"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.
Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini. "Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama." Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?" Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan. "Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik." "Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang, kita makan aja yuk!" Mama menarik tanganku menuju ke meja makan. Aku pun mengikuti langkahnya. Lalu kami makan siang bersama. Suasana makan siang ini, penuh cerita, dan canda tawa. Aku berceloteh riang, menceritakan pengalamanku, selama masa study. Papa, dan Mama pun sangat antusias. Meskipun, tak dapat dipungkiri, aku masih belum bisa mengendalikan perasaan ini. Apalagi, jika melihat Papa tersenyum. Hatiku benar-benar meleleh dibuatnya. "Aku udah selesai, aku naik ke atas dulu ya," pamitku setelah selesai makan. "Iya, kamu istirahat ya, Sayang." "Iya Ma, hari ini aku mau santai dulu. Besok aku mau cari-cari referensi kampus sama temen-temen." Mama, dan Papa pun mengangguk. Lalu, aku meninggalkan mereka yang masih berada di meja makan. Namun, saat sedang menaiki tangga, aku ingat jika ponselku tertinggal. Aku pun memutuskan untuk kembali ke meja makan. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Papa, dan Mama saat ini sedang berciuman, dengan begitu mesra. Bahkan, tubuh Mama ada di atas pangkuan Papa, dan mengalungkan tangannya di leher Papa. Sejujurnya, aku ingin pergi. Aku tak sanggup melihat pemandangan yang ada di depanku. Hatiku sakit, rasanya seperti tertusuk duri. Akan tetapi, entah mengapa tubuh ini hanya diam membeku. Hingga akhirnya, mereka menyadari kehadiranku di ruangan itu. Detik berikutnya, Mama pun melepaskan tautan bibir mereka, dengan sedikit mendorong dada bidang Papa. "Oh ada Kanaya, ya?" "Ma-maaf ... maaf udah ganggu." Bergegas, aku mengambil ponsel di meja makan itu, yang letaknya tak jauh dari Papa duduk. Papa, dan Mama memang terlihat salah tingkah. Mungkin mereka malu, aku tak sengaja melihat kemesraan mereka. Melihat itu, seharusnya aku sadar diri, tak sepantasnya aku memiliki perasaan ini. *** Rintik hujan akhirnya turun dari gelapnya langit malam, diiringi kilat yang menyambar dan suara petir yang menggelegar. Angin pun ikut berhembus, hingga dinginnya terasa begitu menusuk ke dalam kalbu. Aku memandang suasana di luar jendela yang terlihat kelam, sekelam perasaan yang kurasakan saat ini. Hatiku terasa begitu berkecamuk menahan dilema di dalam dada. "Jangan sampai, aku ngrasain hal yang sama, kaya yang aku rasakan ke Mr. Alex." Aku menghembuskan napas panjang, sembari bergumam lirih. Tangan ini, merengkuh dada, merasakan sebuah sesak yang ingin kulepas. Namun, tak bisa. "Non Kanaya, ditunggu Tuan, sama Nyonya buat makan malam." Suara Bi Asih, salah seorang pembantu rumah tangga pun terdengar. Aku sengaja tak menyahut, dan memilih berjalan ke atas ranjang. Lalu, memejamkan mata. Biar saja mereka mengira aku sudah tertidur. Lebih baik, memang seperti ini. Lebih baik, malam ini aku menghindar, dan terlelap ke alam mimpi. Tok tok tok Suara ketukan pintu pun kembali terdengar. Namun, aku tahu, ketukan itu, terdengar berbeda dari ketukan yang kudengar tadi malam. Perlahan, aku membuka mata. Suasana di sekitar, terlihat terang. Cahaya mentari pun sudah mengintip dari celah tirai jendela. "Kanaya ...!" panggil sebuah suara dari arah luar. Sebuah suara yang kutahu, siapa pemiliknya, yaitu Papa. "Iya Pa ...." "Papa tunggu sarapan di bawah ya!" "Iya Pa sebentar," jawabku, kemudian bergegas bangkit dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Sejenak, kutatap wajah pada cermin yang ada di atas wastafel di dalam kamar mandi tersebut. Wajahku, tampak begitu sendu dan lengket, dipenuhi air mata yang mengering. "Lupakan Kanaya!" gumamku lirih, sembari membasuh wajah. Setelah itu, aku turun ke bawah untuk sarapan. Saat berjalan, aku terus menegarkan perasaan, jika bertemu Papa, dan Mama. Namun, ketika aku sampai, aku tak mendapati Mama ada di sana. Hanya ada Papa, dan Kenan. 'Kok Mama nggak ada? Kenapa Mama nggak ikut sarapan?' batinku, sembari memasang wajah ceria. Lalu, mendekap adik tampanku. "Uh adeknya Kaka udah gede ya?" Kenan pun menoleh. Wajahnya sontak sumringah melihat kehadiranku. "Kak Kanaya, akhirnya Kakak keluar juga! Tadi malem Kenan tunggu, malah nggak keluar-keluar!"' "Kakak cape Kenan, jadi Kakak bobo cepet tadi malem." "Janji ya, nanti siang main sama Kenan." Aku pun terpaksa mengangguk, meskipun sebenarnya ragu karena hari ini ada janji dengan teman-temanku. "Pa, Mama mana?" "Mama ada kerjaan, dia udah berangkat satu jam yang lalu." Bibirku seketika membulat. Sekarang aku baru tahu, Mama memang benar-benar sibuk. "Kenan, kamu ga sarapan?" "Nanti nunggu Bi Asih." "Nunggu Bi Asih?" sahutku, sembari mengerutkan kening. "Nunggu disuapin Bi Asih, kaya biasa." Kenan menyahut dengan cuek. Netranya terus tertuju pada gatget yang ada di tangan. "Kenan, gimana kalau Kak Kanaya aja yang nyuapin kamu?" "Suapi? Bukankah itu kerjaan Bi Asih? Biasanya Kenan disuapi Bi Asih, tapi kayaknya emang Bi Asih lagi sibuk. Jadi, Kenan main game dulu deh," jawab bocah itu dengan begitu polosnya. "Bi Asih masih sibuk jadi biar Kak Kanaya aja yang suapi ya." "Ya udah deh. Kenan suapin Kak Kanaya aja," jawab Kenan, pada akhirnya. Aku kemudian duduk di samping Kenan, lalu menyuapkan sarapan untuknya. Akan tetapi, meskipun sedang fokus pada Kenan, aku tak bisa mengendalikan perasaan ini. Tanpa sadar, aku sudah beberapa kali curi pandang pada Papa yang sedang sarapan dengan begitu tenang. Namun, kali ini netraku, agak sedikit terganggu dengan penampilan Papa yang terlihat kurang rapi. "Pa, boleh nggak aku rapiin dasi, Papa? Dasinya sedikit melenceng?" Entah mendapat keberanian dari mana, aku tiba-tiba berbicara seperti itu. Mendengar perkataanku, Papa pun terdiam. 'Astaga, kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku bicara seperti itu?' batinku, sembari meneguk salivaku, disertai rasa cemas di dada. "Maaf Pa ...." Kekehan Papa pun terdengar "Kenapa kamu minta maaf, Nak? Tentu aja kamu boleh bantu rapiin dasi Papa. Kamu itu putri kecil kesayangan Papa." 'Putri kecil? Hanya sebatas itukah aku di mata Papa? Astaga kenapa aku harus kecewa? Bukankah memang benar, aku adalah putri kecilnya?' batinku, sembari tersenyum. "Sini Kanaya, rapiin dasi Papa." "I-iya, Pa." Aku kemudian mendekat pada Papa, yang kini sudah berdiri menunggu. Perlahan, aku pun memegang dasi yang dikenakan oleh Papa, sembari sesekali melirik wajah tampan yang ada di depanku. Akan tetapi, sikap lancangku ini, ternyata kian membuat perasaan ini semakin menggebu. Hingga, tanpa sadar, tanganku pun mendarat di wajah tampan Papa, lalu mengusap wajah tampan itu. "Kanaya, kamu lagi ngapain?""Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
"Pa ...!" Suara Kanaya, sontak menyentak lamunan Alan, yang sedari tadi sedang memperhatikannya."Sini sarapan!" sambung Kanaya kembali.Alan pun mengangguk, lalu berjalan mendekat ke arah meja makan. Meskipun ada rasa canggung, mengingat apa yang dikatakan Arumi beberapa saat lalu. Alan merasa tak enak hati, sudah dua kali dia terpergok sedang mabuk oleh Kanaya. "Selamat pagi jagoan Papa!" Alan mencubit pipi chubby Kenan yang masih asyik dengan game-nya."Kenan, udah jangan mainan terus. Sekarang sarapan dulu!" Kanaya mengambil gatget di tangan Kenan, dan mengambilkan sarapan untuknya."Wah avocado toast, enak nih!" pekik Kenan, saat melihat isi piringnya."Susunya mana, Kak?" Alan hanya tersenyum melihat tingkah putranya. Pagi ini, Kenan terdengar begitu cerewet, dan juga antusias. Sejak kedatangan Kanaya, Kenan memang terlihat lebih ceria. Seolah menemukan kebahagiaan baru."Ini susu buat Kenan, ini teh jahe buat Papa."Alan pun menoleh pada Kanaya, yang sedang menghidangkan teh j
Mobil Mercedes Maybach S Class warna hitam berhenti di depan lobi kantor sebuah gedung perkantoran di pusat ibu kota. Seorang laki-laki membuka pintu mobil, dan menyerahkan kunci itu pada staf yang sudah ada di depan lobi gedung.Dengan penuh percaya diri, laki-laki tersebut masuk ke dalam gedung itu melewati beberapa orang yang menatap dan juga menyapanya."Selamat pagi, Pak Alan!""Selamat pagi," jawabnya tanpa melihat ke sekeliling. Tatapan mata tajamnya lurus ke arah depan, meskipun dia sadar saat ini orang-orang yang dia lewati sedang menatapnya. Namun, dia tidak terlalu mempedulikan itu.Tampan, dan menarik itulah dirinya, dengan tinggi menjulang sekitar 180 cm, rambut cepak yang tersisir rapi, dan wajah rupawan disertai bulu tipis di rahang tegasnya. Meskipun, usianya hampir memasuki 40 tahun. Namun, pesonanya tak pernah pudar sedikitpun, dan tetap saja mampu menarik kaum hawa yang melihatnya.Saat berada di depan lift, Alan tampak mengetatkan dasi, kemudian dengan beralaskan s
Di sisi lain ....Chyntia tampak mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia terlihat begitu resah. Usahanya untuk memata-matai Arumi belakangan ini, memang berhasil, dan sekarang dia sudah mendapat banyak bukti-bukti tentang kedekatan Arumi dengan Leo. Sebenarnya Chyntia berniat untuk memeras Arumi terlebih dulu. Namun, Arumi justru mengabaikannya. Bahkan mengancam melaporkan pencemaran nama baik.Saat ini, Arumi benar-benar merasa jumawa karena mendapat perlindungan dari Leo. Akhirnya Chyntia pun mengubah rencananya, dan berniat memberi tahu Alan tentang kebusukan istrinya.Akan tetapi, akhir-akhir ini, Alan sangat jarang masuk ke kantor. Kalaupun dia datang, hanya jika ada meeting atau pertemuan penting. Sedangkan, untuk laporan, atau hal lainnya dia biasanya meminta anak buahnya untuk mengirim via email.Email Alan yang digunakan pun bersifat publik. Sedangkan email pribadi Alan, Chyntia tak mengetahuinya. Yang membuat Chyntia geram adalah, Alan tak mau diganggu urusan pekerjaan,
Beberapa Hari Kemudian ....Alan menatap nanar pada ruang operasi yang ada di depan matanya. Sudah hampir 8 jam Kanaya menjalani operasi transplantasi hati. Namun belum ada tanda-tanda operasi tersebut akan berakhir.Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata hati Kanaya cocok. Hal tersebut, tentunya membuat Oma Dahlia, merasa lega, tapi tidak dengan Alan.Sebelum operasi itu dilakukan, dia bahkan sudah mencarikan pembantu pribadi untuk Kanaya. Awalnya, Kanaya menolak, karena hal tersebut terlihat berlebihan. Namun, karena Alan terus memaksa, akhirnya Kanaya pun mengikuti perkataan Ayah angkat itu. Saat ini, pembantu pribadi Kanaya sedang Alan perintahkan untuk menjaga Kenan. Setelah Kanaya sadar, baru Alan memintanya untuk menemani Kanaya di rumah sakit. "Sabar Alan, yang tenang. Mama yakin, kalau Kanaya pasti akan baik-baik saja."Oma Dahlia yang awalnya sedang duduk di dekat ruang operasi, kini beranjak dari tempat duduknya. Lalu mendekat pada Alan, dan menepuk bahu laki-laki itu de
Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Chyntia tatkala melihat beberapa foto yang dikirim salah seorang temannya ke ponsel yang saat ini dia genggam. Pagi ini, ketika baru saja bagun, Chyntia i bergegas mengecek ponselnya. Dia ingin mengetahui apakah ada perkembangan yang dilaporkan temannya, dan benar saja, saat dia membuka pesan yang masuk, temannya sudah mengirimkan beberapa foto, dan video.Pada salah satu foto tersebut, tampak Arumi yang saat itu terlihat terpukul, ketika sedang bermasalah dengan Rain. Sedangkan, salah satu lagi berupa video, tatkala Arumi baru saja keluar dari kamar Leo.Weekend pagi ini, Chyntia masih merebahkan tubuh malas-malasan di atas ranjang, dan berita indah ini sungguh membuat awal harinya terasa begitu menyenangkan. Meskipun, saat weekend, terasa ada yang kurang, yaitu dia tak bisa bertemu dengan Alan."Ternyata, kamu itu munafik, Arumi. Aku sudah menduga wanita sepertimu pasti hanya memanfaatkan semua laki-laki untuk kenyamananmu semata!"Chyntia t
"Beri jarak, jangan terlalu dekat. Di sini, banyak kru dan karyawan. Aku nggak mau mereka curiga. Kamu masuk dulu, biar aku mengalihkan perhatian mereka saat kamu masuk ke kamarku!" terang Leo, sebelum mereka turun dari mobil.Sebagai seorang laki-laki dewasa, tentunya dia mengerti apa maksud Arumi. Leo yang biasanya setia, kini akhirnya terpikat pada Arumi, yang sejak kemarin terus menggodanya.Arumi pun menganggukkan kepala. Setelah turun dari mobil, Arumi berjalan dengan begitu tergesa-gesa, menuju ke kamar Leo. Sedangkan Boby yang sudah tahu apa yang akan dilakukan Arumi, tampak berjalan dengan tenang menuju ke kamar Arumi, sembari mengalihkan atensi yang lain agar tidak melihat Arumi ketika masuk ke dalam kamar Leo.Entah mengapa, malam ini, Leo terlihat begitu menarik bagi Arumi. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi disertai otot-otot kekarnya yang baru dia ketahui saat tadi siang masuk ke kamar lelaki itu, tampak sangat menarik perhatian Arumi.Sebenarnya suaminya jauh lebih ta
Alan begitu terkejut mendengar pertanyaan Oma Dahlia kali ini. Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, seakan menghujam jantungnya. Alan pun tak tahu, apa yang mendasari mertuanya, sampai menanyakan hal tersebut padanya. Apakah dia takut jika Alan akan meninggalkan Arumi? Atau, dia sudah memiliki firasat buruk jika dia memiliki wanita simpanan yang merupakan anak angkatnya sendiri.Alan menghela napas kaaar. Rasanya, sungguh ingin pergi menjauh, menghindar dari pertanyaan tersebut. Namun, tak mungkin. "Alan, jujur saja. Kamu tidak perlu ragu, Nak."Ketika Alan hendak membuka suaranya, tiba-tiba suara Kanaya pun terdengar."Oma, Papa. Opa sudah bisa dibawa ke ruang perawatan."Alan, dan Oma Dahlia pun tersentak, lalu menoleh pada gadis itu yang kini sudah berdiri tak jauh dari mereka."Oh sudah siap ya ruang perawatannya?" sahut Oma Dahlia canggung, tentunya dia tak ingin Kanaya mendengar percakapannya dengan Alan."Sudah Oma, ayo kita ke sana.""Tunggu Kanaya." Al
Alan pun reflek mendekat pada Kanaya. "Kanaya, jangan main-main kamu!""Siapa yang lagi main-main sih, Pa? Papa pikir, nyawa Opa itu permainan?"Kanaya kembali menoleh pada dokter yang berdiri di sampingnya. "Dokter, bisa nggak kita lakukan pemeriksaan sekarang?""Mari ikut saya!"Kanaya pun mengikuti dokter tersebut. Sedangkan Alan, dan Oma Dahlia, hanya bisa menatap pasrah gadis itu. Mencegah juga rasanya percuma, Kanaya pasti akan bersikeras melakukan semua itu.Alan pun mengusap wajahnya dengan kasar, lalu duduk di depan ruang emergency tersebut di samping Oma Dahlia. Ada kecemasan yang begitu mendalam yang dirasakan Alan. Kanaya masih muda, dan Alan tak ingin sesuatu terjadi pada gadis yang dia cintai itu."Kalaupun dia sampai livernya cocok, Mama yakin, dia pasti akan baik-baik saja. Kita akan merawat Kanaya sebaik mungkin.""Aku tahu, Ma. Resikonya memang tak seperti donor organ yang lain. Namun, tetap saja, aku merasa cemas.""Mama bisa ngerti gimana perasaan kamu sebagai oran
"Papa apa-apaan sih, kok malah ikutan ke kamar mandi!" protes Kanaya, sembari mengerucutkan bibir, tatkala Alan justru berjalan di belakangnya."Ya udah kalo gitu kita mandi bareng!""Apa?" sahut Kanaya, disertai mata yang membelalak lebar."Iya mandi bareng, Sayang. Kaya waktu di hotel, kamu mau 'kan?"Mau tak mau, Kanaya menyetujui permintaan Alan. Jika dia menolak pun Kanaya yakin Alan akan memaksa. Kanaya kemudian menganggukkan kepalan, disertai rona wajah yang memerah. Mereka baru saja menyelesaikan sesi bercintanya beberapa menit yang lalu, dan Alan meminta hal itu kembali.Tanpa aba-aba, Alan mengangkat tubuh Kanaya, lalu mereka masuk ke dalam kamar mandi. Dia kemudian menyalakan shower agar sensasinya terasa lebih nikmat.Kini, desahan dan erangan itu kembali terdengar secara bersamaan, seolah saling berlomba dengan suara gemercik air shower kamar mandi yang mendominasi ruangan berdinding marmer itu.Hentakan demi hentakan dari Alan, membuat Kanaya berulang kali berteriak. Era
"Kanaya, tolong katakan pada Oma. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecar Oma Dahlia, disertai wajah yang memerah.Jujur saja, dia takut. Jika Kenan membenci Arumi, seperti yang sudah lama dia khawatirkan."Oma nggak ada apa-apa, Kenan cuma lagi kesel, Mama sering ninggalin dia. Oma percaya ya, sama Kanaya."Kenan hendak protes mendengar penjelasan Kanaya pada Oma Dahlia. Namun, saat Kenan hendak membuka suaranya, tiba-tiba ponsel Oma Dahlia berbunyi.Wanita paruh baya itu pun berjalan menjauh dari kedua cucunya, untuk mengangkat panggilan itu terlebih dulu.Sedangkan Kanaya, tampak menoleh pada Kenan sembari menatap mata bocah kecil itu lekat."Kenan, tolong jangan bilang kayak gitu dulu sama Oma. Kamu tahu 'kan, Opa lagi sakit. Apa Kenan mau kondisi Opa memburuk kalau sampai tahu hal ini?"Kenan menggelengkan kepalanya, lalu Kanaya mengusap rambut bagian atasnya."Nah itu namanya anak pintar. Kalau begitu, kita harus jaga rahasia ini dulu ya. Kita tunggu waktu yang tepat buat kasih tahu
"Tante Chyntia kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?" tanya Kanaya ketika baru keluar dari ruang kerja Alan.Mendengar suara Kanaya, Chyntia pun mengangkat wajah. Lalu, tersenyum dan pura-pura bersikap ramah pada Kanaya."Ini, habis liat film lucu."Bibir Kanaya pun membulat. "Oh, ya udah mulai kerja lagi ya, waktu istirahat udah abis, 'kan? Jangan ketawa-ketawa mulu, ntar jadi kuntilanak loh.""Iya Non Kanaya," jawab Chyntia, sembari tersenyum, dan menatap Kanaya yang berlalu dari hadapannya. Setelah Kanaya berjalan cukup jauh, Chyntia mengumpat kesal padanya."Sok bossy banget sih!"Kanaya sedikit melirik, dan melihat Chyntia bibirnya tampak sedang komat-kamit. Kanaya tahu, Chyntia pasti kesal padanya."Ck, dasar wanita gatel!" gumam Kanaya, sembari terus berjalan, menuju ke basement parkir.Setengah jam kemudian, Kanaya pun sudah sampai di rumah, dan mendapati Oma Dahlia saat ini tengah bermain bersama Kenan di ruang tengah."Kak Naya habis dari mana?" pekik Kenan, sembari berlari, d