[Ayo bertemu, Aluna]
Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pelan, Luna masuk, berharap bisa langsung ke kamar tanpa memicu keributan. Namun, harapannya pupus begitu ia mendengar suara nyaring ibu mertuanya dari arah dapur. "Luna! Dari mana kamu? Kenapa baru pulang sekarang?!" seru ibu mertuanya dengan nada tinggi. Luna berhenti di tengah pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, berusaha menenangkan diri sebelum menanggapi. "Iya, Bu. Saya tadi mampir di kafe ketemu teman," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. "Di mana Rafi?" selidik ibu mertuanya lagi. "Masih di rumah Ibu, belum mau diajak pulang." jawab Luna sebenarnya. "Halah, paling alasan kamu saja yang mau keluyuran keluar sana. Atau jangan-jangan kamu ada main di belakang Hendri?" tuduh ibu mertuanya dengan mata memicing. Luna membawa langkah menuju kamarnya tak ingin menanggapi tuduhan mertuanya. "Heh, Luna! Kurang ajar sekali kamu, diajak bicara orang tua itu nyahut!" "Apalagi, Bu? Saya capek, mau istirahat." balas Luna kesal. "Kamu pikir sudah nggak ada kerjaan?!" Ibu mertuanya melangkah mendekati Luna dengan tatapan tajam. "Seharian pergi, nggak masak, nggak ninggalin makanan buat saya dan Siska. Kamu itu istri yang nggak tahu tanggung jawab!" Luna mengepalkan tangan di sisinya, berusaha menahan emosi. "Saya kira Mbak Siska bisa bantu masak, Bu. Kenapa harus saya yang selalu disalahkan?" Siska, yang baru saja keluar dari kamar karena mendengar keributan menatap Luna dengan sinis. "Enak banget ya ngomongnya. Aku capek, momong anakku seharian. Bukan tugas aku masak, harusnya kamu sebagai tuan rumah masakin kita sebelum pergi." Luna menatap Siska dengan tatapan meremehkan, "sadar kalau aku tuan rumah di sini? Kenapa ngatur-ngatur aku?" "Jaga bicaramu! Kami di sini karena permintaan Hendri. Agar mengawasi kamu selama dia pergi, biar kamu gak macam-macam. Eh, ini malah keluyuran gak jelas seharian." Kalimat itu terasa seperti tamparan bagi Luna. Ia menahan napas, mencoba menekan perasaan sakit dan amarah yang membuncah. "Saya tidak butuh kalian di sini. Ini rumahku dan aku bisa melakukan apapun di sini. Aku akan bicara dengan Hendri tentang keberadaan kalian di sini." Ibu mertuanya terlihat semakin marah. "Bicara dengan Hendri? Kamu pikir Hendri akan membelamu? Jangan mimpi, Luna! Dia pasti lebih memilih keluarganya daripada perempuan nggak berguna seperti kamu!" Ucapan itu menusuk hati Luna. Ia menatap ibu mertuanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tetapi ia tak ingin menunjukkan kelemahannya. "Saya ke kamar dulu, Bu. Saya sudah capek." Tanpa menunggu jawaban, Luna melangkah menuju tangga. Ia mendengar ibu mertuanya masih mengomel di belakangnya, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Sampai di kamar, Luna mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas ranjang. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Di tengah tangisannya, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini bukan dari Adrian, melainkan dari Ayu. Dengan tangan gemetar, Luna membuka pesan itu. [Maaf baru balas, Lun. Aku nggak punya foto Ratna, tapi dia sering datang ke butik langganan mamaku. Aku coba tanyakan alamatnya, ya.] Pesan itu membawa secercah harapan bagi Luna. Jika ia bisa menemukan Ratna, mungkin ia bisa menemukan jawaban atas kegelisahannya selama ini. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin menangis. Semua beban yang ia tahan terlalu lama terasa semakin berat. Luna memejamkan mata, berharap tidur bisa menjadi pelarian sementara dari semua masalah yang menghimpitnya. Tapi bahkan di dalam keheningan malam, bayangan ibu mertuanya, Hendri dan Ratna terus menghantui pikirannya.Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Langkah kaki Luna terus menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Aroma obat-obatan menyeruak, semakin mempertegas suasana yang penuh kekhawatiran. Tubuhnya hampir lunglai, tapi kekuatan seorang ibu membuatnya bertahan. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang menatap penuh keheranan pada langkah tergesa dan wajahnya yang penuh kecemasan."Ibu!" Luna berseru, suaranya parau.Di ujung lorong, ibunya terlihat duduk di bangku tunggu dengan wajah pucat. Tangannya bergetar, menggenggam erat saputangan yang telah basah oleh air mata. Begitu melihat Luna, wanita itu berdiri dengan tubuh limbung, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan anaknya.Luna bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar hebat. "Gimana Rafi sama Ayah, Bu?" tanyanya dengan napas tersengal, suaranya pecah. Ia takut mendengar jawabannya, namun ia harus tahu.Ibunya tidak langsung menjawab. Isakannya terdengar makin keras, membuat dada Luna semakin sesak. "Mereka … mereka masih di dalam," ucapny
"Kenapa, Lun?" Luna menatap ponselnya yang mulai meredup, "gak diangkat, Bu. Mungkin sudah tidur." sahut Luna pelan. Dalam hatinya meragukan jawabannya sendiri."Yasudah, kirim pesan saja." Luna mengangguk lalu menuliskan pesan yang kemudian dikirimkan ke nomor suaminya.Hening, ibu dan anak itu larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai hampir tengah malam, Luna mengajak ibunya untuk ke ruangan Rafi saja agar bisa beristirahat. Toh, di ruang ICU pasien tidak boleh ditemani.Malam kian larut, tetapi Luna tak dapat memejamkan mata sedikit pun. Suara anak perempuan itu terus terngiang di telinganya.Siapa anak itu?Benarkah Hendri memiliki wanita lain? Atau malah anak itu adalah anak Hendri dengan wanita bernama Ratna itu?Segala tanya dan duga memenuhi kepalanya. Luna mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dengan memejamkan matanya, tetapi suara anak perempuan itu terus menghantui. Terekam dengan jelas bagaimana anak itu memanggil 'papa' sedangkan yang dia hubungi adalah nomor ponsel
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini." tegas Luna pada dirinya sendiri. Tubuh yang merosot dia bawa untuk bangkit berdiri, menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian membawa langkah kembali ke depan ruang ICU dimana ibunya berada."Gimana, Lun?" tanya Bu Septi. Luna mengulas senyum."Hendri sudah tahu, Bu." sahutnya pelan."Dia tidak menyalahkan kamu 'kan, Nak?" tersirat kekhawatiran yang mendalam dalam tanya Bu Septi karena dia pun sedikit banyak sudah tahu tabiat menantunya itu."Tidak, Bu, jangan khawatir." Luna menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dalam hati merutuki kebohongannya pada sang ibu."Andra naik apa katanya, Bu?" tanya Luna mengalihkan fokus Bu Septi padanya."Ibu belum lihat hp lagi, Lun. Cuma katanya semalam mau cari tiket kereta terakhir sudah gak dapat. Paling subuh mau berangkat dari sana tapi gak tahu naik apanya." jawab Bu Septi mengingat percakapan dengan adik Luna."Coba Luna telepon dulu," putus Luna lalu mencari kontak adiknya yang se
"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
"Bukan suaminya yang lebih dulu dihubungi malah lelaki lain." sarkas Bu Yuni -mertua Luna- tatapannya sinis ke arah Adrian yang berdiri tak jauh darinya bersama Bu Septi.Adrian paham jika kalimat sarkas itu tertuju untuknya, akan tetapi dia memilih abai. "Saya pamit dulu, Bu, mari." pamit Adrian lagi pada Bu Septi kemudian melenggang pergi melewati Bu Yuni begitu saja.Tatapan sinis Bu Yuni tetap terpatri di wajahnya, Bu Septi hendak menyapa namun Aluna segera menyela."Tumben Ibu mau datang?" kata Luna tak kalah sarkas.Bu Yuni melotot tak percaya mendengar ucapan Luna."Rafi anak Hendri, cucu saya.""Oh, diakui jadi cucu sekarang? Selama ini ke mana saja?" sinis Luna."Jaga mulutmu, Luna! Kamu--""Loh, benar 'kan? Bukankah cucu Ibu cuma Arsya sama Sheril? Itu Ibu sendiri 'kan yang ngomong pas ada arisan keluarga lebaran kemarin. Lupa?"Balas Luna dengan berani, hatinya masih berkedut sakit setiap mengingat perlakuan dari mertuanya itu. Selama 7 tahun lamanya, Rafi tak dianggap cuc
Pagi datang terasa berat, karena hari ini Luna harus ke kantor dan itu artinya harus meninggalkan Rafi di rumah sakit hanya bersama dengan Andra. Beruntung, om dan keponakan itu bisa diajak kerja sama, sehingga meski berat, Luna tidak perlu merasa khawatir meninggalkan anaknya untuk bekerja.Sampai di kantor, tentu saja Luna lebih dulu mendapat sambutan omelan oleh atasannya sebab pekerjaan yang menumpuk dan tertunda penyelesaiannya karena Luna ijin kemarin."Luna saya minta laporan untuk PT Surya Jaya selesai pagi ini. Nanti jam sebelas siang jangan lupa ada meeting mingguan, pastikan tim kamu sudah siap dengan semua presentasinya." titah Pak Bagas tegas."Baik, Pak," sanggup Luna kemudian bergegas mengerjakan pekerjaannya setelah menginformasikan perintah atasannya kepada semua timnya.Luna menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut menatap tumpukan pekerjaan di hadapannya.Pekerjaan memang tidak pernah ada habisnya di kantor, tapi hari ini rasanya
Sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ruang rawat Rafi. Rasanya sudah rindu sekali meski baru beberapa jam tak bersua.Begitu membuka pintu ruang rawat, tatapannya tertuju pada keberadaan Hendri di sana. "Mama ...." seru Rafi begitu menyadari keberadaan Luna.Luna mengukir senyum, lalu melangkah mendekat ke arah ranjang Rafi."Gimana kondisi jagoan Mama hari ini?" tanya Luna usai meluk erat putranya."Kata dokter besok aku udah boleh pulang, Ma," lapor sang anak."Benarkah? Wah, anak hebat." puji Luna mengusap kepala Rafi dengan lembut.Tatapan Luna beralih ke arah Hendri yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun."Kapan kamu datang?" tanya Luna datar."Belum lama," sahut Hendri terdengar dingin."Oh," tanggap Luna cuek."Siapa Adrian?" Luna tertegun. Pertanyaan Hendri datang begitu tiba-tiba, menusuk tanpa aba-aba. Seketika itu juga, udara di dalam ruangan terasa menegang.Hendri menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan. "Aku bertanya, s
Luna men-silent ponselnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku blazernya. Dia abaikan dulu pesan dari Ayu yang membuat dugaannya semakin menguat kalau kepergian Hendri ke luar kota memang bukan karena pekerjaan.Sepanjang meeting, Luna pusatkan pikirannya hanya pada pekerjaan. Dia tidak mau membuat kesalahan sedikit pun, termasuk ketika dia harus mempresentasikan proposal yang devisinya buat."God job, Luna." puji Pak Bagas usai dia melakukan presentasi dan menuai decak kagum dari jajaran direksi.Luna tersenyum samar, dalam dirinya bertekad untuk tidak boleh gagal dalam pekerjaan ini.Usai meeting, tak sempat lagi dia pergi ke kantin untuk makan siang karena dia sudah ditunggu timnya yang lain."Mbak Luna ini pesanannya," ucap OB devisinya yang membawakan nasi kotak yang dia pesan melalui go food."Terimakasih, Mbak Hany." balas Luna beralih fokus dari layar komputer."Bahkan makan aja kagak ada rasanya, ya, Lun." celetuk Alya yang juga sedang menikmati makan siang sambil bekerja.L
Pagi datang terasa berat, karena hari ini Luna harus ke kantor dan itu artinya harus meninggalkan Rafi di rumah sakit hanya bersama dengan Andra. Beruntung, om dan keponakan itu bisa diajak kerja sama, sehingga meski berat, Luna tidak perlu merasa khawatir meninggalkan anaknya untuk bekerja.Sampai di kantor, tentu saja Luna lebih dulu mendapat sambutan omelan oleh atasannya sebab pekerjaan yang menumpuk dan tertunda penyelesaiannya karena Luna ijin kemarin."Luna saya minta laporan untuk PT Surya Jaya selesai pagi ini. Nanti jam sebelas siang jangan lupa ada meeting mingguan, pastikan tim kamu sudah siap dengan semua presentasinya." titah Pak Bagas tegas."Baik, Pak," sanggup Luna kemudian bergegas mengerjakan pekerjaannya setelah menginformasikan perintah atasannya kepada semua timnya.Luna menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut menatap tumpukan pekerjaan di hadapannya.Pekerjaan memang tidak pernah ada habisnya di kantor, tapi hari ini rasanya
"Bukan suaminya yang lebih dulu dihubungi malah lelaki lain." sarkas Bu Yuni -mertua Luna- tatapannya sinis ke arah Adrian yang berdiri tak jauh darinya bersama Bu Septi.Adrian paham jika kalimat sarkas itu tertuju untuknya, akan tetapi dia memilih abai. "Saya pamit dulu, Bu, mari." pamit Adrian lagi pada Bu Septi kemudian melenggang pergi melewati Bu Yuni begitu saja.Tatapan sinis Bu Yuni tetap terpatri di wajahnya, Bu Septi hendak menyapa namun Aluna segera menyela."Tumben Ibu mau datang?" kata Luna tak kalah sarkas.Bu Yuni melotot tak percaya mendengar ucapan Luna."Rafi anak Hendri, cucu saya.""Oh, diakui jadi cucu sekarang? Selama ini ke mana saja?" sinis Luna."Jaga mulutmu, Luna! Kamu--""Loh, benar 'kan? Bukankah cucu Ibu cuma Arsya sama Sheril? Itu Ibu sendiri 'kan yang ngomong pas ada arisan keluarga lebaran kemarin. Lupa?"Balas Luna dengan berani, hatinya masih berkedut sakit setiap mengingat perlakuan dari mertuanya itu. Selama 7 tahun lamanya, Rafi tak dianggap cuc
"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini." tegas Luna pada dirinya sendiri. Tubuh yang merosot dia bawa untuk bangkit berdiri, menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian membawa langkah kembali ke depan ruang ICU dimana ibunya berada."Gimana, Lun?" tanya Bu Septi. Luna mengulas senyum."Hendri sudah tahu, Bu." sahutnya pelan."Dia tidak menyalahkan kamu 'kan, Nak?" tersirat kekhawatiran yang mendalam dalam tanya Bu Septi karena dia pun sedikit banyak sudah tahu tabiat menantunya itu."Tidak, Bu, jangan khawatir." Luna menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dalam hati merutuki kebohongannya pada sang ibu."Andra naik apa katanya, Bu?" tanya Luna mengalihkan fokus Bu Septi padanya."Ibu belum lihat hp lagi, Lun. Cuma katanya semalam mau cari tiket kereta terakhir sudah gak dapat. Paling subuh mau berangkat dari sana tapi gak tahu naik apanya." jawab Bu Septi mengingat percakapan dengan adik Luna."Coba Luna telepon dulu," putus Luna lalu mencari kontak adiknya yang se
"Kenapa, Lun?" Luna menatap ponselnya yang mulai meredup, "gak diangkat, Bu. Mungkin sudah tidur." sahut Luna pelan. Dalam hatinya meragukan jawabannya sendiri."Yasudah, kirim pesan saja." Luna mengangguk lalu menuliskan pesan yang kemudian dikirimkan ke nomor suaminya.Hening, ibu dan anak itu larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai hampir tengah malam, Luna mengajak ibunya untuk ke ruangan Rafi saja agar bisa beristirahat. Toh, di ruang ICU pasien tidak boleh ditemani.Malam kian larut, tetapi Luna tak dapat memejamkan mata sedikit pun. Suara anak perempuan itu terus terngiang di telinganya.Siapa anak itu?Benarkah Hendri memiliki wanita lain? Atau malah anak itu adalah anak Hendri dengan wanita bernama Ratna itu?Segala tanya dan duga memenuhi kepalanya. Luna mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dengan memejamkan matanya, tetapi suara anak perempuan itu terus menghantui. Terekam dengan jelas bagaimana anak itu memanggil 'papa' sedangkan yang dia hubungi adalah nomor ponsel
Langkah kaki Luna terus menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Aroma obat-obatan menyeruak, semakin mempertegas suasana yang penuh kekhawatiran. Tubuhnya hampir lunglai, tapi kekuatan seorang ibu membuatnya bertahan. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang menatap penuh keheranan pada langkah tergesa dan wajahnya yang penuh kecemasan."Ibu!" Luna berseru, suaranya parau.Di ujung lorong, ibunya terlihat duduk di bangku tunggu dengan wajah pucat. Tangannya bergetar, menggenggam erat saputangan yang telah basah oleh air mata. Begitu melihat Luna, wanita itu berdiri dengan tubuh limbung, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan anaknya.Luna bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar hebat. "Gimana Rafi sama Ayah, Bu?" tanyanya dengan napas tersengal, suaranya pecah. Ia takut mendengar jawabannya, namun ia harus tahu.Ibunya tidak langsung menjawab. Isakannya terdengar makin keras, membuat dada Luna semakin sesak. "Mereka … mereka masih di dalam," ucapny
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa