Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.
Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta. Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya. Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti. Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang hati memang sangat sulit dikendalikan. Begitu pula, rasa cinta ini. Cinta memang buta, dan sering kali tak berlogika. Cinta begitu egois, dan tak mampu memilih pada siapa akan berlabuh. "Bagaimana, sudah selesai?" Suara bariton itu menyentak lamunanku. "Oh sudah ini, Pak." Aku menyerahkan latihan soal yang Mr Alex berikan. Lelaki itu tampak menatap kertas itu sejenak, memeriksa hasil pekerjaanku. Lalu, setelah itu senyum manis pun tersungging di bibirnya. Senyum yang sangat manis hingga membuat hati ini terasa meleleh. "Bagus, perkembangan kamu cukup bagus, Kanaya. Semoga ujian semester ini nilaimu meningkat." "Terima kasih atas bimbingannya, Mr Alex." "Sama-sama, kalau begitu kau boleh pulang sekarang." Aku pun mengangguk, tapi entah mengapa rasanya masih enggan aku beranjak dari tempat ini. Aku pun mulai membuka percakapan kembali dengan Mr Alex yang sedang merapikan buku-buku ke dalam tasnya. "Sepertinya Mr Alex sedang terburu-buru. Apa Mr Alex akan mengambil tambahan libur untuk merayakan Chinese New Year ke Tiongkok?" Aku berani bertanya seperti itu, karena aku tahu, Mr Alex, sebenarnya adalah pendatang. Mr Alex menggelengkan kepala. "Tidak, aku sedang banyak pekerjaan. Jadi, aku tetap di sini, tapi istriku akan pulang ke kampung halaman kami selama satu pekan." Bibirku pun membulat sembari menganggukkan kepala. "Ini sudah sore, ayo cepat pulang." Aku kembali mengangguk, lalu mengikuti Mr Alex keluar dari ruang kelas kami, tempat biasanya aku mendapatkan tambahan jam pelajaran. "Mr Alex, hati-hati." "Terima kasih, Kanaya. Jangan lupa belajar. Kalau kau kesulitan, jangan sungkan untuk bertanya." "Iya, terima kasih kembali Mr Alex," jawabku sambil sedikit membungkukkan badan. Lalu, menatap punggung Mr Alex yang berjalan menjauh dariku. "Istrinya sedang pergi ke Tiongkok?" gumamku lirih, seolah sedang memikirkan rencana lain di otakku. Lalu, buru-buru aku menepis semua itu. "Ngga boleh nakal Kanaya." **** Beberapa Hari Kemudian. Libur Chinese New Year pun tiba. Sekolah kami libur, siswa sekolahku yang sebagian besar warga keturunan memilih untuk pulang dari asrama. Begitu pula dengan teman sekamarku yang berisi tiga orang, salah satunya pulang ke rumahnya untuk merayakan bersama keluarga. Sedangkan, Cecil sedang menginap di hotel bersama keluarganya, yang kebetulan sedang berlibur ke Singapura. Beberapa kali aku menghubungi Papa, dan Mama untuk mengunjungiku ke Singapura, tapi tampaknya mereka sedang sibuk. Papa Alan, tentu sana sibuk dengan bisnisnya. Sedangkan Mama Arumi, kini menjadi seorang influencer yang terkenal. Sejujurnya aku pun bangga tiap kali memperlihatkan Mama pada teman-temanku. Mereka yang tak tahu jika aku ini anak angkat, akan memuji kami berdua yang memiliki wajah rupawan. "Pantes aja kamu cantik banget, Naya. Mama kamu juga cantik banget." Aku pun hanya tersenyum mendengar pujian itu. Akan tetapi, siang ini, aku merasa begitu kesepian. Di dalam kamar sepi ini, aku sendiri. Tak sanggup larut dalam kesepian yang membelenggu, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Suasana hari ini begitu ramai, dan penuh pernak-pernik berwarna merah. Setelah lelah berjalan-jalan, aku memutuskan membeli makanan untuk makan malam. Aku sengaja ingin makan malam di asrama saja. Rasanya enggan makan di luar dalam suasana seramai ini. Ketika sedang asyik memilih makanan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang yang cukup kukenal. "Kanaya ...!" Rasanya seperti mimpi mendengar suara itu, tapi ketika aku mencubit tangan, ternyata sakit. "Kanaya ...!" Panggilan itu pun kembali terdengar, dan membuatku menoleh. "Oh Mr Alex ... selamat malam." "Selamat malam, kamu sendiri?" tanya Mr Alex kembali. Lalu kujawab dengan anggukan. "Teman sekamar saya sedang berlibur dengan keluarganya." Kening Mr Alex seketika berkerut. "Sendirian? Bagaimana kalau kau makan malam di tempatku saja?" Mendengar tawaran Mr Alex, ingin rasanya aku memekik girang. Namun, aku mencoba untuk jual mahal. "Tidak usah takut merepotkan." "Tidak apa-apa Kanaya, aku sudah membeli banyak makanan, sepertinya tidak habis kumakan sendiri. Ayo ikut!" Aku pun mengangguk, sembari berteriak girang di dalam hati. Kapan lagi bisa makan berdua dengan Mr Alex. Meskipun dia menganggapku sebagai muridnya, aku tak peduli. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya. Tak berapa lama, kami pun sampai di apartemennya. Apartemen itu cukup mewah. Aku bahkan tak menyangka jika Mr Alex tinggal di tempat semewah ini. "Selain menjadi guru, aku juga usaha jual beli properti." Mr Alex sepertinya paham dengan raut wajah kekagumanku. "Duduk sini, Kanaya!" perintah Mr Alex, memintaku agar duduk di meja makannya. Aku pun menuruti perintahnya. Kami kemudian duduk di meja makan, menyantap makanan yang tadi dibeli oleh Mr Alex. Makan malam ini, diiringi dengan obrolan santai, dan juga candaan. Aku tak menyangka jika ternyata Mr Alex cukup humoris. Aku sengaja memperlambat waktu makanku, agar bisa lebih lama berduaan dengan Mr Alex. Akan tetapi, ternyata hal tersebut membuat aku kekenyangan. Aku ternyata makan terlalu banyak yang membuat perutku sakit. "Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Mr Alex ketika melihatku memegang perut. Namun, aku tak menjawab. Rasanya sulit sekali untuk bersuara. "Kau kenapa, Kanaya?" "Perutku sakit Mr Alex, mungkin kekenyangan," jawabku sambil meringis. "Kalau begitu kita duduk di sofa dulu ya." Aku pun mengangguk. Lalu, Mr Alex menuntunku berjalan ke arah sofa. Jarak kami yang cukup dekat, membuat tubuh ini bergetar, disertai degup jantung yang kian kencang tak beraturan. Apalagi, wangi parfum masukin Mr Alex yang membuatku kian terintimidasi dalam pesonanya. "Gimana?" Mr Alex membantuku merebahkan tubuh di atas sofa bed yang ada di ruang tengah apartemennya. "Masih sakit." "Mau kuantar ke rumah sakit?" sahut Mr Alex, disertai raut wajah cemas. "Tidak usah, di sini saja. Sebentar lagi juga sembuh." "Tapi ...." "Tidak Mr, emh begini saja. Apa di sini ada minyak aromaterapi? Kalau boleh, aku minta minyak aromaterapi saja, agar perutku hangat." "Ada, sebentar ya." Mr Alex pun bangkit dari sofa, untuk mengambil minyak aromaterapi. Setelah itu, dia kembali duduk di sampingku. "Mr, bisa nggak gosokin di perut? Kalau lagi sakit, tanganku kram." Mr Alex sebenarnya cukup terkejut mendengar permintaanku, tapi dia tak kuasa menolak permintaanku. Apalagi setelah melihat wajahku yang cukup pucat. "Emh, baiklah. Aku akan menggosok perutmu," jawab Mr Alex dengan sedikit gugup. Aku pun menarik bajuku sedikit ke atas. Membuat perut putih mulus yang terlihat begitu menggoda terekspos begitu saja terpampang di depan Mr Alex. Detik itu juga, dapat kulihat jakunnya naik turun, seperti menahan sesuatu yang bergejolak. Aku tahu Mr Alex pasti gugup, dan ragu. Namun, perlahan Mr Alex tetap mengoleskan minyak aromaterapi yang ada di tangannya ke perutku. Dia pun mulai memijit perutku secara perlahan, hingga dua gunung kembarku mulai sedikit mengintip. Bagaimana juga Mr Alex adalah seorang lelaki dewasa. Aku yakin, melihatku pasti membuat hasratnya sebagai laki-laki mulai bergejolak. Apalagi, aku kini mulai mengeluarkan suara rintihan yang kian menggugah gairahnya. Mr Alex masih memijit perutku sembari mengalihkan pandangannya. Namun, akibat hal tersebut, tangan Mr Alex kini tanpa sengaja mengenai gunung kembar milikku. Aku yang tak menyangka jika hal itu akan terjadi tentunya reflek mengeluarkan desahannya yang kemungkinan membuat Mr Alex, seketika meremas benda kenyal milikku, dan entah kenapa aku menikmati itu. Bahkan, aku menginginkan hal lebih. Aku tahu aku salah, sudah menggoda seorang laki-laki beristri. Namun, setan di sampingku seolah terus berbisik agar terus melanjutkan kekhilafan yang kami lakukan. Akan tetapi, gejolak itu sepertinya tidak saja dirasakan olehku. Mr Alex juga sepertinya sudah tak bisa mengendalikan nafsunya. Perlahan dia pun mulai terpancing. Tangannya kirinya kian keras meremas benda kenyal milikku. Sedangkan tangan kanannya, membuka satu per satu kancing kemeja yang kukenakan. "Mr Alex ...."Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
"Kanaya ...."Bisikan yang mengudara lirih di telingaku, seketika membuat bulu kudukku meremang. Terpaan napas hangat, di kulitku seakan ikut menjalar menyentuh kalbu. Aku yang sudah terlelap, sontak membuka mata."Kanaya ...." Baru saja mata ini terbuka, netraku menangkap sosok laki-laki dewasa yang kini duduk di tepi ranjang tempat tidurku."Papa ...?" gumamku lirih, sembari mengernyitkan kening. Tak mengerti mengapa Papa tiba-tiba ada di kamar ini. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan Papa, aku pun tak dapat menerka.Padahal, tadi ketika di kantor aku begitu kesal padanya. Hingga berbagai pikiran buruk pun bersarang di dalam benakku. Bahkan, aku pergi dengan acuh, dan pamit sekedarnya, saat Chyntia menawarkan minuman.Aku tak peduli pada Papa, dan sekretaris centilnya itu. Aku memang marah. Ya, aku benar-benar marah, dan juga ... cemburu.'Apa Papa mau minta maaf padaku?' batinku dalam hati. "Pa ...." Aku kembali menyebut namanya. Namun, dia hanya diam, sembari menyunggingkan sen
Di sisi lain ....Chyntia tampak mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia terlihat begitu resah. Usahanya untuk memata-matai Arumi belakangan ini, memang berhasil, dan sekarang dia sudah mendapat banyak bukti-bukti tentang kedekatan Arumi dengan Leo. Sebenarnya Chyntia berniat untuk memeras Arumi terlebih dulu. Namun, Arumi justru mengabaikannya. Bahkan mengancam melaporkan pencemaran nama baik.Saat ini, Arumi benar-benar merasa jumawa karena mendapat perlindungan dari Leo. Akhirnya Chyntia pun mengubah rencananya, dan berniat memberi tahu Alan tentang kebusukan istrinya.Akan tetapi, akhir-akhir ini, Alan sangat jarang masuk ke kantor. Kalaupun dia datang, hanya jika ada meeting atau pertemuan penting. Sedangkan, untuk laporan, atau hal lainnya dia biasanya meminta anak buahnya untuk mengirim via email.Email Alan yang digunakan pun bersifat publik. Sedangkan email pribadi Alan, Chyntia tak mengetahuinya. Yang membuat Chyntia geram adalah, Alan tak mau diganggu urusan pekerjaan,
Beberapa Hari Kemudian ....Alan menatap nanar pada ruang operasi yang ada di depan matanya. Sudah hampir 8 jam Kanaya menjalani operasi transplantasi hati. Namun belum ada tanda-tanda operasi tersebut akan berakhir.Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata hati Kanaya cocok. Hal tersebut, tentunya membuat Oma Dahlia, merasa lega, tapi tidak dengan Alan.Sebelum operasi itu dilakukan, dia bahkan sudah mencarikan pembantu pribadi untuk Kanaya. Awalnya, Kanaya menolak, karena hal tersebut terlihat berlebihan. Namun, karena Alan terus memaksa, akhirnya Kanaya pun mengikuti perkataan Ayah angkat itu. Saat ini, pembantu pribadi Kanaya sedang Alan perintahkan untuk menjaga Kenan. Setelah Kanaya sadar, baru Alan memintanya untuk menemani Kanaya di rumah sakit. "Sabar Alan, yang tenang. Mama yakin, kalau Kanaya pasti akan baik-baik saja."Oma Dahlia yang awalnya sedang duduk di dekat ruang operasi, kini beranjak dari tempat duduknya. Lalu mendekat pada Alan, dan menepuk bahu laki-laki itu de
Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Chyntia tatkala melihat beberapa foto yang dikirim salah seorang temannya ke ponsel yang saat ini dia genggam. Pagi ini, ketika baru saja bagun, Chyntia i bergegas mengecek ponselnya. Dia ingin mengetahui apakah ada perkembangan yang dilaporkan temannya, dan benar saja, saat dia membuka pesan yang masuk, temannya sudah mengirimkan beberapa foto, dan video.Pada salah satu foto tersebut, tampak Arumi yang saat itu terlihat terpukul, ketika sedang bermasalah dengan Rain. Sedangkan, salah satu lagi berupa video, tatkala Arumi baru saja keluar dari kamar Leo.Weekend pagi ini, Chyntia masih merebahkan tubuh malas-malasan di atas ranjang, dan berita indah ini sungguh membuat awal harinya terasa begitu menyenangkan. Meskipun, saat weekend, terasa ada yang kurang, yaitu dia tak bisa bertemu dengan Alan."Ternyata, kamu itu munafik, Arumi. Aku sudah menduga wanita sepertimu pasti hanya memanfaatkan semua laki-laki untuk kenyamananmu semata!"Chyntia t
"Beri jarak, jangan terlalu dekat. Di sini, banyak kru dan karyawan. Aku nggak mau mereka curiga. Kamu masuk dulu, biar aku mengalihkan perhatian mereka saat kamu masuk ke kamarku!" terang Leo, sebelum mereka turun dari mobil.Sebagai seorang laki-laki dewasa, tentunya dia mengerti apa maksud Arumi. Leo yang biasanya setia, kini akhirnya terpikat pada Arumi, yang sejak kemarin terus menggodanya.Arumi pun menganggukkan kepala. Setelah turun dari mobil, Arumi berjalan dengan begitu tergesa-gesa, menuju ke kamar Leo. Sedangkan Boby yang sudah tahu apa yang akan dilakukan Arumi, tampak berjalan dengan tenang menuju ke kamar Arumi, sembari mengalihkan atensi yang lain agar tidak melihat Arumi ketika masuk ke dalam kamar Leo.Entah mengapa, malam ini, Leo terlihat begitu menarik bagi Arumi. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi disertai otot-otot kekarnya yang baru dia ketahui saat tadi siang masuk ke kamar lelaki itu, tampak sangat menarik perhatian Arumi.Sebenarnya suaminya jauh lebih ta
Alan begitu terkejut mendengar pertanyaan Oma Dahlia kali ini. Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, seakan menghujam jantungnya. Alan pun tak tahu, apa yang mendasari mertuanya, sampai menanyakan hal tersebut padanya. Apakah dia takut jika Alan akan meninggalkan Arumi? Atau, dia sudah memiliki firasat buruk jika dia memiliki wanita simpanan yang merupakan anak angkatnya sendiri.Alan menghela napas kaaar. Rasanya, sungguh ingin pergi menjauh, menghindar dari pertanyaan tersebut. Namun, tak mungkin. "Alan, jujur saja. Kamu tidak perlu ragu, Nak."Ketika Alan hendak membuka suaranya, tiba-tiba suara Kanaya pun terdengar."Oma, Papa. Opa sudah bisa dibawa ke ruang perawatan."Alan, dan Oma Dahlia pun tersentak, lalu menoleh pada gadis itu yang kini sudah berdiri tak jauh dari mereka."Oh sudah siap ya ruang perawatannya?" sahut Oma Dahlia canggung, tentunya dia tak ingin Kanaya mendengar percakapannya dengan Alan."Sudah Oma, ayo kita ke sana.""Tunggu Kanaya." Al
Alan pun reflek mendekat pada Kanaya. "Kanaya, jangan main-main kamu!""Siapa yang lagi main-main sih, Pa? Papa pikir, nyawa Opa itu permainan?"Kanaya kembali menoleh pada dokter yang berdiri di sampingnya. "Dokter, bisa nggak kita lakukan pemeriksaan sekarang?""Mari ikut saya!"Kanaya pun mengikuti dokter tersebut. Sedangkan Alan, dan Oma Dahlia, hanya bisa menatap pasrah gadis itu. Mencegah juga rasanya percuma, Kanaya pasti akan bersikeras melakukan semua itu.Alan pun mengusap wajahnya dengan kasar, lalu duduk di depan ruang emergency tersebut di samping Oma Dahlia. Ada kecemasan yang begitu mendalam yang dirasakan Alan. Kanaya masih muda, dan Alan tak ingin sesuatu terjadi pada gadis yang dia cintai itu."Kalaupun dia sampai livernya cocok, Mama yakin, dia pasti akan baik-baik saja. Kita akan merawat Kanaya sebaik mungkin.""Aku tahu, Ma. Resikonya memang tak seperti donor organ yang lain. Namun, tetap saja, aku merasa cemas.""Mama bisa ngerti gimana perasaan kamu sebagai oran
"Papa apa-apaan sih, kok malah ikutan ke kamar mandi!" protes Kanaya, sembari mengerucutkan bibir, tatkala Alan justru berjalan di belakangnya."Ya udah kalo gitu kita mandi bareng!""Apa?" sahut Kanaya, disertai mata yang membelalak lebar."Iya mandi bareng, Sayang. Kaya waktu di hotel, kamu mau 'kan?"Mau tak mau, Kanaya menyetujui permintaan Alan. Jika dia menolak pun Kanaya yakin Alan akan memaksa. Kanaya kemudian menganggukkan kepalan, disertai rona wajah yang memerah. Mereka baru saja menyelesaikan sesi bercintanya beberapa menit yang lalu, dan Alan meminta hal itu kembali.Tanpa aba-aba, Alan mengangkat tubuh Kanaya, lalu mereka masuk ke dalam kamar mandi. Dia kemudian menyalakan shower agar sensasinya terasa lebih nikmat.Kini, desahan dan erangan itu kembali terdengar secara bersamaan, seolah saling berlomba dengan suara gemercik air shower kamar mandi yang mendominasi ruangan berdinding marmer itu.Hentakan demi hentakan dari Alan, membuat Kanaya berulang kali berteriak. Era
"Kanaya, tolong katakan pada Oma. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecar Oma Dahlia, disertai wajah yang memerah.Jujur saja, dia takut. Jika Kenan membenci Arumi, seperti yang sudah lama dia khawatirkan."Oma nggak ada apa-apa, Kenan cuma lagi kesel, Mama sering ninggalin dia. Oma percaya ya, sama Kanaya."Kenan hendak protes mendengar penjelasan Kanaya pada Oma Dahlia. Namun, saat Kenan hendak membuka suaranya, tiba-tiba ponsel Oma Dahlia berbunyi.Wanita paruh baya itu pun berjalan menjauh dari kedua cucunya, untuk mengangkat panggilan itu terlebih dulu.Sedangkan Kanaya, tampak menoleh pada Kenan sembari menatap mata bocah kecil itu lekat."Kenan, tolong jangan bilang kayak gitu dulu sama Oma. Kamu tahu 'kan, Opa lagi sakit. Apa Kenan mau kondisi Opa memburuk kalau sampai tahu hal ini?"Kenan menggelengkan kepalanya, lalu Kanaya mengusap rambut bagian atasnya."Nah itu namanya anak pintar. Kalau begitu, kita harus jaga rahasia ini dulu ya. Kita tunggu waktu yang tepat buat kasih tahu
"Tante Chyntia kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?" tanya Kanaya ketika baru keluar dari ruang kerja Alan.Mendengar suara Kanaya, Chyntia pun mengangkat wajah. Lalu, tersenyum dan pura-pura bersikap ramah pada Kanaya."Ini, habis liat film lucu."Bibir Kanaya pun membulat. "Oh, ya udah mulai kerja lagi ya, waktu istirahat udah abis, 'kan? Jangan ketawa-ketawa mulu, ntar jadi kuntilanak loh.""Iya Non Kanaya," jawab Chyntia, sembari tersenyum, dan menatap Kanaya yang berlalu dari hadapannya. Setelah Kanaya berjalan cukup jauh, Chyntia mengumpat kesal padanya."Sok bossy banget sih!"Kanaya sedikit melirik, dan melihat Chyntia bibirnya tampak sedang komat-kamit. Kanaya tahu, Chyntia pasti kesal padanya."Ck, dasar wanita gatel!" gumam Kanaya, sembari terus berjalan, menuju ke basement parkir.Setengah jam kemudian, Kanaya pun sudah sampai di rumah, dan mendapati Oma Dahlia saat ini tengah bermain bersama Kenan di ruang tengah."Kak Naya habis dari mana?" pekik Kenan, sembari berlari, d