"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.
Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu. Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu. "Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama. "Mama dari mana aja? Aku chat dari kemarin balesnya kok lama?" "Mama ada pemotretan di Bandung buat brand fashion, Naya. Kapan-kapan kamu mama ajak ya! Temen mama, juga lagi cari brand ambassador pemula, buat make up remaja. Kayaknya kamu cocok deh!" Wajahku pun sumringah, dan penuh antusias. Namun, Papa justru melirik Mama dengan tatapan sinis. "Naya nggak usah ikut-ikutan. Biar dia fokus kuliah dulu." Nada bicara Papa, terdengar cukup ketus. Seolah menunjukkan jika dirinya tidak setuju dengan perkataan Mama. "Tapi, Mas. Nggak ada salahnya, 'kan kalo Kanaya terjun ke dunia entertain. Sayang banget loh kalo disia-siakan. Penampilan fisik Naya itu udah di atas standar dari yang mereka inginkan." "Aku lagi nggak mau berdebat, Arumi. Naya pokoknya harus kuliah dulu, nggak boleh diganggu kegiatan lain. Kenan, ayo berangkat!" "Iya Pa." Kenan bangkit dari tempat duduknya, lalu Mama merentangkan tangan, dan memeluk, serta mencium anak itu. "Kenan berangkat dulu ya, Ma." "Iya hati-hati, Sayang." "Kenan berangkat dulu ya, Kak. Besok Kak Kanaya masak lagi buat Kenan ya!" pinta bocah itu, dengan nada manja. Aku pun mengangguk, lalu mencium kedua pipinya. "Aku berangkat dulu ...." Meskipun terlihat kesal, Papa masih mencium kening Mama sebelum berangkat ke kantor. Tak hanya itu, keduanya pun sempat mengecup bibir. Sedangkan aku, melihat pemandangan itu hanya bisa tersenyum. Ada rasa sakit, yang mau tak mau harus kutahan. Bahkan terasa begitu mengganjal di dada. "Naya, kenapa melamun?" "Aku baru pernah liat Papa kaya gitu," jawabku berbohong, untuk menutupi rasa sakit ini. "Kamu tenang aja, Naya. Papa nggak marah kok. Kalo kamu berminat, nanti biar Mama yang bujuk Papa." "Kayaknya, aku mending fokus kuliah dulu deh, Ma." "Ya udah terserah kamu, tapi nanti kalo kamu berminat. Kamu kasih tau Mama ya! Sekarang, mama ke atas dulu, mau mandi sama istirahat. Mama cape banget, badannya pegel-pegel." Aku pun mengangguk. Lalu menatap sosok Mama angkatku, yang saat ini sedang berjalan menaiki tangga. "Kanaya, nanti siang kita jemput Kenan, terus habis itu, jalan-jalan ke Mall ya!" Mama tiba-tiba menghentikan langkah, lalu membalikkan tubuh, dan menghadap ke arahku. "Iya Ma," jawabku antusias. Aku memang sudah merindukan saat-saat seperti ini. Dulu, kami sering jalan-jalan sekeluarga, baik itu sekedar ke mall, tempat rekreasi, atau berlibur ke luar kota. Aku pun kembali merasa bimbang dengan perasaanku. Haruskah aku memendam perasaan ini, padahal mereka sudah begitu baik padaku. "Cinta, memang begitu rumit." **** Siangnya .... "Ma, makan dulu yuk! Aku laper ...," pinta Kenan, setelah beberapa saat kami berjalan-jalan di sebuah mall. Mama pun mengangguk. "Oke, kita makan di sana aja ya!" jawab Mama, sembari menunjuk sebuah restoran, yang tempatnya cukup mewah. Aku yang sedang berbalas pesan dengan Cecil pun mengangguk, mengikuti langkah mereka. Sedangkan di belakangku, ada seorang pembantu rumah tangga, yang membawa barang-barang belanjaan kami. "Kanaya, kamu tunggu di sini sebentar ya. Mama, sama Kenan mau beli perlengkapan sekolah dulu buat Kenan," ujar Mama, setelah kami selesai memesan makanan. "Oke, Ma." Aku yang masih sibuk berkirim pesan dengan Cecil, hanya menjawab singkat. "Tapi Ma, aku nggak mau keluar. Kenan udah laper mau nunggu di sini aja." "Kenan gimana sih? Kita 'kan mau beli alat-alat sekolah buat kamu. Udah, ayo ikut Mama ...!" "Nanti aja deh, Ma. Abis kita makan ya!" protes Kenan kembali, yang menolak ajakan Mama. "Harus ikut dong, Kenan." Aku yang sedang asyik dengan ponsel di tangan, seketika atensiku teralihkan, saat mendengar percakapan antara Mama, dan Kenan. Entah mengapa, sikap Mama kali ini terlihat cukup aneh. Tidak seperti biasanya, dia memaksa Kenan seperti itu. Namun, aku tak mau ikut campur. Mungkin, Mama ingin mengajak Kenan karena enggan berjalan sendiri. "Kalo nggak mau, nanti Mama nggak jadi beliin es krim loh!" Mendengar perkataan Mama, Kenan hanya mengerucutkan bibir. Lalu, dengan langkah malas dia pun akhirnya mengikuti kemauan Mama untuk diajak keluar. Sedangkan aku, kembali asyik dengan ponselku. Namun, sudah tak lagi berbalas pesan dengan Cecil, dan lebih memilih mencari informasi tentang beberapa universitas. Bahkan, kini universitas di luar negeri pun menjadi bagian list-ku. Aku memang mempertimbangkan untuk melanjutkan study ke luar negeri, setelah mengalami gejolak perasaan ini. Aku tak mau terbelenggu, dalam perasaan cinta yang lebih dalam. Jadi, ada baiknya aku menghindar dari Papa. Hidup adalah pilihan, dan aku memilih untuk melupakan, daripada terjerumus dalam sebuah kesalahan. Tak berapa lama, makanan yang kami pesan pun sudah tersaji di atas meja. Namun, Mama, dan Kenan belum juga kembali. Aku pun berinisiatif untuk menghubungi Mama, karena aku tahu Kenan sejak tadi sudah mengeluh lapar. Namun, beberapa kali aku menelepon Mama, panggilan telepon itu tak juga diangkat. "Non itu Nyonya, sama Kenan udah balik." Suara pembantu rumah tangga yang menemani kami, mengalihkan atensiku, dari layar ponsel. Aku pun mengangkat kepala, dan benar saja, Mama, tampak menggandeng Kenan, sedang berjalan ke arah kami. Kali ini, raut wajah Kenan sudah sedikit cerita. "Hore, akhirnya makan juga! Kenan udah laper dari tadi ...!" pekik bocah itu girang. "Kenan, jangan lupa berdoa dulu sebelum makan. Hati-hati juga makannya." Kenan pun mengangguk, lalu dia tampak membaca doa, sebelum memasukkan makanan ke mulutnya. Kami pun terkekeh melihat tingkahnya. Apalagi, ketika melihat mulut Kenan yang belepotan, karena tidak sabar memakan makanan tersebut. Akan tetapi, aku baru menyadari, jika ada sesuatu yang aneh. Bukankah tadi Mama mengatakan jika mereka ingin membeli perlengkapan sekolah untuk Kenan. Namun, mengapa mereka kembali dengan tangan kosong. "Ma, bukannya tadi Mama bilang mau beli perlengkapan sekolah buat Kenan. Kenapa baliknya nggak bawa apa-apa?" "Oh itu ....""Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo