Share

Bab 11

"Kanaya ...."

Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata.

"Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku.

"Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.

Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.

Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.

'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati.

"Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan senyum yang membuat jantung ini berdebar tak karuan.

Papa terlihat begitu tenang, duduk di sisi ranjang, sembari terus menatapku yang baru saja terbangun. Tatapan mata itu, begitu teduh, dan membuatku hanyut ke dalam gelombang cinta yang mati-matian kupendam.

Suasana malam ini, begitu tenang, dan entah mengapa aku menyukai situasi seperti ini. Berduaan dengan Papa, dalan suasana yang terasa begitu intim.

Netra ini, masih saling menatap. Seolah hanyut dalam gejolak yang sama. Aku bahkan, sudah tak peduli lagi pada status laki-laki yang ada di depanku. Sekarang, aku hanya ingin menikmati suasana ini.

Papa tiba-tiba dia mengelus wajah putih mulusku. Lalu, jemarinya menari lincah menjelajahi setiap sudut wajah, hingga jemari itu akhirnya berhenti di bibir mungilku yang sedang mengatup.

Tak hanya Papa, aku pun tak bisa lepas dari wajah tampan itu. Rasanya aku tak sabar, mengecap bagaimana manisnya bibir yang terlihat menawan itu, serta menjelajahi dengan lidahku di dalam sana.

Tiba-tiba Papa mendekatkan wajah, dan mengecup bibirku. Perlakuan Papa, sontak membuatku terkejut. Aku benar-benar tak menyangka Papa akan berbuat senekat ini.

"Papa ...?" Semakin hanyut dalam situasi ini, aku hanya bisa menyebut namanya dengan begitu tenang, seolah ingin menunjukkan tak ada penolakan atas apa yang dia lakukan.

"Kanaya ...."

Aku tak tahu apa yang akan Papa katakan, wajahku tertunduk malu, mengingat apa yang kami lakukan beberapa saat lalu.

Seolah mendapat lampu hijau dariku, Papa pun kian memberanikan diri, mendekatkan wajahnya pada wajahku, lalu kembali mengecup bibir ini, sekilas.

Entah mengapa aku tak menyukai itu, aku ingin Papa melakukan lebih. Entah setan apa yang sudah merasuk, aku justru memberikan lumatan pada bibir Papa.

Papa yang mungkin sudah tersulut gairah pun membalas lumatan bibir itu dengan penuh gairah. Namun, saat kami hanyut dalam ciuman yang cukup dalam, tiba-tiba ponselku berbunyi cukup keras.

Aku pun tersentak tatkala mendengar dering ponsel yang ternyata ada di bawah kepalaku.

"Oh sh*t!" Seketika mataku pun terbuka, dan di saat itulah, aku baru menyadari jika ternyata aku sedang bermimpi.

"Astaga, cuma mimpi!" gumamku lirih, dengan napas yang masih menderu.

Aku pun menoleh ke arah samping, untuk mengambil air minum, yang biasanya ada di atas nakas. Namun, gelas itu kosong.

Aku menghela napas panjang, baru menyadari jika tadi aku melewatkan makan malam, dan tidur lebih awal setelah pulang dari kantor Papa. Tentunya Bi Asih tak berani masuk ke kamarku untuk menaruh air minum jika aku sudah terlelap.

Memang aku cukup kesal, atau boleh dibilang cemburu melihat Papa, dan sekretarisnya. Meskipun, seharusnya aku tak mengambil kesimpulan terlebih dulu, tapi melihat bagaimana situasi di kantor, tentu saja membuat otakku berpikiran buruk.

Selain kecemburuan yang kurasakan, aku juga memikirkan bagaimana perasaan Mama. Aku tak mau wanita sebaik Mama disakiti. Apalagi, oleh wanita yang terlihat murahan seperti Chyntia, sungguh berbeda kelas dengan Mama.

"Lebih baik, aku cari tahu dulu saja kebenarannya. Daripada mengambil kesimpulan terlalu awal. Bagaimana, kalau ternyata Chyntia yang menggoda Papa?"

Aku pun menghela napas berat, lalu keluar dari kamar untuk mengambil air minum. Namun, saat aku baru saja menuruni tangga, tiba-tiba kulihat Papa, sedang duduk di stool mini bar, dalam temaram lampu mini bar tersebut.

Papa tampak sedang menggoyangkan gelas yang kemungkinan berisi alkohol di tangan. Penampilan Papa malam ini juga terlihat berantakan. Lengan kemejanya tergulung, dengan kancing bagian atas yang terbuka.

Akan tetapi, meskipun penampilan Papa terlihat begitu berantakan, tapi di mataku Papa tetap saja terlihat begitu tampan, dan keren.

Melihat situasi seperti ini, sebenarnya ada rasa enggan untuk mendekat. Namun, rasa haus yang tak tertahankan, akhirnya mau tak mau membuatku berjalan untuk mengambil air di kulkas yang letaknya, tak jauh dari mini bar tersebut.

"Papa belum tidur?"

"Belum ngantuk," jawab Papa singkat.

Aku pun mengambil air minum, lalu ketika hendak kembali ke kamar, tiba-tiba Papa mencekal tanganku. Tubuh ini seketika memanas mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu.

"Pa ...?"

"Temani Papa sebentar ya."

Dapat kurasakan aroma alkohol begitu menyengat, dan bisa kupastikan Papa benar-benar sudah mabuk.

"Pa, aku antar ke kamar ya?"

Lelaki itu menggelengkan kepala. "Temani Papa ya!" pinta lelaki itu, sembari menepuk stool di sampingnya, seakan menyuruhku untuk duduk.

Terpaksa, aku pun mengikuti keinginan Papa. Aku duduk di samping Papa, sembari menatap laki-laki itu, yang kini sudah dalam pengaruh minuman keras.

"Pa, udah ya. Jangan kebanyakan minum. Kalo ada apa-apa, Papa bisa cerita sama Naya."

Mendengar perkataanku, Papa pun menoleh, lalu menatapku dengan tatapan dalam. "Kamu mau denger cerita Papa, Naya?"

Aku pun mengangguk. Namun, setelah beberapa menit kutunggu, tak ada satu patah katapun yang terucap.

"Pa, kita ke kamar ya!"

"Papa, tidur sama kamu ya, Naya."

Aku menghela napas panjang. "Ayo, Naya tuntun ke kamar ya. Jangan sampe Mama liat Papa kaya gini!"

Aku menarik tangan Papa, agar melepaskan gelas di tangannya. Setelah itu, memapah tubuh kekar itu, yang tentunya terasa begitu berat.

Merasa tak cukup kuat menopang tubuh Papa. Aku memutuskan untuk merebahkan tubuh Papa di atas sofa terlebih dulu.

Akan tetapi, tiba-tiba kakiku terantuk kaki sofa, hingga keseimbanganku goyah, dan kami terjatuh, dalam posisi saling menindih di sofa, dan tubuhku berada di atas tubuh Papa.

Menyadari hal itu, aku pun bergegas bangkit, tapi ketika melihat wajah tampan Papa yang kini justru sudah terlelap. Aku pun mengurungkan niatku sejenak, lalu mengamati wajah tampan itu.

Lagi-lagi entah setan mana yang kembali menggodaku, tanpa sadar aku memajukan wajah. Lalu, mengecup kening Papa, sembari bergumam lirih, "Aku sayang Papa ...."

"Papa juga sayang, Kanaya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status