Alan. Dia bahkan berpikir, jika Kanaya bersikap cuek seperti itu karena tidak suka jika Alan menyebut
"Pa ....""Kamu ketakutan, sampe keliatan berantakan gini."Alan tersenyum, lalu menyibak helaian rambut yang ada di wajah Kanaya. Rambut gadis itu memang berantakan, disertai raut wajah yang masih terlihat takut. Sementara itu, Kanaya yang sedari tadi, otaknya sudah traveling terlalu jauh hanya bisa terdiam, sembari menatap Alan dengan tatapan datar. Perasaannya pun terasa begitu gamang."Kita ganti film-nya aja ya. Kanaya yang Papa kenal, dari dulu emang nggak suka nonton horor, 'kan?" Kanaya pun mengangguk, tak lagi menolak. Sejujurnya dia masih canggung dengan keadaan seperti ini. Tenggorokannya juga terasa begitu kelu. Berada di dekat Alan, benar-benar memacu adrenalinnya. Detik berikutnya, film sudah berganti. Namun, Kanaya yang sebenarnya sudah cukup mengantuk, akhirnya tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Tak berapa lama, gadis itu pun sudah terlelap di samping Alan. Alan yang mendengar dengkuran halus pun menoleh, dan mendapati Kanaya saat ini sudah tertidur. Alan mena
Alan pun menoleh, dan mendapati Arumi telah berdiri di belakangnya. Dalam benak Alan, sebenarnya dia cukup terkejut jika ternyata Arumi sudah pulang, karena wanita itu mengatakan akan pulang siang, atau sore ini."Aku pulang lebih awal, karena ...." Belum selesai Arumi berkata, tiba-tiba Alan sudah membalikkan tubuh, seolah tak ingin mendengar penjelasan istrinya."Mas Alan, kamu kenapa?" panggil Arumi. Dia kemudian berlari ke arah Alan, dan memeluknya dari arah belakang."Mas aku kangen ...."Alan hanya terdiam, tak membalikkan tubuh, ataupun membalas pelukan itu. "Kenapa Mas, apa kamu nggak kangen sama aku?"Alan kemudian tersenyum sinis, sembari melepaskan pelukan istrinya. "Apa itu penting bagimu? Selama ini aku selalu merindukanmu, tapi apa kau pernah memikirkan perasaanku? Yang kau pikirkan cuma kepentinganmu!""Apa maksudmu, Mas?""Jadi kau belum menyadari keegoisanmu? Kau selalu pergi kapanpun kau mau tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, dan anak-anak. Setelah itu, tanpa ras
Butiran bening, kini mulai jatuh, dan membasahi wajah cantik Kanaya. Tak dapat dipungkiri, hatinya terasa begitu sakit. Meskipun sebisa mungkin, dia menyakinkan diri jika dirinya baik-baik saja, dan tak pantas merasakan perasaan seperti ini. Namun, hati tak bisa berbohong.Kanaya kemudian berlari ke kamar, menutup pintu kamar itu, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Setelah itu, tangisnya pun pecah. Walaupun Kanaya sudah mati-matian membendungnya, tapi rasanya begitu sulit.Kanaya tahu ini salah. Tidak sepantasnya dia bersikap seperti ini. Namun, rasa sakit itu terasa begitu menusuk kalbu."Rasa cinta memang terkadang begitu menyakitkan, dan aku terjerumus pada luka akibat jatuh dari mimpi yang melampaui bintang. Kini, aku ingin melupakan, dan kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam."Sayup-sayup lantunan sebuah lagu pun terdengar dari layar televisi di kamar Kanaya."Kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam." Gumaman lirih pun terdengar dari bibir
Arumi menoleh, menatap Rain sejenak sembari menggenggam cangkir kopinya dengan kedua tangan. Sorot matanya terlihat kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Rain memperhatikannya dengan seksama, mencoba membaca ekspresi di wajah Arumi."Kamu dari tadi liatin mereka terus. kamu cemburu?" sambung Rain kembali, memperjelas pertanyaannya yang belum sempat dijawab. "Hah? Maksud kamu?""Sejak tadi, kamu merhatiin mereka terus. Kalo aku ajak ngobrol, kamu lebih banyak diam. Apa kehadiranku justru buat kamu nggak nyaman?"Arumi tersenyum tipis, mencoba terlihat biasa saja. "Nggak, aku cuma, masih butuh adaptasi dengan situasi rumah. Selain itu aku juga masih mencoba berusaha mengingat masa lalu. Aku penasaran dengan masa laluku."Rain miringkan kepala, menatapnya dalam-dalam. "Masa lalu yang berhubungan dengan Alan?"Arumi tersentak, cangkir di tangannya hampir terlepas. Dia menatap Rain dengan tatapan terkejut, lalu mengalihkan pandangannya."Kenapa tiba-tiba bawa-bawa Alan? Kenapa
Arumi berdiri di balkon kamar, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tatapannya terpaku pada sosok laki-laki yang baru saja melangkah masuk ke rumahnya, Alan. Pria yang diam-diam selalu mengisi pikirannya, yang kehadirannya selalu dia nantikan. Namun, juga yang seharusnya tidak dia rasakan seperti ini.Senyum Alan yang hangat membuat hatinya bergetar, tetapi dalam waktu yang sama, perasaan bersalah mencengkeramnya erat. Bagaimana bisa dia merasa bahagia melihat pria yang sebentar lagi menjadi milik adiknya?"Bukankah Kanaya sedang pergi?" batin Arumi, bersamaan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Wanita itu kemudian menoleh, menatap Rain yang masih duduk di sofa."Rain, radi kamu bilang bawa makanan buat aku?"Rain pun mengangguk samar. Bisa dibilang, perasaannya belum baik-baik saja saat melihat sikap Arumi."Bagaimana kalau kita makan di bawah."Rain kembali mengangguk, mengiyakan permintaan Arumi. Meskipun, dia tahu maksud Arumi memintanya ke bawah, pasti karena ingi
Kanaya mengaduk-aduk minumannya dengan gelisah, sesekali menatap ke arah luar jendela kafe. Cuaca yang panas menyengat di luar sana, menambah suasana hatinya yang sedang kacau, kian memanas. Di depannya, Ocha menyandarkan dagu di tangan, mengamati keresahan di wajah Kanaya dengan saksama."Kamu kenapa sih, Nay?""Aku ngrasa kalo Kak Arumi kayaknya nggak suka sama aku."Ocha mengernyit, berpikir sejenak sebelum bertanya, "Emangnya dari dulu dia bener-bener tulus sama lo?"Ocha pun terkekeh, lalu mendapat balasan tatapan mata tajam dari Kanaya. "Aku serius, Cha. Kalau Kak Arumi amnesia, seharusnya dia nggak inget masa lalu kita, 'kan? Tapi kenapa sikap dia gitu?""Emang, dia ngapain aja ke lo, Nay?"Kanaya mengigit bibir bawahnya, sembari mengerutkan kening. "Tadi malem waktu aku anter susu buat dia, dia malah bentak aku. Waktu kami sarapan, dia nggak bales sapaanku. Saat sarapan, dia juga cuma mau ngobrol sama Papa, terus waktu aku pamit mau pergi sama kamu, dia nggak nyahut sama sekal
"Arumi, ibu kandung Kanaya sudah meninggal." Pak Rama menjawab dengan nada bicara rendah. Arumi pun mengernyit. Dia pikir, ibu kandungnya tak berada di rumah tersebut karena posisinya direbut oleh ibu kandung Kanaya. Namun, ternyata tebakannya salah."Arumi lebih baik kamu istirahat dulu. Biar bibi yang antar kamu. Bi tolong antarkan Arumi ke kamar!" perintah Pak Rama.Seorang pembantu rumah tangga lalu mendekat ke arah mereka. Kemudian mengantarkan Arumi ke kamarnya."Non Arumi kalo ada apa-apa, Non bisa panggil bibi ya!" ujar pembantu rumah tangga tersebut setelah mereka berada di dalam kamar Arumi. Wanita itu pun mengangguk perlahan, lalu mengamati sekeliling kamarnya. Arumi menarik napas dalam, merasakan aroma lembut dari ruangan yang terasa begitu asing, tapi entah mengapa juga familiar.Pandangan Arumi menyapu sekeliling. Dinding-dinding berwarna pastel, rak buku kecil di sudut ruangan, dan tirai putih yang bergoyang perlahan diterpa angin dari jendela yang sedikit terbuka. Se
"Ka-kamu?" "Kak Arumi, ini Naya. Adik Kak Arumi. Adik tiri Kak Arumi."Arumi seketika berdiri membatu mendengarnya, tatapannya kosong, pikirannya kalut. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung gaun yang dia kenakan seolah itu satu-satunya pegangan agar dia tidak jatuh ke dalam jurang kekecewaan. Napasnya pendek dan tersendat, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk di dadanya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin dunia sekejam ini padanya? Baru saja dia mengingat Alan sebagai suaminya, meskipun kini ternyata telah berstatus sebagai mantan, tapi lagi-lagi dia harus ditampar kenyataan pahit jika calon istri mantan suaminya adalah adiknya sendiri, Kanaya.Alan, satu-satunya sosok yang membuat hatinya bergetar, dan membuat Arumi sepintas mengingat masa lalu, ternyata akan menikah dengan wanita lain.Mengetahui hal tersebut saja sudah cukup menyakitkan. Namun yang menghancurkan hatinya saat ini adalah kenyataan bahwa perempuan itu adalah adiknya sendiri.Detik itu juga, Arumi ingin mara
Rain menatap sendu ke luar jendela pesawat, memperhatikan awan-awan yang berarak seperti gumpalan kapas tak berujung. Cahaya senja membias di antaranya, menciptakan gradasi jingga yang seharusnya terasa hangat, tetapi baginya hanya menghadirkan kehampaan.Di balik kaca tebal itu, dunia tampak begitu tenang. Tidak seperti hatinya yang berkecamuk. Napasnya pelan, nyaris seperti bisikan, seiring pikirannya melayang ke daratan yang perlahan menjauh di bawah sana. Ke rumah yang kini terasa asing. Ke wanita yang selalu dia panggil dengan penuh kasih, tapi kini seolah tak lagi mengenalnya.Arumi mengalami amnesia sejak kecelakaan itu. Dia tahu prosesnya sampai pada detik ini tidak akan mudah, tapi Rain tak pernah membayangkan, bahwa yang kembali dalam ingatan perempuan itu bukanlah dirinya, melainkan lelaki lain, Alan, mantan suaminya."Aku ingat dia Alan. Kami dulu pernah menikah dan memiliki dua orang anak."Perkataan itu terus terngiang dalam benak Rain, dan yang membuat hatinya kian mema
Di sisi lain, Rain melangkah memasuki lobi hotel dengan tergesa-gesa. Napasnya masih memburu setelah bergegas ke tempat ini begitu mendapat kabar dari Alan. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya—Arumi.Alan meneleponnya sejam yang lalu, suaranya berat dan tegang. "Aku sudah berhasil membawa Arumi keluar dari rumah sakit. Dia aman sekarang. Aku membawanya ke hotel ini." Itu saja yang Alan katakan sebelum menutup telepon.Setelah menyelesaikan urusannya dengan Kakek Wang dan Stela, Rain bergegas menuju ke hotel, tempat Arumi dan Alan saat ini berada.Tanpa banyak bicara, Rain melangkah menuju lift, hatinya berdebar kencang saat mengetuk pintu kamar hotel tersebut.Tak berapa lama, pintu kamar terbuka, Rain mendapati Alan berdiri di depannya."Di mana Arumi?""Di dalam, kamu masuk saja temani dia bicara, atau menonton televisi. Dia terlihat bimbang, dan mengatakan kesulitan untuk tidur."Rain pun mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar tersebut
Kanaya menatap langit-langit kamar dengan mata yang tetap terbuka meski malam sudah begitu larut. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, bukan gelap yang membuatnya sulit memejamkan mata, melainkan bayangan di dalam pikirannya sendiri.Pikirannya terus melayang pada satu sosok Alan, dan yang lebih menyakitkan, pada perempuan yang saat ini sedang bersamanya, Arumi.Sejujurnya Kanaya menyadari jika tidak sepantasnya dia memiliki perasaan tak nyaman seperti ini. Arumi adalah kakaknya, dan Alan datang ke Shanghai dengan tujuan menyelamatkan Arumi, tidak lebih. Namun, bagaimanapun juga Arumi adalah mantan istri Alan. Kenyataan itu, tak bisa lepas dan membuat kecemburuan tersendiri di dalam hatinya.Kanaya menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin memenuhi dada. Dia ingin percaya, ingin berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, mengapa hatinya tetap saja berdegup tak karuan?Kanaya berusaha m
Kakek Wang bergegas mengambil ponsel Rain yang menunjukkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan Stela."Kakek, Rain bohong, bukti-bukti itu palsu!" seru Stela, mencoba meyakinkan kakeknya. Namun, pria paruh baya itu tak bergeming, dan tetap melihat semua bukti-bukti tersebut.Stela berniat mendekat, untuk mengambil ponsel milik Rain. Namun, buru-buru dicegah oleh dua orang bodyguard Kakek Wang.Sementara itu, bisik-bisik mulai menyebar di antara para tamu. Beberapa orang mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi, sementara yang lain memilih menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam hitungan menit, suasana kian tegang. Tuan rumah yang semula tersenyum ramah kini terlihat gelisah, keringat dingin membasahi dahinya."Ada apa?" tanya seseorang dengan suara hati-hati.Namun, sebelum ada jawaban, seorang anggota keluarga tuan rumah memberi isyarat agar para tamu segera meninggalkan tempat. Tanpa banyak bertanya, mereka mulai beringsut keluar, beberapa dengan langkah ter