Share

Bab 2

Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.

Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku.

Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka.

Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga.

Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku.

Keluarga hangat itu, seperti tidak menganggapku sebagai orang luar, tapi sudah menjadi bagian keluarga itu sendiri.

Kanaya yang dulu sering kali menahan lapar, kini tak lagi mengenal apa itu kelaparan. Kanaya yang dulu hanya memakai pakaian bekas yang diberikan tetangga, kini bisa memiliki pakaian model apapun hanya dengan sekali tunjuk saja.

Skenario kehidupan, memang tak ada yang bisa menerka. Kapan manusia berada di atas, dan di bawah, tak dapat diduga, juga disangka-sangka.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku berusia dua belas tahun, Mama Arumi dan Papa Alan akhirnya dikaruniahi seorang anak laki-laki. Ya, tentu saja putra kandung orang tua angkatku sangat tampan, kedua orang tuanya saja bisa dibilang bibit unggul.

"Papa, Mama, ini adiknya Kanaya?" tanyaku ketika bayi mungil pertama kali dibawa ke rumah kami.

Alan dan Arumi pun mengangguk. "Iya Kanaya, namanya Kenan." Ya, Kenan. Nama adikku adalah Kenan. Nama yang bagus bukan, sama seperti sosoknya.

Akan tetapi, meskipun mereka sudah dikaruniahi anak kandung. Namun, tak membuat kasih sayang mereka berubah padaku. Mereka selalu memberikan yang terbaik, termasuk dalam hal pendidikan.

Selepas aku menamatkan pendidikan menengah pertama, orang tua angkatku menyekolahkanku di Singapura. Mereka tahu, aku memiliki kemampuan akademik yang cukup bagus, dan tidak mau menyia-nyiakan kemampuan yang kumiliki.

Aku yang terbiasa hidup dengan mereka, awalnya menolak. Namun, pada akhirnya aku pun menuruti perintah mereka, setelah beberapa kali memikirkan lebih lanjut. Rasa penasaranku yang besar, juga menjadi salah satu dasar menuruti perintah mereka.

***

Waktu berlalu begitu cepat, tahun demi tahun berlalu. Tak terasa, aku sudah satu tahun di sini.

Sebenarnya, bukan perkara yang mudah hidup berjauhan dengan Papa, dan Mama, yang selalu memanjakanku. Belum lagi, ketidaknyamanan lain yang kurasakan.

Kini aku tumbuh menjadi gadis muda yang cantik, dan menarik. Wajahku yang cantik, dan ditunjang dengan fisik yang aduhai, ternyata membuat banyak lawan jenis tertarik padaku. Ketika aku berjalan saja, iringan langkah ini, tak pernah bisa lepas dari tatapan serta godaan yang mereka tunjukan padaku.

Jujur saja, aku merasa tidak nyaman. Meskipun aku tahu di antara mereka, ada yang tulus menyukaiku. Namun, entah mengapa aku tidak pernah tertarik.

Aku memang memiliki passion yang berbeda dalam menilai lawan jenis. Aku tak tahu mengapa, aku jauh lebih menyukai laki-laki yang berusia matang, dibandingkan yang sepantaran denganku.

Beberapa kali, aku pernah mencoba menjalani hubungan dengan salah seorang siswa di sekolah tersebut. Namun, tetap saja hati tidak bisa dibohongi. Aku tidak pernah tertarik pada mereka, dan hubungan yang terjalin, hanya dihitung dalam hitungan hari, atau minggu.

"Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Mama sama Papa nggak bolehin aku pacaran dulu." Itulah alasan yang terlontar dari bibirku, ketika aku memutuskan hubungan dengan mereka.

"Tapi kita bisa backstreet, 'kan?" Jika ada yang menjawab seperti itu, aku hanya tinggal menjawab, "Papaku punya mata-mata di sini. Kalau sampai dia tahu, aku nggak jamin kamu bisa selamat dari ancaman Papa."

Biasanya setelah aku mengatakan itu, laki-laki yang menjadi kekasihku akan mundur teratur, dan setidaknya selama ini sudah ada lima orang laki-laki yang pernah menjadi kekasihku, dan tentunya hubungan itu hanya berjalan dalam hitungan hari saja. Meskipun sudah mencoba, tapi aku tetap saja tidak nyaman, dan rasanya sangat sulit membuka hati ini.

Semenjak putus dengan pacar terakhirku, jarang ada lelaki yang mau mendekatiku lagi dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya melontarkan candaan, sembari mengagumi kecantikanku, tanpa ada yang berani mendekat, karena tidak mau berhadapan dengan keluargaku yang sebenarnya hanya menjadi alasan semata untuk memutuskan mereka.

Bohong jika aku tidak pernah menyukai laki-laki selama berada di Singapore Bagaimanapun juga, aku adalah gadis normal yang memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Apalagi, memasuki usia remaja yang sedang masa puber. Ya, meskipun lawan jenis itu, laki-laki dewasa yang memiliki jarak usia jauh denganku.

Sebut saja namanya Alex, laki-laki keturunan Tiongkok berusia 38 tahun yang mengajar mata pelajaran Fisika di kelasku, sungguh sangat menarik hatiku.

Jika boleh jujur, bisa dibilang aku jatuh cinta padanya. Namun, aku harus sadar jika dia sudah memiliki seorang istri. Rasanya, tidak pantas aku mencintai seorang lelaki beristri.

Jika aku berada di dekatnya, jantung ini berdetak begitu kencang, dan selalu membuatku gugup. Mungkin, karena itulah, nilai fisikaku tidak memuaskan.

Bukannya aku tak memahami apa yang Mr Alex terangkan, tapi jika berada di dekatnya, aku salah tingkah, hingga membuat otakku sangat sulit berkonsentrasi, dan juga berpikir jernih.

Karena hal itulah, suatu hari saat jam pelajaran Fisika, Mr Alex tiba-tiba mendekat padaku. Melihat laki-laki yang kusukai tiba-tiba berdiri di depanku, aku pun begitu gugup.

"Kau Kanaya?" Suara bariton itu, terdengar begitu menggetarkan kalbu. Aku gugup, hingga membuat lidah ini terasa begitu kelu, dan bibir ini pun seketika terkunci.

"Kanaya?" Aku mengangguk, sembari menundukkan kepala.

"Nanti setelah jam pelajaran ini selesai, kamu ke ruangan saya."

DEG

Jantung ini seakan melompat entah ke mana. "A-apa?" Reflek, aku pun menyahut.

"Nilai fisikamu paling rendah di antara teman-temanmu. Padahal, kau selalu mendapatkan nilai yang tinggi di mata pelajaran lain. Aku perlu bicara empat mata denganmu. Sepertinya, kamu ada masalah, dan membutuhkan bantuan dalam mata pelajaran ini."

Aku hanya bisa tersenyum getir, sembari menganggukkan kepala, dan bergumam dalam hati, 'Ya, aku memang ada masalah tapi bukan dengan pelajaran itu, tapi dengan Anda, Pak. Aku pun yakin kalau kau tidak bisa membantuku, karena sejujurnya masalah yang kuhadapi, adalah masalah hati.

Setelah mengatakan itu, Mr Alex kembali mengajar, dan tentunya aku kian sulit berkonsentrasi. Otakku bahkan sudah berpikir terlalu jauh tentang bagaimana cara aku berhadapan dengan Mr Alex, setelah jam pelajaran ini berakhir.

Detik demi detik yang kulalui terasa begitu lama. Meskipun, aku tahu yang dibicarakan dengan Mr Alex hubungannya dengan mata pelajaran. Namun, aku tak peduli. Berada dekat dengannya, sudah membuatku merasa bahagia.

Beberapa saat kemudian, jam pelajaran berakhir. Perasaanku begitu campur aduk ketika melihat Mr Alex meninggalkan ruang kelas, dan tak lama setelah itu, aku pun berjalan di belakangnya.

"Kamu mau aku tungguin?" tanya Cecil, sahabatku.

"Nggak usah, kamu pulang aja ke asrama."

"Yakin?" Aku hanya mengangguk sembari mempercepat langkah, dan meninggalkan Cecil begitu saja.

"Masuk ...!" Suara berat itu kembali terdengar setelah aku mengetuk pintu ruangan Mr Alex.

Perlahan, aku pun membuka pintu tersebut, dan di dalam ruangan itu, Mr Alex tampak sedang berdiri, sembari memeriksa beberapa ulangan siswa.

"Duduk Kanaya!" perintahnya tanpa menoleh sama sekali, aku pun akhirnya duduk, sembari sesekali melirik Mr Alex.

"Jadi bagaimana, ada masalah dengan pelajaran fisika?"

"Emh ... emh, saya ...."

"Pelajaran fisika itu sulit?" sahut Mr Alex, lalu dijawab anggukkan kepala olehku. Daripada aku bingung harus menjawab apa, lebih baik kuiyakan saja dugaannya.

"Baiklah kalau begitu, mulai minggu depan kamu les private sama saya."

"A-apa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status