"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya."Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku. Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?***Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rum
"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa m
"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada
Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik
"Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka
Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak
"Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat
Harapan untuk bersanding dengan Mas Bima kini kubuang jauh. Kenyataan ini memang sangat pahit untuk diterima, tapi aku masih bersyukur, karena Allah masih menjaga aibku. "Terima kasih Tuhan, karena kau mencegahku untuk mengatakan kejadian malam terkutuk itu pada Mas Bima, setidaknya aku masih bisa berdiri dan menegakkan kepala dihadapan mereka," gumamku dalam hati.****Matahari masih terlihat malu malu dan bersembunyi dibalik awan saat aku mendorong gerobak pagi ini. Beberapa orang menyapaku ramah, aku pun membalas sapaan mereka, ketika kami berpapasan.Sudah dua hari berlalu sejak pertemuanku dengan orang tua Mas Bima, dan sejak malam itu aku memutuskan sendiri untuk mengakhiri hubungan kami, karena akan percuma untuk diteruskan. Mengingat kedua orang tuanya tak akan memberikan restu.Beberapa kali Mas Bima mencoba mencari ataupun meneleponku, namun tak pernah sekalipun kujawab, aku selalu menghindar, hingga dalam pesan terakhirnya semalam, ia berkata akan datang kerumah untuk menj
Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua
Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku
Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D
Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me
Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.
"Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas
"Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi
Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja
Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya