Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan.
Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku. Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka. Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga. Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku. Keluarga hangat itu, seperti tidak menganggapku sebagai orang luar, tapi sudah menjadi bagian keluarga itu sendiri. Kanaya yang dulu sering kali menahan lapar, kini tak lagi mengenal apa itu kelaparan. Kanaya yang dulu hanya memakai pakaian bekas yang diberikan tetangga, kini bisa memiliki pakaian model apapun hanya dengan sekali tunjuk saja. Skenario kehidupan, memang tak ada yang bisa menerka. Kapan manusia berada di atas, dan di bawah, tak dapat diduga, juga disangka-sangka. Beberapa tahun kemudian, ketika aku berusia dua belas tahun, Mama Arumi dan Papa Alan akhirnya dikaruniahi seorang anak laki-laki. Ya, tentu saja putra kandung orang tua angkatku sangat tampan, kedua orang tuanya saja bisa dibilang bibit unggul. "Papa, Mama, ini adiknya Kanaya?" tanyaku ketika bayi mungil pertama kali dibawa ke rumah kami. Papa Alan dan Mama Arumi pun mengangguk. "Iya Kanaya, namanya Kenan." Ya, Kenan. Nama adikku adalah Kenan. Nama yang bagus bukan, sama seperti sosoknya. Akan tetapi, meskipun mereka sudah dikaruniahi anak kandung, tak membuat kasih sayang mereka berubah padaku. Mereka selalu memberikan yang terbaik, termasuk dalam hal pendidikan. Selepas aku menamatkan pendidikan menengah pertama, orang tua angkatku menyekolahkanku di Singapura. Mereka tahu, aku memiliki kemampuan akademik yang cukup bagus, dan tidak mau menyia-nyiakan kemampuan yang kumiliki. Aku yang terbiasa hidup dengan mereka, awalnya menolak. Namun, pada akhirnya aku pun menuruti perintah mereka, setelah beberapa kali memikirkan lebih lanjut. Rasa penasaranku yang besar, juga menjadi salah satu dasar menuruti perintah mereka. *** Waktu berlalu begitu cepat, tahun demi tahun berlalu. Tak terasa, aku sudah satu tahun di sini. Sebenarnya, bukan perkara yang mudah hidup berjauhan dengan Papa, dan Mama, yang selalu memanjakanku. Belum lagi, ketidaknyamanan lain yang kurasakan. Kini aku tumbuh menjadi gadis muda yang cantik, dan menarik. Wajahku yang cantik, dan ditunjang dengan fisik yang aduhai, ternyata membuat banyak lawan jenis tertarik padaku. Ketika aku berjalan saja, iringan langkah ini, tak pernah bisa lepas dari tatapan serta godaan yang mereka tunjukan padaku. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman. Meskipun aku tahu di antara mereka, ada yang tulus menyukaiku. Namun, entah mengapa aku tidak pernah tertarik. Aku memang memiliki passion yang berbeda dalam menilai lawan jenis. Tak tahu mengapa, aku jauh lebih menyukai laki-laki yang berusia matang, dibandingkan yang sepantaran denganku. Beberapa kali, aku pernah mencoba menjalani hubungan dengan salah seorang siswa di sekolah tersebut. Namun, tetap saja hati tidak bisa dibohongi. Aku tidak pernah tertarik pada mereka, dan hubungan yang terjalin, hanya dihitung dalam hitungan hari, atau minggu. "Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Mama sama Papa nggak bolehin aku pacaran dulu." Itulah alasan yang terlontar dari bibirku, ketika aku memutuskan hubungan dengan mereka. "Tapi kita bisa backstreet, 'kan?" Jika ada yang menjawab seperti itu, aku hanya tinggal menjawab, "Papaku punya mata-mata di sini. Kalau sampai dia tahu, aku nggak jamin kamu bisa selamat dari ancaman Papa." Biasanya setelah aku mengatakan itu, laki-laki yang menjadi kekasihku akan mundur teratur, dan setidaknya selama ini sudah ada lima orang laki-laki yang pernah menjadi kekasihku, dan tentunya hubungan itu hanya berjalan dalam hitungan hari saja. Meskipun sudah mencoba, tapi aku tetap saja tidak nyaman, dan rasanya sangat sulit membuka hati ini. Semenjak putus dengan pacar terakhirku, jarang ada lelaki yang mau mendekatiku lagi dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya melontarkan candaan, sembari mengagumi kecantikanku, tanpa ada yang berani mendekat, karena tidak mau berhadapan dengan keluargaku yang sebenarnya hanya menjadi alasan semata untuk memutuskan mereka. Bohong jika aku tidak pernah menyukai laki-laki selama berada di Singapore. Bagaimanapun juga, aku adalah gadis normal yang memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Apalagi, memasuki usia remaja yang sedang masa puber. Ya, meskipun lawan jenis itu, laki-laki dewasa yang memiliki jarak usia jauh denganku. Sebut saja namanya Alex, laki-laki keturunan Tiongkok berusia 38 tahun yang mengajar mata pelajaran Fisika di kelasku, sungguh sangat menarik hatiku. Jika boleh jujur, bisa dibilang aku jatuh cinta padanya. Namun, aku harus sadar jika dia sudah memiliki seorang istri. Rasanya, tidak pantas aku mencintai seorang lelaki beristri. Jika aku berada di dekatnya, jantung ini berdetak begitu kencang, dan selalu membuatku gugup. Mungkin, karena itulah, nilai fisikaku tidak memuaskan. Bukannya aku tak memahami apa yang Mr Alex terangkan, tapi jika berada di dekatnya, aku salah tingkah, hingga membuat otakku sangat sulit berkonsentrasi, dan juga berpikir jernih. Karena hal itulah, suatu hari saat jam pelajaran Fisika, Mr Alex tiba-tiba mendekat padaku. Melihat laki-laki yang kusukai tiba-tiba berdiri di depanku, aku pun begitu gugup. "Kau Kanaya?" Suara bariton itu, terdengar begitu menggetarkan kalbu. Aku gugup, hingga membuat lidah ini terasa begitu kelu, dan bibir ini pun seketika terkunci. "Kanaya?" Aku mengangguk, sembari menundukkan kepala. "Nanti setelah jam pelajaran ini selesai, kamu ke ruangan saya." DEG Jantung ini seakan melompat entah ke mana. "A-apa?" Reflek, aku pun menyahut. "Nilai fisikamu paling rendah di antara teman-temanmu. Padahal, kau selalu mendapatkan nilai yang tinggi di mata pelajaran lain. Aku perlu bicara empat mata denganmu. Sepertinya, kamu ada masalah, dan membutuhkan bantuan dalam mata pelajaran ini." Aku hanya bisa tersenyum getir, sembari menganggukkan kepala, dan bergumam dalam hati, 'Ya, aku memang ada masalah tapi bukan dengan pelajaran itu, tapi dengan Anda, Pak. Aku pun yakin kalau kau tidak bisa membantuku, karena sejujurnya masalah yang kuhadapi, adalah masalah hati. Setelah mengatakan itu, Mr Alex kembali mengajar, dan tentunya aku kian sulit berkonsentrasi. Otakku bahkan sudah berpikir terlalu jauh tentang bagaimana cara aku berhadapan dengan Mr Alex, setelah jam pelajaran ini berakhir. Detik demi detik yang kulalui terasa begitu lama. Meskipun, aku tahu yang dibicarakan dengan Mr Alex hubungannya dengan mata pelajaran. Namun, aku tak peduli. Berada dekat dengannya, sudah membuatku merasa bahagia. Beberapa saat kemudian, jam pelajaran berakhir. Perasaanku begitu campur aduk ketika melihat Mr Alex meninggalkan ruang kelas, dan tak lama setelah itu, aku pun berjalan di belakangnya. "Kamu mau aku tungguin?" tanya Cecil, sahabatku. "Nggak usah, kamu pulang aja ke asrama." "Yakin?" Aku hanya mengangguk sembari mempercepat langkah, dan meninggalkan Cecil begitu saja. "Masuk ...!" Suara berat itu kembali terdengar setelah aku mengetuk pintu ruangan Mr Alex. Perlahan, aku pun membuka pintu tersebut, dan di dalam ruangan itu, Mr Alex tampak sedang berdiri, sembari memeriksa beberapa ulangan siswa. "Duduk Kanaya!" perintahnya tanpa menoleh sama sekali, aku pun akhirnya duduk, sembari sesekali melirik Mr Alex. "Jadi bagaimana, ada masalah dengan pelajaran fisika?" "Emh ... emh, saya ...." "Pelajaran fisika itu sulit?" sahut Mr Alex, lalu dijawab anggukkan kepala olehku. Daripada aku bingung harus menjawab apa, lebih baik kuiyakan saja dugaannya. "Baiklah kalau begitu, mulai minggu depan kamu les private sama saya." "A-apa."Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h
Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber
KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo
"Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,
"Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me
"Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d
"Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama
"Oh itu, tadi Kenan rewel banget minta balik ke sini. Jadi, Mama nggak sempat milih barang satupun deh!" Aku hanya mengangguk mendengar jawaban Mama. Padahal, tadi cukup lama mereka meninggalkan kami. Namun, Mama bilang belum sempat memilih apapun. Aku menghela napas, menyadari sifat Mama yang tak pernah berubah. Mama memang perfeksionis dalam segala hal. Jadi, bisa dimaklumi jika dia cukup lama jika mempertimbangkan untuk membeli barang. Bisa dibilang, dia begitu pemilih."Kanaya, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Mama, beberapa saat kemudian. "Emh kalo Naya, ambil kuliah ke Ausie boleh nggak, Ma?" sahutku dengan ragu.Mama yang saat itu sedang menyendokkan makanan pun menghentikan aktivitasnya. Lalu, menatapku sembari mengernyitkan kening."Ke Ausie? Bukannya kamu pulang karena nggak bisa jauh dari kami? Kenapa tiba-tiba kamu malah mau kuliah lagi di luar negeri?""Oh itu, aku mau coba hal-hal baru, Ma. Niatnya kalo kuliah di sana, aku mau sambil magang," jawabku gugup
Di sisi lain ....Chyntia tampak mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia terlihat begitu resah. Usahanya untuk memata-matai Arumi belakangan ini, memang berhasil, dan sekarang dia sudah mendapat banyak bukti-bukti tentang kedekatan Arumi dengan Leo. Sebenarnya Chyntia berniat untuk memeras Arumi terlebih dulu. Namun, Arumi justru mengabaikannya. Bahkan mengancam melaporkan pencemaran nama baik.Saat ini, Arumi benar-benar merasa jumawa karena mendapat perlindungan dari Leo. Akhirnya Chyntia pun mengubah rencananya, dan berniat memberi tahu Alan tentang kebusukan istrinya.Akan tetapi, akhir-akhir ini, Alan sangat jarang masuk ke kantor. Kalaupun dia datang, hanya jika ada meeting atau pertemuan penting. Sedangkan, untuk laporan, atau hal lainnya dia biasanya meminta anak buahnya untuk mengirim via email.Email Alan yang digunakan pun bersifat publik. Sedangkan email pribadi Alan, Chyntia tak mengetahuinya. Yang membuat Chyntia geram adalah, Alan tak mau diganggu urusan pekerjaan,
Beberapa Hari Kemudian ....Alan menatap nanar pada ruang operasi yang ada di depan matanya. Sudah hampir 8 jam Kanaya menjalani operasi transplantasi hati. Namun belum ada tanda-tanda operasi tersebut akan berakhir.Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata hati Kanaya cocok. Hal tersebut, tentunya membuat Oma Dahlia, merasa lega, tapi tidak dengan Alan.Sebelum operasi itu dilakukan, dia bahkan sudah mencarikan pembantu pribadi untuk Kanaya. Awalnya, Kanaya menolak, karena hal tersebut terlihat berlebihan. Namun, karena Alan terus memaksa, akhirnya Kanaya pun mengikuti perkataan Ayah angkat itu. Saat ini, pembantu pribadi Kanaya sedang Alan perintahkan untuk menjaga Kenan. Setelah Kanaya sadar, baru Alan memintanya untuk menemani Kanaya di rumah sakit. "Sabar Alan, yang tenang. Mama yakin, kalau Kanaya pasti akan baik-baik saja."Oma Dahlia yang awalnya sedang duduk di dekat ruang operasi, kini beranjak dari tempat duduknya. Lalu mendekat pada Alan, dan menepuk bahu laki-laki itu de
Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Chyntia tatkala melihat beberapa foto yang dikirim salah seorang temannya ke ponsel yang saat ini dia genggam. Pagi ini, ketika baru saja bagun, Chyntia i bergegas mengecek ponselnya. Dia ingin mengetahui apakah ada perkembangan yang dilaporkan temannya, dan benar saja, saat dia membuka pesan yang masuk, temannya sudah mengirimkan beberapa foto, dan video.Pada salah satu foto tersebut, tampak Arumi yang saat itu terlihat terpukul, ketika sedang bermasalah dengan Rain. Sedangkan, salah satu lagi berupa video, tatkala Arumi baru saja keluar dari kamar Leo.Weekend pagi ini, Chyntia masih merebahkan tubuh malas-malasan di atas ranjang, dan berita indah ini sungguh membuat awal harinya terasa begitu menyenangkan. Meskipun, saat weekend, terasa ada yang kurang, yaitu dia tak bisa bertemu dengan Alan."Ternyata, kamu itu munafik, Arumi. Aku sudah menduga wanita sepertimu pasti hanya memanfaatkan semua laki-laki untuk kenyamananmu semata!"Chyntia t
"Beri jarak, jangan terlalu dekat. Di sini, banyak kru dan karyawan. Aku nggak mau mereka curiga. Kamu masuk dulu, biar aku mengalihkan perhatian mereka saat kamu masuk ke kamarku!" terang Leo, sebelum mereka turun dari mobil.Sebagai seorang laki-laki dewasa, tentunya dia mengerti apa maksud Arumi. Leo yang biasanya setia, kini akhirnya terpikat pada Arumi, yang sejak kemarin terus menggodanya.Arumi pun menganggukkan kepala. Setelah turun dari mobil, Arumi berjalan dengan begitu tergesa-gesa, menuju ke kamar Leo. Sedangkan Boby yang sudah tahu apa yang akan dilakukan Arumi, tampak berjalan dengan tenang menuju ke kamar Arumi, sembari mengalihkan atensi yang lain agar tidak melihat Arumi ketika masuk ke dalam kamar Leo.Entah mengapa, malam ini, Leo terlihat begitu menarik bagi Arumi. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi disertai otot-otot kekarnya yang baru dia ketahui saat tadi siang masuk ke kamar lelaki itu, tampak sangat menarik perhatian Arumi.Sebenarnya suaminya jauh lebih ta
Alan begitu terkejut mendengar pertanyaan Oma Dahlia kali ini. Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan wanita itu, seakan menghujam jantungnya. Alan pun tak tahu, apa yang mendasari mertuanya, sampai menanyakan hal tersebut padanya. Apakah dia takut jika Alan akan meninggalkan Arumi? Atau, dia sudah memiliki firasat buruk jika dia memiliki wanita simpanan yang merupakan anak angkatnya sendiri.Alan menghela napas kaaar. Rasanya, sungguh ingin pergi menjauh, menghindar dari pertanyaan tersebut. Namun, tak mungkin. "Alan, jujur saja. Kamu tidak perlu ragu, Nak."Ketika Alan hendak membuka suaranya, tiba-tiba suara Kanaya pun terdengar."Oma, Papa. Opa sudah bisa dibawa ke ruang perawatan."Alan, dan Oma Dahlia pun tersentak, lalu menoleh pada gadis itu yang kini sudah berdiri tak jauh dari mereka."Oh sudah siap ya ruang perawatannya?" sahut Oma Dahlia canggung, tentunya dia tak ingin Kanaya mendengar percakapannya dengan Alan."Sudah Oma, ayo kita ke sana.""Tunggu Kanaya." Al
Alan pun reflek mendekat pada Kanaya. "Kanaya, jangan main-main kamu!""Siapa yang lagi main-main sih, Pa? Papa pikir, nyawa Opa itu permainan?"Kanaya kembali menoleh pada dokter yang berdiri di sampingnya. "Dokter, bisa nggak kita lakukan pemeriksaan sekarang?""Mari ikut saya!"Kanaya pun mengikuti dokter tersebut. Sedangkan Alan, dan Oma Dahlia, hanya bisa menatap pasrah gadis itu. Mencegah juga rasanya percuma, Kanaya pasti akan bersikeras melakukan semua itu.Alan pun mengusap wajahnya dengan kasar, lalu duduk di depan ruang emergency tersebut di samping Oma Dahlia. Ada kecemasan yang begitu mendalam yang dirasakan Alan. Kanaya masih muda, dan Alan tak ingin sesuatu terjadi pada gadis yang dia cintai itu."Kalaupun dia sampai livernya cocok, Mama yakin, dia pasti akan baik-baik saja. Kita akan merawat Kanaya sebaik mungkin.""Aku tahu, Ma. Resikonya memang tak seperti donor organ yang lain. Namun, tetap saja, aku merasa cemas.""Mama bisa ngerti gimana perasaan kamu sebagai oran
"Papa apa-apaan sih, kok malah ikutan ke kamar mandi!" protes Kanaya, sembari mengerucutkan bibir, tatkala Alan justru berjalan di belakangnya."Ya udah kalo gitu kita mandi bareng!""Apa?" sahut Kanaya, disertai mata yang membelalak lebar."Iya mandi bareng, Sayang. Kaya waktu di hotel, kamu mau 'kan?"Mau tak mau, Kanaya menyetujui permintaan Alan. Jika dia menolak pun Kanaya yakin Alan akan memaksa. Kanaya kemudian menganggukkan kepalan, disertai rona wajah yang memerah. Mereka baru saja menyelesaikan sesi bercintanya beberapa menit yang lalu, dan Alan meminta hal itu kembali.Tanpa aba-aba, Alan mengangkat tubuh Kanaya, lalu mereka masuk ke dalam kamar mandi. Dia kemudian menyalakan shower agar sensasinya terasa lebih nikmat.Kini, desahan dan erangan itu kembali terdengar secara bersamaan, seolah saling berlomba dengan suara gemercik air shower kamar mandi yang mendominasi ruangan berdinding marmer itu.Hentakan demi hentakan dari Alan, membuat Kanaya berulang kali berteriak. Era
"Kanaya, tolong katakan pada Oma. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecar Oma Dahlia, disertai wajah yang memerah.Jujur saja, dia takut. Jika Kenan membenci Arumi, seperti yang sudah lama dia khawatirkan."Oma nggak ada apa-apa, Kenan cuma lagi kesel, Mama sering ninggalin dia. Oma percaya ya, sama Kanaya."Kenan hendak protes mendengar penjelasan Kanaya pada Oma Dahlia. Namun, saat Kenan hendak membuka suaranya, tiba-tiba ponsel Oma Dahlia berbunyi.Wanita paruh baya itu pun berjalan menjauh dari kedua cucunya, untuk mengangkat panggilan itu terlebih dulu.Sedangkan Kanaya, tampak menoleh pada Kenan sembari menatap mata bocah kecil itu lekat."Kenan, tolong jangan bilang kayak gitu dulu sama Oma. Kamu tahu 'kan, Opa lagi sakit. Apa Kenan mau kondisi Opa memburuk kalau sampai tahu hal ini?"Kenan menggelengkan kepalanya, lalu Kanaya mengusap rambut bagian atasnya."Nah itu namanya anak pintar. Kalau begitu, kita harus jaga rahasia ini dulu ya. Kita tunggu waktu yang tepat buat kasih tahu
"Tante Chyntia kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?" tanya Kanaya ketika baru keluar dari ruang kerja Alan.Mendengar suara Kanaya, Chyntia pun mengangkat wajah. Lalu, tersenyum dan pura-pura bersikap ramah pada Kanaya."Ini, habis liat film lucu."Bibir Kanaya pun membulat. "Oh, ya udah mulai kerja lagi ya, waktu istirahat udah abis, 'kan? Jangan ketawa-ketawa mulu, ntar jadi kuntilanak loh.""Iya Non Kanaya," jawab Chyntia, sembari tersenyum, dan menatap Kanaya yang berlalu dari hadapannya. Setelah Kanaya berjalan cukup jauh, Chyntia mengumpat kesal padanya."Sok bossy banget sih!"Kanaya sedikit melirik, dan melihat Chyntia bibirnya tampak sedang komat-kamit. Kanaya tahu, Chyntia pasti kesal padanya."Ck, dasar wanita gatel!" gumam Kanaya, sembari terus berjalan, menuju ke basement parkir.Setengah jam kemudian, Kanaya pun sudah sampai di rumah, dan mendapati Oma Dahlia saat ini tengah bermain bersama Kenan di ruang tengah."Kak Naya habis dari mana?" pekik Kenan, sembari berlari, d