Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.
Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta. Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya. Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti. Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang hati memang sangat sulit dikendalikan. Begitu pula, rasa cinta ini. Cinta memang buta, dan sering kali tak berlogika. Cinta begitu egois, dan tak mampu memilih pada siapa akan berlabuh. "Bagaimana, sudah selesai?" Suara bariton itu menyentak lamunanku. "Oh sudah ini, Pak." Aku menyerahkan latihan soal yang Mr Alex berikan. Lelaki itu tampak menatap kertas itu sejenak, memeriksa hasil pekerjaanku. Lalu, setelah itu senyum manis pun tersungging di bibirnya. Senyum yang sangat manis hingga membuat hati ini terasa meleleh. "Bagus, perkembangan kamu cukup bagus, Kanaya. Semoga ujian semester ini nilaimu meningkat." "Terima kasih atas bimbingannya, Mr Alex." "Sama-sama, kalau begitu kau boleh pulang sekarang." Aku pun mengangguk, tapi entah mengapa rasanya masih enggan aku beranjak dari tempat ini. Aku pun mulai membuka percakapan kembali dengan Mr Alex yang sedang merapikan buku-buku ke dalam tasnya. "Sepertinya Mr Alex sedang terburu-buru. Apa Mr Alex akan mengambil tambahan libur untuk merayakan Chinese New Year ke Tiongkok?" Aku berani bertanya seperti itu, karena aku tahu, Mr Alex, sebenarnya adalah pendatang. Mr Alex menggelengkan kepala. "Tidak, aku sedang banyak pekerjaan. Jadi, aku tetap di sini, tapi istriku akan pulang ke kampung halaman kami selama satu pekan." Bibirku pun membulat sembari menganggukkan kepala. "Ini sudah sore, ayo cepat pulang." Aku kembali mengangguk, lalu mengikuti Mr Alex keluar dari ruang kelas kami, tempat biasanya aku mendapatkan tambahan jam pelajaran. "Mr Alex, hati-hati." "Terima kasih, Kanaya. Jangan lupa belajar. Kalau kau kesulitan, jangan sungkan untuk bertanya." "Iya, terima kasih kembali Mr Alex," jawabku sambil sedikit membungkukkan badan. Lalu, menatap punggung Mr Alex yang berjalan menjauh dariku. "Istrinya sedang pergi ke Tiongkok?" gumamku lirih, seolah sedang memikirkan rencana lain di otakku. Lalu, buru-buru aku menepis semua itu. "Ngga boleh nakal Kanaya." **** Beberapa Hari Kemudian. Libur Chinese New Year pun tiba. Sekolah kami libur, siswa sekolahku yang sebagian besar warga keturunan memilih untuk pulang dari asrama. Begitu pula dengan teman sekamarku yang berisi tiga orang, salah satunya pulang ke rumahnya untuk merayakan bersama keluarga. Sedangkan, Cecil sedang menginap di hotel bersama keluarganya, yang kebetulan sedang berlibur ke Singapura. Beberapa kali aku menghubungi Papa, dan Mama untuk mengunjungiku ke Singapura, tapi tampaknya mereka sedang sibuk. Papa Alan, tentu sana sibuk dengan bisnisnya. Sedangkan Mama Arumi, kini menjadi seorang influencer yang terkenal. Sejujurnya aku pun bangga tiap kali memperlihatkan Mama pada teman-temanku. Mereka yang tak tahu jika aku ini anak angkat, akan memuji kami berdua yang memiliki wajah rupawan. "Pantes aja kamu cantik banget, Naya. Mama kamu juga cantik banget." Aku pun hanya tersenyum mendengar pujian itu. Akan tetapi, siang ini, aku merasa begitu kesepian. Di dalam kamar sepi ini, aku sendiri. Tak sanggup larut dalam kesepian yang membelenggu, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Suasana hari ini begitu ramai, dan penuh pernak-pernik berwarna merah. Setelah lelah berjalan-jalan, aku memutuskan membeli makanan untuk makan malam. Aku sengaja ingin makan malam di asrama saja. Rasanya enggan makan di luar dalam suasana seramai ini. Ketika sedang asyik memilih makanan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang yang cukup kukenal. "Kanaya ...!" Rasanya seperti mimpi mendengar suara itu, tapi ketika aku mencubit tangan, ternyata sakit. "Kanaya ...!" Panggilan itu pun kembali terdengar, dan membuatku menoleh. "Oh Mr Alex ... selamat malam." "Selamat malam, kamu sendiri?" tanya Mr Alex kembali. Lalu kujawab dengan anggukan. "Teman sekamar saya sedang berlibur dengan keluarganya." Kening Mr Alex seketika berkerut. "Sendirian? Bagaimana kalau kau makan malam di tempatku saja?" Mendengar tawaran Mr Alex, ingin rasanya aku memekik girang. Namun, aku mencoba untuk jual mahal. "Tidak usah takut merepotkan." "Tidak apa-apa Kanaya, aku sudah membeli banyak makanan, sepertinya tidak habis kumakan sendiri. Ayo ikut!" Aku pun mengangguk, sembari berteriak girang di dalam hati. Kapan lagi bisa makan berdua dengan Mr Alex. Meskipun dia menganggapku sebagai muridnya, aku tak peduli. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya. Tak berapa lama, kami pun sampai di apartemennya. Apartemen itu cukup mewah. Aku bahkan tak menyangka jika Mr Alex tinggal di tempat semewah ini. "Selain menjadi guru, aku juga usaha jual beli properti." Mr Alex sepertinya paham dengan raut wajah kekagumanku. "Duduk sini, Kanaya!" perintah Mr Alex, memintaku agar duduk di meja makannya. Aku pun menuruti perintahnya. Kami kemudian duduk di meja makan, menyantap makanan yang tadi dibeli oleh Mr Alex. Makan malam ini, diiringi dengan obrolan santai, dan juga candaan. Aku tak menyangka jika ternyata Mr Alex cukup humoris. Aku sengaja memperlambat waktu makanku, agar bisa lebih lama berduaan dengan Mr Alex. Akan tetapi, ternyata hal tersebut membuat aku kekenyangan. Aku ternyata makan terlalu banyak yang membuat perutku sakit. "Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Mr Alex ketika melihatku memegang perut. Namun, aku tak menjawab. Rasanya sulit sekali untuk bersuara. "Kau kenapa, Kanaya?" "Perutku sakit Mr Alex, mungkin kekenyangan," jawabku sambil meringis. "Kalau begitu kita duduk di sofa dulu ya." Aku pun mengangguk. Lalu, Mr Alex menuntunku berjalan ke arah sofa. Jarak kami yang cukup dekat, membuat tubuh ini bergetar, disertai degup jantung yang kian kencang tak beraturan. Apalagi, wangi parfum masukin Mr Alex yang membuatku kian terintimidasi dalam pesonanya. "Gimana?" Mr Alex membantuku merebahkan tubuh di atas sofa bed yang ada di ruang tengah apartemennya. "Masih sakit." "Mau kuantar ke rumah sakit?" sahut Mr Alex, disertai raut wajah cemas. "Tidak usah, di sini saja. Sebentar lagi juga sembuh." "Tapi ...." "Tidak Mr, emh begini saja. Apa di sini ada minyak aromaterapi? Kalau boleh, aku minta minyak aromaterapi saja, agar perutku hangat." "Ada, sebentar ya." Mr Alex pun bangkit dari sofa, untuk mengambil minyak aromaterapi. Setelah itu, dia kembali duduk di sampingku. "Mr, bisa nggak gosokin di perut? Kalau lagi sakit, tanganku kram." Mr Alex sebenarnya cukup terkejut mendengar permintaanku, tapi dia tak kuasa menolak permintaanku. Apalagi setelah melihat wajahku yang cukup pucat. "Emh, baiklah. Aku akan menggosok perutmu," jawab Mr Alex dengan sedikit gugup. Aku pun menarik bajuku sedikit ke atas. Membuat perut putih mulus yang terlihat begitu menggoda terekspos begitu saja terpampang di depan Mr Alex. Detik itu juga, dapat kulihat jakunnya naik turun, seperti menahan sesuatu yang bergejolak. Aku tahu Mr Alex pasti gugup, dan ragu. Namun, perlahan Mr Alex tetap mengoleskan minyak aromaterapi yang ada di tangannya ke perutku. Dia pun mulai memijit perutku secara perlahan, hingga dua gunung kembarku mulai sedikit mengintip. Bagaimana juga Mr Alex adalah seorang lelaki dewasa. Aku yakin, melihatku pasti membuat hasratnya sebagai laki-laki mulai bergejolak. Apalagi, aku kini mulai mengeluarkan suara rintihan yang kian menggugah gairahnya. Mr Alex masih memijit perutku sembari mengalihkan pandangannya. Namun, akibat hal tersebut, tangan Mr Alex kini tanpa sengaja mengenai gunung kembar milikku. Aku yang tak menyangka jika hal itu akan terjadi tentunya reflek mengeluarkan desahannya yang kemungkinan membuat Mr Alex, seketika meremas benda kenyal milikku, dan entah kenapa aku menikmati itu. Bahkan, aku menginginkan hal lebih. Aku tahu aku salah, sudah menggoda seorang laki-laki beristri. Namun, setan di sampingku seolah terus berbisik agar terus melanjutkan kekhilafan yang kami lakukan. Akan tetapi, gejolak itu sepertinya tidak saja dirasakan olehku. Mr Alex juga sepertinya sudah tak bisa mengendalikan nafsunya. Perlahan dia pun mulai terpancing. Tangannya kirinya kian keras meremas benda kenyal milikku. Sedangkan tangan kanannya, membuka satu per satu kancing kemeja yang kukenakan. "Mr Alex ...."Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
Senja mulai merayap di langit ketika Kanaya melangkah keluar dari gedung kampusnya. Rambut panjangnya yang terurai, sedikit berantakan setelah seharian berkutat kegiatan ospek yang melelahkan."Kanaya ...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang memanggilnya.Kanaya, dan beberapa orang temannya pun menghentikan langkah."Naya, kami pulang dulu ya," pamit teman-teman Kanaya, saat seorang kakak angkatan sudah berdiri di depan mereka."Jangan, temani aku dulu!" pinta Kanaya, tapi mereka tampak terkekeh sembari melambaikan tangan, seolah sedang meledek dan tak bergeming dengan permintaan Kanaya."Naya, pulangnya aku antar ya.""Nggak usah aku udah dijemput Papa di depan. Aku pulang dulu ya, Kak Arga."Kanaya buru-buru berpamitan, tak peduli dengan Arga yang hendak mencegahnya. Namun, Kanaya sudah berlari ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang kampus.Mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu tampak sudah menunggu, sejak beberapa saat lalu. Kanaya menatap mobil itu s
"Jadi, Papa mikir kalo Kenan itu ...?"Belum sempat Kanaya menyelesaikan perkataannya, Alan sudah mengangguk."Pa, Papa nggak boleh ambil kesimpulan secepat itu. Mungkin saja, laki-laki itu berharap agar Papa, dan Mama berpisah. Jadi, dia sudah mempengaruhi Kenan, dengan mengatakan jika Kenan itu putranya."Alan terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Kanaya dengan akal sehatnya, dan memang benar. Apa yang dikatakan oleh Kanaya itu, memang cukup masuk akal."Kamu bener, Naya. Mungkin dia berkata seperti itu, untuk mendekati, sekaligus juga mempengaruhi Kenan."Kanaya pun mengangguk, meskipun di dalam hatinya kini mulai dipenuhi tanda tanya tentang jati diri Kenan. Namun, Kanaya tahu, Alan sangat menyayangi Kenan. Dia tak mau membuat hal tersebut mengganggu pikiran Alan. Apalagi, raut wajah sendu yang beberapa saat lalu tergambar di wajah Alan, kini perlahan mulai memudar. Berganti binar ceria di wajah."Pa, udah malem jangan terlalu banyak berpikir sesuatu hal yang nggak penting"
"Kenapa kamu diem, Mas? Ini bener kamu, 'kan?"Meskipun diselimuti kepanikan, takut jika Arumi tahu yang menjadi simpanannya adalah Kanaya. Namun, Alan tetap mendekat pada Arumi. "Ya, itu memang aku. Kau keberatan?""Aku istri kamu, Mas. Dan kamu berselingkuh di belakangku. Sekarang katakan siapa wanita itu? Siapa yang menjadi selingkuhanmu?"Mendengar perkataan Arumi, Alan pun cukup merasa lega. Itu artinya, dia tak tahu siapa wanita yang sedang berciuman dengannya."Kau pikir, aku bodoh, Arumi? Kau juga melakukan hal yang sama di belakangku, bukan? Kau sengaja mematikan CCTV di rumah ini, ketika aku sedang tidak berada di rumah untuk memasukkan laki-laki lain, 'kan?"Arumi seketika tergagap, dan hal tersebut tertangkap jelas oleh netra Alan, dan membuat laki-laki itu terkekeh."Ck, lihat dirimu sendiri? Kau yang sebenarnya memulai terlebih dulu, 'kan? Jadi, nggak usah berlagak sebagai korban, Arumi!""Jangan menuduhku sembarangan, Mas. Coba perlihatkan bukti kalau aku berselingkuh?"
[Ibu Arumi, kalau kau ingin tahu lebih jelasnya, siapa yang saat ini menjadi simpanan Pak Alan. Lebih baik, Anda secepatnya menyediakan uang 10 miliar seperti yang saya minta.]Sebuah chat dari Chyntia yang masuk ke ponsel Arumi pun seketika membuatnya kian memanas berselimut amarah."Dasar brengs*k! Chyntia memang kurang ajar! Di saat kaya gini dia malah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Awas kau Chyntia. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalasmu!"Boby menggelengkan kepala sembari berdecak kesal. "Daripada kerjaan lo kesel mulu sama Chyntia. Lebih baik persiapin diri lo buat pergi ke Puncak."Arumi hanya menghembuskan napas panjang. "Aku mau pulang ke rumah sekarang," sahut Arumi, sembari bangkit dari atas sofa. Lalu, keluar dari unit apartemen Boby."Dasar wanita seribu masalah. Doa lu ke orang tua kayaknya banyak deh, sampe hidup lo ribet mulu!" gerutu Boby.****Beberapa saat kemudian, Arumi sudah sampai di rumah, dan mendapati Alan belum pulang ke rumah tersebut, dan Ar
Chyntia tersenyum penuh kemenangan melihat video mesra Alan, dan Kanaya. Sebenarnya bukan untuk pertama kali mereka melakukan itu di ruang kerja Alan.Akan tetapi, saat pertama mereka melakukan hal tersebut di atas sofa, posisi kamara perekam itu tertutup sandaran tangan pada sofa sehingga tak terlihat dengan jelas."Mampus kau, Arumi. Kau tak hanya kehilangan suami. Tapi juga akan kehilangan banyak uang."Chyntia pun terkekeh. Lalu kembali fokus dengan pekerjaannya, seolah tak tahu apa yang terjadi antara Kanaya dengan Alan.****Sementara itu di dalam private room, Alan yang membopong tubuh Kanaya, kemudian merebahkan tubuh itu ke atas ranjang.Setelah itu, Alan memeluk dan meremas kuat payudara Kanaya yang membuat gadis itu tersentak, dan tubuhnya melengkung menerima serangan tiba-tiba dari Alan.Alan kemudian membalikkan tubuh Kanaya, lalu melumat bibir mungil yang seakan menjadi candu baginya. Tangan Alan tak tinggal diam, tangan itu kini bergerak lincah masuk ke bawah pakaian Ka
"Ada apa, Arumi?" pekik Boby ketika Arumi masuk ke dalam unit apartemennya dengan begitu tergesa-gesa, disertai gurat panik di wajah.Akan tetapi, Arumi tak lekas menjawab. Wanita itu tampak mendudukan tubuh di sofa, sembari mengelus perutnya yang masih rata, dan mulai terasa tidak nyaman. Mungkin, Arumi terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya sedikit berdampak pada kehamilannya."Kenapa? Perut lo sakit?" tanya Boby panik melihat gelagat Arumi."Nggak, cuma nggak enak aja.""Lo lagi hamil, lebih baik jaga kesehatan kandungan lo deh. Nggak usah kebanyakan mikir yang berat-berat. Sini gue pijitin kaki lo."Boby mengangkat kaki Arumi ke atas sofa. Lalu memijit kaki Arumi. Sikap Boby tersebut, sebenarnya sudah biasa Boby lakukan jika Arumi mengeluh kelelahan, dan belum sempat pergi ke spa. "Hidup lo dibikin rileks aja kenapa sih, Arumi? Sekali-kali lo diem, hidup nyaman di rumah. Emang lo mau bayi lo kenapa-kenapa kalo terus-terusan gini?"Arumi menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Bob
Arumi memelototkan mata pada Chyntia, yang saat ini tersenyum kecut padanya. Seolah mengisyaratkan jika dia bisa membalas balik apa yang dilakukan oleh Arumi."Kenapa Bu Arumi melihat saya seperti itu?"Arumi mengamati sekeliling, lalu menarik tangan Chyntia, menuju ke area tangga darurat yang sepi."Apa-apaan sih? Lepas!" protes Chyntia, sembari menghempaskan genggaman tangan Arumi di lengannya."Pelankan suaramu, Chyntia! Apa kau mau reputasi suamiku hancur akibat fitnah darimu itu? Asal kamu tahu, Mas Alan sangat setia padaku.Chyntia pun terkekeh. "Memang itu kenyataannya. Pak Alan, punya wanita simpanan di luar sana. Anda pikir saya tidak tahu jika rumah tangga Bu Arumi, dan Pak Alan saat ini juga sedang tidak baik-baik saja?""Bohong! Kamu jangan memfitnah, dan mengada-ada. Suamiku nggak punya simpanan, dan rumah tangga kami dalam keadaan baik-baik saja!" bentak Arumi balik, disertai tatapan yang kian tajam. Arumi memang sangat yakin jika Alan tak memiliki hubungan dengan wanit
Kanaya mencoba memejamkan mata. Namun, mata itu sepertinya enggan untuk mengatup rapat.Rasanya memang sangat sulit terlelap saat kepingan hatinya sedang berserakan. Sekuat apapun Kanaya berusaha terlelap, reaksi tubuhnya seakan menolak. Seluruh panca indranya pun terasa begitu peka.Ingatannya tak bisa lepas dari percakapannya dengan Arumi beberapa saat lalu. Dengan gamblang, Arumi mengatakan jika anak yang ada di dalam kandungannya, memang bukan anak dari Alan. Namun, anak dari lelaki yang Kanaya lihat di ponsel Kenan.Jujur saja, Kanaya lega, sekaligus menghargai kejujuran Arumi. Namun, di sisi lain, Kanaya juga cemas jika Arumi tahu hubungan yang sebenarnya antara dia, dan Alan, pasti Kanaya akan menjadi sosok yang paling dibenci oleh Arumi. Padahal, dalam lubuk hati terdalamnya, Kanaya juga sangat menyayangi Arumi.Kanaya juga merutuki dirinya sendiri yang tadi cukup terbawa suasana, dengan begitu lancang menanyakan ayah kandung dari bayi yang dikandung oleh Arumi, dan di luar du
"Papa yakin, anak yang ada di dalam kandungan Arumi itu bukan anak Papa. Tapi Papa belum punya bukti apapun, Naya," ujar Alan, ketika mereka sedang duduk di ruang kerja Alan, ketika Arumi menemani Kenan di kamar.Sedangkan Bu Sinta yang awalnya akan meluangkan waktu untuk quality time bersama Kanaya, terpaksa pulang ke rumah, karena tiba-tiba Ayah Alan pulang ke Indonesia.Kanaya yang mendengar penuturan Alan, hanya tersenyum simpul sembari menundukkan kepala. Tanpa Alan tahu, sebenarnya Kanaya menyimpan rahasia yang ingin Alan selidiki. Namun, Kanaya tak mau gegabah.Apalagi mengingat hubungannya dengan Alan. Kanaya tak mau membuka semua ini secara gegabah, bisa-bisa nantinya justru dia sendiri yang akan mendapat tuduhan yang tidak-tidak jika semua orang sudah tahu dia memiliki hubungan spesial dengan Alan.Kanaya juga yakin, pasti juga ada tuduhan jika dirinya lah pihak yang paling diuntungkan dalam masalah tersebut. Karena itulah, Kanaya perlu mencari waktu yang tepat untuk mengung