"Pa ...!" Suara Kanaya, sontak menyentak lamunan Alan, yang sedari tadi sedang memperhatikannya.
"Sini sarapan!" sambung Kanaya kembali. Alan pun mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah meja makan. Meskipun ada rasa canggung, mengingat apa yang dikatakan Arumi beberapa saat lalu. Alan merasa tak enak hati, sudah dua kali dia terpergok sedang mabuk oleh Kanaya. "Selamat pagi jagoan Papa!" Alan mencubit pipi chubby Kenan yang masih asyik dengan game-nya. "Kenan, udah jangan mainan terus. Sekarang sarapan dulu!" Kanaya mengambil gatget di tangan Kenan, dan mengambilkan sarapan untuknya. "Wah avocado toast, enak nih!" pekik Kenan, saat melihat isi piringnya. "Susunya mana, Kak?" Alan hanya tersenyum melihat tingkah putranya. Pagi ini, Kenan terdengar begitu cerewet, dan juga antusias. Sejak kedatangan Kanaya, Kenan memang terlihat lebih ceria. Seolah menemukan kebahagiaan baru. "Ini susu buat Kenan, ini teh jahe buat Papa." Alan pun menoleh pada Kanaya, yang sedang menghidangkan teh jahe untuknya. "Teh jahe?" "Pagi ini, Papa nggak boleh minum kopi. Tadi malem Papa habis mabuk berat, jadi lebih baik Papa minum teh jahe aja ya. Buat hilangin efek alkohol," sahut Kanaya, sembari mengucap kata mabuk dengan begitu lirih, agar tidak terdengar oleh Kenan. Senyum pun seketika terukir di bibir Alan disertai perasaan yang menghangat. Dia tak menyangka jika Kanaya akan begitu perhatian padanya. Alan bahagia mendapat perhatian dari putrinya, sebuah perhatian kecil, tapi begitu menggetarkan nurani. Perhatian yang bahkan tak pernah Arumi berikan. Baru beberapa hari ini Kanaya kembali ke rumah, tapi kehadirannya sudah membuat rumah ini berbeda. Suasana sarapan yang biasanya hambar kini terasa hangat. "Pa, diminum ya teh-nya." "Iya Kanaya." Alan pun meminum teh buatkan Kanaya, yang terasa hangat, dan menyegarkan di tubuh. Jujur saja, di dalam hati Alan, ada letupan kebahagiaan yang seolah mengobrak-abrik hatinya. Sebuah hati yang sudah lama haus akan kasih sayang, dari seorang istri. "Pa, Papa belum pake dasi? Mau aku bantu pasangin?" Alan terdiam merasa bingung, harus menjawab apa. Alan tak tahu bagaimana dia harus bersikap dalam situasi seperti ini. Kemarin pagi saja, ketika Kanaya merapikan dasinya, getaran aneh timbul di hati Alan. Alan pun menyadari, jika Kanaya bukanlah gadis kecil lagi. Kanaya kini sudah terlihat jauh lebih dewasa. Pesona fisiknya juga bisa dibilang, di atas rata-rata, dan mampu menghipnotis kaum adam yang melihatnya. Tubuh Kanaya, telah membentuk tubuh seorang wanita dewasa. Bahkan, tubuh proporsional Kanaya, mampu membuat miliknya yang ada di bawah sempat bereaksi tatkala, Alan mengantarkan Kanaya ke kamar ketika sedang mati lampu. Belum lagi, saat melihat bibir tipis Kanaya ketika merapikan dasinya kemarin pagi. Fantasi liarnya sempat menggelora, dan membuat Alan salah tingkah dibuatnya. "Kok diem? Gimana Pa, mau aku bantu rapihkan dasinya?" tanya Kanaya kembali, ketika melihat Alan yang saat ini justru terdiam. "Pa, dibantuin Kak Kanaya aja daripada pasang sendiri, nanti malah berantakan lagi." Kenan yang sedang asyik menikmati sarapannya ikut menyahut. Alan meringis, lalu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, tolong bantu Papa ya, Kanaya." Alan pun berdiri, kemudian Kanaya mendekat ke arahnya. Alan tak kuasa menolak, dan tak mau membuat Kanaya curiga ada sesuatu yang sedang dia pendam jika menolak bantuannya. Meskipun, itu artinya dia harus menderita, menahan hasrat pada gadis secantik Kanaya. Alan harus berusaha menahan gejolak itu. Dia tak mau Kanaya tahu seburuk apa perang batin yang sedang dia rasakan. Apalagi, tadi pagi sesi bercintanya dengan Arumi, juga gagal karena telepon dari Boby. Selama Kanaya merapikan dasinya, Alan melemparkan pandangan ke arah lain. Dia tak mau sedikitpun menatap wajah gadis itu, yang terlihat begitu menggoda. Apalagi bibir ranum Kanaya yang, rasanya ingin sekali dia kecup. "Udah selesai, Pa," ujar Kanaya yang membuat Alan seketika merasa lega. Detik demi detik yang dia lalui benar-benar memacu jantungnya untuk berdetak lebih kencang, daripada biasanya. Alan hanya berdoa, agar Kanaya tak mendengar debaran jantung yang tak beraturan itu. "Makasih ya, Nak." "Sama-sama, Pa," jawab Kanaya, lalu duduk di samping Kenan, dan membersihkan wajahnya yang belepotan. "Pelan-pelan dong makannya, Kenan." "Habis enak sih, tiap hari Kak Kanaya masak buat Kenan ya!" "Siap yang mulia, tapi gimana kalo Kak Kanaya nggak kuliah di sini?" Kenan pun seketika menoleh. "Apa? Bukannya Kak Kanaya pulang buat kuliah di sini?" sahut Kenan cepat. Seolah, tak rela jika kakak perempuannya itu, harus tinggal jauh darinya lagi. "Apa maksud kamu, Kanaya?" Tak hanya Kenan, tapi Alan pun ikut menyahut setelah mendengar penuturan Kanaya. "Oh gini Pa, aku lagi mempertimbangkan buat kuliah di Aussie. Di sana ada program magang yang udah lama pengen aku ikuti." "Apa? Bukannya kamu pulang ke Indonesia karena nggak betah tinggal berjauhan sama kami?" sahut Alan, dengan nada bicara yang terdengar berbeda. "Iya, tapi setelah kupikir-pikir, dan kemarin sempet ngobrol sama Cecil, kayaknya aku tertarik deh buat kuliah di Aussie. Aku kemarin juga udah ngomong sama Mama, terus kata Mama ...." "Papa nggak setuju!" sahut Alan, kali ini dengan nada yang meninggi. "Tapi Pa ...!" "Pokoknya Papa nggak setuju, Kanaya. Kamu anak perempuan Papa, dan Mama. Kalau kamu jauh, Papa nggak bisa kontrol pergaulan kamu di luar sana!" Netra Alan pun beralih pada Kenan. "Kenan, kamu udah selesai makan belum?" "Udah Pa ...." "Ayo kita berangkat sekarang!" Nada bicara Alan masih terdengar tinggi. "Tapi Papa belum selesai sarapan," sahut Kanaya, memberanikan diri. "Papa nanti bisa makan di kantor, Kanaya. Pagi ini ada rapat penting. Jadi, Papa harus berangkat lebih pagi, untuk mempersiapkan presentasi nanti." Alan pun bangkit dari kursi, tapi ketika dia hendak melangkah, tiba-tiba Kanaya mencegah langkahnya. "Sebentar ya, Pa." "Ada apa lagi?" Kanaya tak menyahut. Gadis itu justru berlari ke belakang, lalu beberapa saat kemudian kembali dengan sebuah kotak bekal di tangan. "Ini buat Papa, nanti bisa dimakan di kantor." Netra Alan menatap kotak bekal itu sejenak. Detik selanjutnya, tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman di wajah. Padahal, beberapa saat yang lalu dia sempat kesal ketika Kanaya mengatakan ingin kuliah di luar negeri. Akan tetapi, kekesalahan itu kini sudah memudar. Berganti kebahagiaan yang sulit Alan artikan. "Ini buat Papa ya!" "Makasih banyak Kanaya." Tepat di saat itulah, seruan dari arah kamar pun terdengar. "Kanaya, sini!" "Pa, Mama manggil aku. Aku ke kamar Mama sebentar ya!" Alan pun mengangguk, dan menatap Kanaya yang sedang berjalan ke kamarnya dengan Arumi. Entah mengapa, rasanya sangat sulit untuk melepaskan pandangan itu. "Pa, ayo berangkat. Kok malah liatin Kak Kanaya terus, sih? Papa juga nggak mau ditinggal sama Kak Kanaya ya?"Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d