Sepiring Tumis Pepaya Muda

Sepiring Tumis Pepaya Muda

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-07-26
Oleh:  Rira FaradinaTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 Peringkat. 2 Ulasan-ulasan
70Bab
9.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Menikahi pria yang telah membuat hidupnya hancur harus di lakukan Zia karena keterpaksaan. Tak disangka pernikahannya membuat seorang wanita menuntunnya pada kematiannya, mampukah Zia bertahan ditengah trauma dan rasa bencinya?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.

Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami.

"Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama.

Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya.

"Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak.

"Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki lebih, akan Zia belikan ayam goreng untuk bapak," hiburku.

Kami makan dengan nikmat, meski hanya dengan lauk buah pepaya muda yang ku tumis dengan bumbu seadanya. Sebenarnya aku sangat ingin membahagiakan bapak di usia senjanya, hanya saja keberuntungan belum berpihak padaku.

Sejak ibu meninggal sepuluh tahun yang lalu, bapak tak pernah menikah lagi, bapak bilang kehadiranku sudah membuatnya bahagia meski tanpa kehadiran ibu. Aku adalah anak mereka satu satunya. Kata bapak, wajahku yang cantik menurun dari garis keturunan ibu, dan lagi penantian mereka akan kehadiranku cukup lama, menunggu hampir sepuluh tahun pernikahan mereka.

"Pak, Zia berangkat jualan dulu ya, bapak istirahat saja, jangan terlalu banyak berpikir, Zia hanya ingin bapak sehat," pamitku usai membereskan sisa sarapan pagi kami.

"Hati hati, Zia."

"Iya pak, doakan dagangan Zia banyak yang laku ya." Bapak hanya tersenyum sambil mengangguk kecil.

Aku mulai mendorong gerobak yang akan kupakai untuk berjualan berbagai aneka cemilan anak, tahu bulat, otak otak, sosis, pangsit, semuanya harus kugoreng dahulu, sebelum bisa dikonsumsi.

Gerobak ini memang milik bapak, tapi barang barang yang akan kujual, kuambil dulu dari Mak Siti, seorang penjual makanan beku yang masih tetanggaku, penghasilan yang kudapat cukup untuk makan dan menyisihkan sedikit untuk membeli obat bapak. Untunglah kami tak harus membayar sewa rumah. Karena rumah yang kami tempati adalah warisan dari Kakek.

Kadang rasanya ingin mencari pekerjaan lain, namun hal itu kutepis jauh, karena aku tak bisa meninggalkan bapak terlalu lama. Bahkan aku harus mengubur impianku untuk menjadi seorang guru, karena keterbatasan biaya. Tadinya, bapaklah yang berjualan. Namun, sudah dua tahun ini bapak sakit sakitan, beberapa kali aku harus membawa bapak ke dokter karena kondisi bapak yang tiba tiba menurun. Meski telah menggunakan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah untuk berobat, tetap saja kami masih harus mengeluarkan uang untuk membeli obat. Terdesak oleh biaya hidup dan tak ada pemasukan untuk membeli obat bapak. Membuatku akhirnya menggantikan bapak berjualan.

Aku mendorong gerobak ke arah sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumahku. Masih ada sekitar lima belas menit lagi sebelum bel sekolah dimulai. Kupercepat langkahku mendorong gerobak. Aku tak mau kehilangan rejekiku pagi ini.

"Ah, Mbak Zia datang," seru anak anak mulai berkerumun.

"Mbak Zia, aku mau sosis gorengnya dua ya, aku pangsit goreng tiga," teriak mereka berebut minta dilayani lebih dulu.

Aku mulai menggoreng pesanan mereka, syukurlah sebelum bel sekolah berbunyi, semua pesanan mereka sudah siap. Tak lama, bel sekolah pun berbunyi, menandakan telah selesai waktuku disini, bergegas kurapikan kembali barang barang yang berantakan, karena ulah anak anak tadi. Setelah dirasa semua rapi. Aku duduk sebentar, sekedar melepas lelah dan menghitung rupiah yang kudapat pagi ini.

"Delapan belas ribu rupiah, Alhamdulillah," aku bersyukur, dan menyimpan uang itu didalam tas kecil yang kusandang dibahuku.

Aku mulai mendorong gerobakku kembali meninggalkan sekolah dasar ini, berjalan dari satu gang ke gang lain, menyusuri rute yang sama yang selalu kulewati untuk menjajakan daganganku.

"Eh, Neng Zia udah lewat. Gorengin sosisnya lima ya neng." Ucap Bu Salwa, seorang pelanggan ku.

"Iya, bu."

"Neng Zia itu sebenarnya cantik lho, kulit putih, wajah bersih, badan ramping dan tinggi. Kalau Neng Zia mau, ibu kenalin sama adik ipar ibu yang masih jomblo, lumayan lho udah PNS, gajinya tiga jutaan lebih katanya sebulan."

Aku hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Bu Salwa. Sejak awal aku berjualan, banyak orang yang menyayangkan nasibku. Bahkan tak sedikit yang mencibir pekerjaanku.

Apa yang salah dengan pekerjaanku?

"Neng Zia itu cantik, sayang rejekinya gak secantik orangnya."

"Emang gak malu neng, dagang sambil dorong gerobak, toh kan bisa cari pekerjaan lain."

Kalimat itu masih kerap terdengar di telingaku. Malu, untuk apa, aku mencari rejeki halal, aku malu jika ketahuan mencuri.

"Nih bu, sosisnya." Kuserahkan sebungkus plastik bening berisi sosis goreng itu pada Bu Salwa.

"Terima kasih Neng Zia, jangan lupa, pikirkan lagi tawaran ibu tadi ya, lumayan lho nikmatin gaji tiga jutaan lebih sebulan," ucapnya setengah berbisik padaku.

Aku tidak menanggapinya, hanya tersenyum tipis. Tak lama aku pamit padanya, mendorong gerobakku kembali sembari menjajakan daganganku.

Sebuah sepeda motor berhenti dan pengemudinya melambaikan tangan saat aku keluar dari gang sempit ini, aku tersenyum melihat seorang gadis seusiaku kini tengah berjalan menghampiriku.

"Zia ... Gimana mau gak, kerja di tempat temen mamaku?"

"Gimana ya, aku gak bisa ninggalin Bapak, Sheila. Aku aja gak berani jualan jauh jauh, takut bapak kenapa-napa. Kau kan tahu sendiri, bapak sudah tua dan sendirian dirumah," jelasku.

"Ya, padahal aku sudah berharap kamu mau, kan lumayan rumahnya gak begitu jauh, dan kamu bisa pulang, gak harus menginap disana, lagipula gajinya besar, kerjanya cuma ngajarin anak SD saja."

Aku menggeleng," maaf ya, aku belum bisa."

Sheila menarik tanganku, dan berteriak pada seorang pedagang warung, yang berada tak jauh dari tempat kami bicara sekarang.

"Bang, titip gerobaknya sebentar ya." Ujar Sheila.

"Iya, taruh di samping warung saja." Sahut pemilik warung.

Lekas Sheila melepaskan tanganku lalu menepikan gerobak ke samping warung. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Begitu melihat gerobakku dirasa sudah aman, kembali ia menarik tanganku.

"Mau kemana, Sheila?" Tanyaku bingung.

"Sudahlah, ikut saja."

Sebuah helm diletakkan di atas tanganku, aku masih belum mengerti, apa yang direncanakan Sheila. Tak lama ia menyuruhku mengenakan helm dan memintaku duduk di boncengan belakang motornya.

"Cepat naik, Zia," perintahnya.

"Iya, tapi kemana?"

"Kerumah calon majikanmu,aku kesal jika melihatmu mendorong gerobak terus. Kau itu cerdas, kenapa tak berpikir mencari pekerjaan saja. Setidaknya, dengan wajah cantikmu itu, kau bisa jadi seorang beauty consultants produk kosmetik." Sheila mencicit.

"Ijazahku cuma SMA," jawabku spontan. Membuat Sheila langsung balas bertanya," lalu, kenapa?"

Sheila kembali berdiri menatapku, tak lama ia membuang pandangannya kearah jalan.

"Kau hanya akan mengajari baca, tulis, hitung seorang anak SD, tak perlu ijazah," desis Sheila.

Dengan paksaan darinya, akhirnya aku menyerah. Mengikutinya kerumah teman ibunya yang kebetulan sedang mencari seorang guru privat untuk mengajari anaknya. Setengah jam kemudian, kami tiba disebuah rumah mewah.

Rumah dengan desain Mediterania ini memiliki dua lantai, dengan taman yang didesain sangat menawan di halamannya depannya.

Aku terpukau saat menginjak lantai marmer di rumah ini, begitu bersih dan berkilau, ada rasa getir dihati, rasanya sandal jepitku yang usang tak pantas untuk menjejakkan langkah disini.

Seorang asisten rumah tangga membuka pintunya, beberapa saat setelah bel ditekan Sheila. Ia mempersilahkan kami untuk menunggu disofa tamu, sebelum ia memanggil majikannya.

Aku dan Sheila, menunggu dengan cemas disofa ini, desain interior ruang tamunya terlihat mewah dengan berbagai koleksi kristal yang tertata rapi didalam lemari kaca, tak lama, seorang wanita yang kutaksir berusia hampir empat puluh tahunan datang dengan gaya yang fashionable, menenteng sebuah tas branded keluaran rumah mode Paris akhirnya menemui kami.

"Tante Soraya!" Panggil Sheila.

"Sheila, ada perlu apa?" Jawab wanita itu.

Sheila pun mengenalkan aku dan mengutarakan niat kami kesini. Lama wanita bernama Soraya itu menatapku dan memperhatikan penampilanku, tak lama bibirnya tersenyum.

"Aku percaya padamu, Sheila. Baiklah, kau diterima kerja disini, kau akan mengurus anak perempuanku, Allysa. Tolong ajari dia." Wanita itu mengulurkan tangannya. Akupun menyambut uluran tangannya sambil berucap terima kasih.

"Mulai besok, Mbak Zia. Kau bisa memulai pekerjaanmu. Kau bisa datang jam sebelas. Sabtu Minggu kau libur. Pekerjaanmu adalah mengajari Allysa menulis, baca dan berhitung. Jika ada sesuatu yang menyangkut soal pekerjaan, kau bisa langsung bertanya padaku," Jelasnya.

"Iya, saya mengerti. Terima kasih, Bu Soraya," jawabku.

"Sama sama."

Setelah selesai dan tak ada keperluan lain, aku dan Sheila pamit pulang, sungguh aku sangat berterima kasih pada Sheila. Kupeluk dia berkali kali, sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuannya.

****

Sudah hampir dua minggu aku menjadi guru privat bagi Allysa. Sebenarnya, Allysa anak yang baik dan cerdas, hanya saja anak itu kesepian, hingga kadang menyembunyikan emosinya dengan diam dan menyendiri. Bu Soraya bilang Allysa menjadi agak pendiam sejak ditinggal pengasuhnya yang pulang kampung dua bulan lalu.

Suami Bu Soraya adalah seorang pekerja tambang yang pulang sekali atau dua kali dalam sebulan. Sedang Bu Soraya sendiri mengelola sebuah butik dan salon mewah. Wajar saja jika Allysa merasa kesepian.

Selain Allysa, dirumah ini ada dua orang Asisten Rumah Tangga, hanya saja, salah satu dari mereka tidak menginap. Setengah jam yang lalu, sebenarnya aku sudah bisa pulang setelah mengajari Allysa membaca, hanya saja tadi Bu Soraya menelepon, meminta tolong untuk menemani Allysa sampai ia pulang, karena asisten rumah tangganya tadi sore tiba tiba meminta izin untuk menjenguk seorang kerabatnya di rumah sakit.

Diluar hujan turun cukup deras, dalam pesannya, Bu Soraya sudah memberitahu akan pulang terlambat, aku menoleh kearah jam didinding rumah ini, sudah hampir pukul tujuh malam. Aku memang sudah mengabari bapak. Hanya saja entah mengapa dari tadi perasaanku tidak enak.

Selepas Maghrib, Allysa sudah tertidur di kamarnya. Aku masih duduk, menunggu kepulangan Bu Soraya. Tepat pukul tujuh, pintu rumah tiba tiba diketuk. Karena mengira itu adalah Bu Soraya, sang pemilik rumah, aku langsung membuka pintunya.

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

Bersambung.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Husna Amri Jihan A
lanjut Thor .. penasaran terus udah g sabar sama kisah cintanya Rangga dan Zia.... bikin lebih baper lagi dong dengan adegan suami istrinya....
2022-07-03 11:13:38
2
user avatar
luciananda
bagus, ceritanya sangat menarik.
2023-09-11 07:52:44
0
70 Bab
Bab 1
Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami."Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama. Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya."Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak."Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 2
Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya."Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.***Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya."Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat."A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar."Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman."B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata."Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai tak
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 3
Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa. Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini. Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 4
"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya."Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku. Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?***Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rum
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 5
"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa m
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 6
"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-05-26
Baca selengkapnya
Bab 7
Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-01
Baca selengkapnya
Bab 8
"Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-02
Baca selengkapnya
Bab 9
Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-02
Baca selengkapnya
Bab 10
"Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-06-03
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status