Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.
Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta. Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya. Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti. Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang hati memang sangat sulit dikendalikan. Begitu pula, rasa cinta ini. Cinta memang buta, dan sering kali tak berlogika. Cinta begitu egois, dan tak mampu memilih pada siapa akan berlabuh. "Bagaimana, sudah selesai?" Suara bariton itu menyentak lamunanku. "Oh sudah ini, Pak." Aku menyerahkan latihan soal yang Mr Alex berikan. Lelaki itu tampak menatap kertas itu sejenak, memeriksa hasil pekerjaanku. Lalu, setelah itu senyum manis pun tersungging di bibirnya. Senyum yang sangat manis hingga membuat hati ini terasa meleleh. "Bagus, perkembangan kamu cukup bagus, Kanaya. Semoga ujian semester ini nilaimu meningkat." "Terima kasih atas bimbingannya, Mr Alex." "Sama-sama, kalau begitu kau boleh pulang sekarang." Aku pun mengangguk, tapi entah mengapa rasanya masih enggan aku beranjak dari tempat ini. Aku pun mulai membuka percakapan kembali dengan Mr Alex yang sedang merapikan buku-buku ke dalam tasnya. "Sepertinya Mr Alex sedang terburu-buru. Apa Mr Alex akan mengambil tambahan libur untuk merayakan Chinese New Year ke Tiongkok?" Aku berani bertanya seperti itu, karena aku tahu, Mr Alex, sebenarnya adalah pendatang. Mr Alex menggelengkan kepala. "Tidak, aku sedang banyak pekerjaan. Jadi, aku tetap di sini, tapi istriku akan pulang ke kampung halaman kami selama satu pekan." Bibirku pun membulat sembari menganggukkan kepala. "Ini sudah sore, ayo cepat pulang." Aku kembali mengangguk, lalu mengikuti Mr Alex keluar dari ruang kelas kami, tempat biasanya aku mendapatkan tambahan jam pelajaran. "Mr Alex, hati-hati." "Terima kasih, Kanaya. Jangan lupa belajar. Kalau kau kesulitan, jangan sungkan untuk bertanya." "Iya, terima kasih kembali Mr Alex," jawabku sambil sedikit membungkukkan badan. Lalu, menatap punggung Mr Alex yang berjalan menjauh dariku. "Istrinya sedang pergi ke Tiongkok?" gumamku lirih, seolah sedang memikirkan rencana lain di otakku. Lalu, buru-buru aku menepis semua itu. "Ngga boleh nakal Kanaya." **** Beberapa Hari Kemudian. Libur Chinese New Year pun tiba. Sekolah kami libur, siswa sekolahku yang sebagian besar warga keturunan memilih untuk pulang dari asrama. Begitu pula dengan teman sekamarku yang berisi tiga orang, salah satunya pulang ke rumahnya untuk merayakan bersama keluarga. Sedangkan, Cecil sedang menginap di hotel bersama keluarganya, yang kebetulan sedang berlibur ke Singapura. Beberapa kali aku menghubungi Papa, dan Mama untuk mengunjungiku ke Singapura, tapi tampaknya mereka sedang sibuk. Papa Alan, tentu sana sibuk dengan bisnisnya. Sedangkan Mama Arumi, kini menjadi seorang influencer yang terkenal. Sejujurnya aku pun bangga tiap kali memperlihatkan Mama pada teman-temanku. Mereka yang tak tahu jika aku ini anak angkat, akan memuji kami berdua yang memiliki wajah rupawan. "Pantes aja kamu cantik banget, Naya. Mama kamu juga cantik banget." Aku pun hanya tersenyum mendengar pujian itu. Akan tetapi, siang ini, aku merasa begitu kesepian. Di dalam kamar sepi ini, aku sendiri. Tak sanggup larut dalam kesepian yang membelenggu, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Suasana hari ini begitu ramai, dan penuh pernak-pernik berwarna merah. Setelah lelah berjalan-jalan, aku memutuskan membeli makanan untuk makan malam. Aku sengaja ingin makan malam di asrama saja. Rasanya enggan makan di luar dalam suasana seramai ini. Ketika sedang asyik memilih makanan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang yang cukup kukenal. "Kanaya ...!" Rasanya seperti mimpi mendengar suara itu, tapi ketika aku mencubit tangan, ternyata sakit. "Kanaya ...!" Panggilan itu pun kembali terdengar, dan membuatku menoleh. "Oh Mr Alex ... selamat malam." "Selamat malam, kamu sendiri?" tanya Mr Alex kembali. Lalu kujawab dengan anggukan. "Teman sekamar saya sedang berlibur dengan keluarganya." Kening Mr Alex seketika berkerut. "Sendirian? Bagaimana kalau kau makan malam di tempatku saja?" Mendengar tawaran Mr Alex, ingin rasanya aku memekik girang. Namun, aku mencoba untuk jual mahal. "Tidak usah takut merepotkan." "Tidak apa-apa Kanaya, aku sudah membeli banyak makanan, sepertinya tidak habis kumakan sendiri. Ayo ikut!" Aku pun mengangguk, sembari berteriak girang di dalam hati. Kapan lagi bisa makan berdua dengan Mr Alex. Meskipun dia menganggapku sebagai muridnya, aku tak peduli. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya. Tak berapa lama, kami pun sampai di apartemennya. Apartemen itu cukup mewah. Aku bahkan tak menyangka jika Mr Alex tinggal di tempat semewah ini. "Selain menjadi guru, aku juga usaha jual beli properti." Mr Alex sepertinya paham dengan raut wajah kekagumanku. "Duduk sini, Kanaya!" perintah Mr Alex, memintaku agar duduk di meja makannya. Aku pun menuruti perintahnya. Kami kemudian duduk di meja makan, menyantap makanan yang tadi dibeli oleh Mr Alex. Makan malam ini, diiringi dengan obrolan santai, dan juga candaan. Aku tak menyangka jika ternyata Mr Alex cukup humoris. Aku sengaja memperlambat waktu makanku, agar bisa lebih lama berduaan dengan Mr Alex. Akan tetapi, ternyata hal tersebut membuat aku kekenyangan. Aku ternyata makan terlalu banyak yang membuat perutku sakit. "Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Mr Alex ketika melihatku memegang perut. Namun, aku tak menjawab. Rasanya sulit sekali untuk bersuara. "Kau kenapa, Kanaya?" "Perutku sakit Mr Alex, mungkin kekenyangan," jawabku sambil meringis. "Kalau begitu kita duduk di sofa dulu ya." Aku pun mengangguk. Lalu, Mr Alex menuntunku berjalan ke arah sofa. Jarak kami yang cukup dekat, membuat tubuh ini bergetar, disertai degup jantung yang kian kencang tak beraturan. Apalagi, wangi parfum masukin Mr Alex yang membuatku kian terintimidasi dalam pesonanya. "Gimana?" Mr Alex membantuku merebahkan tubuh di atas sofa bed yang ada di ruang tengah apartemennya. "Masih sakit." "Mau kuantar ke rumah sakit?" sahut Mr Alex, disertai raut wajah cemas. "Tidak usah, di sini saja. Sebentar lagi juga sembuh." "Tapi ...." "Tidak Mr, emh begini saja. Apa di sini ada minyak aromaterapi? Kalau boleh, aku minta minyak aromaterapi saja, agar perutku hangat." "Ada, sebentar ya." Mr Alex pun bangkit dari sofa, untuk mengambil minyak aromaterapi. Setelah itu, dia kembali duduk di sampingku. "Mr, bisa nggak gosokin di perut? Kalau lagi sakit, tanganku kram." Mr Alex sebenarnya cukup terkejut mendengar permintaanku, tapi dia tak kuasa menolak permintaanku. Apalagi setelah melihat wajahku yang cukup pucat. "Emh, baiklah. Aku akan menggosok perutmu," jawab Mr Alex dengan sedikit gugup. Aku pun menarik bajuku sedikit ke atas. Membuat perut putih mulus yang terlihat begitu menggoda terekspos begitu saja terpampang di depan Mr Alex. Detik itu juga, dapat kulihat jakunnya naik turun, seperti menahan sesuatu yang bergejolak. Aku tahu Mr Alex pasti gugup, dan ragu. Namun, perlahan Mr Alex tetap mengoleskan minyak aromaterapi yang ada di tangannya ke perutku. Dia pun mulai memijit perutku secara perlahan, hingga dua gunung kembarku mulai sedikit mengintip. Bagaimana juga Mr Alex adalah seorang lelaki dewasa. Aku yakin, melihatku pasti membuat hasratnya sebagai laki-laki mulai bergejolak. Apalagi, aku kini mulai mengeluarkan suara rintihan yang kian menggugah gairahnya. Mr Alex masih memijit perutku sembari mengalihkan pandangannya. Namun, akibat hal tersebut, tangan Mr Alex kini tanpa sengaja mengenai gunung kembar milikku. Aku yang tak menyangka jika hal itu akan terjadi tentunya reflek mengeluarkan desahannya yang kemungkinan membuat Mr Alex, seketika meremas benda kenyal milikku, dan entah kenapa aku menikmati itu. Bahkan, aku menginginkan hal lebih. Aku tahu aku salah, sudah menggoda seorang laki-laki beristri. Namun, setan di sampingku seolah terus berbisik agar terus melanjutkan kekhilafan yang kami lakukan. Akan tetapi, gejolak itu sepertinya tidak saja dirasakan olehku. Mr Alex juga sepertinya sudah tak bisa mengendalikan nafsunya. Perlahan dia pun mulai terpancing. Tangannya kirinya kian keras meremas benda kenyal milikku. Sedangkan tangan kanannya, membuka satu per satu kancing kemeja yang kukenakan. "Mr Alex ...."Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
Di sebuah ruang perawatan yang tenang, Kanaya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak damai, meskipun ada beberapa jejak luka di wajah cantik itu. Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, bergerak pelan seiring napasnya yang teratur.Di sisi ranjang, ada infus yang menggantung di tiang besi, menyalurkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui selang tipis yang menempel di punggung tangannya.Aroma antiseptik memenuhi ruangan, bercampur dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh bunyi halus mesin pemantau.Sedangkan di atas sofa, seorang perawat khusus yang diminta pihak keluarga untuk menjaga pasien itu, tampak sibuk dengan ponsel di tangan.Di luar jendela, langit senja mulai meredup, membiarkan cahaya lampu rumah sakit menggantikan sinar matahari yang perlahan menghilang.Seorang perawat masuk dengan langkah hati-hati, memeriksa kondisinya tanpa mengganggu tidur pasien. Setelah itu, dia mendekat pada rekannya yang sedang mengamati perawat jaga tersebut
Alan menatap Kenan lekat, matanya mencari jejak dirinya dalam wajah mungil di hadapannya. Garis rahang, lengkung alis, bahkan lekukan kecil di dagu, semuanya dia telaah dengan saksama, berharap menemukan secuil kemiripan yang bisa meredakan gemuruh di dadanya.Anak itu, dengan polosnya, hanya tersenyum, tak menyadari betapa tatapan ayahnya kini dipenuhi keraguan. Ada sesuatu yang mengusik dalam benak pria itu, sesuatu yang selama ini dia tepis, tetapi kini tumbuh semakin nyata.Bayangan masa lalu berkelebat. Waktu itu, hubungannya dengan Arumi memang sempat menjauh, ada hari-hari di mana mereka tak saling bicara. Lalu, hampanya hubungan itu pecah tatkala Arumi hamil.Saat itu, Alan begitu bahagia. Kehamilan Arumi, menghangatkan hubungan mereka yang sempat dingin, dan terpaut jarak karena ego masing-masing. Namun, kejadian itu kini menjelma menjadi bayangan yang mengintai setiap kali dia menatap mata anaknya, mata yang terasa asing, bukan seperti cerminan dirinya sendiri.Namun, bagai
Mendengar sebuah suara yang cukup dikenali, spontan Arumi, dan Rain pun menghentikan perdebatan mereka."Bagus sekali, akhirnya aku bisa bertemu sepasang manusia munafik seperti kalian! Kalian memang sangat cocok!""Mas, ini nggak seperti yang kamu duga!""Jaga bicara Anda, Tuan Alan!""Kenapa? Apa ada yang salah dari kata-kataku?"Alan kemudian menunjuk Rain dengan jari telunjuknya. "Kau pikir, aku tak tahu kau siapa? Kau yang datang secara diam-diam ke rumahku. Bahkan, tidur di atas ranjang kamarku, bukan?"Alan kemudian menoleh, dan menatap sengit pada Arumi. "Karena itulah, aku nggak pernah sudi tidur di kamar itu. Apalagi menyentuhmu, Arumi. Aku jijik padamu yang sudah berulang kali disentuh oleh laki-laki lain!""Dan kau salah satu manusia yang berhasil kita tipu selama bertahun-tahun, karena Kenan sebenarnya bukan anak kandungmu!" sahut Rain sinis.Langit yang tadinya terlihat tenang, seolah berubah mendung setelah perkataan itu terlontar dari mulut Rain.Arumi memejamkan mata,
Malam ini, langit mendung, seolah menyuarakan hati Alan yang kacau balau. Di ruang perawatan Kanaya yang penuh dengan keheningan mencekam, Alan mondar-mandir. Wajahnya kusut, tangannya mengepal kuat, dan matanya memerah. Setelah menutup sambungan telepon dari Arumi, Alan begitu kesal padanya. Bu Sinta yang baru saja datang, tepat ketika Alan sedang menelepon Arumi, mencoba menenangkan putranya."Kenan nggak pantas dijadikan alat, Arumi benar-benar keterlaluan!" gerutu Alan."Mama tahu ini berat, tapi kamu harus tenang. Kalau kamu kehilangan kendali, itu nggak akan menyelesaikan apa-apa."Bu Sinta menyahut, dengan suara tenang. Sedangkan Kanaya, kini sudah terlelap. Setelah meminum obat, tak lama mata Kanaya terpejam. Mungkin, obat yang dikonsumsi Kanaya, mengandung obat tidur, agar Kanaya bisa beristirahat."Tenang? Aku nggak bisa, Ma. Aku yakin, besok pasti Arumi akan membuat penawaran, dan aku nggak suka caranya yang licik kaya gini dengan menggunakan Kenan!""Bagaimana kalau kita
"Aku mau ketemu Papa sama Kak Naya."Tangisan Kenan, terus terdengar, menggema di seluruh sudut kamar. Matanya sudah basah oleh air mata. Arumi yang duduk di dekatnya, masih berusaha mencoba menenangkan.Akan tetapi, tangisan Kenan justru kian kencang, bahkan teriakan pun mulai terdengar. Arumi yang melihatnya kian dihinggapi frustasi."Aku mau ketemu Papa! Aku mau Papa sekarang juga! Aku nggak mau di sini.""Sayang, Papa lagi nggak bisa ke sini sekarang. Papa lagi jaga Kak Naya di rumah sakit. Kamu sama Mama aja ya," sahut Arumi, dengan suara lembut, tapi terdengar bergetar.Akan tetapi, berapa kali Arumi membujuk, Kenan justru menangis lebih keras, bahkan juga memukul-mukul lantai."Aku mau sama Papa! Mama suka boong. Oma Dahlia itu nggak sakit, 'kan?"Tubuh Arumi seketika menegang. Dia kemudian mencoba meraih tangan Kenan. "Kamu nggak bisa pergi ke sana sekarang. Papa lagi sibuk jagain Kak Naya. Kita cari waktu yang tepat ya biar bisa ketemu Papa."Kenan menatap Arumi penuh amarah
Pak Rama duduk di sofa dengan raut wajah penuh kelelahan, setelah dua hari kemarin, sibuk mengurus Arumi, dan Bu Dahlia.Hari ini, dia ingin bersantai di rumah saja. Pak Rama sudah merasa cukup lega, dan tenang, saat tadi malam diberi tahu oleh Arumi jika hari ini, dia akan pulang dari rumah sakit bersama Boby. Namun, ketenangan itu seketika berubah ketika pintu rumah diketuk dengan keras.Di depan pintu, Alan berdiri dengan napas tersengal-sengal dan wajah penuh kecemasan. Pak Rama yang baru saja membuka pintu, tentunya terkejut saat melihatnya."Papa, kenapa Papa nggak angkat telepon dari aku dan rumah sakit, tempat Arumi dirawat?"Kening Pak Rama pun seketika mengernyit. "Maaf, tadi malam Papa anter Mamanya Arumi ke rumah sakit, dan mengurusnya di sana sampai dini hari. Papa bangun kesiangan, dan lupa belum mengaktifkan ponsel. Memangnya ada apa, Alan?""Pa, apa Arumi sempat pulang ke rumah?"Jantung Pak Rama, kian berdegup kencang mendengar pertanyaan Alan. "Arumi? Arumi belum pul
"Kenapa Mama di sini?" tanya Kenan, dengan nada cukup ketus "Kenan ...." Suara Arumi terdengar bergetar, lembut, tapi penuh desakan, "Kenan ayo ikut Mama sekarang." Kenan mendongak, sembari menatap Arumi dengan tatapan tak bersahabat. "Aku nggak mau pulang sama Mama, Kenan maunya sama Papa. Mama jahat!" Arumi kemudian berlutut, sembari terisak dan menggenggam tangan Kenan dengan erat. "Kenan, Oma Dahlia sakit, Nak ... Oma sakit. Kenan jenguk Oma sekarang ya!" Mata Kenan melebar, bibirnya gemetar. "Oma sakit? Sakit apa, Ma?" tanyanya dengan nada cemas. Arumi menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya kembali. "Mama juga belum tahu pasti. Oma masih dalam pemeriksaan dokter. Sejak Oma sakit, Oma nanyain Kenan terus. Oma pengen ketemu sama Kenan. Kenan mau kan ikut sama Mama?" Kenan terdiam sejenak, melihat wajah Arumi yang dipenuhi kecemasan, Kenan merasa bimbang. Apalagi, ada kaitannya dengan neneknya. "Kenan jangan takut, Mama udah bilang sama Oma Sinta, dan
Setelah melihat keadaan Bu Dahlia yang kian tak memungkinkan jika harus menjalani proses hukum, akhirnya malam ini juga, Pak Rama, beserta pihak kepolisian membawa Bu Dahlia ke rumah sakit jiwa.Pak Rama saat ini tampak melewati pintu rumah sakit jiwa dengan istrinya, Bu Dahlia. Lalu, seorang polosi berjalan di belakang mereka.Pak Rama sebenarnya sudah menyadari jika akhir-akhir ini, mental Bu Dahlia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin, dia sudah memiliki firasat jika kejahatannya akan terkuak, hingga membuat wanita paruh baya itu tampak bingung dan tak terkendali.Bahkan, sejak satu minggu terakhir, dia sering kali berteriak ketakutan tanpa sebab, dan berbicara sendiri. Pak Rama juga pernah memergoki Bu Dahlia melukai dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepalanya seraya menangis terisak saat dia sedang bercermin. Mungkin, bayang-bayang adik tirinya yang telah dia bunuh, terus menghantui dalam benaknya.Meskipun masih diselimuti amarah. Namun, Pak Rama tak tega membiarkan istrinya
Malam ini, suasana rumah sakit lengang. Hanya terdengar bunyi mesin EKG dari beberapa ruangan dan langkah kaki perawat yang sesekali melintas di koridor.Lampu-lampu redup di lorong menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding. Di salah satu kamar rawat inap, seorang wanita duduk di tepi tempat tidurnya dengan napas tertahan.Tangannya gemetar, rasa cemas dan takut sebenarnya begitu menghantui. Namun, Arumi yang sudah bertekad untuk pergi, menghalau rasa cemas tersebut.Akan tetapi, saat ini Arumi sendiri. Boby memang bersedia mengambil kunci itu, tapi enggan menemani Arumi saat melarikan diri dari rumah sakit. Lelaki gemulai itu, tak memiliki keberanian untuk melakukannya.Arumi melirik ke arah pintu. Suara langkah kaki perawat mendekat, lalu menjauh. Ini adalah kesempatannya. Dengan hati-hati, ia mencopot selang infus dari tangannya, menahan nyeri yang menusuk. Darah kecil mengalir, tetapi ia tak peduli.Arumi bergumam pada dirinya sendiri, "Aku nggak bisa tinggal di sini leb