Share

Bab 9

"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.

Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.

Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan.

"Kalian lagi sarapan?"

"Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu.

"Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya.

Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu."

Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama.

"Mama dari mana aja? Aku chat dari kemarin balesnya kok lama?"

"Mama ada pemotretan di Bandung buat brand fashion, Naya. Kapan-kapan kamu mama ajak ya! Temen mama, juga lagi cari brand ambassador pemula, buat make up remaja. Kayaknya kamu cocok deh!"

Wajahku pun sumringah, dan penuh antusias. Namun, Papa justru melirik Mama dengan tatapan sinis.

"Naya nggak usah ikut-ikutan. Biar dia fokus kuliah dulu." Nada bicara Papa, terdengar cukup ketus. Seolah menunjukkan jika dirinya tidak setuju dengan perkataan Mama.

"Tapi, Mas. Nggak ada salahnya, 'kan kalo Kanaya terjun ke dunia entertain. Sayang banget loh kalo disia-siakan. Penampilan fisik Naya itu udah di atas standar dari yang mereka inginkan."

"Aku lagi nggak mau berdebat, Arumi. Naya pokoknya harus kuliah dulu, nggak boleh diganggu kegiatan lain. Kenan, ayo berangkat!"

"Iya Pa." Kenan bangkit dari tempat duduknya, lalu Mama merentangkan tangan, dan memeluk, serta mencium anak itu.

"Kenan berangkat dulu ya, Ma."

"Iya hati-hati, Sayang."

"Kenan berangkat dulu ya, Kak. Besok Kak Kanaya masak lagi buat Kenan ya!" pinta bocah itu, dengan nada manja. Aku pun mengangguk, lalu mencium kedua pipinya.

"Aku berangkat dulu ...." Meskipun terlihat kesal, Papa masih mencium kening Mama sebelum berangkat ke kantor. Tak hanya itu, keduanya pun sempat mengecup bibir.

Sedangkan aku, melihat pemandangan itu hanya bisa tersenyum. Ada rasa sakit, yang mau tak mau harus kutahan. Bahkan terasa begitu mengganjal di dada.

"Naya, kenapa melamun?"

"Aku baru pernah liat Papa kaya gitu," jawabku berbohong, untuk menutupi rasa sakit ini.

"Kamu tenang aja, Naya. Papa nggak marah kok. Kalo kamu berminat, nanti biar Mama yang bujuk Papa."

"Kayaknya, aku mending fokus kuliah dulu deh, Ma."

"Ya udah terserah kamu, tapi nanti kalo kamu berminat. Kamu kasih tau Mama ya! Sekarang, mama ke atas dulu, mau mandi sama istirahat. Mama cape banget, badannya pegel-pegel."

Aku pun mengangguk. Lalu menatap sosok Mama angkatku, yang saat ini sedang berjalan menaiki tangga.

"Kanaya, nanti siang kita jemput Kenan, terus habis itu, jalan-jalan ke Mall ya!" Mama tiba-tiba menghentikan langkah, lalu membalikkan tubuh, dan menghadap ke arahku.

"Iya Ma," jawabku antusias. Aku memang sudah merindukan saat-saat seperti ini. Dulu, kami sering jalan-jalan sekeluarga, baik itu sekedar ke mall, tempat rekreasi, atau berlibur ke luar kota.

Aku pun kembali merasa bimbang dengan perasaanku. Haruskah aku memendam perasaan ini, padahal mereka sudah begitu baik padaku.

"Cinta, memang begitu rumit."

****

Siangnya ....

"Ma, makan dulu yuk! Aku laper ...," pinta Kenan, setelah beberapa saat kami berjalan-jalan di sebuah mall.

Mama pun mengangguk. "Oke, kita makan di sana aja ya!" jawab Mama, sembari menunjuk sebuah restoran, yang tempatnya cukup mewah.

Aku yang sedang berbalas pesan dengan Cecil pun mengangguk, mengikuti langkah mereka. Sedangkan di belakangku, ada seorang pembantu rumah tangga, yang membawa barang-barang belanjaan kami.

"Kanaya, kamu tunggu di sini sebentar ya. Mama, sama Kenan mau beli perlengkapan sekolah dulu buat Kenan," ujar Mama, setelah kami selesai memesan makanan.

"Oke, Ma." Aku yang masih sibuk berkirim pesan dengan Cecil, hanya menjawab singkat.

"Tapi Ma, aku nggak mau keluar. Kenan udah laper mau nunggu di sini aja."

"Kenan gimana sih? Kita 'kan mau beli alat-alat sekolah buat kamu. Udah, ayo ikut Mama ...!"

"Nanti aja deh, Ma. Abis kita makan ya!" protes Kenan kembali, yang menolak ajakan Mama.

"Harus ikut dong, Kenan." Aku yang sedang asyik dengan ponsel di tangan, seketika atensiku teralihkan, saat mendengar percakapan antara Mama, dan Kenan.

Entah mengapa, sikap Mama kali ini terlihat cukup aneh. Tidak seperti biasanya, dia memaksa Kenan seperti itu. Namun, aku tak mau ikut campur. Mungkin, Mama ingin mengajak Kenan karena enggan berjalan sendiri.

"Kalo nggak mau, nanti Mama nggak jadi beliin es krim loh!"

Mendengar perkataan Mama, Kenan hanya mengerucutkan bibir. Lalu, dengan langkah malas dia pun akhirnya mengikuti kemauan Mama untuk diajak keluar.

Sedangkan aku, kembali asyik dengan ponselku. Namun, sudah tak lagi berbalas pesan dengan Cecil, dan lebih memilih mencari informasi tentang beberapa universitas. Bahkan, kini universitas di luar negeri pun menjadi bagian list-ku.

Aku memang mempertimbangkan untuk melanjutkan study ke luar negeri, setelah mengalami gejolak perasaan ini. Aku tak mau terbelenggu, dalam perasaan cinta yang lebih dalam. Jadi, ada baiknya aku menghindar dari Papa. Hidup adalah pilihan, dan aku memilih untuk melupakan, daripada terjerumus dalam sebuah kesalahan.

Tak berapa lama, makanan yang kami pesan pun sudah tersaji di atas meja. Namun, Mama, dan Kenan belum juga kembali.

Aku pun berinisiatif untuk menghubungi Mama, karena aku tahu Kenan sejak tadi sudah mengeluh lapar. Namun, beberapa kali aku menelepon Mama, panggilan telepon itu tak juga diangkat.

"Non itu Nyonya, sama Kenan udah balik." Suara pembantu rumah tangga yang menemani kami, mengalihkan atensiku, dari layar ponsel.

Aku pun mengangkat kepala, dan benar saja, Mama, tampak menggandeng Kenan, sedang berjalan ke arah kami. Kali ini, raut wajah Kenan sudah sedikit cerita.

"Hore, akhirnya makan juga! Kenan udah laper dari tadi ...!" pekik bocah itu girang.

"Kenan, jangan lupa berdoa dulu sebelum makan. Hati-hati juga makannya."

Kenan pun mengangguk, lalu dia tampak membaca doa, sebelum memasukkan makanan ke mulutnya. Kami pun terkekeh melihat tingkahnya. Apalagi, ketika melihat mulut Kenan yang belepotan, karena tidak sabar memakan makanan tersebut.

Akan tetapi, aku baru menyadari, jika ada sesuatu yang aneh. Bukankah tadi Mama mengatakan jika mereka ingin membeli perlengkapan sekolah untuk Kenan. Namun, mengapa mereka kembali dengan tangan kosong.

"Ma, bukannya tadi Mama bilang mau beli perlengkapan sekolah buat Kenan. Kenapa baliknya nggak bawa apa-apa?"

"Oh itu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status