Share

Bab 5

KEESOKAN HARINYA ....

Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.

Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.

Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan.

Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.

Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seorang laki-laki beristri, adalah sebuah kesalahan, dan aku tak mau terjebak lebih dalam.

Karena itulah, tadi malam aku tak menghiraukan lagi dengan permintaan Mr Alex. Dalam benakku, aku hanya mau pulang, dan memulai kehidupan dengan lembaran baru.

Perjalanan selama satu setengah jam, akhirnya terlewati. Setelah turun dari pesawat, aku berjalan dengan begitu tergesa-gesa, seolah sudah tidak sabar bertemu dengan keluargaku. Hingga akhirnya, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang saat ini tengah berdiri di depan pintu kedatangan luar negeri.

Entah mengapa, saat melihatnya, jantungku tiba-tiba saja berdetak begitu kencang. Bahkan, tanpa sadar, aku sudah meneguk salivaku melihat penampilan matangnya, yang bisa kusebut sangat keren. Meskipun, aku tahu, usianya hampir menginjak kepala 4.

Kali ini, sosok Papa Alan terlihat begitu berbeda. Di mataku, dia seolah bukan lagi sosok orang tua. Namun, pria dewasa yang kukagumi.

"Kanaya ...!"

Suara bariton itu terdengar memanggil, dan sontak menyentak lamunanku. Padahal, aku masih ingin menikmati pesonanya, dan jujur saja, aku belum mampu mengendalikan perasaan ini. Namun, aku harus kembali pada kewarasanku, dan bersikap biasa saja.

Aku pun melangkahkan kaki mendekat pada Papa. Aku tak mau dia curiga melihatku yang hanya menatapnya sembari diam mematung.

"Anak Papa udah pulang?" Suara rendah itu, terdengar begitu menggetarkan kalbu, dan membutakan gugup.

Aku pun hanya bisa menarik kedua sudut bibirku, seraya mengangguk, dan membiarkan laki-laki dewasa itu memelukku. Mata ini, seketika terpejam saat merasakan pelukan hangat itu. Bahkan, bulu kudukku pun ikut meremang ketika hembusan napas hangat Papa menerpa kulit sensitif ini.

Setelah sekian detik berlalu, Papa melonggarkan pelukannya, lalu menatapku dengan tatapan hangat. Tatapan orang tua yang menyayangi putrinya. Namun, entah mengapa aku justru salah tingkah.

"Anak Papa udah gede sekarang. Gimana tadi perjalanannya?"

"It's okay. Kok Papa sendiri? Papa sama Kenan mana?" jawabku dengan tenang, sangat berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan.

"Mama di rumah. Dia lagi nggak enak badan. Kemarin sore, dia baru pulang dari luar kota. Kalo Kenan, kamu tau sendiri ini 'kan bukan hari libur. Dia berangkat sekolah."

Aku mengangguk, disertai gelagat salah tingkah, dan sepertinya Papa Alan mulai menyadari keanehan sikapku.

"Kok kamu jadi diem? Apa kamu lagi sakit?"

"Nggak Pa, cuma cape aja. Agak ngantuk, soalnya kemarin, pesta perpisahannya sampe dini hari."

"Ya udah kita pulang sekarang ya!" Papa mengambil alih koperku, sembari menarik tangan ini berjalan menuju mobil. Aku pun mengikuti langkah Papa, sambil terus menatap genggaman telapak tangannya pada lenganku.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, aku memejamkan mata. Sebenarnya aku tak mengantuk, tapi aku bingung dengan perasaanku sendiri.

Sedangkan Papa, mungkin menganggap aku benar-benar tidur karena tadi aku mengatakan aku ngantuk, karena pesta perpisahan tadi malam. Padahal, tadi malam aku pulang cepat. Bahkan, pukul sepuluh saja aku sudah terlelap.

Setengah jam kemudian, kami sampai di rumah. Papa mencondongkan tubuhnya hingga membuat aroma maskulinnya terasa begitu mengintimidasi.

"Kanaya, bangun ...!"

Aku pun membuka mata, dan bertingkah seolah-olah baru terbangun dari tidurku. "Ayo turun!"

Aku mengangguk, lalu mengikuti Papa turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu rumah. Sedangkan barang-barangku dibawa pembantu rumah tangga kami.

Ketika aku berdiri di ambang pintu, tampak sosok perempuan sedang tersenyum sembari menatapku dengan tatapan teduh.

"Kanaya ...!" Wanita itu merentangkan tangan, sambil menganggukkan kepala, seolah memberi kode agar aku memeluknya.

"Kanaya, peluk Mama. Mama kangen sama kamu."

Suara bariton rendah itu kembali terdengar, dan membuat hatiku kembali bimbang. Perlahan, aku pun mendekat pada Mama Arumi, lalu memeluknya.

"Anak Mama, apa kabar, Sayang? Mama kangen banget sama kamu."

Seketika aku merasa bersalah pada wanita cantik ini. Aku merutuki diriku sendiri yang tiba-tiba memiliki perasaan aneh itu pada Papa.

"Kanaya, kok diem?"

"Maafkan aku, Ma."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status