"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa.
Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!" Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku. "Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex. "Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi. "Iya, Papa temenin Kenan dulu." Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki dewasa itu keluar dari kamarku. "Untung saja, aku masih bisa mengendalikan diri. Kalau tidak ...." Aku menghembuskan napas panjang, sembari mengingat kejadian yang pernah kualami dulu. Namun, jika dulu Mr Alex khilaf karena aku yang memancing keadaan. Sedangkan sekarang, aku yakin Papa sampai berbuat sejauh itu pasti karena dalam pengaruh alkohol, dan aku tak ingin menjadi pecundang untuk yang kedua kali. Tak mau banyak berpikir, aku lalu bangkit dari atas tempat tidur untuk membersihkan diri, sembari menghapus jejak hangat Papa di tubuhku. Selesai mandi, aku duduk di atas ranjang. Lalu, tiba-tiba tanganku bergerak lincah menuliskan apa yang aku rasakan saat ini. "Saat ini aku sedang berjalan di atas luka dalam alunan cinta yang mempermainkan kalbuku. Aku terluka, sebuah luka akibat khayalanku yang melampaui bintang, dan mengambang layaknya sinar bulan. Karena semesta pun tahu, kisah ini hanya halusinasi, dan hanya sebatas mimpi. Sampai kapanpun, bagiku kau hanyalah sebatas mimpi." Aku menatap tulisan itu, tanpa sadar aku membuat sebuah puisi cinta untuk Papaku sendiri. Rasanya benar-benar konyol, dan di luar nalar. Namun, masalah hati, memang begitu rumit, dan sulit untuk dikendalikan. "Apakah ini artinya aku benar-benar sudah jatuh cinta pada Papa? Apakah, aku kembali merasakan perasaan yang sama seperti dulu ketika jatuh cinta pada Mr Alex?" Otakku rasanya begitu berisik memikirkan semua ini. Hingga membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku pun memilih untuk memejamkan mata, berharap jika alam mimpi membawaku untuk melupakan semua. Meskipun, hanya sekejap. *** Keesokan Harinya .... Pagi ini, aku ingin berlari di sekitar komplek rumah. Namun, ketika baru saja keluar rumah, lagi-lagi tak kudapati mobil mama ada di garasi. Keningku pun seketika mengernyit. "Kenapa nggak ada mobil Mama di garasi? Apa jangan-jangan ...?" Berbagai tanda tanya mulai hinggap di benakku. Sejak aku pulang ke rumah ini, baru sekali saja aku bertemu dengan Mama. Apakah Mama memang begitu sibuk sampai jarang berada di rumah? Aku pun mengurungkan niatku, dan memilih kembali masuk ke dalam rumah, lalu menghampiri Bi Asih yang kini hendak memasak di dapur. "Bi ...!" Aku menepuk pelan pundak pembantuku. Wanita paruh baya itu pun menoleh, dan cukup terkejut dengan kedatanganku di dapur. "Non Naya, kenapa ada di sini?" tanya Bi Asih, penasaran. Aku paham mengapa dia terkejut dengan kedatanganku. Sejak kecil, aku memang sangat jarang mengunjungi dapur. Bisa dibilang, aku memang tidak pernah memasak. "Bi, aku mau bikin sarapan buat Papa, sama Kenan." Bi Asih pun menggelengkan kepalanya. "Nggak Non, biar bibi aja. Ini udah tugas bibi." "Dih, Bi Asih nggak asyik ah. Sekali-kali aku 'kan pengen masak. Masa nggak boleh sih." "Tapi nanti bisa-bisa, bibi dimarahin Tuan, sama Nyonya." Raut wajah Bi Asih terlihat cemas. "Bi Asih nggak usah khawatir, biar aku yang tanggung jawab." Bi Asih akhirnya menganggukkan kepala. "Bi Asih lebih baik sekarang bangunin Kenan, suruh dia mandi, siap-siap berangkat sekolah." "Iya Non," jawab Bi Asih, meninggalkanku yang kini sudah bersiap untuk memasak sarapan. Setengah jam kemudian, aku pun selesai memasak. Pagi ini, aku memasak nasi goreng spesial, yang rasanya aku yakin tak kalah dengan rumah makan bintang lima. Jangan ditanya aku belajar ini di mana. Sejak di Singapura, mau tak mau, aku harus belajar mandiri, termasuk belajar memasak. Ketika baru saja selesai menghidangkan makanan di atas meja makan. Papa, dan Kenan tampak berjalan menuruni tangga. "Selamat pagi, Pa. Selamat pagi, Kenan." Aku berusaha bersikap biasa, seolah tak ada kejadian apapun antara aku, dan Papa tadi malam. "Selamat pagi, Kak Kanaya yang masak sarapan?" sahut adik kecilku. Aku pun mengangguk, dan Kenan yang terlihat antusias, sontak berlari mendekat. "Kayaknya enak nih. Kenan makan ya!" "Nggak disuapin?" Bocah laki-laki itu pun menggeleng. "Nggak usah, pengen biar cepet gede. Kaya Kak Kanaya," sahut Kenan asal. Aku pun terkekeh mendengar celotehan polosnya. "Kamu yang masak?" tanya Papa, seolah tak percaya. "Iya, waktu di Singapura, Kanaya banyak belajar masakan sama temen-temen asrama." Papa mengangguk sembari tersenyum. Lalu duduk di kursi. "Ayo sarapan bareng!" "Aku ambilin buat Papa dulu ya!" Papa diam, raut wajahnya masih terlihat bingung. Mungkin saja, dia masih sungkan, karena kejadian tadi malam, dan aku ingin menepis semua kecanggungan ini. "Oh iya Pa, Mama mana?" tanyaku ketika menaruh nasi goreng di atas piring Papa. "Mama belum pulang. Masih ada kerjaan." Jawaban singkat Papa, membuatku tak lagi ingin bertanya, dan memilih pergi ke belakang. "Kamu nggak ikut sarapan?" "Sebentar, Pa." Tak berapa lama aku pun kembali ke meja makan, dengan membawa secangkir kopi, dan segelas susu dengan menggunakan nampan. "Pa, ini kopi buat Papa." "Terus ini susu buat Kenan!" "Makasih banyak Kak Naya!" pekik bocah itu girang. Sedangkan Papa, ketika melihat secangkir kopi yang kuhidangkan, senyum manis pun tersungging di bibirnya. Mungkin, dia bahagia putri kecilnya sudah beranjak dewasa. "Makasih banyak ya, Sekarang kita sarapan bareng." Aku pun mengangguk, lalu duduk di samping Kenan. Kami menyelesaikan sarapan pagi ini, dengan penuh canda. Hatiku kembali menghangat, dua hari ini aku seolah merasakan memiliki sebuah keluarga kecil. Hingga tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan atensi kami semua. "Mama pulang ....""Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Kanaya ....Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.Akhirnya aku pun
Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.Keluarga hangat itu, seperti tidak meng
Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber