Luna terjebak dalam pernikahan yang penuh luka. Hendri, suaminya, selalu memperlakukannya dengan kasar, baik secara fisik maupun emosional. Dalam hati, Luna menyimpan kerinduan pada hidup yang bahagia, tetapi rasa takut dan kewajibannya sebagai istri membuatnya bertahan. Namun, segalanya berubah saat Luna menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu kembali dengan Adrian, mantan kekasihnya yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Pertemuan itu membawa kembali kenangan indah yang sempat terkubur. Percakapan yang dimulai dengan canggung perlahan berubah menjadi kehangatan yang mengingatkan Luna pada siapa dirinya sebelum semua luka itu datang. Keakraban Luna dan Adrian tak luput dari perhatian Hendri. Cemburu yang memuncak membuat Hendri semakin kasar, hingga memicu pertengkaran besar di antara mereka. Dalam kemarahannya, Hendri tak sengaja membongkar rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan—skandal yang tak hanya menghancurkan kepercayaan Luna, tetapi juga membuatnya harus mempertimbangkan kembali apa arti pernikahan dan kebahagiaan. Luna kini dihadapkan pada pilihan sulit: terus bertahan dalam pernikahan yang melukainya, atau mencari keberanian untuk mengejar kebahagiaan, meski itu berarti meninggalkan segalanya dan merangkai kembali jejak rindu yang tak pernah usai. "Jejak Rindu yang Terlarang" adalah kisah tentang cinta lama yang kembali menyala, keberanian untuk melawan ketidakadilan, dan perjalanan seorang wanita menemukan kembali dirinya di tengah badai kehidupan.
View MoreAdrian mengajak Luna dan Rafi ke pusat perbelanjaan besar yang agak jauh dari rumah, alasannya mencari playground yang lebih besar dan lengkap untuk Rafi. Meaki harus ditempuh dengan 1 jam lebih perjalanan.Namun begitu, pilihan Adrian benar-benar membuat Rafi bahagia karena hampir semua permainan yang dia idamkan ada di sana.Rafi segera menjajal satu persatu wahana permainan di sana, tak lupa bersorak riang setiap kali ia berhasil menaklukkan permainan yang ia coba. Matanya berbinar-binar penuh semangat, dan tawa kecilnya terus mengalun, membuat Luna tak henti-hentinya tersenyum.“Mama, lihat! Aku bisa naik ini sendiri!” seru Rafi sambil memanjat dinding panjat mini dengan penuh percaya diri. Tangannya yang mungil menggenggam erat pegangan demi pegangan, sementara kakinya dengan cekatan mencari pijakan."Hati-hati, Sayang!" seru Luna dari pinggir arena sementara Adrian berdiri di bawah, siap siaga jika sewaktu-waktu Rafi kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Boy. Pegang yang kuat, ya
"Kami belum menemukan keberadaan Pak Hendri, Bu." Luna dan Bu Septi saling berpandangan dengan tatapan khawatir. Sedangkan Pak Pramono menyandarkan punggungnya disertai helaan nafas panjang.Setelah hampir dua minggu lamanya menanti, akhirnya Luna mendapatkan kabar dari pengacaranya. Sayangnya, kabar yang dia terima tidak seperti yang dia inginkan."Jadi Hendri benar-benar kabur?" ulamg Pak Pramono lagi. Memastikan apa yang dia dengar tidaklah salah."Betul, Pak. Sejak kejadian hari itu, sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan Pak Hendri. Menurut informasi, Pak Hendri sudah hengkang dari perusahaan tempatnya bekerja sehari sebelum hari kejadian dan beliau juga tidak perbah terlihat pulang ke kediaman Bu Luna." tambah Pak Sandy selaku pengacara Luna."Jadi, siapa yang tinggal di rumah saya?" tanya Luna penasaran."Hanya Bu Marni dan Bu Siska saja. Itu pun hanya sekitar satu minggu. Setelahnya rumah Ibu kosong." Kenyataan ini membuat Luna terkejut luar biasa. Pasalnya dia mengi
"Terimakasih," kata Luna setelah mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Pak Pramono."Sama-sama ... salam buat Rafi, Ayah dan Ibu, ya ... maaf gak bisa mampir." balas Adrian tersenyum begitu lebar.Luna mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Akan tetapi Adrian lebih dulu turun dan memutari mobil kemudian membukakan pintu untuknya.Perlakuan sederhana yang membuat wanita berbunga-bunga, tapi tidak semua laki-laki mau melakukannya. Namun, Adrian melakukannya. Membuat hati Luna tak karuan rasanya. Antara senang, bahagia tetapi juga malu yang mendera sebab mereka tak hanya berdua saja, tetapi ada Angga yang ikut serta.Ia bahkan bisa melihat raut keheranan dari asisten pribadi Adrian itu ketika melihat atasannya membukakan pintu untuknya."Terimakasih sekali lagi, malah jadi ngerepotin." ungkap Luna setelah turun dari mobil."Iya, Aluna ... aku senang melakukannya." balas Adrian menatap lekat wajah Luna, namun buru-buru dia sudahi mengagumi wajah ayu itu. Bisa-bisa, dia tidak j
Luna melangkah terburu meninggalkan basement setelah mengambil tasnya dari dalam mobil Adrian. Jam masuk masih tersisa 5 menit lagi tetapi dia harus buru-buru sebab perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya setelah kejadian beberapa saat lalu.Luna memejamkan mata sesaat di samping mesin fingerprint, jantungnya masih berdetak tak karuan. Teringat lagi kejadian di taman tadi, bisa-bisanya dia ikut terbuai dan menikmati moment bersama Adrian."Ngapain, Lu?" Sakit?" tepukan Alya di bahunya sontak membuatnya membuka mata lebar-lebar.Luna gugup mendapat tatapan seintens itu dari Alya. "E-enggak ... gue baik-baik aja, kok." "Ya, terus ngapain di sini? Muka Lu merah gitu?" tanya Alya semakin keheranan, ia berniat menyentuh kening Luna tetapi Luna segera menghindar."Lu baru dateng juga?" tanya Luna mengalihkan perhatian Alya. Alya mengangguk, lalu melakukan absensi dengan tatapan mata tetap tertuju pada Luna yang masih berdiri di sebelah mesin fingerprint."Yuk!" ajaknya setelah absen be
Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu
Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic
"Aku ...""Eh, ada nak Adrian, to ... Kok, gak masuk?" Suara cempreng Bu Septi menyela Adrian yang hendak bicara. Luna menghela nafas kecewa. Padahal sedikit lagi segala tanya dalam benaknya akan menemukan jawaban. Malah ibunya terlanjur datang."Iya, Bu ... saya juga baru saja datang, kok." balas Adrian menyalami Bu Septi."Hayuk masuk, udah mau Maghrib." kata Bu Septi lagi lalu beralih memanggil cucunya yang masih asyik bermain di halaman.Adrian hendak membantu Luna berdiri, tapi dengan tegas Luna menolak. "Aku bisa sendiri, Adrian." "Yasudah ... pelan-pelan saja." kata Adrian perhatian.Usai shalat Maghrib, mereka berkumpul duduk di ruang keluarga, berbincang hangat selayaknya keluarga dekat."Em ... maaf, Nak Adrian. Kalau boleh, Bapak mau bicara sesuatu." kata Pak Pramono mengalihkan perhatian semua orang.Mbak Jum segera mengajak Rafi untuk menyingkir dari sana karena dia tahu akan ada pembicaraan orang dewasa."Iya, Pak, silakan." jawab Adrian tetap tenang."Terimakasih seka
Dua hari kemudian Luna sudah diperbolehkan pulang, dibantu Bu Septi Luna melangkah perlahan menuju lift yang akan mengantarnya turun ke lantai satu gedung rumah sakit itu."Tadi, Adrian bilang akan jenguk kamu di rumah." kata Bu Septi setelah kotak berjalan itu tertutup sempurna."Adrian?" gumam Luna memastikan. Bu Septi mengangguk.Sejak dua hari yang lalu, Adrian belum datang lagi ke rumah sakit. Luna berpikir bahwa Adrian memang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Adrian juga mengatakan hal yang sama di chat kemarin."Tadi pas kamu mandi, dia telepon ke hp kamu, jadi Ibu yang jawab kalau hari ini kamu boleh pulang, gitu." beritahu Bu Septi diakhiri dengan kekehan kecil. Membuat Luna menggeleng pelan."Ibu, ih," decak Luna dengan senyum kecil."Sama Ibu gak boleh main rahasia-rahasiaan." goda Bu Septi lagi."Rahasia apa, sih, Bu? Luna gak ada apa-apa sama Adrian, cuma teman." kilah Luna menyangkal meski wajahnya memanas."Iya, Ibu juga tahu." kekeh Bu Septi dengan nada menggoda."Tapi
"Semua proses hukum sudah aku serahkan sama pengacara, kamu tinggal ikuti prosesnya saja." Beritahu Adrian yang baru datang lagi setelah pulang dari kantor. Kini Luna sudah lebih baik, tapi masih hatus dirawat di rumah sakit.Selama dua hari dirawat, selama itu pula Adrian menemaninya bersama Rafi dan Mbak Jum. Kalau siang, Luna ditemani oleh keluarganya yang kemarin baru datang dari acara wisuda Andra di Jogja.Ayah dan Ibu Luna sangat marah dan kecewa terhadap perilaku menantunya. Mereka sering memperingati Luna untuk berpisah saja andai Hendri tak juga mau berubah. Namun, Luna masih saja bertahan walau Hendri memamg kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya.Puncaknya adalah kemarin, Luna sampai harus mendapat perawatan intensif akibat perbuatan Hendri. Sejak saat itu juga, Pak Pramono tidak lagi mengijinkan Luna membela Hendri walau sekedar ucapan. Pak Pramono dan Bu Septi jugalah yang mendesak Luna untuk segera melaporkan tindak kekerasan ini pada pihak yang berwajib."Terima
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments