Share

Sepiring Tumis Pepaya Muda
Sepiring Tumis Pepaya Muda
Author: Rira Faradina

Bab 1

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-05-26 12:08:42

Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.

Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami.

"Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama.

Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya.

"Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak.

"Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki lebih, akan Zia belikan ayam goreng untuk bapak," hiburku.

Kami makan dengan nikmat, meski hanya dengan lauk buah pepaya muda yang ku tumis dengan bumbu seadanya. Sebenarnya aku sangat ingin membahagiakan bapak di usia senjanya, hanya saja keberuntungan belum berpihak padaku.

Sejak ibu meninggal sepuluh tahun yang lalu, bapak tak pernah menikah lagi, bapak bilang kehadiranku sudah membuatnya bahagia meski tanpa kehadiran ibu. Aku adalah anak mereka satu satunya. Kata bapak, wajahku yang cantik menurun dari garis keturunan ibu, dan lagi penantian mereka akan kehadiranku cukup lama, menunggu hampir sepuluh tahun pernikahan mereka.

"Pak, Zia berangkat jualan dulu ya, bapak istirahat saja, jangan terlalu banyak berpikir, Zia hanya ingin bapak sehat," pamitku usai membereskan sisa sarapan pagi kami.

"Hati hati, Zia."

"Iya pak, doakan dagangan Zia banyak yang laku ya." Bapak hanya tersenyum sambil mengangguk kecil.

Aku mulai mendorong gerobak yang akan kupakai untuk berjualan berbagai aneka cemilan anak, tahu bulat, otak otak, sosis, pangsit, semuanya harus kugoreng dahulu, sebelum bisa dikonsumsi.

Gerobak ini memang milik bapak, tapi barang barang yang akan kujual, kuambil dulu dari Mak Siti, seorang penjual makanan beku yang masih tetanggaku, penghasilan yang kudapat cukup untuk makan dan menyisihkan sedikit untuk membeli obat bapak. Untunglah kami tak harus membayar sewa rumah. Karena rumah yang kami tempati adalah warisan dari Kakek.

Kadang rasanya ingin mencari pekerjaan lain, namun hal itu kutepis jauh, karena aku tak bisa meninggalkan bapak terlalu lama. Bahkan aku harus mengubur impianku untuk menjadi seorang guru, karena keterbatasan biaya. Tadinya, bapaklah yang berjualan. Namun, sudah dua tahun ini bapak sakit sakitan, beberapa kali aku harus membawa bapak ke dokter karena kondisi bapak yang tiba tiba menurun. Meski telah menggunakan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah untuk berobat, tetap saja kami masih harus mengeluarkan uang untuk membeli obat. Terdesak oleh biaya hidup dan tak ada pemasukan untuk membeli obat bapak. Membuatku akhirnya menggantikan bapak berjualan.

Aku mendorong gerobak ke arah sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumahku. Masih ada sekitar lima belas menit lagi sebelum bel sekolah dimulai. Kupercepat langkahku mendorong gerobak. Aku tak mau kehilangan rejekiku pagi ini.

"Ah, Mbak Zia datang," seru anak anak mulai berkerumun.

"Mbak Zia, aku mau sosis gorengnya dua ya, aku pangsit goreng tiga," teriak mereka berebut minta dilayani lebih dulu.

Aku mulai menggoreng pesanan mereka, syukurlah sebelum bel sekolah berbunyi, semua pesanan mereka sudah siap. Tak lama, bel sekolah pun berbunyi, menandakan telah selesai waktuku disini, bergegas kurapikan kembali barang barang yang berantakan, karena ulah anak anak tadi. Setelah dirasa semua rapi. Aku duduk sebentar, sekedar melepas lelah dan menghitung rupiah yang kudapat pagi ini.

"Delapan belas ribu rupiah, Alhamdulillah," aku bersyukur, dan menyimpan uang itu didalam tas kecil yang kusandang dibahuku.

Aku mulai mendorong gerobakku kembali meninggalkan sekolah dasar ini, berjalan dari satu gang ke gang lain, menyusuri rute yang sama yang selalu kulewati untuk menjajakan daganganku.

"Eh, Neng Zia udah lewat. Gorengin sosisnya lima ya neng." Ucap Bu Salwa, seorang pelanggan ku.

"Iya, bu."

"Neng Zia itu sebenarnya cantik lho, kulit putih, wajah bersih, badan ramping dan tinggi. Kalau Neng Zia mau, ibu kenalin sama adik ipar ibu yang masih jomblo, lumayan lho udah PNS, gajinya tiga jutaan lebih katanya sebulan."

Aku hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Bu Salwa. Sejak awal aku berjualan, banyak orang yang menyayangkan nasibku. Bahkan tak sedikit yang mencibir pekerjaanku.

Apa yang salah dengan pekerjaanku?

"Neng Zia itu cantik, sayang rejekinya gak secantik orangnya."

"Emang gak malu neng, dagang sambil dorong gerobak, toh kan bisa cari pekerjaan lain."

Kalimat itu masih kerap terdengar di telingaku. Malu, untuk apa, aku mencari rejeki halal, aku malu jika ketahuan mencuri.

"Nih bu, sosisnya." Kuserahkan sebungkus plastik bening berisi sosis goreng itu pada Bu Salwa.

"Terima kasih Neng Zia, jangan lupa, pikirkan lagi tawaran ibu tadi ya, lumayan lho nikmatin gaji tiga jutaan lebih sebulan," ucapnya setengah berbisik padaku.

Aku tidak menanggapinya, hanya tersenyum tipis. Tak lama aku pamit padanya, mendorong gerobakku kembali sembari menjajakan daganganku.

Sebuah sepeda motor berhenti dan pengemudinya melambaikan tangan saat aku keluar dari gang sempit ini, aku tersenyum melihat seorang gadis seusiaku kini tengah berjalan menghampiriku.

"Zia ... Gimana mau gak, kerja di tempat temen mamaku?"

"Gimana ya, aku gak bisa ninggalin Bapak, Sheila. Aku aja gak berani jualan jauh jauh, takut bapak kenapa-napa. Kau kan tahu sendiri, bapak sudah tua dan sendirian dirumah," jelasku.

"Ya, padahal aku sudah berharap kamu mau, kan lumayan rumahnya gak begitu jauh, dan kamu bisa pulang, gak harus menginap disana, lagipula gajinya besar, kerjanya cuma ngajarin anak SD saja."

Aku menggeleng," maaf ya, aku belum bisa."

Sheila menarik tanganku, dan berteriak pada seorang pedagang warung, yang berada tak jauh dari tempat kami bicara sekarang.

"Bang, titip gerobaknya sebentar ya." Ujar Sheila.

"Iya, taruh di samping warung saja." Sahut pemilik warung.

Lekas Sheila melepaskan tanganku lalu menepikan gerobak ke samping warung. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Begitu melihat gerobakku dirasa sudah aman, kembali ia menarik tanganku.

"Mau kemana, Sheila?" Tanyaku bingung.

"Sudahlah, ikut saja."

Sebuah helm diletakkan di atas tanganku, aku masih belum mengerti, apa yang direncanakan Sheila. Tak lama ia menyuruhku mengenakan helm dan memintaku duduk di boncengan belakang motornya.

"Cepat naik, Zia," perintahnya.

"Iya, tapi kemana?"

"Kerumah calon majikanmu,aku kesal jika melihatmu mendorong gerobak terus. Kau itu cerdas, kenapa tak berpikir mencari pekerjaan saja. Setidaknya, dengan wajah cantikmu itu, kau bisa jadi seorang beauty consultants produk kosmetik." Sheila mencicit.

"Ijazahku cuma SMA," jawabku spontan. Membuat Sheila langsung balas bertanya," lalu, kenapa?"

Sheila kembali berdiri menatapku, tak lama ia membuang pandangannya kearah jalan.

"Kau hanya akan mengajari baca, tulis, hitung seorang anak SD, tak perlu ijazah," desis Sheila.

Dengan paksaan darinya, akhirnya aku menyerah. Mengikutinya kerumah teman ibunya yang kebetulan sedang mencari seorang guru privat untuk mengajari anaknya. Setengah jam kemudian, kami tiba disebuah rumah mewah.

Rumah dengan desain Mediterania ini memiliki dua lantai, dengan taman yang didesain sangat menawan di halamannya depannya.

Aku terpukau saat menginjak lantai marmer di rumah ini, begitu bersih dan berkilau, ada rasa getir dihati, rasanya sandal jepitku yang usang tak pantas untuk menjejakkan langkah disini.

Seorang asisten rumah tangga membuka pintunya, beberapa saat setelah bel ditekan Sheila. Ia mempersilahkan kami untuk menunggu disofa tamu, sebelum ia memanggil majikannya.

Aku dan Sheila, menunggu dengan cemas disofa ini, desain interior ruang tamunya terlihat mewah dengan berbagai koleksi kristal yang tertata rapi didalam lemari kaca, tak lama, seorang wanita yang kutaksir berusia hampir empat puluh tahunan datang dengan gaya yang fashionable, menenteng sebuah tas branded keluaran rumah mode Paris akhirnya menemui kami.

"Tante Soraya!" Panggil Sheila.

"Sheila, ada perlu apa?" Jawab wanita itu.

Sheila pun mengenalkan aku dan mengutarakan niat kami kesini. Lama wanita bernama Soraya itu menatapku dan memperhatikan penampilanku, tak lama bibirnya tersenyum.

"Aku percaya padamu, Sheila. Baiklah, kau diterima kerja disini, kau akan mengurus anak perempuanku, Allysa. Tolong ajari dia." Wanita itu mengulurkan tangannya. Akupun menyambut uluran tangannya sambil berucap terima kasih.

"Mulai besok, Mbak Zia. Kau bisa memulai pekerjaanmu. Kau bisa datang jam sebelas. Sabtu Minggu kau libur. Pekerjaanmu adalah mengajari Allysa menulis, baca dan berhitung. Jika ada sesuatu yang menyangkut soal pekerjaan, kau bisa langsung bertanya padaku," Jelasnya.

"Iya, saya mengerti. Terima kasih, Bu Soraya," jawabku.

"Sama sama."

Setelah selesai dan tak ada keperluan lain, aku dan Sheila pamit pulang, sungguh aku sangat berterima kasih pada Sheila. Kupeluk dia berkali kali, sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuannya.

****

Sudah hampir dua minggu aku menjadi guru privat bagi Allysa. Sebenarnya, Allysa anak yang baik dan cerdas, hanya saja anak itu kesepian, hingga kadang menyembunyikan emosinya dengan diam dan menyendiri. Bu Soraya bilang Allysa menjadi agak pendiam sejak ditinggal pengasuhnya yang pulang kampung dua bulan lalu.

Suami Bu Soraya adalah seorang pekerja tambang yang pulang sekali atau dua kali dalam sebulan. Sedang Bu Soraya sendiri mengelola sebuah butik dan salon mewah. Wajar saja jika Allysa merasa kesepian.

Selain Allysa, dirumah ini ada dua orang Asisten Rumah Tangga, hanya saja, salah satu dari mereka tidak menginap. Setengah jam yang lalu, sebenarnya aku sudah bisa pulang setelah mengajari Allysa membaca, hanya saja tadi Bu Soraya menelepon, meminta tolong untuk menemani Allysa sampai ia pulang, karena asisten rumah tangganya tadi sore tiba tiba meminta izin untuk menjenguk seorang kerabatnya di rumah sakit.

Diluar hujan turun cukup deras, dalam pesannya, Bu Soraya sudah memberitahu akan pulang terlambat, aku menoleh kearah jam didinding rumah ini, sudah hampir pukul tujuh malam. Aku memang sudah mengabari bapak. Hanya saja entah mengapa dari tadi perasaanku tidak enak.

Selepas Maghrib, Allysa sudah tertidur di kamarnya. Aku masih duduk, menunggu kepulangan Bu Soraya. Tepat pukul tujuh, pintu rumah tiba tiba diketuk. Karena mengira itu adalah Bu Soraya, sang pemilik rumah, aku langsung membuka pintunya.

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

Bersambung.

Related chapters

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 2

    Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya."Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.***Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya."Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat."A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar."Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman."B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata."Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai tak

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 3

    Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa. Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini. Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 4

    "Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya."Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku. Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?***Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rum

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 5

    "Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa m

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 6

    "Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 7

    Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik

    Last Updated : 2022-06-01
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 8

    "Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka

    Last Updated : 2022-06-02
  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 9

    Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak

    Last Updated : 2022-06-02

Latest chapter

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 64

    "Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 63

    Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 62

    Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status