Share

Bab 5

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-05-26 15:31:45

"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.

''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.

Aku mengeluarkan foto usang  yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya.

"Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.

***

"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat.

"Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat.

"Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?"

"Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."

Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat  mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia.

"Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah.

"Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami.

"Dalem pak,"

"Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa montorre bapak ya."

Gadis itu menurut, tak lama ia pun menatapku dan langsung mengajakku naik keatas sepeda motor miliknya.

"Ayo Mbak." Akupun mengikutinya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.

Kami naik sepeda motor milik Imah, sepuluh menit kemudian kami pun berhenti didepan sebuah rumah bertingkat dua.

Seorang pria yang kutaksir berusia sekitar lima puluh tahunan langsung menyapa kami ramah, Imah pun pamit, aku pun menyampaikan maksud dan tujuanku datang kemari.

"Pak Lukman yah,"ucapnya sambil menatap foto usang yang kuberikan padanya.

"Iya pak, yang disebelahnya itu bapak saya, Pak Rahman," terangku.

"Pak Rahman, Pak Lukman," gumamnya.

"Pak, apakah itu Pak Lukman, anak mbareppe Mbah Saripah yang merantau ke Jakarta itu?" Ucap seorang wanita yang tiba tiba datang.

"Kayaknya iya buk, maaf mbak, apa Pak Rahman juga orang sini,?" Tanya Pak Kades.

Aku menggeleng, "ibunya Pak Rahman, maksudnya bapakku, memang berasal dari desa ini, pak. Masa kecil bapak juga dihabiskan disini." Jawabku.

Yah, nenekku memang berasal dari desa ini, lalu bersama kakek, mereka mencoba mengubah nasib dengan meninggalkan desa ini saat bapak mulai beranjak dewasa.

Aku pun tak mengerti, takdir apa yang mempertemukan bapak dengan Pak Lukman dulu, hingga membuat bapak berpesan untuk menagih janji dan hutang Pak Lukman padanya. Tak lama, Pak Kades pun mengajakku kerumah Mbah Saripah. Sebuah rumah yang terlihat lebih bagus dari rumah warga yang lain ditunjukkan Pak Kades padaku.

Kami pun datang bertamu dan Pak Kades menyampaikan maksud kedatanganku ke desa ini, mencari Pak Lukman ttg, anak lelaki Mbah Saripah. Ditemani cucu lelakinya, wanita itu dengan ramah menyambut kedatangan kami.

Wanita yang sudah sangat sepuh itu, sudah tak begitu mengerti apa yang kami bicarakan. Terakhir cucu lelakinya, membenarkan jika pria didalam foto itu memang benar Pak Lukman, anak lelaki Mbah Saripah.

"Ini alamatnya dijakarta, Mbak." Sebuah kertas bertuliskan alamat diberikannya padaku.

Aku membaca dengan seksama alamat yang ditulis di atas kertas ini. Astaga, alamat Pak Lukman berada tak begitu jauh dari rumahku. Aku bersyukur setidaknya kedatanganku ke desa ini tidaklah sia sia.

"Terima kasih banyak, Mbah, mas," pamitku pada keluarga Pak Lukman.

Aku dan Pak kades pergi meninggalkan rumah keluarga Pak Lukman. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera pulang ke Jakarta.

"Nak Zia, akan langsung ke terminal bus? Tidak menginap dulu disini," tanya istri Pak Kades, aku langsung menggeleng pelan.

"Tidak bu, terima kasih. Maaf saya sudah merepotkan, tapi malam ini juga saya harus pulang kejakarta." Jawabku cepat.

"Bapak, tenanglah! tak lama lagi hutang dan janji Pak Lukman akan kutagih," gumamku dalam hati.

***

Aku memandang bangunan megah di hadapanku, sebuah rumah berlantai tiga yang hampir sebagian dicat berwarna kuning emas. ditambah dengan lantai keramik yang mewah, Sungguh, rumah itu terlihat sangat megah bagiku.

Semilir angin menerpa wajah, ketika tanganku hendak menyentuh pagar rumah ini, tak lama seorang laki laki tinggi besar dan berseragam hitam datang menghampiriku.

"Cari siapa, Mbak? Maaf, jika ingin minta sumbangan, bisa ketempat lain saja," ucapnya tak bersahabat.

Aku hanya tersenyum getir, melihatku yang memakai pakaian sederhana, sendal jepit dan membawa tas punggung, wajar saja jika penjaga rumah ini mengira kedatanganku kesini untuk mencari sumbangan.

"Maaf, apa benar ini rumah Pak Lukman?" Tanyaku dari balik pagar.

"Iya, ini memang rumahnya Pak Lukman, Mbak siapa dan ada perlu apa dengan Pak Lukman?" Balasnya sedikit ketus.

"Boleh saya bertemu dengan beliau, Pak?"

"Maaf, mbak. Sudah punya janji belum? Gak sembarang orang bisa bertemu dengan Pak Lukman," sinisnya sambil memandangku tajam.

"Belum, cuma saya ada perlu penting dengan Pak Lukman, maaf, apa saya terlihat seperti seorang pengemis?" Balasku kesal.

"Baiklah, hanya saja jangan salahkan saya, jika nanti akan diusir keluar," ucapnya sambil membuka kunci pagar rumah ini.

Tiga buah mobil terlihat berbaris di halaman rumahnya, saat menjejakkan kaki di halaman rumah ini. Ditemani penjaga tadi, aku melangkahkan kaki menuju pintu utama. Tak lama, penjaga itu menekan bel rumah yang berada disudut kanan atas.

Wajah seorang wanita berusia tiga puluhan, langsung menyembul ketika pintu ini terbuka, wanita dengan kemoceng ditangannya itu memandangku heran. Untunglah, pria penjaga yang berdiri disampingku langsung mengatakan maksud dan tujuanku datang kerumah ini.

"Bapak ada didalam, ayo masuk dulu mbak," ajaknya sambil membuka lebar daun pintu ini.

Pria penjaga itu lalu pergi meninggalkan kami, wanita itu memintaku untuk duduk lalu dengan sopan menanyakan namaku.

"Namaku Zivara, katakan saja aku putrinya Pak Rahman, tujuanku datang kesini ialah untuk menagih hutang dan janji beliau pada bapakku," jelasku.

"Baiklah."

Meski terlihat bingung, wanita itu membalikkan badannya, lalu pamit sebentar untuk menyampaikan pesanku pada majikannya. Berselang lima menit kemudian, wanita tadi datang, dengan membawa baki berisi segelas minuman dingin, tak lama ia meletakkannya di atas meja.

"Minum dulu mbak, nanti bapak akan kesini, tadi sewaktu saya menyampaikan pesan Mbak Zia, beliau masih bicara dengan Den Rangga, putranya." Ucap wanita itu kemudian berlalu meninggalkanku sendiri.

Aku mengangguk, cukup lama aku duduk menunggu disini, kulirik jam di dinding ruangan ini, ternyata sudah lima belas menit berlalu, kupeluk tas punggungku, tas satu satunya yang kumiliki. Berharap kedatanganku kemari tidak sia sia.

Rumah ini sangat mewah dalam penilaian mataku, sofa ini juga sangat empuk saat kududuki, sangat berbeda jauh dengan sofa butut dirumahku. Sungguh, aku sangat mengagumi desain interior rumah ini.

"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?"

Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.

Bersambung.

Related chapters

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 6

    "Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 7

    Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik

    Last Updated : 2022-06-01
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 8

    "Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka

    Last Updated : 2022-06-02
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 9

    Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak

    Last Updated : 2022-06-02
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 10

    "Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat

    Last Updated : 2022-06-03
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 11

    Harapan untuk bersanding dengan Mas Bima kini kubuang jauh. Kenyataan ini memang sangat pahit untuk diterima, tapi aku masih bersyukur, karena Allah masih menjaga aibku. "Terima kasih Tuhan, karena kau mencegahku untuk mengatakan kejadian malam terkutuk itu pada Mas Bima, setidaknya aku masih bisa berdiri dan menegakkan kepala dihadapan mereka," gumamku dalam hati.****Matahari masih terlihat malu malu dan bersembunyi dibalik awan saat aku mendorong gerobak pagi ini. Beberapa orang menyapaku ramah, aku pun membalas sapaan mereka, ketika kami berpapasan.Sudah dua hari berlalu sejak pertemuanku dengan orang tua Mas Bima, dan sejak malam itu aku memutuskan sendiri untuk mengakhiri hubungan kami, karena akan percuma untuk diteruskan. Mengingat kedua orang tuanya tak akan memberikan restu.Beberapa kali Mas Bima mencoba mencari ataupun meneleponku, namun tak pernah sekalipun kujawab, aku selalu menghindar, hingga dalam pesan terakhirnya semalam, ia berkata akan datang kerumah untuk menj

    Last Updated : 2022-06-04
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 12

    "Maaf, kerena telah mengganggu waktumu, Zia. Tapi mbak ingin bicara sebentar.""Apa ini ada hubungannya dengan adik Mbak Soraya?" Aku balas bertanya."Iya, kau benar. Aku mengajakmu kesini, karena memang ingin membicarakan tentang dirinya, tentang kejadian malam itu." Jawab Mbak Soraya yang sontak langsung membuatku tercekat.****Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Rasanya hari ini lelah sekali, kupijat sebentar kepalaku yang terasa berat. Setidaknya, ini sedikit meringankannya.Tadi siang Mbak Soraya mengajak ku bicara. Ia memohon padaku untuk memberi satu kesempatan pada adik laki lakinya, Rangga. Meminta ku agar memberikan padanya kesempatan untuk lebih mengenal diriku."Hanya satu hari saja, Zia! Berikan Rangga waktu satu hari saja bersamamu, agar kalian saling mengenal, Setelah itu, jika kau masih tetap ingin menolak pernikahan ini, maka adikku tak akan mengganggumu lagi." Ucapan Mbak Soraya tadi siang masih terngiang di telingaku.Dari penjelasan Mbak Soraya, aku tahu j

    Last Updated : 2022-06-05
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 13

    "Mas Rangga lebih baik pulang saja, karena aku tidak jualan hari ini." Usirku cepat."Kalau begitu baguslah, cepatlah mandi dan berdandanlah secantik mungkin, karena aku akan mengajakmu berkencan hari ini."Perkataannya sukses membuatku tak berkedip memandangnya. Apa yang sedang direncanakan pria ini sebenarnya?***Aku tercekat, kemudian mencubit lenganku keras, memastikan jika ini nyata, wajah Mas Rangga terlihat menyunggingkan seraut senyum saat melihat sikapku. Kulirik lenganku yang memerah karena bekas cubitan tadi. Jadi ini nyata?"Ayo cepat, Zia. Masuk dan bersiap siaplah, aku akan menunggumu disini," ucapnya karena melihatku yang masih bergeming.Butuh beberapa detik agar bisa mengembalikan kesadaranku. Oh astaga! Inikah yang dimaksud dengan permintaan Mbak Soraya saat kami bicara kemarin? sungguh lucu, rasanya ingin menertawakan diriku saat ini. Ia masih memandangiku, menunggu jawaban dariku. Aku melipat kedua tangan di dada lalu balas menatapnya tajam."Jika tujuanmu ke

    Last Updated : 2022-06-06

Latest chapter

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 64

    "Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 63

    Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 62

    Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status