Shania menikah dengan Alex, meskipun tahu lelaki itu memiliki kekasih, Maura. Malam pertama mereka berubah menjadi malapetaka ketika Alex, dalam keadaan mabuk, memaksa Shania untuk menunaikan kewajiban sebagai istri. Shania merasa sakit dan trauma. Harapannya seolah sirna, dan kini ia harus memilih antara mempertahankan martabatnya, melawan Alex atau menerima kenyataan pahit menjadi orang asing di kehidupan pernikahannya sendiri.
View MoreMeskipun kaget, tapi nyatanya Shania senang mendapat lamaran dari Alex tersebut. Ia lupa bahkan mungkin tak peduli akan hubungan Alex dengan Maura. Sebab yang ia tahu, perempuan itu pergi ke luar negeri untuk meningkatkan karirnya di dunia desain. Shania tidak bertanya kepada Alex mengenai hubungannya dengan Maura. Ia kadung bahagia dan memilih untuk diam hingga pernikahan terjadi. "Baiklah, kalau kalian memang setuju. Kita tinggal cari tanggal pernikahan yang pas. Tapi, sebelumnya kami mau kamu dan orang tuamu datang langsung ke rumah ini secara resmi untuk melamar Shania. Kami mau lamaran dan pernikahan diselenggarakan secara terbuka agar semua masyarakat tahu bahwa kalian menikah bukan karena masalah.""Tentu saja, Om. Aku juga memang mau peristiwa sakral ini dilangsungkan secara terbuka. Biar semua orang tahu status aku dan Shania."Alex benar-benar meyakinkan Shania juga kedua orang tua temannya itu bahwa ia bersungguh-sungguh menjalin hubungan serius, yakni pernikahan. Bahkan
Dua tahun sebelumnya. Shania berlari mencari ibunya setelah pulang dari tempatnya bekerja."Bu! Ibu!" teriak Shania ketika sudah berada di ruang tengah, yakni ruangan megah yang kerap dijadikan tempat berkumpulnya keluarga. "Ibu di dapur!" Teriakan wanita lainnya menggema di rumah besar tersebut. Shania tersenyum, ia lalu berlari menuju dapur di mana ibunya berada. Tapi, ia tidak menemukan sang ibu ada di sana. Merasa heran, Shania pun kembali berteriak. "Bu! Di dapur mana sih? Kok enggak ada.""Dapur belakang," sahut ibunya lagi. Menambah langkahnya sekian meter ke belakang, akhirnya Shania berhasil menemukan ibunya. Wanita itu terlihat berantakan dengan noda tepung menempel di muka dan tangannya. "Ada apa teriak-teriak? Kaya tinggal di hutan aja," sahutnya kesal —sama sekali tidak menyadari bahwa rumah yang ditempati itu memang seperti hutan kecil sebab memiliki luas area yang luar biasa. "Ibu lagi ngapain?" tanya Shania seraya berjalan mendekat, lalu mencium pipi kiri dan ka
Suasana senja terlihat begitu memukau dalam pandangan Shania yang berdiri di jendela kamar. Pepohonan yang berdiri di luar menambah ketenangan yang perempuan itu sudah lama tidak rasakan. Mentari sudah mulai menurun mendekati garis horizontal yang tak tampak. Warna keemasan di balik pepohonan rindang, membuat Shania penasaran dan mencoba mendongak, mencari. Saat Shania masih menikmati pemandangan menakjubkan di luar sana, tiba-tiba terdengar pintu terbuka dari luar. "Ini cemilan yang kamu minta." Rachel muncul sembari membawa nampan yg cukup besar. Di atasnya terdapat banyak cemilan, juga minuman yang Shania pesan. Gadis itu meletakkan nampan di atas meja. Lalu, menghampiri sang sahabat, yang kembali menatap keluar setelah sempat menengok, menatapnya. "Kenapa kamu memilih tempat ini untuk pergi?" tanya Rachel kini berdiri di sebelah Shania. Tatapan keduanya sama-sama ke depan, memandang senja yang semakin lama semakin menghilang, berlabuh kembali ke peraduannya. "Menurut kamu b
Sekian detik berlalu semua orang menunggu Shania bicara. Hingga ketika Rachel mencolek tangannya, istri Alex itu akhirnya tersadar dari lamunan. "Rachel, maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir." Shania mulai berkata sembari menggenggam tangan sang sahabat. Gadis di depannya menarik napas dan menunggu kalimat apa yang akan sahabatnya itu katakan. "Itu bukan masalah. Aku rela melakukan apapun supaya kamu bahagia." Linangan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Selepas itu Shania memandang Alex yang menatapnya angkuh. "Alex, ayo kita bercerai."Tak percaya dengan ucapan Shania, Alex sontak beranjak maju dan menghampiri istrinya itu dengan ekspresi marah. Di belakangnya, Maura terlihat bahagia dengan senyum mengembang di bibirnya. Ditatapnya Shania tanpa kata. Lalu, beralih menatap Rachel yang menunjukkan ekspresi puas. Alex seolah berkata, 'semua gara-gara kamu!'"Apakah keputusanmu itu sudah finish, Shania?" tanya Alex dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. Shania me
Suasana tegang sekaligus menguras emosi, Rachel dan Shania rasakan saat ini. Masuk ke ruangan kerja Alex seperti seorang penguntit demi mengetahui apa yang tengah pengusaha itu lakukan bersama kekasihnya di dalam, membuat mereka terlihat gugup sekaligus cemas. "Kita keluar saja. Batalkan rencana kamu," bisik Shania sembari memegang tangan Rachel. Namun, Rachel menggeleng tegas. "Aku akan tetap masuk. Tak peduli apa yang tengah mereka lakukan, aku mau meminta penegasan dari Alex untuk hubungan kalian. Syukur-syukur aku menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan kamu pergi tanpa perlu susah payah memintanya."Shania menatap pasrah. "Kita menemukan sesuatu atau tidak, aku akan tetap pergi, Chel.""Tapi, setidaknya tidak ada kesempatan bagi Alex untuk kembali padamu saat ia mengetahui bahwa kamu mempunyai anak, yaitu darah dagingnya."Shania tak lagi berdebat. Ia membiarkan Rachel yang kemudian melepaskan genggaman tangannya. Sahabatnya itu berjalan menyusuri ruangan yang pencahayann
Shania khawatir melihat cara mengemudi Rachel sekarang. Kecepatan yang lumayan tinggi, membawa keduanya sampai di tujuan dengan sangat cepat. Tak peduli meski jalanan padat dan penuh, Rachel mampu mengendarai mobilnya dengan sangat apik, juga keren. "Kita tidak perlu melakukan ini, Chel." Shania berkata dengan binar matanya yang terlihat menyakitkan. "Kita justru harus melakukan ini!" kata Rachel berkata tegas. Shania menggeleng. "Aku sudah biasa. Jadi, tidak perlu kita menemui mereka.""Lebih baik kamu diam, Shania. Kalau tidak konsentrasiku akan terganggu."Ucapan Rachel sontak membuat Shania terdiam. Ia tak lagi bicara hingga mobil sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Alex. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang petugas keamanan memberi hormat ketika mobil yang Rachel dan Shania tumpangi lewat. "Selamat siang, Bu Rachel.""Siang, Pak. Terima kasih.""Sama-sama."Interaksi antara Rachel dan petugas security luput dari pandangan Shania. Karena sejatinya, perempuan itu lebih
Suasana jalan raya tampak padat ketika Shania sudah mengaspal. 'Padahal belum jam istirahat,' gumamnya. Shania harus fokus menyetir sebab banyak kendaraan roda dua yang tak mau bersabar dalam melajukan kendaraannya. Cuaca yang cukup terik membuat sebagian dari mereka terburu-buru menghindari panasnya matahari. Lain dengan yang di dalam mobil, mereka bisa menyalakan AC sehingga tidak mempengaruhi kondisi cuaca di dalam. Shania masih belum menemukan tujuannya. Sampai saat ini Rachel juga belum membalas pesannya. 'Dia benar-benar sibuk sekarang,' batin Shania tersenyum. Tidak tahu harus kemana, Shania memilih membelokkan mobil ke arah mall. Ia akan melupakan kebersamaan Alex dan Maura dengan mencuci matanya di dalam sana. Pusat perbelanjaan yang ada di pusat kota adalah tempat favorit yang kerap Shania kunjungi bersama Rachel dulu. Namun, setelah ia menikah, kegiatan 'window shopping' yang menjadi agenda weekend bersama sahabatnya itu tak pernah lagi dijalani. Alex benar-benar tel
Ketika Alex hampir menempelkan bibirnya ke bibir Shania, tiba-tiba muncul asisten rumah tangga yang saat itu sontak mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ma-Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Tolong maafkan saya." Suara pelayan itu terdengar bergetar. Sepertinya ia takut pada Alex karena merasa sudah melakukan kesalahan. "Ada apa?" Alex masih dengan posisinya —memangku Shania yang sejak kepergok sang pelayan, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.Namun, lelaki itu menahan gerakan tubuh sang istri agar tidak kabur. "Maaf, Pak Alex. Ada tamu di luar cari Bapak." Pelayan itu masih memandang ke arah lain, enggan memandang sang majikan, yang saat itu posisinya membuat dirinya tak nyaman. "Tamu? Siapa?""Beliau memperkenalkan dirinya, Maura."Alex sontak menatap Shania. Ia terkejut, tak menyangka kalau Maura akan berani datang ke rumah yang ia tempati bersama Shania. Sikap Alex yang kurang waspada, membuat Shania berhasil melepaskan diri dari cengkeramannya. "Di mana dia sekaran
Shania sedang menikmati buah melon ketika Alex muncul dengan wajah kesal. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" tanya Alex marah. Shania menatap heran. 'Apa apa dengannya? Kenapa ia marah-marah tak jelas.'"Kenapa diam? Jawab pertanyaanku. Kenapa saat aku telepon tadi pagi kamu tidak merespon?""Aku sedang di kamar mandi." Shania menjawab santai. Potongan melon tetap menjadi perhatiannya meski di depannya saat ini sudah ada Alex yang tengah menatapnya tajam. "Kenapa kamu tidak menghubungiku balik?""Sudah," jawab Shania sembari mengunyah. "Apa kekasihmu tidak menyampaikan hal tersebut?" Shania bertanya balik saat melihat ekspresi tak percaya di wajah Alex. "Maura? Apa hubungannya dengan Maura?"Shania meletakkan garpu ke atas piring. Ia lalu meneguk air mineral yang ada di sebelah piring. "Aku menelepon balik, tapi kekasihmu yang menerimanya.""Jangan mengarang cerita. Kamu cuma mau mencari alasan supaya aku tidak marah 'kan?"Shania tersenyum sinis. "Sepertinya perempuan itu
Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang selalu mendapatkan perhatian semua orang, baik mahasiswa juga dosen. Cinta keduanya yang dulu selalu penuh gairah, kerap membuat iri siapa saja yang melihat, termasuk dirinya yang sudah lama jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. "Shania, sudah waktunya," panggil ibunya dari luar kamar.Ia mengambil napas dalam-dalam dan keluar, menuju ke malam pernikahan yang akan mengubah hidupnya selamanya.Shania melangkah ke aula pernikahan yang megah dan mewah yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Ia melihat Alex, calon suaminya, yang tampan dalam balutan jas putih yang membuatnya bak pangeran berkuda, tersenyum menatapnya. Namun, Shania tahu jika senyum lelaki itu...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments