Share

Bab 13

"Pa ...!" Suara Kanaya, sontak menyentak lamunan Alan, yang sedari tadi sedang memperhatikannya.

"Sini sarapan!" sambung Kanaya kembali.

Alan pun mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah meja makan. Meskipun ada rasa canggung, mengingat apa yang dikatakan Arumi beberapa saat lalu. Alan merasa tak enak hati, sudah dua kali dia terpergok sedang mabuk oleh Kanaya.

"Selamat pagi jagoan Papa!" Alan mencubit pipi chubby Kenan yang masih asyik dengan game-nya.

"Kenan, udah jangan mainan terus. Sekarang sarapan dulu!" Kanaya mengambil gatget di tangan Kenan, dan mengambilkan sarapan untuknya.

"Wah avocado toast, enak nih!" pekik Kenan, saat melihat isi piringnya.

"Susunya mana, Kak?" Alan hanya tersenyum melihat tingkah putranya. Pagi ini, Kenan terdengar begitu cerewet, dan juga antusias. Sejak kedatangan Kanaya, Kenan memang terlihat lebih ceria. Seolah menemukan kebahagiaan baru.

"Ini susu buat Kenan, ini teh jahe buat Papa."

Alan pun menoleh pada Kanaya, yang sedang menghidangkan teh jahe untuknya. "Teh jahe?"

"Pagi ini, Papa nggak boleh minum kopi. Tadi malem Papa habis mabuk berat, jadi lebih baik Papa minum teh jahe aja ya. Buat hilangin efek alkohol," sahut Kanaya, sembari mengucap kata mabuk dengan begitu lirih, agar tidak terdengar oleh Kenan.

Senyum pun seketika terukir di bibir Alan disertai perasaan yang menghangat. Dia tak menyangka jika Kanaya akan begitu perhatian padanya.

Alan bahagia mendapat perhatian dari putrinya, sebuah perhatian kecil, tapi begitu menggetarkan nurani. Perhatian yang bahkan tak pernah Arumi berikan.

Baru beberapa hari ini Kanaya kembali ke rumah, tapi kehadirannya sudah membuat rumah ini berbeda. Suasana sarapan yang biasanya hambar kini terasa hangat.

"Pa, diminum ya teh-nya."

"Iya Kanaya."

Alan pun meminum teh buatkan Kanaya, yang terasa hangat, dan menyegarkan di tubuh. Jujur saja, di dalam hati Alan, ada letupan kebahagiaan yang seolah mengobrak-abrik hatinya. Sebuah hati yang sudah lama haus akan kasih sayang, dari seorang istri.

"Pa, Papa belum pake dasi? Mau aku bantu pasangin?"

Alan terdiam merasa bingung, harus menjawab apa. Alan tak tahu bagaimana dia harus bersikap dalam situasi seperti ini. Kemarin pagi saja, ketika Kanaya merapikan dasinya, getaran aneh timbul di hati Alan.

Alan pun menyadari, jika Kanaya bukanlah gadis kecil lagi. Kanaya kini sudah terlihat jauh lebih dewasa. Pesona fisiknya juga bisa dibilang, di atas rata-rata, dan mampu menghipnotis kaum adam yang melihatnya.

Tubuh Kanaya, telah membentuk tubuh seorang wanita dewasa. Bahkan, tubuh proporsional Kanaya, mampu membuat miliknya yang ada di bawah sempat bereaksi tatkala, Alan mengantarkan Kanaya ke kamar ketika sedang mati lampu.

Belum lagi, saat melihat bibir tipis Kanaya ketika merapikan dasinya kemarin pagi. Fantasi liarnya sempat menggelora, dan membuat Alan salah tingkah dibuatnya.

"Kok diem? Gimana Pa, mau aku bantu rapihkan dasinya?" tanya Kanaya kembali, ketika melihat Alan yang saat ini justru terdiam.

"Pa, dibantuin Kak Kanaya aja daripada pasang sendiri, nanti malah berantakan lagi." Kenan yang sedang asyik menikmati sarapannya ikut menyahut.

Alan meringis, lalu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, tolong bantu Papa ya, Kanaya."

Alan pun berdiri, kemudian Kanaya mendekat ke arahnya. Alan tak kuasa menolak, dan tak mau membuat Kanaya curiga ada sesuatu yang sedang dia pendam jika menolak bantuannya. Meskipun, itu artinya dia harus menderita, menahan hasrat pada gadis secantik Kanaya.

Alan harus berusaha menahan gejolak itu. Dia tak mau Kanaya tahu seburuk apa perang batin yang sedang dia rasakan. Apalagi, tadi pagi sesi bercintanya dengan Arumi, juga gagal karena telepon dari Boby.

Selama Kanaya merapikan dasinya, Alan melemparkan pandangan ke arah lain. Dia tak mau sedikitpun menatap wajah gadis itu, yang terlihat begitu menggoda. Apalagi bibir ranum Kanaya yang, rasanya ingin sekali dia kecup.

"Udah selesai, Pa," ujar Kanaya yang membuat Alan seketika merasa lega. Detik demi detik yang dia lalui benar-benar memacu jantungnya untuk berdetak lebih kencang, daripada biasanya. Alan hanya berdoa, agar Kanaya tak mendengar debaran jantung yang tak beraturan itu.

"Makasih ya, Nak."

"Sama-sama, Pa," jawab Kanaya, lalu duduk di samping Kenan, dan membersihkan wajahnya yang belepotan.

"Pelan-pelan dong makannya, Kenan."

"Habis enak sih, tiap hari Kak Kanaya masak buat Kenan ya!"

"Siap yang mulia, tapi gimana kalo Kak Kanaya nggak kuliah di sini?" Kenan pun seketika menoleh.

"Apa? Bukannya Kak Kanaya pulang buat kuliah di sini?" sahut Kenan cepat. Seolah, tak rela jika kakak perempuannya itu, harus tinggal jauh darinya lagi.

"Apa maksud kamu, Kanaya?" Tak hanya Kenan, tapi Alan pun ikut menyahut setelah mendengar penuturan Kanaya.

"Oh gini Pa, aku lagi mempertimbangkan buat kuliah di Aussie. Di sana ada program magang yang udah lama pengen aku ikuti."

"Apa? Bukannya kamu pulang ke Indonesia karena nggak betah tinggal berjauhan sama kami?" sahut Alan, dengan nada bicara yang terdengar berbeda.

"Iya, tapi setelah kupikir-pikir, dan kemarin sempet ngobrol sama Cecil, kayaknya aku tertarik deh buat kuliah di Aussie. Aku kemarin juga udah ngomong sama Mama, terus kata Mama ...."

"Papa nggak setuju!" sahut Alan, kali ini dengan nada yang meninggi.

"Tapi Pa ...!"

"Pokoknya Papa nggak setuju, Kanaya. Kamu anak perempuan Papa, dan Mama. Kalau kamu jauh, Papa nggak bisa kontrol pergaulan kamu di luar sana!"

Netra Alan pun beralih pada Kenan. "Kenan, kamu udah selesai makan belum?"

"Udah Pa ...."

"Ayo kita berangkat sekarang!" Nada bicara Alan masih terdengar tinggi.

"Tapi Papa belum selesai sarapan," sahut Kanaya, memberanikan diri.

"Papa nanti bisa makan di kantor, Kanaya. Pagi ini ada rapat penting. Jadi, Papa harus berangkat lebih pagi, untuk mempersiapkan presentasi nanti." Alan pun bangkit dari kursi, tapi ketika dia hendak melangkah, tiba-tiba Kanaya mencegah langkahnya.

"Sebentar ya, Pa."

"Ada apa lagi?"

Kanaya tak menyahut. Gadis itu justru berlari ke belakang, lalu beberapa saat kemudian kembali dengan sebuah kotak bekal di tangan.

"Ini buat Papa, nanti bisa dimakan di kantor."

Netra Alan menatap kotak bekal itu sejenak. Detik selanjutnya, tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman di wajah. Padahal, beberapa saat yang lalu dia sempat kesal ketika Kanaya mengatakan ingin kuliah di luar negeri.

Akan tetapi, kekesalahan itu kini sudah memudar. Berganti kebahagiaan yang sulit Alan artikan.

"Ini buat Papa ya!"

"Makasih banyak Kanaya."

Tepat di saat itulah, seruan dari arah kamar pun terdengar.

"Kanaya, sini!"

"Pa, Mama manggil aku. Aku ke kamar Mama sebentar ya!"

Alan pun mengangguk, dan menatap Kanaya yang sedang berjalan ke kamarnya dengan Arumi. Entah mengapa, rasanya sangat sulit untuk melepaskan pandangan itu.

"Pa, ayo berangkat. Kok malah liatin Kak Kanaya terus, sih? Papa juga nggak mau ditinggal sama Kak Kanaya ya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status