"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"
Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan. "Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri. Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu. "Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna. Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya. Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri. "Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya. "Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja. "Lun--" "Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-mentang ada Ibu di sini, lalu aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ... di rumahku sendiri." sela Luna saat Hendri hendak menghardiknya. Ia menekan kata rumahku agar Hendri ingat kalau memang rumah yang mereka tempati adalah rumah Luna yang sudah dia miliki sebelum menikah dengan Hendri. Mendengar itu, Hendri mendelik tak suka. Begitu juga ibunya. "Lancang kamu, Lun." geram Hendri, tetapi Luna abaikan. Dia asyik mengoles selai ke atas rotinya. "Kamu katanya ke luar kota? Sama siapa, Mas?" tanya Luna mengabaikan raut kesal Hendri dan tatapan sinis ibu mertuanya. "Bukan urusan kamu." jawab Hendri tegas. "Oh ... aku masih istri kamu, kan? Jadi aku berhak tahu suamiku pergi ke mana dan dengan siapa." Luna menatap Hendri tajam. Tidak ada lagi rasa takut atau ragu dalam dirinya. Ia tahu, selama ini ia terlalu banyak menahan diri, terlalu sering mengalah demi menjaga keharmonisan yang hanya ia perjuangkan seorang diri. Kali ini, ia memutuskan untuk berhenti menjadi bayangan di rumahnya sendiri. "Kenapa diam, Mas? Aku tunggu jawabannya," ucap Luna tenang, meski dadanya bergemuruh. "Kalau aku bilang, aku pergi dengan teman kerja, kamu mau apa?" Hendri akhirnya bersuara, namun nada ketusnya tetap bertahan. "Teman kerja yang mana?" Luna mendesak. Hendri terdiam, tampak berpikir keras mencari alasan. Sementara itu, ibunya, yang sejak tadi duduk di meja makan, tampak gelisah. Wanita tua itu menatap Luna dengan pandangan tajam, seolah menyalahkan menantunya karena berani menginterogasi anak lelakinya. "Luna, kamu jangan keterlaluan. Hendri itu suamimu, kepala rumah tangga. Dia tidak perlu lapor setiap kali pergi ke luar kota. Kalau kamu terlalu banyak tanya, kamu hanya membuat anak saya makin gak betah di rumah," ujar sang ibu mertua, menyelamatkan Hendri dari tekanan. Luna menghela napas panjang. Ia tersenyum tipis dan sinis, lalu menatap ibu mertuanya dengan tegas. "Bu, kalau memang suami saya masih ingin dihormati sebagai kepala rumah tangga, bukankah dia juga seharusnya menghormati istrinya di rumah ini? Atau mungkin Ratna itu yang sekarang lebih layak disebut istrinya?" sindir Luna sambil tetap tenang, meski ucapannya penuh makna. Hendri dan Ibunya nampak tegang mendengar Luna menyebut nama Ratna. Terlihat jelas dari kedua pasang mata yang melebar itu. "Jaga mulutmu, Luna!" Hendri tiba-tiba membentak. Kali ini ia bangkit dari kursinya, menatap Luna dengan amarah yang meluap. Namun Luna tetap tenang. Ia tidak mundur sedikit pun. Dengan sikapnya yang mulai tegar, ia justru merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang selama ini disembunyikan Hendri. "Kenapa? Aku salah? Kalau aku salah, buktikan. Katakan aku hanya berprasangka. Tapi, kalau kamu tetap diam, aku akan anggap dugaanku benar," tantang Luna. Hendri tampak semakin gusar, tetapi ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ibunya tampak lebih agresif. "Luna, kamu itu perempuan nggak tahu diri! Sudah kami biarkan tinggal di rumah ini, kamu malah kurang ajar. Berani-beraninya kamu menuduh suamimu yang nggak-nggak!" hardik ibu mertua. Luna mendengar semua itu dengan senyum getir. "Rumah ini? Maaf, Bu. Kalau memang rumah ini tidak pantas untuk keluarga besar Hendri, saya bisa tinggal sendiri. Ini rumah saya, warisan dari almarhum ayah saya. Hendri hanya menumpang," ucapnya dengan nada tajam. Hendri langsung melotot, wajahnya memerah. "Luna, berhenti bicara yang nggak perlu!" "Yang nggak perlu?" Luna mengulangi perkataannya. "Mas, aku cuma ingin tahu kebenarannya. Aku sudah cukup lelah bertahan sendiri di pernikahan ini. Kalau memang ada orang lain, katakan saja. Aku janji, aku tidak akan menuntut apa-apa dan tidak akan mempersulit prosesnya." Luna tidak memalingkan pandangannya. Ia tetap menatap Hendri, menunggu jawaban yang ia tahu mungkin akan menghancurkan hatinya, tetapi juga membebaskannya dari pernikahan yang tak lagi sehat ini. Di sudut pikirannya, ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun. Hendri tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya yang merah padam dengan dada naik turun seirama dengan nafasnya. Sementara ibunya terus berbicara, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, Luna. Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak keluar saja dari rumah ini? Jangan memperkeruh suasana!" Luna menatap ibu mertuanya dengan dingin. "Keluar dari rumah saya sendiri? Apa itu maksud Ibu?" Suasana menjadi semakin tegang. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Luna menatap Hendri, berharap setidaknya ada pengakuan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan yang semakin membuat hatinya remuk. Akhirnya, Luna memutuskan untuk bangkit dari kursinya. "Aku nggak akan maksa. Tapi, aku juga nggak akan diam saja. Kalau Mas Hendri nggak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri. Dan kalau aku menemukan apa yang selama ini kalian sembunyikan, jangan harap aku akan tinggal diam," ucap Luna, sebelum melangkah pergi. Saat sampai di kamarnya, Luna segera mengambil ponsel. Jemarinya bergerak cepat, mencari sesuatu yang bisa membantunya mengungkap rahasia Hendri. Ia membuka media sosial Hendri, mencoba mencari nama Ratna. Namun, tidak ada hasil. "Dia terlalu pintar untuk meninggalkan jejak di sini," gumam Luna. Ia kemudian membuka galeri foto di media sosial Hendri, mencari potret Hendri yang diambil beberapa bulan terakhir. Namun, dia tidak menemukan petunjuk apapun. Lalu ia teringat dengan Ayu, teman kuliahnya yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Hendri. Gegas dia mencari kontak Ayu dan mengirimkan pesan pada perempuan itu. [Ay, kamu kenal nggak sama Ratna?] Tanyanya setelah berbasa-basi sesaat melalui pesan chat. [Aku nggak kenal langsung, sih, tapi aku pernah lihat dia. Sepertinya dia bekerja di bawah komando Pak Sakti, di bagian marketing. Ada apa, Lun?] Jawaban itu membuat hati Luna mencelos. Ia tidak tahu apakah harus lega karena kecurigaannya benar atau semakin marah karena Hendri ternyata selama ini tidak hanya berbohong, tetapi juga bermain api di belakangnya. Tetapi dia juga ragu, apakah Ratna yang dibicarakan Hendri dan ibunya adalah Ratna yang sama dengan yang dimaksud Ayu? Lalu, bagaimana jika bukan? Luna memutuskan untuk tidak terburu-buru. Ia tahu, bertindak gegabah hanya akan membuat Hendri semakin defensif. Maka, ia harus menyusun rencana lebih dulu agar Hendri tidak semakin curiga. "Pantas saja kamu berubah, Mas, ternyata ada orang lain di hatimu." bisik Luna pada dirinya sendiri. Tatapannya lurus keluar jendela, di sana Hendri sudah bersiap pergi yang katanya akan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. "Benarkah urusan pekerjaan, Mas?" tanyanya entah pada siapa, yang jelas pertanyaan itu tidak akan segera mendapatkan jawabannya.Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya.Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya.Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi.[Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?]Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk.Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah."Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna sedang mengu
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H
Keesokan paginya, rumah terasa kacau dengan anak-anak Siska yang berlarian, meninggalkan remah-remah di sofa. Ibu mertua duduk santai, mengamati Luna yang sibuk menyiapkan teh.“Luna, tehnya mana? Lama sekali,” suara ibu mertuanya tajam.Luna buru-buru menuangkan teh, tangannya gemetar, lalu menyerahkannya dengan senyum kecil. Ibu mertuanya menyeruput sedikit dan mengerutkan dahi. “Pahit banget! Gulanya kurang, tambahin lagi.”Tanpa berkata apa-apa, Luna kembali ke dapur dan menambahkan gula. Hendri masuk ke dapur, memeriksa meja makan. “Ibu pesan, jangan lupa belanja untuk arisan lusa. Kamu harus siapkan semuanya.”“Tapi lusa aku ada reuni,” jawab Luna pelan, mengaduk teh mertuanya.Hendri mendekat, matanya tajam. “Reuni? Untuk apa? Acara begitu enggak penting.”“Aku sudah janji dengan teman-temanku,” Luna mencoba memberi ruang pada keberaniannya.“Sudah berani kamu?” suara Hendri meninggi, “aku bilang tidak perlu pergi. Titik!” tekan Hendri sembari menekan kuat bahu Luna.Hendri ber
Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah. Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri.Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik. Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk.Adrian!Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi."Halo--" jawab Luna dengan segera."Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna."Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir.Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuska
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya.Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya.Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi.[Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?]Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk.Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah."Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna sedang mengu
"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan."Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri.Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu."Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna.Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya.Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri."Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya."Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja."Lun--""Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-menta
Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah. Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri.Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik. Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk.Adrian!Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi."Halo--" jawab Luna dengan segera."Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna."Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir.Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuska
Keesokan paginya, rumah terasa kacau dengan anak-anak Siska yang berlarian, meninggalkan remah-remah di sofa. Ibu mertua duduk santai, mengamati Luna yang sibuk menyiapkan teh.“Luna, tehnya mana? Lama sekali,” suara ibu mertuanya tajam.Luna buru-buru menuangkan teh, tangannya gemetar, lalu menyerahkannya dengan senyum kecil. Ibu mertuanya menyeruput sedikit dan mengerutkan dahi. “Pahit banget! Gulanya kurang, tambahin lagi.”Tanpa berkata apa-apa, Luna kembali ke dapur dan menambahkan gula. Hendri masuk ke dapur, memeriksa meja makan. “Ibu pesan, jangan lupa belanja untuk arisan lusa. Kamu harus siapkan semuanya.”“Tapi lusa aku ada reuni,” jawab Luna pelan, mengaduk teh mertuanya.Hendri mendekat, matanya tajam. “Reuni? Untuk apa? Acara begitu enggak penting.”“Aku sudah janji dengan teman-temanku,” Luna mencoba memberi ruang pada keberaniannya.“Sudah berani kamu?” suara Hendri meninggi, “aku bilang tidak perlu pergi. Titik!” tekan Hendri sembari menekan kuat bahu Luna.Hendri ber
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H