Share

Simpanan Ayah Angkat
Simpanan Ayah Angkat
Penulis: Miss Secret

Kanaya

Kanaya ....

Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.

Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.

Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.

Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku membuka mata.

Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.

Akhirnya aku pun menangis karena dia hanya diam, dengan mata yang terpejam. Mendengar tangisan kencangku, orang-orang yang tinggal si sekitarku lalu menghampiri gubuk tempat kami tinggal.

Seorang laki-laki kemudian menghampiri Mama, dan memegang pergelangan tangannya. Lalu, tiba-tiba saja gumaman lirih dari bibirnya pun terdengar.

"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun." Aku tak tahu apa maksudnya, tapi detik berikutnya orang-orang di sekitarku pun mengucapkan kalimat yang sama, disertai sorot mata sendu.

Kala itu, aku benar-benar bingung. Orang-orang yang datang ke rumahku pun kian ramai. Bendera berwarna kuning mereka pasang di depan rumah, dan ada sebuah benda berukuran besar yang ditutup kain berwarna hijau berada di depan rumahku.

Mama lalu dibawa beberapa orang wanita dan dimandikan oleh mereka.

Dalam hati, sebenarnya aku cukup merasa geli karena Mama sudah besar, tapi masih saja mau dimandikan oleh orang lain. Setelah Mama selesai mandi, dia masih juga menutup matanya. Padahal, di rumah ini begitu banyak orang-orang yang memberi uang padaku.

Astaga ....

Bukankah Mama suka sekali mencari uang. Namun, mengapa saat aku bisa memberikan uang yang begitu banyak, dia masih saja tertidur? Aku lalu mendekatinya dan memberikan uang yang ada dalam satu kotak kardus.

Aku memperlihatkan uang itu, tapi dia masih saja menutup mata. Bahkan, orang-orang di sekitarku malah membungkus Mama dengan sebuah kain berwarna putih.

Aku tidak rela jika Mama diperlukan seperti itu, tega sekali mereka membungkus tubuh Mama ke dalam sebuah kain, lalu memasukkannya ke dalam tanah. Aku hanya bisa menangis meraung-raung melihat tubuh Mama yang kini sudah tertimbun oleh tanah.

Saat tangisku semakin kencang, tiba-tiba seorang wanita mendekatiku. "Kanaya, Mamamu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya, Nak."

'Meninggal? Apa itu?' batinku dalam hati.

***

Sejak saat itu aku menjalani hari-hariku sendiri. Setiap hari, aku menyusuri jalanan untuk mengais makanan. Tak jarang orang-orang yang iba, menghampiri, dan memberiku makanan, serta pakaian.

Pada suatu hari, ketika aku sedang memakan makanan yang baru saja diberian seseorang, seorang laki-laki tampak mendekat padaku.

"Kamu, Kanaya?" Aku cukup familiar dengan wajahnya, ya beberapa kali memang dia sempat datang ke rumahku untuk menemui Mama. Namun, entahlah aku tak tahu dia siapa.

"Kanaya, aku Agung teman Mamamu. Sekarang kamu ikut Om ya." Sebenarnya, aku tak mengerti apa yang dia maksud, tapi aku tak bisa menolak ketika dia menggandeng tanganku, menuju ke sebuah gubuk yang tidak berbeda jauh dengan rumahku.

"Kanaya, mulai sekarang kamu tinggal sama Om ya, besok kita cari uang bareng-bareng. Sekarang kamu makan dulu."

Dia memberikanku makanan, dan aku pun makan dengan lahap. Sejak Mama meninggal, aku memang tidak pernah memakan makanan seperti ini. Setelah perutku terasa kenyang, aku pun tertidur.

Ketika aku bangun, lagi-lagi di depanku sudah ada makanan, dan laki-laki itu kembali menyodorkan makanan tersebut padaku.

"Kanaya, kamu sarapan dulu ya. Setelah itu, kita cari uang."

Aku tak mengerti apa yang dia katakan, hanya memakan dengan lahap makanan yang ada di depanku. Selesai makan, dia mengambil segenggam tanah yang ada di depan rumah, lalu mengoleskan ke wajah dan tubuhku.

Setelah itu, dia mencengkeram bajuku dengan begitu kuat sehingga beberapa bagian bajuku robek.

"Sempurna. Ayo kita pergi Kanaya."

Dia mengajakku berjalan ke sebuah jalan raya yang sangat ramai. Kami lalu berhenti di sebuah jalan yang begitu lebar, dengan beberapa lampu berwarna yang menyala dan mati secara bergantian.

"Kanaya, cepat pergi ke arah sana dan bunyikan alat ini!" perintahnya, sambil memberiku sebuah bambu kecil yang diberi tutup botol dan jika kugoyangkan maka akan berbunyi.

Aku tak tahu itu alat apa, tapi aku cukup tertarik pada alat itu yang bisa berbunyi dengan nyaring saat kugoyangkan. Maka, dengan senang hati kugoyangkan alat-alat itu sambil menari di jalanan.

Orang-orang yang berhenti di bawah lampu berwarna-warni menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan, yang kutahu saat aku menghampiri, mereka memberikan aku uang.

Setelah kantong plastik yang kupegang terisi cukup banyak, lelaki yang datang bersamaku pun datang menghampiri.

"Wah Kanaya, hari ini kita dapat banyak uang. Kamu memang pembawa keberuntungan," katanya sambil tersenyum.

Baru saja dia selesai mengatakan itu, tiba-tiba saja terdengar teriakkan, dan orang-orang yang ada di sekitar kami berlarian tak tentu arah.

"Lari ... ada satpol PP lari ...."

Orang-orang tampak hilir mudik berlari di depanku, termasuk lelaki itu yang berlari dengan membawa kantong plastik yang tadi kupegang.

Dia benar-benar tak peduli lagi padaku, dan meninggalkanku begitu saja. Kini, aku hanya bisa menatap mereka satu per satu yang tampak begitu panik dan kebingungan.

Hingga tiba-tiba, sebuah tangan, mendekap tubuhku. "Arumi, apa yang kau lakukan? Ini anak siapa?" tanya seorang lelaki, ketika mendekat pada wanita yang mendekap tubuhku sekarang.

"Mas, kasihan dia. Kalau dia tetap di sini, dia bisa dibawa satpol PP, terus mungkin dia dibawa ke panti asuhan. Aku nggak mau kehilangan anak selucu ini, Mas. Aku pengen bawa dia ke rumah."

"Kamu yakin dia nggak punya orang tua? Kalau ternyata dia masih punya orang tua gimana? Dia masih kecil, mungkin usianya masih lima tahun. Kita bisa kena kasus penculikan anak."

Wanita yang mendekap tubuhku menggeleng. "Nggak, Mas. Selama kita di Bandung, aku sering liat dia berkeliaran di jalanan. Dia kayaknya nggak punya orang tua. Kita bawa dia aja ke rumah ya, Mas. Please. Dia lucu banget looo, cantik."

Lelaki di samping wanita yang mendekap tubuhku menggelengkan kepala, sembari menatap sinis padaku yang terlihat kumuh.

"Udah nggak ada waktu, Mas. Kita bawa sekarang ya, sebelum satpol PP itu dateng. Ayo cepat kita masuk ke mobil!"

Aku yang tak tahu apa-apa hanya diam dalam dekapan wanita itu. Aku mencoba untuk meronta ketika dibawanya masuk ke dalam mobil, tapi dekapannya begitu kuat.

Meskipun dia membawaku masuk ke sebuah mobil mewah, tapi jujur saja ada rasa takut, dan cemas. Aku tidak mengenal kedua orang itu, dan kini aku tak tahu akan dibawa ke mana.

"Kita masih ada waktu buat bawa dia ke panti asuhan, Arumi."

"Nggak Mas, aku nggak mau. Aku mau bawa anak ini. Aku nggak rela anak secantik dia jadi gelandangan kaya gitu."

"Jangan bilang kalo kamu nglakuin ini sebagai modus karena kamu nggak mau hamil anakku."

Wanita dewasa itu pun menoleh. "Kamu kok ngomong gitu sih, Mas? Tega banget kamu ngomong gitu sama aku, Mas. Sebenarnya, aku atau kamu yang ...."

"Aku lagi nggak mau berdebat, Arumi. Kamu bawa anak ini aja udah bikin aku pusing!"

Aku hanya diam, tak mengerti satupun kata-kata yang diucapkan mereka. Yang jelas kepalaku rasanya sakit mendengar celotehan mereka yang kian kencang.

Setelah melalui perjalanan yang cukup lama. Bahkan, boleh dibilang sangat lama, akhirnya mobil yang kami naiki berhenti di sebuah rumah besar, yang baru pernah aku lihat. Ya, aku baru pernah melihat rumah sebesar ini, layaknya ... istana.

"Selamat datang di Jakarta. Nak, nama kamu siapa?"

Wanita itu menatapku lekat.

"Nama kamu? Kamu biasa dipanggil siapa?"

"Kanaya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status