Luna tersenyum tipis saat wajah Hendri pias. Benar dugaannya, kalau Hendri sedang dimanfaatkan oleh kakaknya.Dua hari yang lalu, Luna bertemu Arman ---suami Siska---kemudian mengatakan kalau mereka sudah berpisah dan sedang dalam proses cerai. Hal itu sontak membuat Luna terkejut, pasalnya yang dia ketahui mereka selalu terlihat mesra.Dari cerita Arman, kemudian perubahan Hendri yang mendadak cukup membuat Luna mengetahui alur cerita yang sesungguhnya."Lun--""Maaf, Hendri ... untuk kali ini aku tidak bisa membantumu atau pun Siska.""Kamu tahu dari mana?" tanya Hendri yang sudah terdengar seperti aslinya ... ketus.Luna tersenyum sinis, "tidak penting aku tahu dari nana. Yang jelas, aku sudah bisa menebak apa yang sedang kalian rencanakan." "Baguslah kalau kau sudah tahu, artinya aku tidak perlu lagi berpura-pura seperti ini." sikap Hendri kembali seperti semula. Nada bicaranya pun sudah kembali ketus.Luna terkekeh pelan, membuat Hendri semakin kesal dibuatnya."Yang jelas, aku
"Ada apa?" todong Luna begitu panggilan tersambung dengan kakak iparnya itu."Kamu kebangetan banget, sih, Lun! Hendri sudah baik-baikin kamu, tapi kamu sok banget. Bisa apa kamu tanpa Hendri? Sadar dirilah minimal, Lun." cerocos Siska panjang lebar membuat Luna geleng-geleng kepala. Dalam keadaan terjepit begini saja wabita itu masih bisa mengomel padanya."Sudah?" tanya Luna setelah beberapa detik mereka diam karena Luna enggan menanggapi ocehan Siska."Kamu--""Maaf, Mbak ... Aku tidak berminat membantumu. Kalau soal tempat tinggal, kalian boleh tinggal di rumahku sementara ini, tapi nanti setelah aku dan Hendri resmi bercerai kalian harus keluar dari rumahku. Kalau soal hutang-hutangmu, maaf ... aku gak bisa dan gak mau bantu!" tegas Luna menyela Siska.Luna segera memutus panggilan tanpa menunggu reaksi Siska di seberang sana. Ya, Luna sudah tahu ke mana arah tujuan Siska meminta Hendri bersikap baik padanya. Tak lain dan tak bukan adalah untuk membuatnya bersedia membayar hutan
Luna memijit pelipisnya, dia mendadak pening oleh tatapan penuh intimidasi dari teman-teman satu devisinya. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah karena sapaan Adrian padanya tadi pagi."Oh ayolah ... emang kalian kenyang dengan melototin gue kayak gini?" kata Luna frustasi.Alya, Meta, Dania, Silvia, Irna dan Suna tak terpengaruh. Mereka tetap menunggu jawaban dari Luna tentang hubungannya dengan bos baru mereka.Aluna menghela nafas pasrah, merasa lelah karena jawaban apapun tak membuat mereka percaya begitu saja."Oke fine ... Adrian--""Tuh 'kan ... panggilannya aja udah sedekat itu gaes ...." sela Alya mengompori teman-temannya."Astaga! Oke, gue sama Pak Adrian ... jelas, ya ... Pak Adrian Wira Atmaja ... satu sekolah pas SMA. Satu kelas pas kelas 3 selama hampir 8 bulan sebelum beliau pindah ke Jerman waktu itu." jelas Luna.Mata para teman-temannya semakin membulat. Irna menepuk bahu Luna dengan dramatis, seolah baru saja mendengar kabar yang sangat mengejutkan."Beneran cuma
Tepat jam lima sore, pekerjaan Luna akhirnya selesai sehingga dia tidak perlu lembur di hari itu. Dalam benaknya sudah menyusun beberapa rencana untuk menikmati waktu lebih banyak bersama Rafi, putranya.'Bagaimana kalau nonton? Dinner? Atau ke play ground?' batinnya sedang memilah kegiatan apa yang akan dia lakukan bersama Rafi nanti. Ah, hatinya sudah tak sabar untuk segera sampai rumah."Al ... yuk, pulang!" ajaknya pada Alya yang juga sudah selesai pekerjaannya. Sedangkan yang lain masih nampak sibuk."Bentar, deh, udah janji sama Suna mau nge-mall." jawab Alya menunjuk Suna dengan dagunya."Yaudah, gue duluan, ya!" pamit Luna sembari menyambar tasnya."Oke! Hati-hati!" pesan Alya sembari melambaikan tangannya.Dengan semangat Luna bergegas membawa lamgkah menuju parkiran, saat pintu lift terbuka di dalam sana sudah ada Adrian dengan beberapa orang di dalam. Meski canggung, Luna akhirnya ikut masuk ke dalam lift.Dia memgangguk hormat sebagai sapaan kepada Adrian dan dibalas deng
Setelah puas menikmati kebersamaan mereka, Luna mengajak Rafi untuk pulang karena hari juga semakin larut. Rafi tampak mengantuk, tetapi senyumnya masih melekat, tanda betapa bahagianya ia malam ini. Adrian menawarkan diri untuk mengantar mereka, tetapi Luna menolak karena dia membawa mobil sendiri. "Terima kasih sudah menemani kami, Adrian," ucap Luna ketika mereka sampai di parkiran, tepatnya di samping mobil Luna.Adrian tersenyum, "sama-sama. Aku senang bisa menghabiskan waktu dengan kalian, terutama Rafi. Dia anak yang luar biasa." kata Adrian semabri mengusap kepala Rafi."Kapan-kapan kita main lagi, ya, Om." pinta Rafi dengan senyum lebarnya."Tentu, Sayang. Lain waktu kita jalan-jalan lagi." balas Adrian tak keberatan. Lalu kembali beralib menatap Luna."Hati-hati, ya, jangan ngebut." pesannya perhatian.Luna hanya mengangguk, lalu menggandeng tangan kecil Rafi untuk masuk ke dalam mobil. "Dadah, Om Adrian!" seru Rafi saat mobil Luna melintasi dirinya yang masih memperhatika
Waktu bergerak begitu lambat, membuat Luna gusar. Sejak pagi pesan yang dikirimkan Luna pada Mbak Jum belum juga terbaca. Fokusnya pada pekerjaan buyar, pikirannya dihantui oleh kemungkinan yang dia ciptakan sendiri.'Bagaimana kalau Hendri membawa Rafi pergi?''Bagaimana kalau Hensri memisahkannya dari Rafi?''Bagaimana kalau mereka kenapa-kenapa?''Bagaimana kalau Hendri bicara yang tidak-tidak pada Rafi?'Dan segala kemungkinan buruk yang mengacaukan mood kerjanya pagi itu. Luna kembalieraih ponselnya, mnekan nomor Mbak Jum yang sudah puluhan kali dia coba hubungi. Namun, kali ini pun gagal lagi.Dengan kesal, Luna meletakkan ponselnya sedikit keras sehingga menarik perhatian Alya yang berada tepat di samping kanannya."Lu napa dah, Lun?" tanya Alya dengan tatapan khawatir."Kesel gue," sahut Luna apa adanya."Iya, kesel kenapa? Tumben-tumbenan, Lu?"Luna tak menjawab, dia menghela nafas berat lalu bangkit dari duduknya. "Aneh, deh." gerutu Alya yang masih bisa dia dengar, tapi
Satu minggu berlalu, kini Luna benar-benar memulai pencariannya. Berbekal nama dan foto yang dia dapat dari Ayu, kini Luna berada di halaman sebuah butik yang pernah dia datangi dulu.Benar, orang yang berada di dalam foto yang dia pegang itu beberapa saat yang lalu masuk ke dalam sana bersama seorang wanita paruh baya. Mungkin saja itu ibunya.Setelah beberapa saat, Luna memutuskan untuk ikut masuk ke dalam. Berlagak mencari aksesoris agar tak terlalu kentara kalau dia sedang menguntit seseorang.Tangan memilah aksesoris tetapi mata jeli mencari wanita yang dia kuntit. Wanita bernama Ratna itu tengah asyik memilih gaun yang terpajang di manekin.Dengan gugup Luna membawa langkah mendekat kemudian menyapa seolah tidak sengaja bertemu."Mbak Ratna?" sapa Luna mencolek sedikit lengan wanita berambut sebahu itu.Ratna menoleh dengan kening berkerut menatap Luna. "Iya, siapa, ya?" "Oh, saya Aluna ... kita pernah ketemu waktu acara gathering di Bandung tahun lalu." sahut Luna sok akrab."
"Hendri ...." gumam Luna sedikit merasa takut, terlebih melihat raut wajah Handri. Luna mematung di tempat sedangkan Hendri semakin bergerak maju. Manatao tajam Luna yang seolah terhipnotis sehingga ia tidak mampu bergerak. Saat jarak semakin terpangkas, Luna tersadar dari kebekuannya. "Sudah kuperingatkan jangan biarkan anakku pergi dengan orang asing, Luna! Apa kamu sebodoh itu?" bentak Hendri tanpa ba bi bu mendorong Luna sehingga terhuyung ke belakang. "Aku--" Tamparan keras lebih dulu mendarat di pipi Luna sebelum sempat ia menyanggah tuduhan Hendri. "Kamu ... berani sekali mengijinkan orang itu membawa anakku!" Tendangan Hendri berikan pada Luna yang masih belum bisa menguasai dirinya dari rasa terkejut. Luna terpental hingga tubuhnya menabrak pintu dengan kasar, menimbulkan dentuman yang cukup keras sehingga menarik perhatian Mbak Jum yang sedang berada di dapur. "Ya Allah ... Ibu!" pekik Mbak Jum segera memburu Luna yang bersandar pada daun pintu. Membantunya
Adrian mengajak Luna dan Rafi ke pusat perbelanjaan besar yang agak jauh dari rumah, alasannya mencari playground yang lebih besar dan lengkap untuk Rafi. Meaki harus ditempuh dengan 1 jam lebih perjalanan.Namun begitu, pilihan Adrian benar-benar membuat Rafi bahagia karena hampir semua permainan yang dia idamkan ada di sana.Rafi segera menjajal satu persatu wahana permainan di sana, tak lupa bersorak riang setiap kali ia berhasil menaklukkan permainan yang ia coba. Matanya berbinar-binar penuh semangat, dan tawa kecilnya terus mengalun, membuat Luna tak henti-hentinya tersenyum.“Mama, lihat! Aku bisa naik ini sendiri!” seru Rafi sambil memanjat dinding panjat mini dengan penuh percaya diri. Tangannya yang mungil menggenggam erat pegangan demi pegangan, sementara kakinya dengan cekatan mencari pijakan."Hati-hati, Sayang!" seru Luna dari pinggir arena sementara Adrian berdiri di bawah, siap siaga jika sewaktu-waktu Rafi kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Boy. Pegang yang kuat, ya
"Kami belum menemukan keberadaan Pak Hendri, Bu." Luna dan Bu Septi saling berpandangan dengan tatapan khawatir. Sedangkan Pak Pramono menyandarkan punggungnya disertai helaan nafas panjang.Setelah hampir dua minggu lamanya menanti, akhirnya Luna mendapatkan kabar dari pengacaranya. Sayangnya, kabar yang dia terima tidak seperti yang dia inginkan."Jadi Hendri benar-benar kabur?" ulamg Pak Pramono lagi. Memastikan apa yang dia dengar tidaklah salah."Betul, Pak. Sejak kejadian hari itu, sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan Pak Hendri. Menurut informasi, Pak Hendri sudah hengkang dari perusahaan tempatnya bekerja sehari sebelum hari kejadian dan beliau juga tidak perbah terlihat pulang ke kediaman Bu Luna." tambah Pak Sandy selaku pengacara Luna."Jadi, siapa yang tinggal di rumah saya?" tanya Luna penasaran."Hanya Bu Marni dan Bu Siska saja. Itu pun hanya sekitar satu minggu. Setelahnya rumah Ibu kosong." Kenyataan ini membuat Luna terkejut luar biasa. Pasalnya dia mengi
"Terimakasih," kata Luna setelah mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Pak Pramono."Sama-sama ... salam buat Rafi, Ayah dan Ibu, ya ... maaf gak bisa mampir." balas Adrian tersenyum begitu lebar.Luna mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Akan tetapi Adrian lebih dulu turun dan memutari mobil kemudian membukakan pintu untuknya.Perlakuan sederhana yang membuat wanita berbunga-bunga, tapi tidak semua laki-laki mau melakukannya. Namun, Adrian melakukannya. Membuat hati Luna tak karuan rasanya. Antara senang, bahagia tetapi juga malu yang mendera sebab mereka tak hanya berdua saja, tetapi ada Angga yang ikut serta.Ia bahkan bisa melihat raut keheranan dari asisten pribadi Adrian itu ketika melihat atasannya membukakan pintu untuknya."Terimakasih sekali lagi, malah jadi ngerepotin." ungkap Luna setelah turun dari mobil."Iya, Aluna ... aku senang melakukannya." balas Adrian menatap lekat wajah Luna, namun buru-buru dia sudahi mengagumi wajah ayu itu. Bisa-bisa, dia tidak j
Luna melangkah terburu meninggalkan basement setelah mengambil tasnya dari dalam mobil Adrian. Jam masuk masih tersisa 5 menit lagi tetapi dia harus buru-buru sebab perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya setelah kejadian beberapa saat lalu.Luna memejamkan mata sesaat di samping mesin fingerprint, jantungnya masih berdetak tak karuan. Teringat lagi kejadian di taman tadi, bisa-bisanya dia ikut terbuai dan menikmati moment bersama Adrian."Ngapain, Lu?" Sakit?" tepukan Alya di bahunya sontak membuatnya membuka mata lebar-lebar.Luna gugup mendapat tatapan seintens itu dari Alya. "E-enggak ... gue baik-baik aja, kok." "Ya, terus ngapain di sini? Muka Lu merah gitu?" tanya Alya semakin keheranan, ia berniat menyentuh kening Luna tetapi Luna segera menghindar."Lu baru dateng juga?" tanya Luna mengalihkan perhatian Alya. Alya mengangguk, lalu melakukan absensi dengan tatapan mata tetap tertuju pada Luna yang masih berdiri di sebelah mesin fingerprint."Yuk!" ajaknya setelah absen be
Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu
Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic
"Aku ...""Eh, ada nak Adrian, to ... Kok, gak masuk?" Suara cempreng Bu Septi menyela Adrian yang hendak bicara. Luna menghela nafas kecewa. Padahal sedikit lagi segala tanya dalam benaknya akan menemukan jawaban. Malah ibunya terlanjur datang."Iya, Bu ... saya juga baru saja datang, kok." balas Adrian menyalami Bu Septi."Hayuk masuk, udah mau Maghrib." kata Bu Septi lagi lalu beralih memanggil cucunya yang masih asyik bermain di halaman.Adrian hendak membantu Luna berdiri, tapi dengan tegas Luna menolak. "Aku bisa sendiri, Adrian." "Yasudah ... pelan-pelan saja." kata Adrian perhatian.Usai shalat Maghrib, mereka berkumpul duduk di ruang keluarga, berbincang hangat selayaknya keluarga dekat."Em ... maaf, Nak Adrian. Kalau boleh, Bapak mau bicara sesuatu." kata Pak Pramono mengalihkan perhatian semua orang.Mbak Jum segera mengajak Rafi untuk menyingkir dari sana karena dia tahu akan ada pembicaraan orang dewasa."Iya, Pak, silakan." jawab Adrian tetap tenang."Terimakasih seka
Dua hari kemudian Luna sudah diperbolehkan pulang, dibantu Bu Septi Luna melangkah perlahan menuju lift yang akan mengantarnya turun ke lantai satu gedung rumah sakit itu."Tadi, Adrian bilang akan jenguk kamu di rumah." kata Bu Septi setelah kotak berjalan itu tertutup sempurna."Adrian?" gumam Luna memastikan. Bu Septi mengangguk.Sejak dua hari yang lalu, Adrian belum datang lagi ke rumah sakit. Luna berpikir bahwa Adrian memang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Adrian juga mengatakan hal yang sama di chat kemarin."Tadi pas kamu mandi, dia telepon ke hp kamu, jadi Ibu yang jawab kalau hari ini kamu boleh pulang, gitu." beritahu Bu Septi diakhiri dengan kekehan kecil. Membuat Luna menggeleng pelan."Ibu, ih," decak Luna dengan senyum kecil."Sama Ibu gak boleh main rahasia-rahasiaan." goda Bu Septi lagi."Rahasia apa, sih, Bu? Luna gak ada apa-apa sama Adrian, cuma teman." kilah Luna menyangkal meski wajahnya memanas."Iya, Ibu juga tahu." kekeh Bu Septi dengan nada menggoda."Tapi
"Semua proses hukum sudah aku serahkan sama pengacara, kamu tinggal ikuti prosesnya saja." Beritahu Adrian yang baru datang lagi setelah pulang dari kantor. Kini Luna sudah lebih baik, tapi masih hatus dirawat di rumah sakit.Selama dua hari dirawat, selama itu pula Adrian menemaninya bersama Rafi dan Mbak Jum. Kalau siang, Luna ditemani oleh keluarganya yang kemarin baru datang dari acara wisuda Andra di Jogja.Ayah dan Ibu Luna sangat marah dan kecewa terhadap perilaku menantunya. Mereka sering memperingati Luna untuk berpisah saja andai Hendri tak juga mau berubah. Namun, Luna masih saja bertahan walau Hendri memamg kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya.Puncaknya adalah kemarin, Luna sampai harus mendapat perawatan intensif akibat perbuatan Hendri. Sejak saat itu juga, Pak Pramono tidak lagi mengijinkan Luna membela Hendri walau sekedar ucapan. Pak Pramono dan Bu Septi jugalah yang mendesak Luna untuk segera melaporkan tindak kekerasan ini pada pihak yang berwajib."Terima