Share

Bab 8

"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa.

Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut.

"Pa ...!"

Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku.

"Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala.

Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex.

"Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi.

"Iya, Papa temenin Kenan dulu."

Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki dewasa itu keluar dari kamarku. "Untung saja, aku masih bisa mengendalikan diri. Kalau tidak ...."

Aku menghembuskan napas panjang, sembari mengingat kejadian yang pernah kualami dulu. Namun, jika dulu Mr Alex khilaf karena aku yang memancing keadaan. Sedangkan sekarang, aku yakin Papa sampai berbuat sejauh itu pasti karena dalam pengaruh alkohol, dan aku tak ingin menjadi pecundang untuk yang kedua kali.

Tak mau banyak berpikir, aku lalu bangkit dari atas tempat tidur untuk membersihkan diri, sembari menghapus jejak hangat Papa di tubuhku.

Selesai mandi, aku duduk di atas ranjang. Lalu, tiba-tiba tanganku bergerak lincah menuliskan apa yang aku rasakan saat ini.

"Saat ini aku sedang berjalan di atas luka dalam alunan cinta yang mempermainkan kalbuku. Aku terluka, sebuah luka akibat khayalanku yang melampaui bintang, dan mengambang layaknya sinar bulan. Karena semesta pun tahu, kisah ini hanya halusinasi, dan hanya sebatas mimpi. Sampai kapanpun, bagiku kau hanyalah sebatas mimpi."

Aku menatap tulisan itu, tanpa sadar aku membuat sebuah puisi cinta untuk Papaku sendiri. Rasanya benar-benar konyol, dan di luar nalar. Namun, masalah hati, memang begitu rumit, dan sulit untuk dikendalikan.

"Apakah ini artinya aku benar-benar sudah jatuh cinta pada Papa? Apakah, aku kembali merasakan perasaan yang sama seperti dulu ketika jatuh cinta pada Mr Alex?"

Otakku rasanya begitu berisik memikirkan semua ini. Hingga membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku pun memilih untuk memejamkan mata, berharap jika alam mimpi membawaku untuk melupakan semua. Meskipun, hanya sekejap.

***

Keesokan Harinya ....

Pagi ini, aku ingin berlari di sekitar komplek rumah. Namun, ketika baru saja keluar rumah, lagi-lagi tak kudapati mobil mama ada di garasi. Keningku pun seketika mengernyit.

"Kenapa nggak ada mobil Mama di garasi? Apa jangan-jangan ...?"

Berbagai tanda tanya mulai hinggap di benakku. Sejak aku pulang ke rumah ini, baru sekali saja aku bertemu dengan Mama. Apakah Mama memang begitu sibuk sampai jarang berada di rumah?

Aku pun mengurungkan niatku, dan memilih kembali masuk ke dalam rumah, lalu menghampiri Bi Asih yang kini hendak memasak di dapur.

"Bi ...!" Aku menepuk pelan pundak pembantuku.

Wanita paruh baya itu pun menoleh, dan cukup terkejut dengan kedatanganku di dapur.

"Non Naya, kenapa ada di sini?" tanya Bi Asih, penasaran. Aku paham mengapa dia terkejut dengan kedatanganku. Sejak kecil, aku memang sangat jarang mengunjungi dapur. Bisa dibilang, aku memang tidak pernah memasak.

"Bi, aku mau bikin sarapan buat Papa, sama Kenan."

Bi Asih pun menggelengkan kepalanya. "Nggak Non, biar bibi aja. Ini udah tugas bibi."

"Dih, Bi Asih nggak asyik ah. Sekali-kali aku 'kan pengen masak. Masa nggak boleh sih."

"Tapi nanti bisa-bisa, bibi dimarahin Tuan, sama Nyonya."

Raut wajah Bi Asih terlihat cemas. "Bi Asih nggak usah khawatir, biar aku yang tanggung jawab." Bi Asih akhirnya menganggukkan kepala.

"Bi Asih lebih baik sekarang bangunin Kenan, suruh dia mandi, siap-siap berangkat sekolah."

"Iya Non," jawab Bi Asih, meninggalkanku yang kini sudah bersiap untuk memasak sarapan.

Setengah jam kemudian, aku pun selesai memasak. Pagi ini, aku memasak nasi goreng spesial, yang rasanya aku yakin tak kalah dengan rumah makan bintang lima.

Jangan ditanya aku belajar ini di mana. Sejak di Singapura, mau tak mau, aku harus belajar mandiri, termasuk belajar memasak.

Ketika baru saja selesai menghidangkan makanan di atas meja makan. Papa, dan Kenan tampak berjalan menuruni tangga.

"Selamat pagi, Pa. Selamat pagi, Kenan."

Aku berusaha bersikap biasa, seolah tak ada kejadian apapun antara aku, dan Papa tadi malam.

"Selamat pagi, Kak Kanaya yang masak sarapan?" sahut adik kecilku.

Aku pun mengangguk, dan Kenan yang terlihat antusias, sontak berlari mendekat.

"Kayaknya enak nih. Kenan makan ya!"

"Nggak disuapin?"

Bocah laki-laki itu pun menggeleng.

"Nggak usah, pengen biar cepet gede. Kaya Kak Kanaya," sahut Kenan asal. Aku pun terkekeh mendengar celotehan polosnya.

"Kamu yang masak?" tanya Papa, seolah tak percaya.

"Iya, waktu di Singapura, Kanaya banyak belajar masakan sama temen-temen asrama."

Papa mengangguk sembari tersenyum. Lalu duduk di kursi. "Ayo sarapan bareng!"

"Aku ambilin buat Papa dulu ya!"

Papa diam, raut wajahnya masih terlihat bingung. Mungkin saja, dia masih sungkan, karena kejadian tadi malam, dan aku ingin menepis semua kecanggungan ini.

"Oh iya Pa, Mama mana?" tanyaku ketika menaruh nasi goreng di atas piring Papa.

"Mama belum pulang. Masih ada kerjaan." Jawaban singkat Papa, membuatku tak lagi ingin bertanya, dan memilih pergi ke belakang.

"Kamu nggak ikut sarapan?"

"Sebentar, Pa."

Tak berapa lama aku pun kembali ke meja makan, dengan membawa secangkir kopi, dan segelas susu dengan menggunakan nampan.

"Pa, ini kopi buat Papa."

"Terus ini susu buat Kenan!"

"Makasih banyak Kak Naya!" pekik bocah itu girang.

Sedangkan Papa, ketika melihat secangkir kopi yang kuhidangkan, senyum manis pun tersungging di bibirnya. Mungkin, dia bahagia putri kecilnya sudah beranjak dewasa.

"Makasih banyak ya, Sekarang kita sarapan bareng."

Aku pun mengangguk, lalu duduk di samping Kenan. Kami menyelesaikan sarapan pagi ini, dengan penuh canda. Hatiku kembali menghangat, dua hari ini aku seolah merasakan memiliki sebuah keluarga kecil. Hingga tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan atensi kami semua.

"Mama pulang ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status