Mobil Mercedes Maybach S Class warna hitam berhenti di depan lobi kantor sebuah gedung perkantoran di pusat ibu kota. Seorang laki-laki membuka pintu mobil, dan menyerahkan kunci itu pada staf yang sudah ada di depan lobi gedung.Dengan penuh percaya diri, laki-laki tersebut masuk ke dalam gedung itu melewati beberapa orang yang menatap dan juga menyapanya."Selamat pagi, Pak Alan!""Selamat pagi," jawabnya tanpa melihat ke sekeliling. Tatapan mata tajamnya lurus ke arah depan, meskipun dia sadar saat ini orang-orang yang dia lewati sedang menatapnya. Namun, dia tidak terlalu mempedulikan itu.Tampan, dan menarik itulah dirinya, dengan tinggi menjulang sekitar 180 cm, rambut cepak yang tersisir rapi, dan wajah rupawan disertai bulu tipis di rahang tegasnya. Meskipun, usianya hampir memasuki 40 tahun. Namun, pesonanya tak pernah pudar sedikitpun, dan tetap saja mampu menarik kaum hawa yang melihatnya.Saat berada di depan lift, Alan tampak mengetatkan dasi, kemudian dengan beralaskan s
"Ma, Papa nggak bolehin aku kuliah di Aussie," ujar Kanaya, membuka percakapan ketika dia, dan Arumi saat ini sedang melakukan perawatan kuku di sebuah salon."Mama udah nyangka. Papa kamu kadang emang jalan pikirannya susah ditebak." Arumi menjawab dengan enteng, sembari mengutak-atik ponsel dengan tangan kirinya. Kanaya pun terkekeh mendengar penuturan mamanya. "Iya 'kan, Nay? Dulu dia ngotot banget minta kamu kuliah di luar negeri. Setelah kamu pulang, dia nggak bolehin kamu pergi lagi. Aneh, 'kan? Emang geje itu Papa kamu."Kanaya mengulum senyum. Sebenarnya ada sebuah kebahagiaan tersendiri dalam benak Kanaya. Penolakan Alan, atas permintaannya seolah menunjukkan jika ayahnya itu ingin tetap bersama dirinya. Meskipun, Alan hanya menganggap Kanaya sebatas putri kecilnya, tidak lebih."Makanya Nay, kemarin mama juga bilang 'kan, kamu masih punya banyak kesempatan kalo pengen kaya mama. Biarpun Papa kamu sempat nolak, tapi mama yakin, suatu saat dia bisa berubah pikiran. Dulu aja m
"Mau apa?" sahut Kanaya, ketika melihat Alan tampak ragu untuk mengatakan sesuatu. "Em ... maksud Papa, apa kamu masih punya keinginan untuk kuliah di luar negeri?" Kanaya pun mengulum senyum. "Bukannya kemarin Papa nggak bolehin aku kuliah di sana?" "Jadi, kamu mau menuruti Papa?" "Sejak kapan aku jadi anak pembangkang?" jawab Kanaya dengan begitu polos, hingga membuat Alan terkekeh."Kok Papa ketawa sih? Emangnya ada yang lucu?" "Ada ...." "Apa ...?" "Kamu ...," jawab Alan, sembari mencubit kedua pipi Kanaya gemas, dan tentunya sikap Alan tersebut membuat Kanaya seketika salah tingkah. Tak hanya itu, pipi Kanaya pun kini tampak merona.Bergegas Kanaya pun bangkit, berpura-pura membersihkan meja, dan mengangkat piring bekas makan malam Alan ke arah belakang, untuk menyembunyikan rona merah di pipi.Akan tetapi, sikap Kanaya tersebut, tentunya mengundang tanda tanya dalam benak Alan. Dia bahkan berpikir, jika Kanaya bersikap cuek seperti itu karena tidak suka jika Alan menyebut
"Pa ....""Kamu ketakutan, sampe keliatan berantakan gini."Alan tersenyum, lalu menyibak helaian rambut yang ada di wajah Kanaya. Rambut gadis itu memang berantakan, disertai raut wajah yang masih terlihat takut. Sementara itu, Kanaya yang sedari tadi, otaknya sudah traveling terlalu jauh hanya bisa terdiam, sembari menatap Alan dengan tatapan datar. Perasaannya pun terasa begitu gamang."Kita ganti film-nya aja ya. Kanaya yang Papa kenal, dari dulu emang nggak suka nonton horor, 'kan?" Kanaya pun mengangguk, tak lagi menolak. Sejujurnya dia masih canggung dengan keadaan seperti ini. Tenggorokannya juga terasa begitu kelu. Berada di dekat Alan, benar-benar memacu adrenalinnya. Detik berikutnya, film sudah berganti. Namun, Kanaya yang sebenarnya sudah cukup mengantuk, akhirnya tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Tak berapa lama, gadis itu pun sudah terlelap di samping Alan. Alan yang mendengar dengkuran halus pun menoleh, dan mendapati Kanaya saat ini sudah tertidur. Alan mena
Alan pun menoleh, dan mendapati Arumi telah berdiri di belakangnya. Dalam benak Alan, sebenarnya dia cukup terkejut jika ternyata Arumi sudah pulang, karena wanita itu mengatakan akan pulang siang, atau sore ini."Aku pulang lebih awal, karena ...." Belum selesai Arumi berkata, tiba-tiba Alan sudah membalikkan tubuh, seolah tak ingin mendengar penjelasan istrinya."Mas Alan, kamu kenapa?" panggil Arumi. Dia kemudian berlari ke arah Alan, dan memeluknya dari arah belakang."Mas aku kangen ...."Alan hanya terdiam, tak membalikkan tubuh, ataupun membalas pelukan itu. "Kenapa Mas, apa kamu nggak kangen sama aku?"Alan kemudian tersenyum sinis, sembari melepaskan pelukan istrinya. "Apa itu penting bagimu? Selama ini aku selalu merindukanmu, tapi apa kau pernah memikirkan perasaanku? Yang kau pikirkan cuma kepentinganmu!""Apa maksudmu, Mas?""Jadi kau belum menyadari keegoisanmu? Kau selalu pergi kapanpun kau mau tanpa memikirkan bagaimana perasaanku, dan anak-anak. Setelah itu, tanpa ras
Butiran bening, kini mulai jatuh, dan membasahi wajah cantik Kanaya. Tak dapat dipungkiri, hatinya terasa begitu sakit. Meskipun sebisa mungkin, dia menyakinkan diri jika dirinya baik-baik saja, dan tak pantas merasakan perasaan seperti ini. Namun, hati tak bisa berbohong.Kanaya kemudian berlari ke kamar, menutup pintu kamar itu, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Setelah itu, tangisnya pun pecah. Walaupun Kanaya sudah mati-matian membendungnya, tapi rasanya begitu sulit.Kanaya tahu ini salah. Tidak sepantasnya dia bersikap seperti ini. Namun, rasa sakit itu terasa begitu menusuk kalbu."Rasa cinta memang terkadang begitu menyakitkan, dan aku terjerumus pada luka akibat jatuh dari mimpi yang melampaui bintang. Kini, aku ingin melupakan, dan kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam."Sayup-sayup lantunan sebuah lagu pun terdengar dari layar televisi di kamar Kanaya."Kembali pada kenyataan, dari mimpi yang sulit digenggam." Gumaman lirih pun terdengar dari bibir
Alan kembali menghubungi Kanaya, tapi ponsel itu masih saja tidak aktif."Astaga, apa yang sebenarnya dilakukan anak itu?"Tak kehilangan akal, Alan pun mencari tahu posisi mobi Kanaya melalui GPS yang dia taruh di mobil tersebut."Astaga, kenapa mobilnya berhenti di sana? Lagi apa dia di tempat seperti itu?" pekik Alan panik, ketika menyadari jika mobil Kanaya tengah berhenti di sebuah tempat yang dikenal cukup berbahaya. Tempat itu, tak hanya sepi, tapi juga banyak preman. Alan sebenarnya memang sengaja memasang GPS di mobil milik Kanaya. Entah mengapa, sejak Kanaya pulang, dia sering kali merasa cemas jika Kanaya pergi ke luar.Alan hanya ingin memantau pergaulan putrinya, dan si saat seperti ini, tampaknya hal tersebut sangat bermanfaat.Melihat Kanaya yang sekarang begitu cantik, sering kali, Alan takut, sesuatu hal yang buruk terjadi pada Kanaya. Apalagi, di tengah pergaulan remaja di masa seperti sekarang, Alan hanya ingin kehidupan Kanaya terkontrol.Setelah memastikan di man
Kanaya terdiam mendengar perkataan Alan. Kata sayang yang terucap dari bibir Alan terdengar begitu menggetarkan hatinya . Meskipun, dia pun tahu jika yang dimaksud dengan sayang itu, rasa sayang orang tua pada anaknya, tidak lebih. "Kanaya, kamu nggak apa-apa, 'kan?" "Kenapa malah Papa yang tanya kaya gitu sama Kanaya? Bukankah Papa yang saat ini terluka? Tuh lihat, bibir Papa aja berdarah," jawab Kanaya saat melihat tetesan darah yang keluar dari sudut bibir Alan. Sebenarnya kemampuan bela Alan cukup bagus, dan membuat ketiga preman itu kewalahan. Namun, jumlah yang tak seimbang, tentunya membuat ada beberapa bagian tubuh Alan yang terluka. "Papa nggak apa-apa, ini udah biasa. Kamu udah telpon Om Brata, 'kan? Biar mobil kamu diurus sama Om Brata, dan anak buah Papa." "Iya, sekarang kita pulang ya. Atau, Papa mau Kanaya antar ke rumah sakit?" Alan menggelengkan kepala. "Ini luka kecil Kanaya. Kamu nggak usah lebay kaya gini." "Ya udah nanti Naya obati aja ya. Sekarang, ki
Di sisi lain ....Chyntia tampak mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia terlihat begitu resah. Usahanya untuk memata-matai Arumi belakangan ini, memang berhasil, dan sekarang dia sudah mendapat banyak bukti-bukti tentang kedekatan Arumi dengan Leo. Sebenarnya Chyntia berniat untuk memeras Arumi terlebih dulu. Namun, Arumi justru mengabaikannya. Bahkan mengancam melaporkan pencemaran nama baik.Saat ini, Arumi benar-benar merasa jumawa karena mendapat perlindungan dari Leo. Akhirnya Chyntia pun mengubah rencananya, dan berniat memberi tahu Alan tentang kebusukan istrinya.Akan tetapi, akhir-akhir ini, Alan sangat jarang masuk ke kantor. Kalaupun dia datang, hanya jika ada meeting atau pertemuan penting. Sedangkan, untuk laporan, atau hal lainnya dia biasanya meminta anak buahnya untuk mengirim via email.Email Alan yang digunakan pun bersifat publik. Sedangkan email pribadi Alan, Chyntia tak mengetahuinya. Yang membuat Chyntia geram adalah, Alan tak mau diganggu urusan pekerjaan,
Beberapa Hari Kemudian ....Alan menatap nanar pada ruang operasi yang ada di depan matanya. Sudah hampir 8 jam Kanaya menjalani operasi transplantasi hati. Namun belum ada tanda-tanda operasi tersebut akan berakhir.Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata hati Kanaya cocok. Hal tersebut, tentunya membuat Oma Dahlia, merasa lega, tapi tidak dengan Alan.Sebelum operasi itu dilakukan, dia bahkan sudah mencarikan pembantu pribadi untuk Kanaya. Awalnya, Kanaya menolak, karena hal tersebut terlihat berlebihan. Namun, karena Alan terus memaksa, akhirnya Kanaya pun mengikuti perkataan Ayah angkat itu. Saat ini, pembantu pribadi Kanaya sedang Alan perintahkan untuk menjaga Kenan. Setelah Kanaya sadar, baru Alan memintanya untuk menemani Kanaya di rumah sakit. "Sabar Alan, yang tenang. Mama yakin, kalau Kanaya pasti akan baik-baik saja."Oma Dahlia yang awalnya sedang duduk di dekat ruang operasi, kini beranjak dari tempat duduknya. Lalu mendekat pada Alan, dan menepuk bahu laki-laki itu de
Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Chyntia tatkala melihat beberapa foto yang dikirim salah seorang temannya ke ponsel yang saat ini dia genggam. Pagi ini, ketika baru saja bagun, Chyntia i bergegas mengecek ponselnya. Dia ingin mengetahui apakah ada perkembangan yang dilaporkan temannya, dan benar saja, saat dia membuka pesan yang masuk, temannya sudah mengirimkan beberapa foto, dan video.Pada salah satu foto tersebut, tampak Arumi yang saat itu terlihat terpukul, ketika sedang bermasalah dengan Rain. Sedangkan, salah satu lagi berupa video, tatkala Arumi baru saja keluar dari kamar Leo.Weekend pagi ini, Chyntia masih merebahkan tubuh malas-malasan di atas ranjang, dan berita indah ini sungguh membuat awal harinya terasa begitu menyenangkan. Meskipun, saat weekend, terasa ada yang kurang, yaitu dia tak bisa bertemu dengan Alan."Ternyata, kamu itu munafik, Arumi. Aku sudah menduga wanita sepertimu pasti hanya memanfaatkan semua laki-laki untuk kenyamananmu semata!"Chyntia t
"Beri jarak, jangan terlalu dekat. Di sini, banyak kru dan karyawan. Aku nggak mau mereka curiga. Kamu masuk dulu, biar aku mengalihkan perhatian mereka saat kamu masuk ke kamarku!" terang Leo, sebelum mereka turun dari mobil.Sebagai seorang laki-laki dewasa, tentunya dia mengerti apa maksud Arumi. Leo yang biasanya setia, kini akhirnya terpikat pada Arumi, yang sejak kemarin terus menggodanya.Arumi pun menganggukkan kepala. Setelah turun dari mobil, Arumi berjalan dengan begitu tergesa-gesa, menuju ke kamar Leo. Sedangkan Boby yang sudah tahu apa yang akan dilakukan Arumi, tampak berjalan dengan tenang menuju ke kamar Arumi, sembari mengalihkan atensi yang lain agar tidak melihat Arumi ketika masuk ke dalam kamar Leo.Entah mengapa, malam ini, Leo terlihat begitu menarik bagi Arumi. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi disertai otot-otot kekarnya yang baru dia ketahui saat tadi siang masuk ke kamar lelaki itu, tampak sangat menarik perhatian Arumi.Sebenarnya suaminya jauh lebih ta
Alan begitu terkejut mendengar pertanyaan Oma Dahlia kali ini. Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, seakan menghujam jantungnya. Alan pun tak tahu, apa yang mendasari mertuanya, sampai menanyakan hal tersebut padanya. Apakah dia takut jika Alan akan meninggalkan Arumi? Atau, dia sudah memiliki firasat buruk jika dia memiliki wanita simpanan yang merupakan anak angkatnya sendiri.Alan menghela napas kaaar. Rasanya, sungguh ingin pergi menjauh, menghindar dari pertanyaan tersebut. Namun, tak mungkin. "Alan, jujur saja. Kamu tidak perlu ragu, Nak."Ketika Alan hendak membuka suaranya, tiba-tiba suara Kanaya pun terdengar."Oma, Papa. Opa sudah bisa dibawa ke ruang perawatan."Alan, dan Oma Dahlia pun tersentak, lalu menoleh pada gadis itu yang kini sudah berdiri tak jauh dari mereka."Oh sudah siap ya ruang perawatannya?" sahut Oma Dahlia canggung, tentunya dia tak ingin Kanaya mendengar percakapannya dengan Alan."Sudah Oma, ayo kita ke sana.""Tunggu Kanaya." Al
Alan pun reflek mendekat pada Kanaya. "Kanaya, jangan main-main kamu!""Siapa yang lagi main-main sih, Pa? Papa pikir, nyawa Opa itu permainan?"Kanaya kembali menoleh pada dokter yang berdiri di sampingnya. "Dokter, bisa nggak kita lakukan pemeriksaan sekarang?""Mari ikut saya!"Kanaya pun mengikuti dokter tersebut. Sedangkan Alan, dan Oma Dahlia, hanya bisa menatap pasrah gadis itu. Mencegah juga rasanya percuma, Kanaya pasti akan bersikeras melakukan semua itu.Alan pun mengusap wajahnya dengan kasar, lalu duduk di depan ruang emergency tersebut di samping Oma Dahlia. Ada kecemasan yang begitu mendalam yang dirasakan Alan. Kanaya masih muda, dan Alan tak ingin sesuatu terjadi pada gadis yang dia cintai itu."Kalaupun dia sampai livernya cocok, Mama yakin, dia pasti akan baik-baik saja. Kita akan merawat Kanaya sebaik mungkin.""Aku tahu, Ma. Resikonya memang tak seperti donor organ yang lain. Namun, tetap saja, aku merasa cemas.""Mama bisa ngerti gimana perasaan kamu sebagai oran
"Papa apa-apaan sih, kok malah ikutan ke kamar mandi!" protes Kanaya, sembari mengerucutkan bibir, tatkala Alan justru berjalan di belakangnya."Ya udah kalo gitu kita mandi bareng!""Apa?" sahut Kanaya, disertai mata yang membelalak lebar."Iya mandi bareng, Sayang. Kaya waktu di hotel, kamu mau 'kan?"Mau tak mau, Kanaya menyetujui permintaan Alan. Jika dia menolak pun Kanaya yakin Alan akan memaksa. Kanaya kemudian menganggukkan kepalan, disertai rona wajah yang memerah. Mereka baru saja menyelesaikan sesi bercintanya beberapa menit yang lalu, dan Alan meminta hal itu kembali.Tanpa aba-aba, Alan mengangkat tubuh Kanaya, lalu mereka masuk ke dalam kamar mandi. Dia kemudian menyalakan shower agar sensasinya terasa lebih nikmat.Kini, desahan dan erangan itu kembali terdengar secara bersamaan, seolah saling berlomba dengan suara gemercik air shower kamar mandi yang mendominasi ruangan berdinding marmer itu.Hentakan demi hentakan dari Alan, membuat Kanaya berulang kali berteriak. Era
"Kanaya, tolong katakan pada Oma. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecar Oma Dahlia, disertai wajah yang memerah.Jujur saja, dia takut. Jika Kenan membenci Arumi, seperti yang sudah lama dia khawatirkan."Oma nggak ada apa-apa, Kenan cuma lagi kesel, Mama sering ninggalin dia. Oma percaya ya, sama Kanaya."Kenan hendak protes mendengar penjelasan Kanaya pada Oma Dahlia. Namun, saat Kenan hendak membuka suaranya, tiba-tiba ponsel Oma Dahlia berbunyi.Wanita paruh baya itu pun berjalan menjauh dari kedua cucunya, untuk mengangkat panggilan itu terlebih dulu.Sedangkan Kanaya, tampak menoleh pada Kenan sembari menatap mata bocah kecil itu lekat."Kenan, tolong jangan bilang kayak gitu dulu sama Oma. Kamu tahu 'kan, Opa lagi sakit. Apa Kenan mau kondisi Opa memburuk kalau sampai tahu hal ini?"Kenan menggelengkan kepalanya, lalu Kanaya mengusap rambut bagian atasnya."Nah itu namanya anak pintar. Kalau begitu, kita harus jaga rahasia ini dulu ya. Kita tunggu waktu yang tepat buat kasih tahu
"Tante Chyntia kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?" tanya Kanaya ketika baru keluar dari ruang kerja Alan.Mendengar suara Kanaya, Chyntia pun mengangkat wajah. Lalu, tersenyum dan pura-pura bersikap ramah pada Kanaya."Ini, habis liat film lucu."Bibir Kanaya pun membulat. "Oh, ya udah mulai kerja lagi ya, waktu istirahat udah abis, 'kan? Jangan ketawa-ketawa mulu, ntar jadi kuntilanak loh.""Iya Non Kanaya," jawab Chyntia, sembari tersenyum, dan menatap Kanaya yang berlalu dari hadapannya. Setelah Kanaya berjalan cukup jauh, Chyntia mengumpat kesal padanya."Sok bossy banget sih!"Kanaya sedikit melirik, dan melihat Chyntia bibirnya tampak sedang komat-kamit. Kanaya tahu, Chyntia pasti kesal padanya."Ck, dasar wanita gatel!" gumam Kanaya, sembari terus berjalan, menuju ke basement parkir.Setengah jam kemudian, Kanaya pun sudah sampai di rumah, dan mendapati Oma Dahlia saat ini tengah bermain bersama Kenan di ruang tengah."Kak Naya habis dari mana?" pekik Kenan, sembari berlari, d