Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering.
"Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...." Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan. "Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan. "Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ...." "Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku. "Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah. Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia bergegas mengangkat panggilan telepon tersebut yang aku yakini berasal dari istrinya. Kini aku hanya tersenyum getir, sembari mengamati laki-laki itu yang sibuk berbicara dengan istri, dan anaknya. Raut wajah Mr Alex, tampak begitu bahagia. Di saat itu pula, aku pun menyadari jika aku memang bukan siapa-siapa bagi Mr Alex. Kaki ini, aku melangkah pergi, keluar dari apartemen tersebut, tanpa berpamitan lagi pada Mr Alex. Toh, dia juga tidak peduli dengan keberadaanku. Jadi, apa untungnya aku berada di sana? Aku sadar, aku hanyalah sebatas pecundang tak berharga bagi Mr Alex. "Maafkan aku, Mr Alex. Tidak seharusnya, aku mencoba menggodamu. Aku terlalu percaya diri dengan kecantikanku, sampai aku lupa jika rasa cinta itu tumbuh, bukan hanya berdasarkan melihat penampilan fisik semata." *** Sejak kejadian malam itu, aku kian menjaga jarak dengan Mr Alex. Lebih tepatnya, tak hanya aku, tapi dia juga. Mr Alex pun sudah tidak memberikan jam pelajaran tambahan lagi untukku. Lagipula, nilai fisikaku pun tidak terlalu buruk. Aku kembali pada jati diriku yang sebenarnya yaitu menguasai pelajaran fisika. Menjauhi orang yang kita cintai rasanya memang berat. Sejujurnya, tak semudah itu aku bisa melupakan Mr Alex. Terkadang, aku masih sering kali mencuri pandang padanya sekilas. Ya, hanya sekilas. Tak terasa, hari demi hari berlalu begitu cepat. Aku akhirnya berhasil menyelesaikan studyku, dan malam ini adalah malam terakhir aku di sini. Keesokkan harinya setelah pesta perpisahan ini berakhir, aku akan kembali ke rumah. Aku memutuskan untuk pulang, dan tidak melanjutkan study di Singapore. Sejujurnya kedua orang tua angkatku, memintaku untuk melanjutkan kuliah di sini. Namun, aku menolak. Aku hanya ingin melupakan hal yang pernah terjadi antara aku, dan Mr Alex, cinta pertamaku. "Nay turun yuk!" ajak Cecil, sembari menarik tanganku. Namun, aku menggelengkan kepala, memilih duduk bermalas-malasan di sofa. Entah mengapa pesta ini membuatku tidak bersemangat. Mungkin, terasa begitu berat karena ini artinya aku harus berpisah dengan Mr Alex, tapi mau tak mau aku harus melakukan itu. Aku tak mau terbelenggu pada cinta yang hanya akan membuatku terluka. "Nggak asik ah lu, Nay. Pada semangat gitu, lu sendiri yang lesu. Percuma aja pake gaun mahal sama dandan di salon selama berjam-jam kalo lu lemes gini!" Aku pun menghela napas. Lalu, mengikuti Cecil. Memang benar apa yang dia katakan. Malam ini aku memang tampak kian cantik dengan sapuan make up bold, dan strapless dress warna hitam yang membungkus tubuh indahku. Belum lagi, tatanan half updo pada rambut coklatku, tentu saja, sukses membuat penampilanku terlihat begitu menawan. Teriakkan disertai alunan musik pun menggema di seluruh penjuru ruangan. Kerlap-kerlip lampu, serta kertas metalik, dan balon udara juga kian menyemarakkan dekorasi prom night ini. Semua orang terlihat bahagia, kecuali aku. "Gue ke toilet sebentar ya!" Aku pamit pada temen-temenku, dan mereka hanya mengangguk sekedarnya. Ketika aku baru saja memasuki toilet, toilet tersebut tampak begitu ramai. Aku pun memutuskan untuk pergi ke toilet yang ada di lantai tiga. Meskipun aku harus menaiki anak tangga, itu tak masalah. Bagiku, hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan aku harus mengantre bersama dengan teman-teman seangkatanku yang seringkali bersikap reseh padaku. Mungkin saja mereka tidak terlalu menyukaiku, karena aku sering mendapat perhatian lebih dari murid laki-laki yang ada di sini. Akhirnya aku pun sampai di lantai tiga, lantai tempat ruangan para guru yang mengajar di sekolah ini. Bergegas aku menuju ke toilet yang ada di ruangan ini. Akan tetapi, ketika aku baru saja masuk, tiba-tiba ada yang menarik tanganku secara paksa. Lalu, menghempaskan tubuh ini ke salah satu bilik yang ada di toilet wanita tersebut, dan sialnya toilet di lantai atas memang sepi, tak ada satu orang pun di sini selain aku, dan orang itu. Aku yang tak menyangka akan mendapat serangan mendadak pun tak kuasa melawan, dan hanya bisa pasrah sembari mengamati sosok yang saat ini berdiri sambil mengunci bilik toilet ini. Namun, aku tak dapat mengenali sosoknya, karena dia memakai masker. Sebenarnya tanganku memberontak, tapi dia kian erat mencekal tangan ini. Aku pun berteriak, tapi dengan gerakan cepat, dia mendekat dan membungkam mulutku. "Jangan teriak, Kanaya!" bisiknya, mengudara tepat di samping telingaku. Dia kemudian melepaskan masker yang menutup wajahnya, dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui jika laki-laki itu ternyata adalah Mr Alex. "Mr Alex ...?" Dia pun mengangguk, lalu mendekat ke arahku, dan menatapku dengan tatapan datar, yang sulit kuterka. "A-Anda mau apa?" "Aku mau bicara sama kamu Kanaya. Aku tunggu kamu di ruanganku ya." "Bicara apa? Maaf tapi ...." "Tidak ada kata tapi, Kanaya. Aku pergi dulu, jangan membuatku menunggu terlalu lama." Setelah mengucapkan itu, Mr Alex keluar dari bilik toilet ini. Meninggalkanku yang kini dilanda kebingungan. "Aku harus bagaimana?"KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
POV AUTHORAlan sudah terbangun sekitar 30 menit yang lalu, tapi pria tampan itu belum beranjak dari atas tempat tidur. Dia lebih memilih untuk menatap wajah cantik Arumi yang masih tertidur pulas di sampingnya.Alan mengusap puncak kepala Arumi, seorang wanita yang sudah belasan tahun dia nikahi. Meskipun, mereka menikah karena dijodohkan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta mulai tumbuh di hati Alan.Semenjak mereka menikah, Arumi berperan sebagai ibu rumah tangga, dan Alan tidak pernah mengijinkannya untuk bekerja. Apalagi, awal menikah mereka cukup sulit untuk mendapatkan keturunan, sampai akhirnya Kanaya datang dalam hidup mereka, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah Kenan.Seiring perkembangan jaman, Arumi yang aktif di media sosial pun memutuskan untuk menjadi seorang influencer. Awalnya, Alan tak mengijinkan, dan meminta Arumi untuk tetap fokus pada anak-anak mereka. Namun, Arumi terus merengek, dan akhirnya Alan pun memperbolehkan istrinya mengembangkan karirnya.Akan te
Di Sisi Lain....Setelah memberi tahu Rain jika dia berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Arumi, Alan melangkah memasuki ruang perawatan dengan langkah ragu. Keraguan itu, bukan karena dia takut. Namun, lebih pada sosok yang akan dia temui.Di ranjang, seorang wanita duduk bersandar pada bantal, matanya kosong menatap jendela. Arumi, mantan istrinya. Wanita yang pernah dia cintai lebih dari apapun, tapi dulu. Bukan sekarang.Alan mendekat, menarik kursi, lalu duduk di depannya. "Arumi ...."Arumi mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Alan dengan tatapan asing."Maaf, Anda?"Alan merasakan sesuatu yang mencengkeram hatinya. Ini aneh. Perempuan yang dulu dia kenal begitu dalam, kini menatapnya seperti orang asing."Aku Alan, aku temanmu dulu."Arumi mengerutkan kening, seolah mencoba menangkap sesuatu di pikirannya. Nama Alan memang terdengar tak asing. Apalagi, kemarin sosok laki-laki yang menemuinya juga mengatakan jika hari ini Alan akan menemuinya."Ala
Malam itu, rumah besar milik Kakek Wang berubah menjadi pusat kemewahan dan kegembiraan. Dikelilingi taman yang luas dengan lampu-lampu berkelap-kelip, pesta yang diadakan di mansion megah itu bagaikan perayaan para bangsawan. Para tamu berdatangan dalam pakaian terbaik mereka—gaun berkilauan dan setelan jas mahal—sambil membawa gelas sampanye yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal raksasa.Di tengah aula utama yang luas, sebuah orkestra memainkan musik klasik yang lembut, sementara para pelayan berlalu-lalang dengan nampan berisi hidangan mewah: kaviar, lobster, dan anggur terbaik dari seluruh dunia. Taman belakang yang dihiasi air mancur dan patung-patung marmer menjadi tempat bagi mereka yang ingin berbincang lebih santai, dengan suara tawa dan gelak kebahagiaan memenuhi udara.Kakek Wang, seorang miliarder yang dikenal karena kemurahan hatinya, berdiri di balkon lantai dua, mengangkat gelasnya dan menyampaikan pidato singkat. Dengan senyuman bijaksana, dia menyambut
Kanaya berdiri di depan cermin besar, tubuhnya dibalut gaun pengantin berwarna putih gading dengan renda yang halus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dadanya yang berdebar.Cahaya dari lampu gantung di butik membuat wajahnya tampak lebih lembut, tapi tidak bisa menghilangkan bayangan kegundahan di matanya. Ocha, yang duduk di sofa butik, menatapnya penuh kagum."Ya ampun, Nay. Kamu cantik banget, aku yakin Mas Alan bakalan terpesona liat kamu. Aku foto ya, nanti kamu kirim ke calon suami kamu!" pekik Ocha, dengan sorot mata berbinar, kagum akan kecantikan sahabatnya.Kanaya tersenyum kecil, lalu merapikan bagian lengan gaunnya. "Tapi aku malu.""Ck ngapain malu sih. Aku aja yang cewek terpesona. Apalagi Mas Alan!" sahut Ocha, seraya tertawa kecil.Kanaya ikut tersenyum, tapi hanya sebentar. Matanya kembali menatap pantulan dirinya di cermin, seakan mencari sesuatu yang hilang."Nay, lo kenapa sih kaya sedih gitu? Nggak cocok sama gaunnya?"Kanaya menggeleng pelan. "
Di sebuah ruang perawatan rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Rain duduk di tepi ranjang pasien setelah beberapa saat berusaha menenangkan Arumi.Wajah itu, menyimpan kelelahan, tapi sorot matanya penuh harapan saat menatap perempuan yang duduk di depannya. Arumi—atau kini, yang hanya mengenal dirinya sebagai Celine—terlihat ragu. Tatapannya kosong, seolah berusaha mengaitkan kembali kepingan memori yang hilang."Dengarkan aku, kamu bukan Celine, kamu Arumi. Aku tahu ini membingungkan, tapi aku mohon, percayalah padaku.""A-aku nggak ngerti. Semua orang bilang aku Celine. Stela bilang jangan pernah percaya orang lain, kecuali dirinya.""Stela bohong. Namamu Arumi."Rain menggeleng, suaranya tegas tapi terdengar lembut. Arumi kemudian mengerutkan kening, matanya berkabut."Kalau benar, kenapa aku nggak ingat kalo aku Arumi?""Lalu, apa kau juga ingat jati dirimu sebagai Celine?" sahut Rain, kemudian menarik napas dalam, berusaha menahan emosi."Tapi kenapa Stela bila
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna
"Aku ingin bertemu dengannya. Bisakah Anda membantuku?" sambung Celine kembali, disertai sorot mata penuh pengharapan.Perawat tersebut merasa iba melihatnya. Apalagi, sejak masuk ke rumah sakit tersebut, tak ada sanak saudara yang mengunjungi Celine. Hanya Stela, itu pun hanya sebatas kunjungan singkat."Saya bisa mencoba menghubunginya. Tapi tadi nggak saya sempat melihat Nona Stela sedang berada di ruang gawat darurat.""Ruang gawat darurat? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?" sahut Celine, sembari mengernyitkan kening."Bukan dia yang dalam keadaan darurat. Sepertinya dia sedang mengunjungi seseorang di sana."Celine menunduk, menggenggam selimut, sembari bergumam lirih. "Oh ....""Bagaimana, apa Anda jadi ingin bertemu dengan Nona Stela?" sambung perawat tersebut kembali, saat melihat raut wajah Celine yang kian sendu.Celine pun mengangguk. "Iya, aku ingin ketemu sama Stela. Aku merasa … aneh. Aku nggak ingat banyak hal, tapi aku merasa aku harus bertemu dengannya sekarang juga u
Suara langkah kaki Stela terdengar tergesa-gesa di lorong. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat dia mencari sosok Rain. Dia menyusuri kursi-kursi tunggu, melihat ke dalam ruangan, hingga akhirnya menemukan Rain duduk sendirian di sudut ruangan sembari menempelkan ponsel di telinganya. Entah menghubungi siapa, Stela pun tak tahu. Matanya kosong, tatapannya lurus ke arah depan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Stela kemudian mendekat dengan hati-hati."Rain ...!"Ketika Stela sudah kian dekat, Rain menutup sambungan telepon tersebut. Lalu, Stela duduk di sampingnya."Rain … dari tadi aku cari kamu."Rain mengangkat wajah perlahan, suaranya lirih dan lelah. "Aku sedang butuh waktu buat sendiri, Stela …"Stela tersenyum tipis, menggenggam tangan Rain dengan hangat, yang Stela tahu, Rain terlihat sedih seperti ini, karena melihat kondisi ibunya. Namun, di balik itu, ada hal lain menyita perasaan, dan pikiran Rain."Aku tahu kamu cemas, tapi aku punya kabar baik."Rain menatap Ste