"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!"
Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih. "Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu. Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening. "Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?" "Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup. Padahal, tujuanku melakukan itu yaitu satu, menjauh dari Papa untuk mengubur perasaan ini. "Oh ya udah kalo gitu, nanti kita bicarakan juga sama Papa ya." Aku pun mengangguk, lalu melanjutkan menyantap makananku. Setelah makan, dan cukup lama berbelanja, akhirnya kami pulang ke rumah. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ketika kami baru saja memasuki rumah, tiba-tiba ponsel Mama berdering. Mama pun bergegas mengangkat panggilan telepon itu, yang ternyata berasal dari Papa. "Ya, halo Pa." Hening. Mama tampak serius mendengarkan perkataan Papa di ujung sambungan telepon. "Bi, Bi Asih. Tolong bilang sama Mang Udin, suruh anter berkas Bapak ya. Berkas yang mau buat rapat ketinggalan di ruang kerja. Suruh Mang Udin anter cepet, mau buat meeting jam lima sore nanti sama klien." Bi Asih pun mendekat. "Nyonya, tadi Mang Udin ijin, katanya istrinya sakit." "Astaga, terus siapa yang mau anter berkas itu ke kantor Papa? Mama juga udah janji, habis Kenan mandi, mau bantuin ngerjain PR. Bisa-bisa, dia marah kalo Mama ingkar janji terus," sahut Mama panik. "Ma, biar aku aja ya." Aku akhirnya menawarkan diri. "Beneran nggak apa-apa? Kamu nggak cape?" "Nggak apa-apa, Ma. Lagian, kantor Papa juga nggak terlalu jauh, 'kan?" "Makasih ya, Nay. Kamu ambil dulu berkasnya di ruang kerja Papa. Map warna merah di atas meja." Tak mau banyak membuang waktu, aku pun bergegas menuju ke ruangan Papa, untuk mengambil berkas tersebut. "Ma, aku pergi sekarang ya!" "Iya Nay, hati-hati di jalan ya!" Aku hanya mengangguk, sembari melambaikan tangan. Lalu, dengan langkah cepat, aku keluar rumah bergegas menuju ke mobil. "Papa ada meeting pukul lima sore? Ah, Papa ada-ada aja deh. Sore-sore gini, masih semangat. Jadi ...." Pipiku seketika merona mengingat kembali sosok Papa, ketika sedang mengendarai mobil. "Astaga, nggak boleh inget-inget Papa lagi, Naya. Buang jauh-jauh pikiran yang nggak-nggak tentang Papa di otak kamu!" gumamku, mengomel pada sendiri yang masih saja tak tahu diri. Padahal, jalanan ibu kota sore ini, begitu padat. Namun, masih saja aku memikirkan Papa. Jalanan ibu kota sore ini, memang begitu padat. Di jam ini, banyak pekerja yang pulang kantor secara serempak, hingga menyebabkan kepadatan lalu lintas. Setengah jam kemudian, mobil yang kukendarai pun akhirnya sampai di gedung perusahaan milik Papa. Tak lama lagi, berkas yang kubawa akan digunakan Papa untuk meeting. Setelah memarkirkan mobil, aku pun bergegas menuju ke ruangan Papa. Aku yang sudah cukup lama, tidak datang ke kantor ini, cukup terkejut dengan dekorasi interior kantor yang sekarang sudah cukup berbeda, dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika terakhir aku datang ke sini. Lebih tepatnya, satu minggu sebelum aku berangkat ke Singapura. Beberapa saat kemudian, aku pun sudah berdiri di depan sebuah ruangan berpintu cokelat. Di depan ruangan tersebut, ada sebuah meja sekretaris. Namun, aku tak menemukan keberadaan sekretaris Papa di sana. Dulu sekretaris Papa adalah Tante Tari. Namun, kabarnya setelah menikah, dia keluar, dan aku tak cukup mengenal siapa sekretaris Papa sekarang. TOK TOK Aku pun memilih mengetuk pintu terlebih dulu. Meskipun, aku anak Papa, tapi aku tak mau bersikap sesuka hati di kantor ini. "Ya, masuk ...!" Suara sahutan terdengar dari dalam ruangan. Aku tahu, itu suara Papa. 'Syukurlah, Papa sepertinya belum mulai meeting,' batinku ketika membuka pintu ruangan tersebut. Saat pintu ruangan itu terbuka, dan aku mulai berjalan masuk ke dalam. Tiba-tiba suasana terasa begitu aneh. Hening, tak hanya itu, gelagat Papa pun terlihat canggung. Apalagi, saat aku baru menyadari jika ada sosok wanita yang kini berdiri di samping Papa. Dia tampak cantik, dengan penampilan yang bisa terbilang modis, dan seksi. Ketika aku berjalan, dia tampak sedang merapikan pakaiannya. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi entah mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. "Oh Kanaya ...." "Aku mau anter berkas yang tertinggal, Pa. Mang Udin ijin istrinya sakit," jawabku sembari memberikan berkas tersebut pada Papa. "Makasih, Kanaya. Kamu duduk dulu ya, minum sebentar. Kamu pasti cape 'kan, baru pulang jalan-jalan sama Mama terus langsung ke sini." Aku pun mengangguk, lalu duduk di sofa. Memang, aku cukup lelah. Setelah seharian berbelanja, aku langsung pergi ke kantor ini. Apalagi, dengan kondisi jalanan yang padat. Tadi siang, Papa memang sempat menghubungi Mama, ketika kami baru saja selesai makan. Jadi, dia tahu jika aku baru pulang, dan langsung pergi lagi untuk mengantarkan berkas tersebut. "Chyntia, kenalkan dia Kanaya, putri sulung saya. Dia baru pulang dari Singapura." Papa lalu memindai pandangannya padaku. "Kanaya, dia Tante Chyntia, sekretaris baru Papa yang gantiin Tante Tari." Chyntia pun mengangguk, sembari tersenyum ramah padaku. Namun, entah mengapa, aku tidak menyukai wanita itu. Dia berbeda dengan Tante Tari. Sorot mata keduanya berbeda. Mungkin, sikap mereka sama-sama ramah. Akan tetapi, aku bisa menemukan ketulusan dari sorot mata Tante Tari. Penampilan Tante Tari juga jauh lebih sopan. Sedangkan wanita yang ada di hadapanku sekarang, terlihat penuh siasat, dan mengumbar aurat. Aku tak mau berpikir terlalu jauh. Entahlah, mungkin aku saja yang merasa over thinking. Ataukah mungkin aku cemburu? Apalagi, pakaian bagian atas wanita itu, bisa dibilang cukup terbuka. "Nona Kanaya, mau minum apa?" tawar Chyntia padaku. Aku pun balas menatap Chyntia, dan sial. Aku baru menyadari jika salah satu kancing kemejanya tak tertaut. Seketika, otakku pun dipenuhi berbagai macam tanya. 'Apa yang tadi sebenarnya sedang dilakukan oleh Papa, dan Chyntia? Apakah Papa mengkhianati Mama?' batinku dalam hati."Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,