Share

Bab 10

"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!"

Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah.

Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih.

"Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian.

"Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.

Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening.

"Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?"

"Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup. Padahal, tujuanku melakukan itu yaitu satu, menjauh dari Papa untuk mengubur perasaan ini.

"Oh ya udah kalo gitu, nanti kita bicarakan juga sama Papa ya."

Aku pun mengangguk, lalu melanjutkan menyantap makananku.

Setelah makan, dan cukup lama berbelanja, akhirnya kami pulang ke rumah. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul empat sore.

Ketika kami baru saja memasuki rumah, tiba-tiba ponsel Mama berdering. Mama pun bergegas mengangkat panggilan telepon itu, yang ternyata berasal dari Papa.

"Ya, halo Pa."

Hening. Mama tampak serius mendengarkan perkataan Papa di ujung sambungan telepon.

"Bi, Bi Asih. Tolong bilang sama Mang Udin, suruh anter berkas Bapak ya. Berkas yang mau buat rapat ketinggalan di ruang kerja. Suruh Mang Udin anter cepet, mau buat meeting jam lima sore nanti sama klien."

Bi Asih pun mendekat. "Nyonya, tadi Mang Udin ijin, katanya istrinya sakit."

"Astaga, terus siapa yang mau anter berkas itu ke kantor Papa? Mama juga udah janji, habis Kenan mandi, mau bantuin ngerjain PR. Bisa-bisa, dia marah kalo Mama ingkar janji terus," sahut Mama panik.

"Ma, biar aku aja ya." Aku akhirnya menawarkan diri.

"Beneran nggak apa-apa? Kamu nggak cape?"

"Nggak apa-apa, Ma. Lagian, kantor Papa juga nggak terlalu jauh, 'kan?"

"Makasih ya, Nay. Kamu ambil dulu berkasnya di ruang kerja Papa. Map warna merah di atas meja."

Tak mau banyak membuang waktu, aku pun bergegas menuju ke ruangan Papa, untuk mengambil berkas tersebut.

"Ma, aku pergi sekarang ya!"

"Iya Nay, hati-hati di jalan ya!"

Aku hanya mengangguk, sembari melambaikan tangan. Lalu, dengan langkah cepat, aku keluar rumah bergegas menuju ke mobil.

"Papa ada meeting pukul lima sore? Ah, Papa ada-ada aja deh. Sore-sore gini, masih semangat. Jadi ...." Pipiku seketika merona mengingat kembali sosok Papa, ketika sedang mengendarai mobil.

"Astaga, nggak boleh inget-inget Papa lagi, Naya. Buang jauh-jauh pikiran yang nggak-nggak tentang Papa di otak kamu!" gumamku, mengomel pada sendiri yang masih saja tak tahu diri. Padahal, jalanan ibu kota sore ini, begitu padat. Namun, masih saja aku memikirkan Papa.

Jalanan ibu kota sore ini, memang begitu padat. Di jam ini, banyak pekerja yang pulang kantor secara serempak, hingga menyebabkan kepadatan lalu lintas.

Setengah jam kemudian, mobil yang kukendarai pun akhirnya sampai di gedung perusahaan milik Papa.

Tak lama lagi, berkas yang kubawa akan digunakan Papa untuk meeting. Setelah memarkirkan mobil, aku pun bergegas menuju ke ruangan Papa.

Aku yang sudah cukup lama, tidak datang ke kantor ini, cukup terkejut dengan dekorasi interior kantor yang sekarang sudah cukup berbeda, dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika terakhir aku datang ke sini. Lebih tepatnya, satu minggu sebelum aku berangkat ke Singapura.

Beberapa saat kemudian, aku pun sudah berdiri di depan sebuah ruangan berpintu cokelat. Di depan ruangan tersebut, ada sebuah meja sekretaris. Namun, aku tak menemukan keberadaan sekretaris Papa di sana.

Dulu sekretaris Papa adalah Tante Tari. Namun, kabarnya setelah menikah, dia keluar, dan aku tak cukup mengenal siapa sekretaris Papa sekarang.

TOK TOK

Aku pun memilih mengetuk pintu terlebih dulu. Meskipun, aku anak Papa, tapi aku tak mau bersikap sesuka hati di kantor ini.

"Ya, masuk ...!" Suara sahutan terdengar dari dalam ruangan. Aku tahu, itu suara Papa.

'Syukurlah, Papa sepertinya belum mulai meeting,' batinku ketika membuka pintu ruangan tersebut.

Saat pintu ruangan itu terbuka, dan aku mulai berjalan masuk ke dalam. Tiba-tiba suasana terasa begitu aneh. Hening, tak hanya itu, gelagat Papa pun terlihat canggung.

Apalagi, saat aku baru menyadari jika ada sosok wanita yang kini berdiri di samping Papa. Dia tampak cantik, dengan penampilan yang bisa terbilang modis, dan seksi. Ketika aku berjalan, dia tampak sedang merapikan pakaiannya. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi entah mengapa perasaanku tiba-tiba tidak enak.

"Oh Kanaya ...."

"Aku mau anter berkas yang tertinggal, Pa. Mang Udin ijin istrinya sakit," jawabku sembari memberikan berkas tersebut pada Papa.

"Makasih, Kanaya. Kamu duduk dulu ya, minum sebentar. Kamu pasti cape 'kan, baru pulang jalan-jalan sama Mama terus langsung ke sini."

Aku pun mengangguk, lalu duduk di sofa. Memang, aku cukup lelah. Setelah seharian berbelanja, aku langsung pergi ke kantor ini. Apalagi, dengan kondisi jalanan yang padat.

Tadi siang, Papa memang sempat menghubungi Mama, ketika kami baru saja selesai makan. Jadi, dia tahu jika aku baru pulang, dan langsung pergi lagi untuk mengantarkan berkas tersebut.

"Chyntia, kenalkan dia Kanaya, putri sulung saya. Dia baru pulang dari Singapura."

Papa lalu memindai pandangannya padaku. "Kanaya, dia Tante Chyntia, sekretaris baru Papa yang gantiin Tante Tari."

Chyntia pun mengangguk, sembari tersenyum ramah padaku. Namun, entah mengapa, aku tidak menyukai wanita itu. Dia berbeda dengan Tante Tari. Sorot mata keduanya berbeda. Mungkin, sikap mereka sama-sama ramah.

Akan tetapi, aku bisa menemukan ketulusan dari sorot mata Tante Tari. Penampilan Tante Tari juga jauh lebih sopan. Sedangkan wanita yang ada di hadapanku sekarang, terlihat penuh siasat, dan mengumbar aurat.

Aku tak mau berpikir terlalu jauh. Entahlah, mungkin aku saja yang merasa over thinking. Ataukah mungkin aku cemburu? Apalagi, pakaian bagian atas wanita itu, bisa dibilang cukup terbuka.

"Nona Kanaya, mau minum apa?" tawar Chyntia padaku.

Aku pun balas menatap Chyntia, dan sial. Aku baru menyadari jika salah satu kancing kemejanya tak tertaut. Seketika, otakku pun dipenuhi berbagai macam tanya.

'Apa yang tadi sebenarnya sedang dilakukan oleh Papa, dan Chyntia? Apakah Papa mengkhianati Mama?' batinku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status