"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
"Bukan suaminya yang lebih dulu dihubungi malah lelaki lain." sarkas Bu Yuni -mertua Luna- tatapannya sinis ke arah Adrian yang berdiri tak jauh darinya bersama Bu Septi.Adrian paham jika kalimat sarkas itu tertuju untuknya, akan tetapi dia memilih abai. "Saya pamit dulu, Bu, mari." pamit Adrian lagi pada Bu Septi kemudian melenggang pergi melewati Bu Yuni begitu saja.Tatapan sinis Bu Yuni tetap terpatri di wajahnya, Bu Septi hendak menyapa namun Aluna segera menyela."Tumben Ibu mau datang?" kata Luna tak kalah sarkas.Bu Yuni melotot tak percaya mendengar ucapan Luna."Rafi anak Hendri, cucu saya.""Oh, diakui jadi cucu sekarang? Selama ini ke mana saja?" sinis Luna."Jaga mulutmu, Luna! Kamu--""Loh, benar 'kan? Bukankah cucu Ibu cuma Arsya sama Sheril? Itu Ibu sendiri 'kan yang ngomong pas ada arisan keluarga lebaran kemarin. Lupa?"Balas Luna dengan berani, hatinya masih berkedut sakit setiap mengingat perlakuan dari mertuanya itu. Selama 7 tahun lamanya, Rafi tak dianggap cuc
Pagi datang terasa berat, karena hari ini Luna harus ke kantor dan itu artinya harus meninggalkan Rafi di rumah sakit hanya bersama dengan Andra. Beruntung, om dan keponakan itu bisa diajak kerja sama, sehingga meski berat, Luna tidak perlu merasa khawatir meninggalkan anaknya untuk bekerja.Sampai di kantor, tentu saja Luna lebih dulu mendapat sambutan omelan oleh atasannya sebab pekerjaan yang menumpuk dan tertunda penyelesaiannya karena Luna ijin kemarin."Luna saya minta laporan untuk PT Surya Jaya selesai pagi ini. Nanti jam sebelas siang jangan lupa ada meeting mingguan, pastikan tim kamu sudah siap dengan semua presentasinya." titah Pak Bagas tegas."Baik, Pak," sanggup Luna kemudian bergegas mengerjakan pekerjaannya setelah menginformasikan perintah atasannya kepada semua timnya.Luna menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut menatap tumpukan pekerjaan di hadapannya.Pekerjaan memang tidak pernah ada habisnya di kantor, tapi hari ini rasanya
Luna men-silent ponselnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku blazernya. Dia abaikan dulu pesan dari Ayu yang membuat dugaannya semakin menguat kalau kepergian Hendri ke luar kota memang bukan karena pekerjaan.Sepanjang meeting, Luna pusatkan pikirannya hanya pada pekerjaan. Dia tidak mau membuat kesalahan sedikit pun, termasuk ketika dia harus mempresentasikan proposal yang devisinya buat."God job, Luna." puji Pak Bagas usai dia melakukan presentasi dan menuai decak kagum dari jajaran direksi.Luna tersenyum samar, dalam dirinya bertekad untuk tidak boleh gagal dalam pekerjaan ini.Usai meeting, tak sempat lagi dia pergi ke kantin untuk makan siang karena dia sudah ditunggu timnya yang lain."Mbak Luna ini pesanannya," ucap OB devisinya yang membawakan nasi kotak yang dia pesan melalui go food."Terimakasih, Mbak Hany." balas Luna beralih fokus dari layar komputer."Bahkan makan aja kagak ada rasanya, ya, Lun." celetuk Alya yang juga sedang menikmati makan siang sambil bekerja.L
Sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ruang rawat Rafi. Rasanya sudah rindu sekali meski baru beberapa jam tak bersua.Begitu membuka pintu ruang rawat, tatapannya tertuju pada keberadaan Hendri di sana. "Mama ...." seru Rafi begitu menyadari keberadaan Luna.Luna mengukir senyum, lalu melangkah mendekat ke arah ranjang Rafi."Gimana kondisi jagoan Mama hari ini?" tanya Luna usai meluk erat putranya."Kata dokter besok aku udah boleh pulang, Ma," lapor sang anak."Benarkah? Wah, anak hebat." puji Luna mengusap kepala Rafi dengan lembut.Tatapan Luna beralih ke arah Hendri yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun."Kapan kamu datang?" tanya Luna datar."Belum lama," sahut Hendri terdengar dingin."Oh," tanggap Luna cuek."Siapa Adrian?" Luna tertegun. Pertanyaan Hendri datang begitu tiba-tiba, menusuk tanpa aba-aba. Seketika itu juga, udara di dalam ruangan terasa menegang.Hendri menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan. "Aku bertanya, s
Luna menatap Rafi yang tertidur pulas dengan tatapan nanar, kata-kata yang dia ucapkan kepada Hendri kembali terngiang di telinganya.Benarkah keputusannya?Bahkan sekarang Hendri pun entah ke mana? Setelah mereka bertengkar Hendri tidak kembali lagi ke kamar Rafi.Menarik nafas berat lalu menghembuskannya dengan kasar, kemudian meraih ponsel yang masih berada dalam tasnya."Ndra, tolong ke sini, ya!" pintanya pada sang adik setelah panggilan tersambung.Luna kembali memasukkan ponsel ke dalam tas usai menghubungi Andra, tanpa berminat melihat tumpukan pesan lain yang sudah memenuhi ruang chat ponselnya."Mbak," Luna menoleh ketika pintu terbuka lalu muncul Andra di sana."Tolong temani Rafi sebentar, Mbak mau ketemu Ayah dulu." pintanya setelah Andra mendekat.Andra memgangguk sanggup, kemudian Luna beranjak menuju ruang rawat sang ayah."Gimana kondisi Ayah?" tanya Luna setelah sampai di samping brankar.Pak Pramono tersenyum, perhatian Luna bagaikan suntikan energi baru untuknya.
Hari berganti begitu cepat, pagi ini Rafi diperbolehkan pulang sementara Pak Pramono belum. Luna memutuskan membawa Rafi pulang ke rumahnya sendiri, meski anaknya itu sempat menolak dan ingin pulang ke rumah kakek neneknya.Sejak pertengkaran semalam, Hendri tak datang sama sekali. Bahkan tak menjemput anaknya padahal dia tahu kalau hari ini Rafi sudah boleh pulang.Luna mengajak Andra dan meminta adik lelakinya itu tetap menemani Rafi karena Luna tetap harus ke kantor sementara pengasuh Rafi masih belum datang dari kampungnya.Sampai di rumah, kondisi rumahnya sepi tetapi mobil Hendri masih ada di halaman. Itu artinya Hendri masih di rumah.Mereka turun dari mobil dengan Rafi dalam gendongan Andra. Memeluk erat leher pamannya itu dengan erat seolah ada ketakutan untuk masuk ke dalam rumahnya sendiri."Ndra, nanti kalau Mbak Jum datang kamu boleh pulang." pesannya pada sang adik saat kakinya melangkah ke teras rumah."Jam berapa dia datang, Mbak?""Katanya jam tiga udah sampai." Kedu
Luna berjalan mondar-mandir di teras runah sambil terus menghubungi nomor Hendri. Perasaannya sudah kacau, saat matanya melihat petunjuk waktu di layar ponselnya.Sudah jam sembilan lewat tetapi Hendri belum ada tanda-tanda pulang membawa Rafi. Luna sudah sangat frustasi. Panik, khawatir, dan marah bercampur manjadi satu.Luna bangkit berdiri ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Berharap itu adalah Rafi. Namun harapannya kembali pupus saat yang dilihatnya adalah Mbak Jum bukan Hendri."Loh, Ibu, kok di luar?" tanya pengasuh Rafi itu sedikit terkejut saat melihat majikannya berada di luar rumah."Iya, Mbak, lagi nunggu Rafi pulang." jawab Luna tak bisa menutupi rasa khawatirnya."Loh, Den Rafi ke mana, Bu? Sama siapa?" "Sama Papanya, mungkin jalan-jalan. Mbak Jum masuk saja dulu, istirahat dulu pasti capek perjalanan jauh." Luna berusaha tersenyum meski hatinya menjerit saat ini."Iya, Bu. Maaf, ya, Bu, saya lama di kampung.""Iya, Mbak, gak apa-apa. Sudah, Mbak Jum i
Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu
Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic
"Aku ...""Eh, ada nak Adrian, to ... Kok, gak masuk?" Suara cempreng Bu Septi menyela Adrian yang hendak bicara. Luna menghela nafas kecewa. Padahal sedikit lagi segala tanya dalam benaknya akan menemukan jawaban. Malah ibunya terlanjur datang."Iya, Bu ... saya juga baru saja datang, kok." balas Adrian menyalami Bu Septi."Hayuk masuk, udah mau Maghrib." kata Bu Septi lagi lalu beralih memanggil cucunya yang masih asyik bermain di halaman.Adrian hendak membantu Luna berdiri, tapi dengan tegas Luna menolak. "Aku bisa sendiri, Adrian." "Yasudah ... pelan-pelan saja." kata Adrian perhatian.Usai shalat Maghrib, mereka berkumpul duduk di ruang keluarga, berbincang hangat selayaknya keluarga dekat."Em ... maaf, Nak Adrian. Kalau boleh, Bapak mau bicara sesuatu." kata Pak Pramono mengalihkan perhatian semua orang.Mbak Jum segera mengajak Rafi untuk menyingkir dari sana karena dia tahu akan ada pembicaraan orang dewasa."Iya, Pak, silakan." jawab Adrian tetap tenang."Terimakasih seka
Dua hari kemudian Luna sudah diperbolehkan pulang, dibantu Bu Septi Luna melangkah perlahan menuju lift yang akan mengantarnya turun ke lantai satu gedung rumah sakit itu."Tadi, Adrian bilang akan jenguk kamu di rumah." kata Bu Septi setelah kotak berjalan itu tertutup sempurna."Adrian?" gumam Luna memastikan. Bu Septi mengangguk.Sejak dua hari yang lalu, Adrian belum datang lagi ke rumah sakit. Luna berpikir bahwa Adrian memang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Adrian juga mengatakan hal yang sama di chat kemarin."Tadi pas kamu mandi, dia telepon ke hp kamu, jadi Ibu yang jawab kalau hari ini kamu boleh pulang, gitu." beritahu Bu Septi diakhiri dengan kekehan kecil. Membuat Luna menggeleng pelan."Ibu, ih," decak Luna dengan senyum kecil."Sama Ibu gak boleh main rahasia-rahasiaan." goda Bu Septi lagi."Rahasia apa, sih, Bu? Luna gak ada apa-apa sama Adrian, cuma teman." kilah Luna menyangkal meski wajahnya memanas."Iya, Ibu juga tahu." kekeh Bu Septi dengan nada menggoda."Tapi
"Semua proses hukum sudah aku serahkan sama pengacara, kamu tinggal ikuti prosesnya saja." Beritahu Adrian yang baru datang lagi setelah pulang dari kantor. Kini Luna sudah lebih baik, tapi masih hatus dirawat di rumah sakit.Selama dua hari dirawat, selama itu pula Adrian menemaninya bersama Rafi dan Mbak Jum. Kalau siang, Luna ditemani oleh keluarganya yang kemarin baru datang dari acara wisuda Andra di Jogja.Ayah dan Ibu Luna sangat marah dan kecewa terhadap perilaku menantunya. Mereka sering memperingati Luna untuk berpisah saja andai Hendri tak juga mau berubah. Namun, Luna masih saja bertahan walau Hendri memamg kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya.Puncaknya adalah kemarin, Luna sampai harus mendapat perawatan intensif akibat perbuatan Hendri. Sejak saat itu juga, Pak Pramono tidak lagi mengijinkan Luna membela Hendri walau sekedar ucapan. Pak Pramono dan Bu Septi jugalah yang mendesak Luna untuk segera melaporkan tindak kekerasan ini pada pihak yang berwajib."Terima
"Hendri ...." gumam Luna sedikit merasa takut, terlebih melihat raut wajah Handri. Luna mematung di tempat sedangkan Hendri semakin bergerak maju. Manatao tajam Luna yang seolah terhipnotis sehingga ia tidak mampu bergerak. Saat jarak semakin terpangkas, Luna tersadar dari kebekuannya. "Sudah kuperingatkan jangan biarkan anakku pergi dengan orang asing, Luna! Apa kamu sebodoh itu?" bentak Hendri tanpa ba bi bu mendorong Luna sehingga terhuyung ke belakang. "Aku--" Tamparan keras lebih dulu mendarat di pipi Luna sebelum sempat ia menyanggah tuduhan Hendri. "Kamu ... berani sekali mengijinkan orang itu membawa anakku!" Tendangan Hendri berikan pada Luna yang masih belum bisa menguasai dirinya dari rasa terkejut. Luna terpental hingga tubuhnya menabrak pintu dengan kasar, menimbulkan dentuman yang cukup keras sehingga menarik perhatian Mbak Jum yang sedang berada di dapur. "Ya Allah ... Ibu!" pekik Mbak Jum segera memburu Luna yang bersandar pada daun pintu. Membantunya
Satu minggu berlalu, kini Luna benar-benar memulai pencariannya. Berbekal nama dan foto yang dia dapat dari Ayu, kini Luna berada di halaman sebuah butik yang pernah dia datangi dulu.Benar, orang yang berada di dalam foto yang dia pegang itu beberapa saat yang lalu masuk ke dalam sana bersama seorang wanita paruh baya. Mungkin saja itu ibunya.Setelah beberapa saat, Luna memutuskan untuk ikut masuk ke dalam. Berlagak mencari aksesoris agar tak terlalu kentara kalau dia sedang menguntit seseorang.Tangan memilah aksesoris tetapi mata jeli mencari wanita yang dia kuntit. Wanita bernama Ratna itu tengah asyik memilih gaun yang terpajang di manekin.Dengan gugup Luna membawa langkah mendekat kemudian menyapa seolah tidak sengaja bertemu."Mbak Ratna?" sapa Luna mencolek sedikit lengan wanita berambut sebahu itu.Ratna menoleh dengan kening berkerut menatap Luna. "Iya, siapa, ya?" "Oh, saya Aluna ... kita pernah ketemu waktu acara gathering di Bandung tahun lalu." sahut Luna sok akrab."
Waktu bergerak begitu lambat, membuat Luna gusar. Sejak pagi pesan yang dikirimkan Luna pada Mbak Jum belum juga terbaca. Fokusnya pada pekerjaan buyar, pikirannya dihantui oleh kemungkinan yang dia ciptakan sendiri.'Bagaimana kalau Hendri membawa Rafi pergi?''Bagaimana kalau Hensri memisahkannya dari Rafi?''Bagaimana kalau mereka kenapa-kenapa?''Bagaimana kalau Hendri bicara yang tidak-tidak pada Rafi?'Dan segala kemungkinan buruk yang mengacaukan mood kerjanya pagi itu. Luna kembalieraih ponselnya, mnekan nomor Mbak Jum yang sudah puluhan kali dia coba hubungi. Namun, kali ini pun gagal lagi.Dengan kesal, Luna meletakkan ponselnya sedikit keras sehingga menarik perhatian Alya yang berada tepat di samping kanannya."Lu napa dah, Lun?" tanya Alya dengan tatapan khawatir."Kesel gue," sahut Luna apa adanya."Iya, kesel kenapa? Tumben-tumbenan, Lu?"Luna tak menjawab, dia menghela nafas berat lalu bangkit dari duduknya. "Aneh, deh." gerutu Alya yang masih bisa dia dengar, tapi
Setelah puas menikmati kebersamaan mereka, Luna mengajak Rafi untuk pulang karena hari juga semakin larut. Rafi tampak mengantuk, tetapi senyumnya masih melekat, tanda betapa bahagianya ia malam ini. Adrian menawarkan diri untuk mengantar mereka, tetapi Luna menolak karena dia membawa mobil sendiri. "Terima kasih sudah menemani kami, Adrian," ucap Luna ketika mereka sampai di parkiran, tepatnya di samping mobil Luna.Adrian tersenyum, "sama-sama. Aku senang bisa menghabiskan waktu dengan kalian, terutama Rafi. Dia anak yang luar biasa." kata Adrian semabri mengusap kepala Rafi."Kapan-kapan kita main lagi, ya, Om." pinta Rafi dengan senyum lebarnya."Tentu, Sayang. Lain waktu kita jalan-jalan lagi." balas Adrian tak keberatan. Lalu kembali beralib menatap Luna."Hati-hati, ya, jangan ngebut." pesannya perhatian.Luna hanya mengangguk, lalu menggandeng tangan kecil Rafi untuk masuk ke dalam mobil. "Dadah, Om Adrian!" seru Rafi saat mobil Luna melintasi dirinya yang masih memperhatika