Share

Simpanan Ayah Angkat
Simpanan Ayah Angkat
Author: Miss Secret

Kanaya

Author: Miss Secret
last update Last Updated: 2024-09-07 07:26:04

Kanaya ....

Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentang asal usulku. Satu hal yang aku ingat menjadi titik balik hidupku adalah ketika seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali.

Mungkin, itukah yang disebut dengan kematian? Ya, dulu aku memang tak terlalu paham alur kehidupan. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membuka matanya saat kupanggil.

Biasanya, jika aku bangun, sudah ada berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, tidak dengan hari yang begitu kelam ini.

Aku masih mengingat jelas kejadian itu. Ketika aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan.

Aku pun menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama. Kulihat, dia masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, tapi dia masih saja memejamkan mata.

Akhirnya aku pun menangis karena dia hanya diam, dengan mata yang terpejam. Mendengar tangisan kencangku, orang-orang yang tinggal si sekitarku lalu menghampiri gubuk tempat kami tinggal.

Seorang laki-laki kemudian menghampiri Mama, dan memegang pergelangan tangannya. Lalu, tiba-tiba saja gumaman lirih dari bibirnya pun terdengar.

"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun." Aku tak tahu apa maksudnya, tapi detik berikutnya orang-orang di sekitarku pun mengucapkan kalimat yang sama, disertai sorot mata sendu.

Kala itu, aku benar-benar bingung. Orang-orang yang datang ke rumahku pun kian ramai. Bendera berwarna kuning mereka pasang di depan rumah, dan ada sebuah benda berukuran besar yang ditutup kain berwarna hijau berada di depan rumahku.

Mama lalu dibawa beberapa orang wanita dan dimandikan oleh mereka.

Dalam hati, sebenarnya aku cukup merasa geli karena Mama sudah besar, tapi masih saja mau dimandikan oleh orang lain. Setelah Mama selesai mandi, dia masih juga menutup matanya. Padahal, di rumah ini begitu banyak orang-orang yang memberi uang padaku.

Astaga ....

Bukankah Mama suka sekali mencari uang. Namun, mengapa saat aku bisa memberikan uang yang begitu banyak, dia masih saja tertidur? Aku kemudian mendekatinya, dan memberikan uang yang ada dalam satu kotak kardus.

Aku memperlihatkan uang itu, tapi dia masih saja menutup mata. Bahkan, orang-orang di sekitarku malah membungkus Mama dengan sebuah kain berwarna putih.

Aku tidak rela jika Mama diperlukan seperti itu, tega sekali mereka membungkus tubuh Mama ke dalam sebuah kain, lalu memasukkannya ke dalam tanah. Aku hanya bisa menangis meraung-raung melihat tubuh Mama yang kini sudah tertimbun oleh tanah.

Saat tangisku semakin kencang, tiba-tiba seorang wanita mendekatiku. "Kanaya, Mamamu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya, Nak."

'Meninggal? Apa itu?' batinku dalam hati.

***

Sejak saat itu aku menjalani hari-hariku sendiri. Setiap hari, aku menyusuri jalanan untuk mengais makanan. Tak jarang orang-orang yang iba, menghampiri, dan memberiku makanan, serta pakaian.

Pada suatu hari, ketika aku sedang memakan makanan yang baru saja diberian seseorang, seorang laki-laki tampak mendekat padaku.

"Kamu, Kanaya?" Aku cukup familiar dengan wajahnya, ya beberapa kali memang dia sempat datang ke rumahku untuk menemui Mama. Namun, entahlah aku tak tahu dia siapa.

"Kanaya, aku Agung teman Mamamu. Sekarang kamu ikut Om ya." Sebenarnya, aku tak mengerti apa yang dia maksud, tapi aku tak bisa menolak ketika dia menggandeng tanganku, menuju ke sebuah gubuk yang tidak berbeda jauh dengan rumahku.

"Kanaya, mulai sekarang kamu tinggal sama Om ya, besok kita cari uang bareng-bareng. Sekarang kamu makan dulu."

Dia memberikanku makanan, dan aku pun makan dengan lahap. Sejak Mama meninggal, aku memang tidak pernah memakan makanan seperti ini. Setelah perutku terasa kenyang, aku pun tertidur.

Ketika aku bangun, lagi-lagi di depanku sudah ada makanan, dan laki-laki itu kembali menyodorkan makanan tersebut padaku.

"Kanaya, kamu sarapan dulu ya. Setelah itu, kita cari uang."

Aku tak mengerti apa yang dia katakan, hanya memakan dengan lahap makanan yang ada di depanku. Selesai makan, dia mengambil segenggam tanah yang ada di depan rumah, lalu mengoleskan ke wajah dan tubuhku.

Setelah itu, dia mencengkeram bajuku dengan begitu kuat sehingga beberapa bagian bajuku robek. Aku sungguh tak mengerti apa yang dia lakukan.

"Sempurna. Ayo kita pergi Kanaya."

Aku pun hanya bisa menurutinya, ketika dia mengajakku berjalan ke sebuah jalan raya yang sangat ramai. Kami berhenti di sebuah jalan yang begitu lebar, dengan beberapa lampu warna-warni yang menyala, dan mati secara bergantian.

"Kanaya, cepat pergi ke arah sana dan bunyikan alat ini!" perintahnya, sambil memberiku sebuah kayu kecil yang diberi tutup botol dan jika kugoyangkan maka akan berbunyi.

Aku tak tahu itu alat apa, tapi aku cukup tertarik pada alat itu yang bisa berbunyi dengan nyaring saat kugoyangkan. Maka, dengan senang hati kugoyangkan alat-alat itu sambil menari di jalanan.

Orang-orang yang berhenti di bawah lampu berwarna-warni menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan, yang kutahu saat aku menghampiri, mereka memberikan aku uang.

Setelah kantong plastik yang kupegang terisi cukup banyak, lelaki yang datang bersamaku pun datang menghampiri.

"Wah Kanaya, hari ini kita dapat banyak uang. Kamu memang pembawa keberuntungan," katanya sambil tersenyum, disertai binar bahagia di wajah.

Baru saja dia selesai mengatakan itu, tiba-tiba saja terdengar teriakkan, dan orang-orang yang ada di sekitar kami berlarian tak tentu arah.

"Lari ... ada satpol PP lari ...!"

Orang-orang tampak hilir mudik berlari di depanku, termasuk lelaki itu yang juga pergi dengan membawa kantong plastik yang tadi kupegang. Lagi-lagi aku sendiri.

Dia benar-benar tak peduli lagi padaku, dan meninggalkanku begitu saja. Kini, aku hanya bisa menatap mereka satu per satu yang tampak begitu panik, dan kebingungan.

Hingga tiba-tiba, sebuah tangan, mendekap tubuhku. "Arumi, apa yang kau lakukan? Ini anak siapa?" tanya seorang lelaki, ketika mendekat pada wanita yang mendekap tubuhku sekarang.

"Mas, kasihan dia. Kalau dia tetap di sini, dia bisa dibawa satpol PP, terus mungkin dia dibawa ke panti asuhan. Aku nggak mau kehilangan anak selucu ini, Mas. Aku pengen bawa dia ke rumah."

"Kamu yakin dia nggak punya orang tua? Kalau ternyata dia masih punya orang tua gimana? Dia masih kecil, mungkin usianya masih lima tahun. Kita bisa kena kasus penculikan anak, Arumi."

Wanita yang mendekap tubuhku menggeleng. "Nggak, Mas. Selama kita di Bandung, aku sering liat dia berkeliaran di jalanan. Dia kayaknya nggak punya orang tua. Kita bawa dia aja ke rumah ya, Mas. Please ... dia lucu banget looo, juga cantik."

Lelaki di samping wanita yang mendekap tubuhku menggelengkan kepala, sembari menatap sinis padaku yang terlihat kumuh.

"Udah nggak ada waktu, Mas. Kita bawa sekarang ya, sebelum satpol PP itu dateng. Ayo cepat kita masuk ke mobil!"

Aku yang tak tahu apa-apa hanya diam dalam dekapan wanita itu. Aku mencoba untuk meronta ketika dibawanya masuk ke dalam mobil, tapi dekapannya begitu kuat.

Meskipun dia membawaku masuk ke sebuah mobil mewah, tapi jujur saja ada rasa takut, dan cemas. Aku tidak mengenal kedua orang itu, dan kini aku tak tahu akan dibawa ke mana.

"Kita masih ada waktu buat bawa dia ke panti asuhan, Arumi."

"Nggak Mas, aku nggak mau. Aku mau bawa anak ini. Aku nggak rela anak secantik dia jadi gelandangan kaya gitu."

"Jangan bilang kalo kamu nglakuin ini sebagai modus karena kamu nggak mau hamil anakku."

Wanita dewasa itu pun menoleh. "Kamu kok ngomong gitu sih, Mas? Tega banget kamu ngomong gitu sama aku. Sebenarnya, aku atau kamu yang ...."

"Aku lagi nggak mau berdebat, Arumi. Kamu bawa anak ini aja udah bikin aku pusing!"

Aku hanya diam, tak mengerti satupun kata-kata yang diucapkan mereka. Yang jelas kepalaku rasanya sakit mendengar celotehan mereka yang kian kencang.

Setelah melalui perjalanan yang cukup lama. Bahkan, boleh dibilang sangat lama, akhirnya mobil yang kami naiki berhenti di sebuah rumah besar, yang baru pernah aku lihat. Ya, aku baru pernah melihat rumah sebesar ini, layaknya ... istana.

"Selamat datang di Jakarta. Nak, nama kamu siapa?"

Wanita itu menatapku lekat.

"Nama kamu? Kamu biasa dipanggil siapa?"

"Kanaya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
awal kisah yg sangat menarik menurutku tapi membaca judulnya sy tdk jadi melanjutkan. lebih baik kisah anak terlantar susah makan daripada kisah pelecehan, gk tega bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 2

    Sejak saat itu, aku diasuh oleh sepasang suami istri tersebut. Mama bernama Arumi, sedangkan Papa bernama Alan. Mereka berdua, belum lama menikah. Pernikahan mereka baru berjalan selama enam bulan. Awalnya memang ada penolakan dari Papa Alan ketika aku mulai tinggal dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, hati Papa Alan mencair, Papa Alan mulai menerima kehadiranku. Bahkan, juga sangat menyayangiku. Papa Alan juga yang mengurus berkas-berkas agar secepatnya aku bisa masuk dalam kartu keluarga mereka. Logikanya, mana ada yang tidak tertarik pada gadis kecil yang begitu lucu, dan juga cantik sepertiku. Aku tumbuh dalam kasih sayang, dan penuh kebahagiaan. Lalu, ketika aku memasuki bangku sekolah, nilai akademikku selalu memuaskan. Hal tersebut, tentunya membuat kedua orang tua angkatku sangat bangga. Tak hanya mereka, tapi juga orang tua dari Papa Alan, dan Mama Arumi yang kupanggil dengan sebutan Oma, dan Opa. Mereka sangat menyayangiku. Keluarga hangat itu, seperti t

    Last Updated : 2024-09-07
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 3

    Sejak saat itu, selama dua kali dalam satu minggu, Mr Alex memberikan jam tambahan untukku. Meskipun, jam tambahan itu dilakukan di sekolah, dan hanya membahas pelajaran, tapi tak mengapa. Yang terpenting aku bisa berduaan dengannya.Tentunya aku sangat bahagia. Tidak ada seorang pun siswa lain yang mengganggu kami. Ya, logika saja, pelajaran fisika, bukan pelajaran yang disukai oleh para siswa. Jadi, wajar jika mereka tidak mau dengan sengaja mengikuti tambahan tanpa diminta.Pertemuan, serta interaksi yang cukup intens itu akhirnya membuat kami dekat. Aku sudah tidak lagi merasa canggung, dan salah tingkah di dekatnya.Selain itu, aku juga tidak ingin pelajaran tambahan ini berakhir. Jadi, aku sengaja bersikap tidak terlalu pintar di depan Mr Alex. Aku selalu berpura-pura menanyakan sesuatu bagian yang sebenarnya cukup aku mengerti.Memang aku sadar, aku salah. Tidak seharusnya aku jatuh cinta, dan membiarkan perasaan ini tumbuh pada laki-laki yang sudah beristri. Namun, terkadang h

    Last Updated : 2024-09-07
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 4

    Tiba-tiba gerakan Mr Alex terhenti ketika mendengar suara ponselnya yang berdering. "Astaga ...!" pekiknya, saat menyadari apa yang dia lakukan denganku. Laki-laki dewasa itu pun menarik tangannya dan, menjauh dariku. "Kanaya, maaf ...."Mr Alex mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghembuskan napas berat. Dia tampak begitu menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Lebih tepatnya, dengan apa yang kami lakukan."Kanaya maaf ..." Permintaan maaf itu kembali terucap, dan justru membuatku merasa sungkan."Mr Alex, aku juga minta maaf. Aku juga tidak berniat melakukan semua ini pada Anda. Aku tidak sengaja tadi ....""Ya, aku tahu. Kita sama-sama khilaf," potong Mr Alex, ketika aku juga beralibi pada kata khilaf untuk menutup rasa maluku."Mr, sekali lagi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang juga." Aku bangkit dari atas sofa, tak mau berlama-lama lagi di tempat ini yang justru semakin membuatku begitu salah tingkah.Di saat itulah, ponsel Mr Alex kembali berdering. Lalu, dia ber

    Last Updated : 2024-09-07
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 5

    KEESOKAN HARINYA ....Saat ini, aku duduk di ruang tunggu bandara sembari menatap langit pagi ini yang terlihat begitu cerah. Aku memang akan kembali ke Indonesian dengan penerbangan pagi.Ketika sedang asyik melamun, ingatanku kembali tertuju pada kejadian tadi malam tatkala Mr Alex, tiba-tiba berada di toilet, dan menyuruhku untuk menemuinya di ruang kerjanya.Akan tetapi, aku mengabaikan permintaan lelaki dewasa itu. Aku memilih bergegas pulang, dan menghindar darinya. Sungguh, aku tak lagi peduli, dengan apa yang akan dia katakan. Aku memilih pulang, meskipun, pesta perpisahan itu belum usai. Sejujurnya, aku pun tak terlalu nyaman di tengah keramaian pesta. Selain itu, selama aku bersekolah di sana, aku juga tidak banyak memiliki teman. Jadi, perpisahan ini, terasa biasa saja.Kuakui, aku tidak memiliki kenangan yang mendalam di sana. Satu-satunya kenangan yang membekas di hatiku, adalah kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan pada Mr Alex. Namun, aku juga sadar, mencintai seo

    Last Updated : 2024-09-16
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 6

    "Maaf, Maaf untuk apa Kanaya?" tanya Mama Arumi, yang cukup terkejut mendengar permintaan maaf dariku.Aku pun menarik kedua sudut bibir, menyunggingkan senyum manis. Bersikap seolah, semuanya baik-baik saja. Ya, seharusnya begitu. Seharusnya semua memang baik-baik saja kalau aku tidak memulai perasaan konyol ini."Aku minta maaf nggak jadi nglanjutin kuliah di Singapore. Aku minta maaf, udah ngecewain Papa sama Mama."Mama pun tersenyum simpul, lalu mencubit pipiku gemas. "Kamu ini ada-ada aja deh. Mama sama Papa, 'kan cuma kasih saran. Selanjutnya, itu tergantung kamu. Kalau kamu nggak nyaman hidup sendiri, ngapain dilanjutin?"Jawaban bijak Mama, membuatku merasa tenang. Memang aku merasa bersalah tidak mengikuti permintaan mereka untuk melanjutkan study di Singapore. Namun, sebenarnya tujuan utama aku meminta maaf, bukan untuk itu. Aku meminta maaf, karena diam-diam mengagumi Papa Alan."Makasih ya, Ma. Mama tetap yang terbaik.""Udah, hal kaya gitu nggak usah dipikirin. Sekarang,

    Last Updated : 2024-09-27
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 7

    "Kanaya ...." Mendengar suara Papa, aku pun seketika menarik tangan ini dari wajah tampannya."Oh-eh, emh. Maaf Pa, tadi ada sisa makanan di pipi Papa," jawabku gugup, sembari merutuki kebodohanku, yang sudah begitu lancang, menyentuh wajah tampan itu. "Ada sisa makanan?" Papa tampak mengibaskan tangan di pipinya. Dia percaya dengan jawaban bohongku. "Sekarang udah bersih?" tanya Papa kembali, beberapa saat kemudian. Aku pun mengangguk, sembari mengulum senyum melihat tingkahnya."Kalau begitu teruskan, Naya.""Teruskan? Teruskan apanya?" sahutku, tak mengerti dengan maksud Papa."Merapikan dasiku. Kamu belum selesai merapikan dasi Papa, 'kan?""Oh iya."Aku pun merapikan kembali dasi yang dikenakan oleh Papa. Meskipun aku cukup gugup, karena jarak kami yang begitu dekat, tapi aku mencoba untuk tetap terlihat tenang.Akan tetapi, semakin lama, sepertinya bola mata itu tak henti memandangku. Namun, aku harus menyadari, mungkin saja aku yang terlalu percaya diri. Papa memang sedang me

    Last Updated : 2024-09-27
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 8

    "Pa, ini aku Kanaya!" Aku mencoba menyadarkan Papa. Kuakui, aku memang menyukai Papa, tapi malam ini, sungguh aku sama sekali tidak berniat untuk menggodanya. Aroma alkohol yang terasa begitu menyengat, membuatku sadar jika Papa sedang dalam pengaruh minuman memabukkan tersebut. "Pa ...!"Tepat di saat itulah, lampu pun menyala. Papa yang sudah kembali pada kewarasan setelah mendengar teguranku, seketika bangkit, ketika menyadari jika tubuhnya menindih tubuhku."Maaf Kanaya ...." Papa mengusap wajahnya dengan kasar, sambil menggelengkan kepala. Aku hanya mengangguk, merasakan d'javu dengan kejadian ini. Keadaan seperti ini, benar-benar pernah aku alami ketika bersama Mr Alex."Lampunya udah nyala. Mama belum pulang, sebaiknya Papa temenin Kenan aja. Kalau ujan gede kaya gini, Kenan juga biasanya takut 'kan?" Aku sengaja memotong pembicaraan Papa, agar tak lagi merasa canggung dengan apa yang telah terjadi."Iya, Papa temenin Kenan dulu."Aku pun mengangguk, lalu menatap laki-laki d

    Last Updated : 2024-09-27
  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 9

    "Mama ...!" pekik Kenan, yang kebetulan baru saja selesai sarapan.Papa pun ikut menoleh, dan tersenyum pada istrinya. Sedangkan aku, entah mengapa, untuk kali ini aku tidak terlalu antusias dengan kedatangan Mama. Namun, aku buru-buru menepis semua itu.Mama adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Meskipun, saat itu aku masih kecil. Aku masih cukup mengingat jika Mama adalah orang yang bersikeras membawaku bersamanya. Jika tidak, aku tidak mungkin bisa mendapatkan kehidupan seperti ini. Atau bahkan, aku masih terlunta-lunta di jalan. "Kalian lagi sarapan?" "Baru aja selesai, Ma." Kali ini, aku yang menjawab. Karena Papa, sedang menyesap kopi-nya, begitu pula dengan Kenan yang sedang menghabiskan segelas susu."Iya Ma, sarapannya enak banget. Kak Kanaya yang bikin," timpal Kenan, setelah meminum susunya. Mama pun mengalihkan pandangannya padaku. "Anak gadis mama, sekarang udah pinter masak ya? Bisa-bisa Mama kalah nih sama kamu." Aku hanya meringis mendengar perkataan Mama

    Last Updated : 2024-09-28

Latest chapter

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 243

    Rain melirik Arumi, kekasihnya, yang tampak sendu saat menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Tatapan wanita itu kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Rain mengeratkan genggamannya di tangan Arumi, mencoba mengalirkan kehangatan, tetapi Arumi tetap terpaku.Alan, mantan suami Arumi, duduk dengan tenang di seberang mereka, mengucapkan ijab kabul dengan suara mantap. Setiap kata yang keluar dari bibir pria itu seperti bilah pisau yang mengiris perasaan Arumi. Rain bisa merasakan tarikan napas berat dari kekasihnya, seolah dia sedang berjuang keras menahan sesuatu di dalam hatinya.Rain tahu, meski kini Arumi adalah miliknya, ada bagian dari hati wanita itu yang masih berdamai dengan luka lama, dan di momen ini, Rain yakin, luka itu kembali menganga.Wanita itu masih terpaku menatap prosesi akad nikah Alan dan Kanaya. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan.Perlahan, Rain meraih tangan Arumi, menggenggamnya dengan lembut

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 242

    Pagi ini, mentari bersinar lembut, menyapa dengan kehangatan yang membalut langit dalam semburat jingga keemasan. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, menyertai aroma bunga-bunga segar yang menghiasi pelataran rumah besar tempat pernikahan Kanaya berlangsung.Kanaya baru saja selesai dirias. Wajahnya tampak begitu cantik dengan balutan make-up pernikahan yang sempurna. Dia menatap bayangannya di cermin, mengagumi bagaimana setiap detail dirancang untuk hari istimewanya. Jemarinya perlahan merapikan gaun yang membalut tubuhnya, memastikan segalanya tampak sempurna.Senyum manisnya merekah seperti mawar yang baru bermekaran. Matanya berbinar, mencerminkan harapan dan kebahagiaan yang memenuhi hatinya. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, dan dia siap melangkah dengan penuh keyakinan.Saat ini, gadis itu berdiri di depan cermin dengan gaun pengantinnya yang anggun. Jemarinya sedikit gemetar saat merapikan kerudung yang menjuntai indah. Dia menatap bayangannya de

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 241

    Di sudut taman rumah sakit jiwa, di bawah pohon kamboja yang bunganya mulai berguguran, seorang wanita tua duduk sendiri di bangku besi yang mulai berkarat.Rambutnya kusut, sebagian telah memutih, dan gaun lusuh yang dia kenakan tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang semakin kurus. Namun, ada sesuatu yang menenangkan dalam caranya duduk, tenang, dan anggun, seolah dunia yang dulu pernah menghancurkannya kini tak lagi punya kuasa atasnya.Dia tersenyum, senyum yang bukan dibuat-buat. Senyum yang bukan karena bahagia, tetapi karena menerima. Matanya kosong, tapi di kedalaman sorotnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan—keikhlasan. Seakan semua luka, semua kepedihan yang pernah membawanya ke tempat ini, telah dia genggam, lalu dia lepaskan dengan ringan.Angin sore berembus lembut, mengayun ujung selendangnya yang lusuh. Beberapa pasien lain berjalan mondar-mandir di taman itu, beberapa berbicara sendiri, beberapa hanya diam seperti patung. Namun, Bu Dahlia berbeda, dia tidak berbicara

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 240

    Hujan turun dengan lembut, membasahi dedaunan di halaman rumah Rain. Hawa dingin menyusup melalui celah jendela, menciptakan suasana sendu yang seolah menggambarkan isi hatinya.Sudah beberapa hari sejak Arumi kembali, kepulangannya tidak seperti yang diharapkan Rain. Wanita yang dia cintai selalu berdiri di depannya dengan tatapan kosong, tak lagi mengenalnya, tak lagi mengingat kisah mereka. Yang lebih menyakitkan, ingatan yang tersisa justru tentang pria lain, mantan suaminya, Alan.Hal tersebut, membuat Rain ragu untuk menemui Arumi, dan beberapa hari terakhir, dia memilih tak datang ke rumah kekasihnya. Padahal Arumi sudah menunggunya. Malam itu, Arumi pun memutuskan untuk datang ke rumah Rain. Gadis itu berdiri di ambang pintu, mengetuk pelan pintu rumah tersebut. Lalu, tak berapa lama, pintu itu pun terbuka, dan Bu Hani berdiri di depannya."Selamat malam, Bu.""Oh Arumi, ayo masuk, Nak." Bu Hani menyuruh Arumi masuk ke dalam rumah dengan lembut, sambil memperhatikan wajah ga

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 239

    Arumi menatap secangkir cappuccino di hadapannya, uap hangat mengepul pelan, seolah menari di udara. Namun, pikirannya jauh lebih dingin dan berkabut daripada minuman itu. Di depannya, Kanaya duduk dengan tenang, sesekali mengaduk minumannya tanpa benar-benar meminumnya."Jadi ...." Arumi membuka suara, suaranya terdengar ragu. "Apa aku benar-benar mencintainya?"Kanaya mengangkat wajahnya, menatap kakak tirinya dengan sorot lembut tapi penuh berhati-hati. "Yang aku tahu, kalian sudah menjalin hubungan cukup lama. Kalau tentang bagaimana perasaanmu padanya, aku nggak tahu."Arumi mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. Kekasih, kata itu terdengar begitu asing. Dia menggigit bibir, menatap jemarinya sendiri yang menggenggam sendok kecil. "Tapi, aku sama sekali nggak ingat sedikitpun tentang dia. Bahkan, saat berada di sampingnya tak ada sama sekali getaran layaknya orang jatuh cinta."Kanaya menghela napas. "Itu wajar. Amnesiamu membuatmu melupakan banyak hal. Tapi Rain ....

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 238

    Arumi terdiam di dalam mobil yang berhenti di depan rumah megah itu, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi bukan itu yang membuatnya gemetar, melainkan ketakutan yang mencengkeram hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberanikan diri datang ke rumah mantan mertuanya, tempat Kenan kini tinggal.Di sampingnya, Kanaya menyentuh lengannya pelan. “Kak, kalau belum siap, kita bisa balik,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh dukungan. Kayana mengatakan itu bukannya tanpa alasan, karena pesan yang dikirimkan Alan pun terlihat ambigu.Alan tak mengatakan Kenan mau bertemu dengan Arumi atau tidak, hanya menyuruh mereka untuk datang.Arumi menghela napas panjang. “Aku harus melakukan ini, Nay. Aku sudah terlalu lama membiarkan jarak di antara kami.”Kanaya mengangguk, meski dia tahu ini tidak akan mudah. Dia tahu, Kenan, yang selama ini menyimpan luka dan kebencian, mungkin tidak akan menerima Arumi begitu saja dengan mudah.Keduanya pun turun dari

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 237

    Alan dan Bu Sinta duduk berhadapan dengan Kenan di ruang tengah. Wajah mereka penuh harap, sementara Kenan menundukkan kepala, tangannya erat menggenggam mobil-mobilan birunya.“Mama mau ketemu kamu, Kenan.”Suara Bu Sinta terdengar lembut, seolah takut membuatnya marah. Namun, Kenan menggeleng cepat. “Nggak mau.”Anak itu masih menolak, meskipun sudah lama dia tak bertemu dengan Arumi. Alan sebenarnya paham, memang hal tersebut membuat luka yang besar di dalam hati. Kejadian itu memang sudah lama berlalu, tapi Kenan masih ingat malam itu, di mana dia melihat Arumi bermesraan dengan pria lain yang bukan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Namun, Kenan tak mengetahui itu, yang Kenan tahu, ayah kandungnya hanyalah Alan.Sejak saat itu, Arumi menjadi sesuatu yang asing baginya. Kenan seolah membuat jauh-jauh wanita itu dalam hidupnya.“Tapi, Kenan. Mama Arumi kangen sama kamu,” bujuk Bu Sinta lagi. Meskipun Bu Sinta tak terlalu menyukai Arumi. Nam

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 236

    Di dalam kamar milik Arumi yang berwarna pastel dengan pencahayaan temaram dari lampu meja, Arumi dan Kanaya, duduk di atas sofa. Arumi bersandar pada sofa tersebut, sementara Kanaya duduk dengan gelagat canggung di sampingnya, memainkan ujung pakaian yang dia kenakan dengan jemarinya.Kanaya tak tahu apa yang akan Arumi bicarakan. Sejujurnya di dalam hati Kanaya, ada rasa cemas dengan apa yang akan dikatakan oleh Arumi. Kanaya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk.Sedangkan Arumi, menghela napas pelan, menatap langit-langit sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada Kanaya."Aku minta maaf ...."Suara lirih Arumi memutus keheningan. Matanya kini tampak berkaca-kaca, menggenggam gelas kopi yang mulai mendingin. Beberapa minggu terakhir adalah mimpi buruk baginya—kehilangan ingatan, perasaan kacau, dan prasangka yang salah terhadap Kanaya."Minta maaf untuk apa, Kak?"Kanaya menatap Arumi dengan sabar, meskipun jelas ada luka di matanya. Arumi menarik napas dalam, m

  • Simpanan Ayah Angkat   Bab 235

    Arumi menatap wajah lelaki paruh baya di depannya dengan mata nanar. Ayahnya baru saja menceritakan tentang siapa dirinya sebelum amnesia merenggut sebagian ingatannya. Namun, alih-alih menemukan ketenangan, yang dia rasakan justru kesedihan yang begitu dalam.Apalagi saat mengetahui jika ternyata ibunya masuk rumah sakit jiwa akibat tekanan batin karena telah berbuat jahat pada ibu kandung Kanaya sampai meninggal. Arumi benar-benar tak menyangka jika kehidupan masa lalunya seburuk itu."Dulu Mama kamu juga sengaja suruh kamu buat angkat Kanaya sebagai anak, beberapa hari setelah ibunya Kanaya meninggal. Dia melakukan itu karena merasa bersalah, apalagi saat itu Kanaya juga menjadi gelandang."Arumi memejamkan mata, hatinya seakan teriris mendengar penuturan demi penuturan ayahnya yang terasa begitu menyakitkan."Jadi, aku dulu seperti itu?" Suara Arumi bergetar, nyaris tak terdengar.Pak Rama mengangguk perlahan, wajahnya penuh luka yang tak kasat mata. "Kau pernah menjadi wanita yan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status