Sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ruang rawat Rafi. Rasanya sudah rindu sekali meski baru beberapa jam tak bersua.Begitu membuka pintu ruang rawat, tatapannya tertuju pada keberadaan Hendri di sana. "Mama ...." seru Rafi begitu menyadari keberadaan Luna.Luna mengukir senyum, lalu melangkah mendekat ke arah ranjang Rafi."Gimana kondisi jagoan Mama hari ini?" tanya Luna usai meluk erat putranya."Kata dokter besok aku udah boleh pulang, Ma," lapor sang anak."Benarkah? Wah, anak hebat." puji Luna mengusap kepala Rafi dengan lembut.Tatapan Luna beralih ke arah Hendri yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun."Kapan kamu datang?" tanya Luna datar."Belum lama," sahut Hendri terdengar dingin."Oh," tanggap Luna cuek."Siapa Adrian?" Luna tertegun. Pertanyaan Hendri datang begitu tiba-tiba, menusuk tanpa aba-aba. Seketika itu juga, udara di dalam ruangan terasa menegang.Hendri menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan. "Aku bertanya, s
Luna menatap Rafi yang tertidur pulas dengan tatapan nanar, kata-kata yang dia ucapkan kepada Hendri kembali terngiang di telinganya.Benarkah keputusannya?Bahkan sekarang Hendri pun entah ke mana? Setelah mereka bertengkar Hendri tidak kembali lagi ke kamar Rafi.Menarik nafas berat lalu menghembuskannya dengan kasar, kemudian meraih ponsel yang masih berada dalam tasnya."Ndra, tolong ke sini, ya!" pintanya pada sang adik setelah panggilan tersambung.Luna kembali memasukkan ponsel ke dalam tas usai menghubungi Andra, tanpa berminat melihat tumpukan pesan lain yang sudah memenuhi ruang chat ponselnya."Mbak," Luna menoleh ketika pintu terbuka lalu muncul Andra di sana."Tolong temani Rafi sebentar, Mbak mau ketemu Ayah dulu." pintanya setelah Andra mendekat.Andra memgangguk sanggup, kemudian Luna beranjak menuju ruang rawat sang ayah."Gimana kondisi Ayah?" tanya Luna setelah sampai di samping brankar.Pak Pramono tersenyum, perhatian Luna bagaikan suntikan energi baru untuknya.
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H
Keesokan paginya, rumah terasa kacau dengan anak-anak Siska yang berlarian, meninggalkan remah-remah di sofa. Ibu mertua duduk santai, mengamati Luna yang sibuk menyiapkan teh.“Luna, tehnya mana? Lama sekali,” suara ibu mertuanya tajam.Luna buru-buru menuangkan teh, tangannya gemetar, lalu menyerahkannya dengan senyum kecil. Ibu mertuanya menyeruput sedikit dan mengerutkan dahi. “Pahit banget! Gulanya kurang, tambahin lagi.”Tanpa berkata apa-apa, Luna kembali ke dapur dan menambahkan gula. Hendri masuk ke dapur, memeriksa meja makan. “Ibu pesan, jangan lupa belanja untuk arisan lusa. Kamu harus siapkan semuanya.”“Tapi lusa aku ada reuni,” jawab Luna pelan, mengaduk teh mertuanya.Hendri mendekat, matanya tajam. “Reuni? Untuk apa? Acara begitu enggak penting.”“Aku sudah janji dengan teman-temanku,” Luna mencoba memberi ruang pada keberaniannya.“Sudah berani kamu?” suara Hendri meninggi, “aku bilang tidak perlu pergi. Titik!” tekan Hendri sembari menekan kuat bahu Luna.Hendri ber
Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah. Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri.Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik. Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk.Adrian!Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi."Halo--" jawab Luna dengan segera."Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna."Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir.Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuska
"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan."Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri.Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu."Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna.Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya.Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri."Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya."Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja."Lun--""Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-menta
Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya. Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya. Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi. [Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?] Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk. Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah. "Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna s
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna menatap Rafi yang tertidur pulas dengan tatapan nanar, kata-kata yang dia ucapkan kepada Hendri kembali terngiang di telinganya.Benarkah keputusannya?Bahkan sekarang Hendri pun entah ke mana? Setelah mereka bertengkar Hendri tidak kembali lagi ke kamar Rafi.Menarik nafas berat lalu menghembuskannya dengan kasar, kemudian meraih ponsel yang masih berada dalam tasnya."Ndra, tolong ke sini, ya!" pintanya pada sang adik setelah panggilan tersambung.Luna kembali memasukkan ponsel ke dalam tas usai menghubungi Andra, tanpa berminat melihat tumpukan pesan lain yang sudah memenuhi ruang chat ponselnya."Mbak," Luna menoleh ketika pintu terbuka lalu muncul Andra di sana."Tolong temani Rafi sebentar, Mbak mau ketemu Ayah dulu." pintanya setelah Andra mendekat.Andra memgangguk sanggup, kemudian Luna beranjak menuju ruang rawat sang ayah."Gimana kondisi Ayah?" tanya Luna setelah sampai di samping brankar.Pak Pramono tersenyum, perhatian Luna bagaikan suntikan energi baru untuknya.
Sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ruang rawat Rafi. Rasanya sudah rindu sekali meski baru beberapa jam tak bersua.Begitu membuka pintu ruang rawat, tatapannya tertuju pada keberadaan Hendri di sana. "Mama ...." seru Rafi begitu menyadari keberadaan Luna.Luna mengukir senyum, lalu melangkah mendekat ke arah ranjang Rafi."Gimana kondisi jagoan Mama hari ini?" tanya Luna usai meluk erat putranya."Kata dokter besok aku udah boleh pulang, Ma," lapor sang anak."Benarkah? Wah, anak hebat." puji Luna mengusap kepala Rafi dengan lembut.Tatapan Luna beralih ke arah Hendri yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun."Kapan kamu datang?" tanya Luna datar."Belum lama," sahut Hendri terdengar dingin."Oh," tanggap Luna cuek."Siapa Adrian?" Luna tertegun. Pertanyaan Hendri datang begitu tiba-tiba, menusuk tanpa aba-aba. Seketika itu juga, udara di dalam ruangan terasa menegang.Hendri menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan. "Aku bertanya, s
Luna men-silent ponselnya lalu memasukkan kembali ke dalam saku blazernya. Dia abaikan dulu pesan dari Ayu yang membuat dugaannya semakin menguat kalau kepergian Hendri ke luar kota memang bukan karena pekerjaan.Sepanjang meeting, Luna pusatkan pikirannya hanya pada pekerjaan. Dia tidak mau membuat kesalahan sedikit pun, termasuk ketika dia harus mempresentasikan proposal yang devisinya buat."God job, Luna." puji Pak Bagas usai dia melakukan presentasi dan menuai decak kagum dari jajaran direksi.Luna tersenyum samar, dalam dirinya bertekad untuk tidak boleh gagal dalam pekerjaan ini.Usai meeting, tak sempat lagi dia pergi ke kantin untuk makan siang karena dia sudah ditunggu timnya yang lain."Mbak Luna ini pesanannya," ucap OB devisinya yang membawakan nasi kotak yang dia pesan melalui go food."Terimakasih, Mbak Hany." balas Luna beralih fokus dari layar komputer."Bahkan makan aja kagak ada rasanya, ya, Lun." celetuk Alya yang juga sedang menikmati makan siang sambil bekerja.L
Pagi datang terasa berat, karena hari ini Luna harus ke kantor dan itu artinya harus meninggalkan Rafi di rumah sakit hanya bersama dengan Andra. Beruntung, om dan keponakan itu bisa diajak kerja sama, sehingga meski berat, Luna tidak perlu merasa khawatir meninggalkan anaknya untuk bekerja.Sampai di kantor, tentu saja Luna lebih dulu mendapat sambutan omelan oleh atasannya sebab pekerjaan yang menumpuk dan tertunda penyelesaiannya karena Luna ijin kemarin."Luna saya minta laporan untuk PT Surya Jaya selesai pagi ini. Nanti jam sebelas siang jangan lupa ada meeting mingguan, pastikan tim kamu sudah siap dengan semua presentasinya." titah Pak Bagas tegas."Baik, Pak," sanggup Luna kemudian bergegas mengerjakan pekerjaannya setelah menginformasikan perintah atasannya kepada semua timnya.Luna menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut menatap tumpukan pekerjaan di hadapannya.Pekerjaan memang tidak pernah ada habisnya di kantor, tapi hari ini rasanya
"Bukan suaminya yang lebih dulu dihubungi malah lelaki lain." sarkas Bu Yuni -mertua Luna- tatapannya sinis ke arah Adrian yang berdiri tak jauh darinya bersama Bu Septi.Adrian paham jika kalimat sarkas itu tertuju untuknya, akan tetapi dia memilih abai. "Saya pamit dulu, Bu, mari." pamit Adrian lagi pada Bu Septi kemudian melenggang pergi melewati Bu Yuni begitu saja.Tatapan sinis Bu Yuni tetap terpatri di wajahnya, Bu Septi hendak menyapa namun Aluna segera menyela."Tumben Ibu mau datang?" kata Luna tak kalah sarkas.Bu Yuni melotot tak percaya mendengar ucapan Luna."Rafi anak Hendri, cucu saya.""Oh, diakui jadi cucu sekarang? Selama ini ke mana saja?" sinis Luna."Jaga mulutmu, Luna! Kamu--""Loh, benar 'kan? Bukankah cucu Ibu cuma Arsya sama Sheril? Itu Ibu sendiri 'kan yang ngomong pas ada arisan keluarga lebaran kemarin. Lupa?"Balas Luna dengan berani, hatinya masih berkedut sakit setiap mengingat perlakuan dari mertuanya itu. Selama 7 tahun lamanya, Rafi tak dianggap cuc
"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini." tegas Luna pada dirinya sendiri. Tubuh yang merosot dia bawa untuk bangkit berdiri, menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian membawa langkah kembali ke depan ruang ICU dimana ibunya berada."Gimana, Lun?" tanya Bu Septi. Luna mengulas senyum."Hendri sudah tahu, Bu." sahutnya pelan."Dia tidak menyalahkan kamu 'kan, Nak?" tersirat kekhawatiran yang mendalam dalam tanya Bu Septi karena dia pun sedikit banyak sudah tahu tabiat menantunya itu."Tidak, Bu, jangan khawatir." Luna menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dalam hati merutuki kebohongannya pada sang ibu."Andra naik apa katanya, Bu?" tanya Luna mengalihkan fokus Bu Septi padanya."Ibu belum lihat hp lagi, Lun. Cuma katanya semalam mau cari tiket kereta terakhir sudah gak dapat. Paling subuh mau berangkat dari sana tapi gak tahu naik apanya." jawab Bu Septi mengingat percakapan dengan adik Luna."Coba Luna telepon dulu," putus Luna lalu mencari kontak adiknya yang se
"Kenapa, Lun?" Luna menatap ponselnya yang mulai meredup, "gak diangkat, Bu. Mungkin sudah tidur." sahut Luna pelan. Dalam hatinya meragukan jawabannya sendiri."Yasudah, kirim pesan saja." Luna mengangguk lalu menuliskan pesan yang kemudian dikirimkan ke nomor suaminya.Hening, ibu dan anak itu larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai hampir tengah malam, Luna mengajak ibunya untuk ke ruangan Rafi saja agar bisa beristirahat. Toh, di ruang ICU pasien tidak boleh ditemani.Malam kian larut, tetapi Luna tak dapat memejamkan mata sedikit pun. Suara anak perempuan itu terus terngiang di telinganya.Siapa anak itu?Benarkah Hendri memiliki wanita lain? Atau malah anak itu adalah anak Hendri dengan wanita bernama Ratna itu?Segala tanya dan duga memenuhi kepalanya. Luna mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dengan memejamkan matanya, tetapi suara anak perempuan itu terus menghantui. Terekam dengan jelas bagaimana anak itu memanggil 'papa' sedangkan yang dia hubungi adalah nomor ponsel
Langkah kaki Luna terus menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Aroma obat-obatan menyeruak, semakin mempertegas suasana yang penuh kekhawatiran. Tubuhnya hampir lunglai, tapi kekuatan seorang ibu membuatnya bertahan. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang menatap penuh keheranan pada langkah tergesa dan wajahnya yang penuh kecemasan."Ibu!" Luna berseru, suaranya parau.Di ujung lorong, ibunya terlihat duduk di bangku tunggu dengan wajah pucat. Tangannya bergetar, menggenggam erat saputangan yang telah basah oleh air mata. Begitu melihat Luna, wanita itu berdiri dengan tubuh limbung, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan anaknya.Luna bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar hebat. "Gimana Rafi sama Ayah, Bu?" tanyanya dengan napas tersengal, suaranya pecah. Ia takut mendengar jawabannya, namun ia harus tahu.Ibunya tidak langsung menjawab. Isakannya terdengar makin keras, membuat dada Luna semakin sesak. "Mereka … mereka masih di dalam," ucapny