Share

Bab 2

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 12:08:53

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

***

Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya.

"Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?

"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat.

"A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar.

"Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman.

"B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata.

"Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai takut.

Dengan berjalan sempoyongan, laki laki itu menaiki anak tangga. Baru sampai pada anak tangga yang keempat tubuhnya ambruk. Karena kasihan, aku langsung menghampirinya, berniat untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak apa apa, mas?" Tanyaku.

Ia tidak menjawabku, hanya terkekeh, tak lama wajah itu berubah. Tanpa banyak bicara lagi ia lalu menarikku kasar, lalu mencengkram erat lenganku, membawaku masuk ke dalam ke sebuah kamar.

"M-mau apa kau?" Hardikku gemetar.

"Kau mau menemaniku kan?" Ia kembali terkekeh. Tak lama ia menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur.

Merasa tidak nyaman akan situasi ini, aku pun bangkit dan setengah berlari kearah pintu. Sayang, lengan itu kembali mencengkram ku. Aku kembali dihempaskan kasar ke atas tempat tidur ini.

"Tolong, biarkan saya keluar, pak!" Pintaku memelas menahan tangis.

"Tidak, malam ini saja, tolong temani aku," bentaknya kasar.

"Tolong, jangan sakiti saya, saya akan diam. Tolong biarkan saya keluar," aku terduduk dihadapannya sambil menangis, tanpa kusadari jika kakiku mulai melangkah mundur hingga akhirnya bersandar di dinding.

Aku masih memohon, Namun, ia tak menggubrisnya dan dengan tangan kekarnya ia mengunci kedua tanganku, lalu melemparkan tubuhku ke ranjang, merampas bibirku dengan paksa, kemudian melucuti satu persatu pakaianku. (Skip)

***

Aku menangis di sudut ruangan kamar ini, laki laki itu, masih berada diatas ranjang, setelah puas melepas hasratnya padaku. Berbalut selimut, aku memungut kembali pakaian yang tadi terlucuti paksa dariku lalu memakainya. Bercak noda darah, tanda luka keperawananku, masih sangat jelas terlihat di atas seprei ranjang itu, menandakan betapa kuatnya laki laki itu merampasnya dariku.

Rasa nya ingin kupukul dan kubunuh laki laki lakn*t itu, sampai tewas. Namun, aku terlalu takut. Bayangan wajah bapak melintas di pikiranku, bagaimana dengan bapak jika aku dipenjara setelah membunuhnya?

Tidak. Aku tak mau itu terjadi.

Ponselku jadulku berdering, aku masih diam terisak, hanya bisa meratapi apa yang baru saja menimpaku, terdengar dari luar suara Bu Soraya memanggil namaku, sontak membuatku bertambah gugup dan takut.

"Zia ... apa kau ada didalam?"

Aku membisu tak menjawabnya, hingga panggilan ketiga, akhirnya aku mengumpulkan sedikit keberanian, melangkah perlahan menuju pintu dan membuka pintunya.

Aku menangis di hadapan Bu Soraya begitu pintu ini terbuka, mata Bu Soraya menatapku bingung dan penuh tanya, tak lama aku melebarkan pintunya hingga terlihat laki laki yang setengah telanjang itu masih tertidur pulas di atas ranjang.

"Zia, kau ... " Dengan bibir bergetar, Bu Soraya menatapku penuh arti, aku hanya bisa mengangguk lemah.

Dengan penuh kemarahan, Bu Soraya, menuju ketempat laki laki itu berada, matanya langsung melihat noda bercak darah yang masih belum mengering di seprei, sesaat ia memandang noda itu dan berbalik badan memandangku.

"Zia ...." Sebutnya.

"Bu, aku mau pulang!"

Tanpa menunggu jawaban dari Bu Soraya, aku mengambil tasku dan berlari menuju pintu keluar. Aku masih mendengar suara Bu Soraya yang memanggil namaku. Hatiku perih dan sakit, begitu juga ragaku. Yang kuinginkan saat ini hanyalah pulang.

Hujan masih mengguyur, meski tidak sederas tadi ketika langkahku keluar dari rumah Bu Soraya. Aku terus saja berlari menghiraukan hujan, hingga akhirnya merasa lelah dan duduk di sebuah halte bis yang kosong.

"Tuhan, apa salahku?" Jeritku tertahan.

Aku menutup wajahku, bagaimana jika bapak tahu, apa yang akan terjadi padanya, lalu bagaimana nasibku? Apakah ada laki laki yang akan menerimaku dan bersedia menikahiku kelak?

Aku lemas, lututku gemetar, lelah mataku menangis, entah sudah berapa lama aku duduk diam disini, hingga tak menyadari jika sebuah mobil kini berhenti dihadapanku.

"Zia ... ayo cepat masuk kedalam!" Suara seseorang terdengar disusul dengan kaca jendela mobil yang dibuka.

"Bu Soraya," ucapku pelan. Mataku menyipit memastikan jika ia sendiri di dalam mobil.

Aku tak menyangka jika ia menyusulku hingga kemari, beberapa kali ia berteriak memintaku masuk kedalam mobilnya, meski ragu akhirnya akupun menerima ajakannya.

"Akan kuantar kau pulang, Zia!" Ujarnya begitu aku sudah duduk di jok mobilnya.

Ia mulai memutar kemudi mobilnya, aku masih diam, airmata bahkan tak lagi keluar.

"Maafkan adikku, aku tak mengerti mengapa ia minum alkohol dan bertindak kurang ajar seperti itu padamu, sungguh Zia, aku benar benar menyesali apa yang terjadi padamu. Andai saja aku tidak memintamu menunggu Allysa, tentu kau tidak akan mengalami hal buruk seperti ini," ucapnya dengan suara parau.

Mobil ini menyusuri jalanan ditengah gerimis yang masih mengguyur, aku lebih banyak diam, menatap nanar kedepan. Sepanjang perjalanan Bu Soraya berkali kali berucap kata maaf atas apa yang terjadi padaku.

"Akan kupastikan ia menemuimu, dan minta maaf padamu. Aku tidak akan membelanya, kau bisa melaporkan dan menghukumnya jika kau mau. Karena ia pantas menerimanya." Mobil pun berhenti, aku menoleh, tanpa terasa air mata ku kembali menetes. Saat melihat wajah bapak yang cemas karena menungguku pulang.

"Bapak," ucapku lirih.

"Bu, tolong jangan katakan apapun pada bapak, ia tak akan kuat mendengarnya. Aku mohon, jangan sampai bapak tahu," pintaku memelas padanya.

"Aku mengerti, Zia, dan ini ambillah, anggap saja ini gajimu bulan ini." Sebuah amplop coklat di berikannya padaku. Aku diam karena bingung. Disatu sisi sebenarnya aku tak ingin menerimanya, tapi mengingat uang didompet hanya tinggal satu lembaran hijau saja, membuat tanganku akhirnya mengengamnya.

"Istirahatlah, Zia."

Aku masuk kedalam dengan perasaan yang tak menentu, bapak langsung tersenyum padaku, dan mengunci pintunya.

Sepiring tumis buah pepaya muda dan tempe goreng, yang kumasak tadi pagi sebelum berangkat kerumah Bu Soraya masih tersisa banyak diatas meja. Aku menatap bapak yang mengerti akan sikapku.

"Bapak menungguku lagi, sudah kubilang bapak makan saja duluan," lirihku menunduk, tak berani menatap wajah bapak.

"Tidak nak, bapak khawatir. Bapak tak bisa makan jika belum melihatmu pulang."

"Bajumu basah, ayo mandilah dulu, nanti kita akan makan bersama," ucap bapak dengan senyum teduhnya yang mengiris hatiku.

Perih.

Luka yang ditorehkan lelaki tadi akan terus menganga dihati seumur hidupku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Semoga saja aku bisa segera melupakan semua ini.

Aku membasuh seluruh tubuhku, entah kenapa, meski sudah berkali kali kusabun dan kusiram, namun aku masih tetap merasa kotor, bau alkohol itu, bahkan masih samar tercium di bajuku.

"Zia, jangan terlalu lama nak dikamar mandi, sudah malam. Nanti kau bisa masuk angin," pekik bapak.

Aku membilas tubuhku kembali sebelum akhirnya mengelapnya dengan handuk kering. Dengan rambut yang masih basah, aku duduk menemani bapak untuk makan malam bersama. Aku tak ingin bapak curiga Jika aku bersikap tak seperti biasanya.

****

Sudah hampir sebulan sejak malam terkutuk itu terjadi. Tiga hari aku tidak keluar dari dalam kamar. Membuat bapak sangat mencemaskanku.

Ditiap sujud aku selalu berdoa, memohon kepada tuhan, agar benih laki laki itu tidak menyatu didalam rahimku, diam diam aku selalu membeli test pack, untuk mengetahui kondisi rahimku.

Sejak hari itu, aku memutuskan berhenti mengajar Allysa. Dan sudah dua Minggu terakhir aku kembali mendorong gerobak, menjajakan daganganku kembali. Kadang jika teringat malam terkutuk itu, rasanya membuatku ingin mati saja, hanya karena masih takut akan dosa. Membuat niat itu tak terlaksana.

"Neng Zia, cepat pulang neng, Pak Rahman, bapaknya Neng Zia, pingsan." Ucap seorang tetangga yang datang tergopoh-gopoh mencariku.

Aku yang sedang melayani pembeli langsung mempercepat menggoreng pesanan. Beberapa saat kemudian, ku dorong gerobak kembali kerumah. Beberapa hari terakhir ini bapak memang demam, dan tak mau diajak berobat ke dokter, ia selalu beralasan jika itu hanya demam biasa, dan akan pulih sendiri.

Bapak.

Karena kalut dan cemas dengan kabar yang kuterima, aku mengabaikan semua calon pembeli, dari kejauhan aku melihat beberapa orang berdiri didepan rumahku, segera kupercepat langkahku menuju kerumah.

Wajah bapak mulai pucat, nafasnya kini terdengar satu satu. Aku duduk menghampiri bapak, memegang tangannya.

"Bapak ...."

"Zia, dengarkan bapak, nak. Didalam lemari bapak ada kotak kayu, bukalah, disana ada sebuah surat, dan cincin akik merah. Ambil dan cari Pak Lukman, katakan padanya bapak menagih hutang dan janjinya."

"Bapak," isakku.

"Zia, maafkan bapak nak ...." Mata bapak pelan pelan mulai menutup. Nafasnya kini mulai sulit.

Pak Yahya, seorang tetanggaku, yang dituakan memandu bapak mengucap syahadat. Aku menangis ketika akhirnya nyawa pria yang sangat kusayangi itu akhirnya lepas dengan mudahnya meninggalkan segores senyum diwajahnya.

"Innalilahi w* innailaihi roji'un"

"Maaf, nak Zia, Pak Rahman sudah berpulang, ikhlaskan bapakmu," ucap Pak Yahya.

Bersambung

Bab terkait

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 3

    Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa. Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini. Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 4

    "Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya."Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku. Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?***Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rum

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 5

    "Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa m

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 6

    "Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 7

    Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 8

    "Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 9

    Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 10

    "Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-03

Bab terbaru

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 64

    "Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 63

    Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 62

    Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status