Langkah kaki Luna terus menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Aroma obat-obatan menyeruak, semakin mempertegas suasana yang penuh kekhawatiran. Tubuhnya hampir lunglai, tapi kekuatan seorang ibu membuatnya bertahan. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang menatap penuh keheranan pada langkah tergesa dan wajahnya yang penuh kecemasan."Ibu!" Luna berseru, suaranya parau.Di ujung lorong, ibunya terlihat duduk di bangku tunggu dengan wajah pucat. Tangannya bergetar, menggenggam erat saputangan yang telah basah oleh air mata. Begitu melihat Luna, wanita itu berdiri dengan tubuh limbung, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan anaknya.Luna bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar hebat. "Gimana Rafi sama Ayah, Bu?" tanyanya dengan napas tersengal, suaranya pecah. Ia takut mendengar jawabannya, namun ia harus tahu.Ibunya tidak langsung menjawab. Isakannya terdengar makin keras, membuat dada Luna semakin sesak. "Mereka … mereka masih di dalam," ucapny
"Kenapa, Lun?" Luna menatap ponselnya yang mulai meredup, "gak diangkat, Bu. Mungkin sudah tidur." sahut Luna pelan. Dalam hatinya meragukan jawabannya sendiri."Yasudah, kirim pesan saja." Luna mengangguk lalu menuliskan pesan yang kemudian dikirimkan ke nomor suaminya.Hening, ibu dan anak itu larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai hampir tengah malam, Luna mengajak ibunya untuk ke ruangan Rafi saja agar bisa beristirahat. Toh, di ruang ICU pasien tidak boleh ditemani.Malam kian larut, tetapi Luna tak dapat memejamkan mata sedikit pun. Suara anak perempuan itu terus terngiang di telinganya.Siapa anak itu?Benarkah Hendri memiliki wanita lain? Atau malah anak itu adalah anak Hendri dengan wanita bernama Ratna itu?Segala tanya dan duga memenuhi kepalanya. Luna mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dengan memejamkan matanya, tetapi suara anak perempuan itu terus menghantui. Terekam dengan jelas bagaimana anak itu memanggil 'papa' sedangkan yang dia hubungi adalah nomor ponsel
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini." tegas Luna pada dirinya sendiri. Tubuh yang merosot dia bawa untuk bangkit berdiri, menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian membawa langkah kembali ke depan ruang ICU dimana ibunya berada."Gimana, Lun?" tanya Bu Septi. Luna mengulas senyum."Hendri sudah tahu, Bu." sahutnya pelan."Dia tidak menyalahkan kamu 'kan, Nak?" tersirat kekhawatiran yang mendalam dalam tanya Bu Septi karena dia pun sedikit banyak sudah tahu tabiat menantunya itu."Tidak, Bu, jangan khawatir." Luna menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dalam hati merutuki kebohongannya pada sang ibu."Andra naik apa katanya, Bu?" tanya Luna mengalihkan fokus Bu Septi padanya."Ibu belum lihat hp lagi, Lun. Cuma katanya semalam mau cari tiket kereta terakhir sudah gak dapat. Paling subuh mau berangkat dari sana tapi gak tahu naik apanya." jawab Bu Septi mengingat percakapan dengan adik Luna."Coba Luna telepon dulu," putus Luna lalu mencari kontak adiknya yang se
"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
"Bukan suaminya yang lebih dulu dihubungi malah lelaki lain." sarkas Bu Yuni -mertua Luna- tatapannya sinis ke arah Adrian yang berdiri tak jauh darinya bersama Bu Septi.Adrian paham jika kalimat sarkas itu tertuju untuknya, akan tetapi dia memilih abai. "Saya pamit dulu, Bu, mari." pamit Adrian lagi pada Bu Septi kemudian melenggang pergi melewati Bu Yuni begitu saja.Tatapan sinis Bu Yuni tetap terpatri di wajahnya, Bu Septi hendak menyapa namun Aluna segera menyela."Tumben Ibu mau datang?" kata Luna tak kalah sarkas.Bu Yuni melotot tak percaya mendengar ucapan Luna."Rafi anak Hendri, cucu saya.""Oh, diakui jadi cucu sekarang? Selama ini ke mana saja?" sinis Luna."Jaga mulutmu, Luna! Kamu--""Loh, benar 'kan? Bukankah cucu Ibu cuma Arsya sama Sheril? Itu Ibu sendiri 'kan yang ngomong pas ada arisan keluarga lebaran kemarin. Lupa?"Balas Luna dengan berani, hatinya masih berkedut sakit setiap mengingat perlakuan dari mertuanya itu. Selama 7 tahun lamanya, Rafi tak dianggap cuc
Pagi datang terasa berat, karena hari ini Luna harus ke kantor dan itu artinya harus meninggalkan Rafi di rumah sakit hanya bersama dengan Andra. Beruntung, om dan keponakan itu bisa diajak kerja sama, sehingga meski berat, Luna tidak perlu merasa khawatir meninggalkan anaknya untuk bekerja.Sampai di kantor, tentu saja Luna lebih dulu mendapat sambutan omelan oleh atasannya sebab pekerjaan yang menumpuk dan tertunda penyelesaiannya karena Luna ijin kemarin."Luna saya minta laporan untuk PT Surya Jaya selesai pagi ini. Nanti jam sebelas siang jangan lupa ada meeting mingguan, pastikan tim kamu sudah siap dengan semua presentasinya." titah Pak Bagas tegas."Baik, Pak," sanggup Luna kemudian bergegas mengerjakan pekerjaannya setelah menginformasikan perintah atasannya kepada semua timnya.Luna menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut menatap tumpukan pekerjaan di hadapannya.Pekerjaan memang tidak pernah ada habisnya di kantor, tapi hari ini rasanya
Luna men-silent ponselnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku blazernya. Dia abaikan dulu pesan dari Ayu yang membuat dugaannya semakin menguat kalau kepergian Hendri ke luar kota memang bukan karena pekerjaan.Sepanjang meeting, Luna pusatkan pikirannya hanya pada pekerjaan. Dia tidak mau membuat kesalahan sedikit pun, termasuk ketika dia harus mempresentasikan proposal yang devisinya buat."God job, Luna." puji Pak Bagas usai dia melakukan presentasi dan menuai decak kagum dari jajaran direksi.Luna tersenyum samar, dalam dirinya bertekad untuk tidak boleh gagal dalam pekerjaan ini.Usai meeting, tak sempat lagi dia pergi ke kantin untuk makan siang karena dia sudah ditunggu timnya yang lain."Mbak Luna ini pesanannya," ucap OB devisinya yang membawakan nasi kotak yang dia pesan melalui go food."Terimakasih, Mbak Hany." balas Luna beralih fokus dari layar komputer."Bahkan makan aja kagak ada rasanya, ya, Lun." celetuk Alya yang juga sedang menikmati makan siang sambil bekerja.L
Sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ruang rawat Rafi. Rasanya sudah rindu sekali meski baru beberapa jam tak bersua.Begitu membuka pintu ruang rawat, tatapannya tertuju pada keberadaan Hendri di sana. "Mama ...." seru Rafi begitu menyadari keberadaan Luna.Luna mengukir senyum, lalu melangkah mendekat ke arah ranjang Rafi."Gimana kondisi jagoan Mama hari ini?" tanya Luna usai meluk erat putranya."Kata dokter besok aku udah boleh pulang, Ma," lapor sang anak."Benarkah? Wah, anak hebat." puji Luna mengusap kepala Rafi dengan lembut.Tatapan Luna beralih ke arah Hendri yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun."Kapan kamu datang?" tanya Luna datar."Belum lama," sahut Hendri terdengar dingin."Oh," tanggap Luna cuek."Siapa Adrian?" Luna tertegun. Pertanyaan Hendri datang begitu tiba-tiba, menusuk tanpa aba-aba. Seketika itu juga, udara di dalam ruangan terasa menegang.Hendri menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan. "Aku bertanya, s
"Semua proses hukum sudah aku serahkan sama pengacara, kamu tinggal ikuti prosesnya saja." Beritahu Adrian yang baru datang lagi setelah pulang dari kantor. Kini Luna sudah lebih baik, tapi masih hatus dirawat di rumah sakit.Selama dua hari dirawat, selama itu pula Adrian menemaninya bersama Rafi dan Mbak Jum. Kalau siang, Luna ditemani oleh keluarganya yang kemarin baru datang dari acara wisuda Andra di Jogja.Ayah dan Ibu Luna sangat marah dan kecewa terhadap perilaku menantunya. Mereka sering memperingati Luna untuk berpisah saja andai Hendri tak juga mau berubah. Namun, Luna masih saja bertahan walau Hendri memamg kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya.Puncaknya adalah kemarin, Luna sampai harus mendapat perawatan intensif akibat perbuatan Hendri. Sejak saat itu juga, Pak Pramono tidak lagi mengijinkan Luna membela Hendri walau sekedar ucapan. Pak Pramono dan Bu Septi jugalah yang mendesak Luna untuk segera melaporkan tindak kekerasan ini pada pihak yang berwajib."Terima
"Hendri ...." gumam Luna sedikit merasa takut, terlebih melihat raut wajah Handri.Luna mematung di tempat sedangkan Hendri semakin bergerak maju. Manatao tajam Luna yang seolah terhipnotis sehingga ia tidak mampu bergerak.Saat jarak semakin terpangkas, Luna tersadar dari kebekuannya."Sudah kuperingatkan jangan biarkan anakku pergi dengan orang asing, Luna! Apa kamu sebodoh itu?" bentak Hendri tanpa ba bi bu mendorong Luna sehingga terhuyung ke belakang."Aku--"Tamparan keras lebih dulu mendarat di pipi Luna sebelum sempat ia menyanggah tuduhan Hendri."Kamu ... berani sekali mengijinkan orang itu membawa anakku!"Tendangan Hendri berikan pada Luna yang masih belum bisa menguasai dirinya dari rasa terkejut.Luna terpental hingga tubuhnya menabrak pintu dengan kasar, menimbulkan dentuman yang cukup keras sehingga menarik perhatian Mbak Jum yang sedang berada di dapur."Ya Allah ... Ibu!" pekik Mbak Jum segera memburu Luna yang bersandar pada daun pintu. Membantunya untuk berdiri.Na
Satu minggu berlalu, kini Luna benar-benar memulai pencariannya. Berbekal nama dan foto yang dia dapat dari Ayu, kini Luna berada di halaman sebuah butik yang pernah dia datangi dulu.Benar, orang yang berada di dalam foto yang dia pegang itu beberapa saat yang lalu masuk ke dalam sana bersama seorang wanita paruh baya. Mungkin saja itu ibunya.Setelah beberapa saat, Luna memutuskan untuk ikut masuk ke dalam. Berlagak mencari aksesoris agar tak terlalu kentara kalau dia sedang menguntit seseorang.Tangan memilah aksesoris tetapi mata jeli mencari wanita yang dia kuntit. Wanita bernama Ratna itu tengah asyik memilih gaun yang terpajang di manekin.Dengan gugup Luna membawa langkah mendekat kemudian menyapa seolah tidak sengaja bertemu."Mbak Ratna?" sapa Luna mencolek sedikit lengan wanita berambut sebahu itu.Ratna menoleh dengan kening berkerut menatap Luna. "Iya, siapa, ya?" "Oh, saya Aluna ... kita pernah ketemu waktu acara gathering di Bandung tahun lalu." sahut Luna sok akrab."
Waktu bergerak begitu lambat, membuat Luna gusar. Sejak pagi pesan yang dikirimkan Luna pada Mbak Jum belum juga terbaca. Fokusnya pada pekerjaan buyar, pikirannya dihantui oleh kemungkinan yang dia ciptakan sendiri.'Bagaimana kalau Hendri membawa Rafi pergi?''Bagaimana kalau Hensri memisahkannya dari Rafi?''Bagaimana kalau mereka kenapa-kenapa?''Bagaimana kalau Hendri bicara yang tidak-tidak pada Rafi?'Dan segala kemungkinan buruk yang mengacaukan mood kerjanya pagi itu. Luna kembalieraih ponselnya, mnekan nomor Mbak Jum yang sudah puluhan kali dia coba hubungi. Namun, kali ini pun gagal lagi.Dengan kesal, Luna meletakkan ponselnya sedikit keras sehingga menarik perhatian Alya yang berada tepat di samping kanannya."Lu napa dah, Lun?" tanya Alya dengan tatapan khawatir."Kesel gue," sahut Luna apa adanya."Iya, kesel kenapa? Tumben-tumbenan, Lu?"Luna tak menjawab, dia menghela nafas berat lalu bangkit dari duduknya. "Aneh, deh." gerutu Alya yang masih bisa dia dengar, tapi
Setelah puas menikmati kebersamaan mereka, Luna mengajak Rafi untuk pulang karena hari juga semakin larut. Rafi tampak mengantuk, tetapi senyumnya masih melekat, tanda betapa bahagianya ia malam ini. Adrian menawarkan diri untuk mengantar mereka, tetapi Luna menolak karena dia membawa mobil sendiri. "Terima kasih sudah menemani kami, Adrian," ucap Luna ketika mereka sampai di parkiran, tepatnya di samping mobil Luna.Adrian tersenyum, "sama-sama. Aku senang bisa menghabiskan waktu dengan kalian, terutama Rafi. Dia anak yang luar biasa." kata Adrian semabri mengusap kepala Rafi."Kapan-kapan kita main lagi, ya, Om." pinta Rafi dengan senyum lebarnya."Tentu, Sayang. Lain waktu kita jalan-jalan lagi." balas Adrian tak keberatan. Lalu kembali beralib menatap Luna."Hati-hati, ya, jangan ngebut." pesannya perhatian.Luna hanya mengangguk, lalu menggandeng tangan kecil Rafi untuk masuk ke dalam mobil. "Dadah, Om Adrian!" seru Rafi saat mobil Luna melintasi dirinya yang masih memperhatika
Tepat jam lima sore, pekerjaan Luna akhirnya selesai sehingga dia tidak perlu lembur di hari itu. Dalam benaknya sudah menyusun beberapa rencana untuk menikmati waktu lebih banyak bersama Rafi, putranya.'Bagaimana kalau nonton? Dinner? Atau ke play ground?' batinnya sedang memilah kegiatan apa yang akan dia lakukan bersama Rafi nanti. Ah, hatinya sudah tak sabar untuk segera sampai rumah."Al ... yuk, pulang!" ajaknya pada Alya yang juga sudah selesai pekerjaannya. Sedangkan yang lain masih nampak sibuk."Bentar, deh, udah janji sama Suna mau nge-mall." jawab Alya menunjuk Suna dengan dagunya."Yaudah, gue duluan, ya!" pamit Luna sembari menyambar tasnya."Oke! Hati-hati!" pesan Alya sembari melambaikan tangannya.Dengan semangat Luna bergegas membawa lamgkah menuju parkiran, saat pintu lift terbuka di dalam sana sudah ada Adrian dengan beberapa orang di dalam. Meski canggung, Luna akhirnya ikut masuk ke dalam lift.Dia memgangguk hormat sebagai sapaan kepada Adrian dan dibalas deng
Luna memijit pelipisnya, dia mendadak pening oleh tatapan penuh intimidasi dari teman-teman satu devisinya. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah karena sapaan Adrian padanya tadi pagi."Oh ayolah ... emang kalian kenyang dengan melototin gue kayak gini?" kata Luna frustasi.Alya, Meta, Dania, Silvia, Irna dan Suna tak terpengaruh. Mereka tetap menunggu jawaban dari Luna tentang hubungannya dengan bos baru mereka.Aluna menghela nafas pasrah, merasa lelah karena jawaban apapun tak membuat mereka percaya begitu saja."Oke fine ... Adrian--""Tuh 'kan ... panggilannya aja udah sedekat itu gaes ...." sela Alya mengompori teman-temannya."Astaga! Oke, gue sama Pak Adrian ... jelas, ya ... Pak Adrian Wira Atmaja ... satu sekolah pas SMA. Satu kelas pas kelas 3 selama hampir 8 bulan sebelum beliau pindah ke Jerman waktu itu." jelas Luna.Mata para teman-temannya semakin membulat. Irna menepuk bahu Luna dengan dramatis, seolah baru saja mendengar kabar yang sangat mengejutkan."Beneran cuma
"Ada apa?" todong Luna begitu panggilan tersambung dengan kakak iparnya itu."Kamu kebangetan banget, sih, Lun! Hendri sudah baik-baikin kamu, tapi kamu sok banget. Bisa apa kamu tanpa Hendri? Sadar dirilah minimal, Lun." cerocos Siska panjang lebar membuat Luna geleng-geleng kepala. Dalam keadaan terjepit begini saja wabita itu masih bisa mengomel padanya."Sudah?" tanya Luna setelah beberapa detik mereka diam karena Luna enggan menanggapi ocehan Siska."Kamu--""Maaf, Mbak ... Aku tidak berminat membantumu. Kalau soal tempat tinggal, kalian boleh tinggal di rumahku sementara ini, tapi nanti setelah aku dan Hendri resmi bercerai kalian harus keluar dari rumahku. Kalau soal hutang-hutangmu, maaf ... aku gak bisa dan gak mau bantu!" tegas Luna menyela Siska.Luna segera memutus panggilan tanpa menunggu reaksi Siska di seberang sana. Ya, Luna sudah tahu ke mana arah tujuan Siska meminta Hendri bersikap baik padanya. Tak lain dan tak bukan adalah untuk membuatnya bersedia membayar hutan
Luna tersenyum tipis saat wajah Hendri pias. Benar dugaannya, kalau Hendri sedang dimanfaatkan oleh kakaknya.Dua hari yang lalu, Luna bertemu Arman ---suami Siska---kemudian mengatakan kalau mereka sudah berpisah dan sedang dalam proses cerai. Hal itu sontak membuat Luna terkejut, pasalnya yang dia ketahui mereka selalu terlihat mesra.Dari cerita Arman, kemudian perubahan Hendri yang mendadak cukup membuat Luna mengetahui alur cerita yang sesungguhnya."Lun--""Maaf, Hendri ... untuk kali ini aku tidak bisa membantumu atau pun Siska.""Kamu tahu dari mana?" tanya Hendri yang sudah terdengar seperti aslinya ... ketus.Luna tersenyum sinis, "tidak penting aku tahu dari nana. Yang jelas, aku sudah bisa menebak apa yang sedang kalian rencanakan." "Baguslah kalau kau sudah tahu, artinya aku tidak perlu lagi berpura-pura seperti ini." sikap Hendri kembali seperti semula. Nada bicaranya pun sudah kembali ketus.Luna terkekeh pelan, membuat Hendri semakin kesal dibuatnya."Yang jelas, aku