"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"
Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan. "Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri. Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu. "Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna. Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya. Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri. "Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya. "Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja. "Lun--" "Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-mentang ada Ibu di sini, lalu aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ... di rumahku sendiri." sela Luna saat Hendri hendak menghardiknya. Ia menekan kata rumahku agar Hendri ingat kalau memang rumah yang mereka tempati adalah rumah Luna yang sudah dia miliki sebelum menikah dengan Hendri. Mendengar itu, Hendri mendelik tak suka. Begitu juga ibunya. "Lancang kamu, Lun." geram Hendri, tetapi Luna abaikan. Dia asyik mengoles selai ke atas rotinya. "Kamu katanya ke luar kota? Sama siapa, Mas?" tanya Luna mengabaikan raut kesal Hendri dan tatapan sinis ibu mertuanya. "Bukan urusan kamu." jawab Hendri tegas. "Oh ... aku masih istri kamu, kan? Jadi aku berhak tahu suamiku pergi ke mana dan dengan siapa." Luna menatap Hendri tajam. Tidak ada lagi rasa takut atau ragu dalam dirinya. Ia tahu, selama ini ia terlalu banyak menahan diri, terlalu sering mengalah demi menjaga keharmonisan yang hanya ia perjuangkan seorang diri. Kali ini, ia memutuskan untuk berhenti menjadi bayangan di rumahnya sendiri. "Kenapa diam, Mas? Aku tunggu jawabannya," ucap Luna tenang, meski dadanya bergemuruh. "Kalau aku bilang, aku pergi dengan teman kerja, kamu mau apa?" Hendri akhirnya bersuara, namun nada ketusnya tetap bertahan. "Teman kerja yang mana?" Luna mendesak. Hendri terdiam, tampak berpikir keras mencari alasan. Sementara itu, ibunya, yang sejak tadi duduk di meja makan, tampak gelisah. Wanita tua itu menatap Luna dengan pandangan tajam, seolah menyalahkan menantunya karena berani menginterogasi anak lelakinya. "Luna, kamu jangan keterlaluan. Hendri itu suamimu, kepala rumah tangga. Dia tidak perlu lapor setiap kali pergi ke luar kota. Kalau kamu terlalu banyak tanya, kamu hanya membuat anak saya makin gak betah di rumah," ujar sang ibu mertua, menyelamatkan Hendri dari tekanan. Luna menghela napas panjang. Ia tersenyum tipis dan sinis, lalu menatap ibu mertuanya dengan tegas. "Bu, kalau memang suami saya masih ingin dihormati sebagai kepala rumah tangga, bukankah dia juga seharusnya menghormati istrinya di rumah ini? Atau mungkin Ratna itu yang sekarang lebih layak disebut istrinya?" sindir Luna sambil tetap tenang, meski ucapannya penuh makna. Hendri dan Ibunya nampak tegang mendengar Luna menyebut nama Ratna. Terlihat jelas dari kedua pasang mata yang melebar itu. "Jaga mulutmu, Luna!" Hendri tiba-tiba membentak. Kali ini ia bangkit dari kursinya, menatap Luna dengan amarah yang meluap. Namun Luna tetap tenang. Ia tidak mundur sedikit pun. Dengan sikapnya yang mulai tegar, ia justru merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang selama ini disembunyikan Hendri. "Kenapa? Aku salah? Kalau aku salah, buktikan. Katakan aku hanya berprasangka. Tapi, kalau kamu tetap diam, aku akan anggap dugaanku benar," tantang Luna. Hendri tampak semakin gusar, tetapi ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ibunya tampak lebih agresif. "Luna, kamu itu perempuan nggak tahu diri! Sudah kami biarkan tinggal di rumah ini, kamu malah kurang ajar. Berani-beraninya kamu menuduh suamimu yang nggak-nggak!" hardik ibu mertua. Luna mendengar semua itu dengan senyum getir. "Rumah ini? Maaf, Bu. Kalau memang rumah ini tidak pantas untuk keluarga besar Hendri, saya bisa tinggal sendiri. Ini rumah saya, warisan dari almarhum ayah saya. Hendri hanya menumpang," ucapnya dengan nada tajam. Hendri langsung melotot, wajahnya memerah. "Luna, berhenti bicara yang nggak perlu!" "Yang nggak perlu?" Luna mengulangi perkataannya. "Mas, aku cuma ingin tahu kebenarannya. Aku sudah cukup lelah bertahan sendiri di pernikahan ini. Kalau memang ada orang lain, katakan saja. Aku janji, aku tidak akan menuntut apa-apa dan tidak akan mempersulit prosesnya." Luna tidak memalingkan pandangannya. Ia tetap menatap Hendri, menunggu jawaban yang ia tahu mungkin akan menghancurkan hatinya, tetapi juga membebaskannya dari pernikahan yang tak lagi sehat ini. Di sudut pikirannya, ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun. Hendri tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya yang merah padam dengan dada naik turun seirama dengan nafasnya. Sementara ibunya terus berbicara, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, Luna. Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak keluar saja dari rumah ini? Jangan memperkeruh suasana!" Luna menatap ibu mertuanya dengan dingin. "Keluar dari rumah saya sendiri? Apa itu maksud Ibu?" Suasana menjadi semakin tegang. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Luna menatap Hendri, berharap setidaknya ada pengakuan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan yang semakin membuat hatinya remuk. Akhirnya, Luna memutuskan untuk bangkit dari kursinya. "Aku nggak akan maksa. Tapi, aku juga nggak akan diam saja. Kalau Mas Hendri nggak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri. Dan kalau aku menemukan apa yang selama ini kalian sembunyikan, jangan harap aku akan tinggal diam," ucap Luna, sebelum melangkah pergi. Saat sampai di kamarnya, Luna segera mengambil ponsel. Jemarinya bergerak cepat, mencari sesuatu yang bisa membantunya mengungkap rahasia Hendri. Ia membuka media sosial Hendri, mencoba mencari nama Ratna. Namun, tidak ada hasil. "Dia terlalu pintar untuk meninggalkan jejak di sini," gumam Luna. Ia kemudian membuka galeri foto di media sosial Hendri, mencari potret Hendri yang diambil beberapa bulan terakhir. Namun, dia tidak menemukan petunjuk apapun. Lalu ia teringat dengan Ayu, teman kuliahnya yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Hendri. Gegas dia mencari kontak Ayu dan mengirimkan pesan pada perempuan itu. [Ay, kamu kenal nggak sama Ratna?] Tanyanya setelah berbasa-basi sesaat melalui pesan chat. [Aku nggak kenal langsung, sih, tapi aku pernah lihat dia. Sepertinya dia bekerja di bawah komando Pak Sakti, di bagian marketing. Ada apa, Lun?] Jawaban itu membuat hati Luna mencelos. Ia tidak tahu apakah harus lega karena kecurigaannya benar atau semakin marah karena Hendri ternyata selama ini tidak hanya berbohong, tetapi juga bermain api di belakangnya. Tetapi dia juga ragu, apakah Ratna yang dibicarakan Hendri dan ibunya adalah Ratna yang sama dengan yang dimaksud Ayu? Lalu, bagaimana jika bukan? Luna memutuskan untuk tidak terburu-buru. Ia tahu, bertindak gegabah hanya akan membuat Hendri semakin defensif. Maka, ia harus menyusun rencana lebih dulu agar Hendri tidak semakin curiga. "Pantas saja kamu berubah, Mas, ternyata ada orang lain di hatimu." bisik Luna pada dirinya sendiri. Tatapannya lurus keluar jendela, di sana Hendri sudah bersiap pergi yang katanya akan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. "Benarkah urusan pekerjaan, Mas?" tanyanya entah pada siapa, yang jelas pertanyaan itu tidak akan segera mendapatkan jawabannya.Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya. Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya. Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi. [Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?] Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk. Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah. "Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna s
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Langkah kaki Luna terus menggema di lorong rumah sakit yang dingin. Aroma obat-obatan menyeruak, semakin mempertegas suasana yang penuh kekhawatiran. Tubuhnya hampir lunglai, tapi kekuatan seorang ibu membuatnya bertahan. Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang menatap penuh keheranan pada langkah tergesa dan wajahnya yang penuh kecemasan."Ibu!" Luna berseru, suaranya parau.Di ujung lorong, ibunya terlihat duduk di bangku tunggu dengan wajah pucat. Tangannya bergetar, menggenggam erat saputangan yang telah basah oleh air mata. Begitu melihat Luna, wanita itu berdiri dengan tubuh limbung, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan anaknya.Luna bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar hebat. "Gimana Rafi sama Ayah, Bu?" tanyanya dengan napas tersengal, suaranya pecah. Ia takut mendengar jawabannya, namun ia harus tahu.Ibunya tidak langsung menjawab. Isakannya terdengar makin keras, membuat dada Luna semakin sesak. "Mereka … mereka masih di dalam," ucapny
"Kenapa, Lun?" Luna menatap ponselnya yang mulai meredup, "gak diangkat, Bu. Mungkin sudah tidur." sahut Luna pelan. Dalam hatinya meragukan jawabannya sendiri."Yasudah, kirim pesan saja." Luna mengangguk lalu menuliskan pesan yang kemudian dikirimkan ke nomor suaminya.Hening, ibu dan anak itu larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai hampir tengah malam, Luna mengajak ibunya untuk ke ruangan Rafi saja agar bisa beristirahat. Toh, di ruang ICU pasien tidak boleh ditemani.Malam kian larut, tetapi Luna tak dapat memejamkan mata sedikit pun. Suara anak perempuan itu terus terngiang di telinganya.Siapa anak itu?Benarkah Hendri memiliki wanita lain? Atau malah anak itu adalah anak Hendri dengan wanita bernama Ratna itu?Segala tanya dan duga memenuhi kepalanya. Luna mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dengan memejamkan matanya, tetapi suara anak perempuan itu terus menghantui. Terekam dengan jelas bagaimana anak itu memanggil 'papa' sedangkan yang dia hubungi adalah nomor ponsel
"Tidak, aku tidak boleh seperti ini." tegas Luna pada dirinya sendiri. Tubuh yang merosot dia bawa untuk bangkit berdiri, menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian membawa langkah kembali ke depan ruang ICU dimana ibunya berada."Gimana, Lun?" tanya Bu Septi. Luna mengulas senyum."Hendri sudah tahu, Bu." sahutnya pelan."Dia tidak menyalahkan kamu 'kan, Nak?" tersirat kekhawatiran yang mendalam dalam tanya Bu Septi karena dia pun sedikit banyak sudah tahu tabiat menantunya itu."Tidak, Bu, jangan khawatir." Luna menggenggam erat telapak tangan ibunya. Dalam hati merutuki kebohongannya pada sang ibu."Andra naik apa katanya, Bu?" tanya Luna mengalihkan fokus Bu Septi padanya."Ibu belum lihat hp lagi, Lun. Cuma katanya semalam mau cari tiket kereta terakhir sudah gak dapat. Paling subuh mau berangkat dari sana tapi gak tahu naik apanya." jawab Bu Septi mengingat percakapan dengan adik Luna."Coba Luna telepon dulu," putus Luna lalu mencari kontak adiknya yang se
"Aluna?""Adrian?"Keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu dalam ketidak sengajaan seperti ini."Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian setelah menguasai diri dari keterkejutannya."Aku ... em, anak sama Ayahku dirawat di sini." jawab Luna terus terang. "Hah? Kok, bisa? Maksudku, kenapa?" Adrian kembali terkejut mendengarnya."Iya, mereka kecelakaan semalam." jelas Luna pelan."Oh, sorry ... semoga mereka lekas pulih, ya, Aluna. Kamu yang kuat buat mereka." hibur Adrian menepuk pelan bahu Luna. Membuat jantung Luna terasa riuh di dalam sana."Kamu sendiri ngapain di sini? Bukannya kamu sudah kembali ke Surabaya?" cecar Luna ikut penasaran."Belum ... rencananya aku balik besok lusa. Aku ada janji temu sama temanku, salah satu dokter di sini." jawab Adrian sembari memgulas senyum, tatapannya begitu teduh menusuk manik mata Luna."Em, sorry, Lun ... aku ketemu teman dulu, ya, katakan di mana ruangan anakmu, nanti aku datang ke sana kalau kamu tak keberatan." pinta Adrian yang memang suda
Adrian mengajak Luna dan Rafi ke pusat perbelanjaan besar yang agak jauh dari rumah, alasannya mencari playground yang lebih besar dan lengkap untuk Rafi. Meaki harus ditempuh dengan 1 jam lebih perjalanan.Namun begitu, pilihan Adrian benar-benar membuat Rafi bahagia karena hampir semua permainan yang dia idamkan ada di sana.Rafi segera menjajal satu persatu wahana permainan di sana, tak lupa bersorak riang setiap kali ia berhasil menaklukkan permainan yang ia coba. Matanya berbinar-binar penuh semangat, dan tawa kecilnya terus mengalun, membuat Luna tak henti-hentinya tersenyum.“Mama, lihat! Aku bisa naik ini sendiri!” seru Rafi sambil memanjat dinding panjat mini dengan penuh percaya diri. Tangannya yang mungil menggenggam erat pegangan demi pegangan, sementara kakinya dengan cekatan mencari pijakan."Hati-hati, Sayang!" seru Luna dari pinggir arena sementara Adrian berdiri di bawah, siap siaga jika sewaktu-waktu Rafi kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Boy. Pegang yang kuat, ya
"Kami belum menemukan keberadaan Pak Hendri, Bu." Luna dan Bu Septi saling berpandangan dengan tatapan khawatir. Sedangkan Pak Pramono menyandarkan punggungnya disertai helaan nafas panjang.Setelah hampir dua minggu lamanya menanti, akhirnya Luna mendapatkan kabar dari pengacaranya. Sayangnya, kabar yang dia terima tidak seperti yang dia inginkan."Jadi Hendri benar-benar kabur?" ulamg Pak Pramono lagi. Memastikan apa yang dia dengar tidaklah salah."Betul, Pak. Sejak kejadian hari itu, sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan Pak Hendri. Menurut informasi, Pak Hendri sudah hengkang dari perusahaan tempatnya bekerja sehari sebelum hari kejadian dan beliau juga tidak perbah terlihat pulang ke kediaman Bu Luna." tambah Pak Sandy selaku pengacara Luna."Jadi, siapa yang tinggal di rumah saya?" tanya Luna penasaran."Hanya Bu Marni dan Bu Siska saja. Itu pun hanya sekitar satu minggu. Setelahnya rumah Ibu kosong." Kenyataan ini membuat Luna terkejut luar biasa. Pasalnya dia mengi
"Terimakasih," kata Luna setelah mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Pak Pramono."Sama-sama ... salam buat Rafi, Ayah dan Ibu, ya ... maaf gak bisa mampir." balas Adrian tersenyum begitu lebar.Luna mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Akan tetapi Adrian lebih dulu turun dan memutari mobil kemudian membukakan pintu untuknya.Perlakuan sederhana yang membuat wanita berbunga-bunga, tapi tidak semua laki-laki mau melakukannya. Namun, Adrian melakukannya. Membuat hati Luna tak karuan rasanya. Antara senang, bahagia tetapi juga malu yang mendera sebab mereka tak hanya berdua saja, tetapi ada Angga yang ikut serta.Ia bahkan bisa melihat raut keheranan dari asisten pribadi Adrian itu ketika melihat atasannya membukakan pintu untuknya."Terimakasih sekali lagi, malah jadi ngerepotin." ungkap Luna setelah turun dari mobil."Iya, Aluna ... aku senang melakukannya." balas Adrian menatap lekat wajah Luna, namun buru-buru dia sudahi mengagumi wajah ayu itu. Bisa-bisa, dia tidak j
Luna melangkah terburu meninggalkan basement setelah mengambil tasnya dari dalam mobil Adrian. Jam masuk masih tersisa 5 menit lagi tetapi dia harus buru-buru sebab perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya setelah kejadian beberapa saat lalu.Luna memejamkan mata sesaat di samping mesin fingerprint, jantungnya masih berdetak tak karuan. Teringat lagi kejadian di taman tadi, bisa-bisanya dia ikut terbuai dan menikmati moment bersama Adrian."Ngapain, Lu?" Sakit?" tepukan Alya di bahunya sontak membuatnya membuka mata lebar-lebar.Luna gugup mendapat tatapan seintens itu dari Alya. "E-enggak ... gue baik-baik aja, kok." "Ya, terus ngapain di sini? Muka Lu merah gitu?" tanya Alya semakin keheranan, ia berniat menyentuh kening Luna tetapi Luna segera menghindar."Lu baru dateng juga?" tanya Luna mengalihkan perhatian Alya. Alya mengangguk, lalu melakukan absensi dengan tatapan mata tetap tertuju pada Luna yang masih berdiri di sebelah mesin fingerprint."Yuk!" ajaknya setelah absen be
Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu
Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic
"Aku ...""Eh, ada nak Adrian, to ... Kok, gak masuk?" Suara cempreng Bu Septi menyela Adrian yang hendak bicara. Luna menghela nafas kecewa. Padahal sedikit lagi segala tanya dalam benaknya akan menemukan jawaban. Malah ibunya terlanjur datang."Iya, Bu ... saya juga baru saja datang, kok." balas Adrian menyalami Bu Septi."Hayuk masuk, udah mau Maghrib." kata Bu Septi lagi lalu beralih memanggil cucunya yang masih asyik bermain di halaman.Adrian hendak membantu Luna berdiri, tapi dengan tegas Luna menolak. "Aku bisa sendiri, Adrian." "Yasudah ... pelan-pelan saja." kata Adrian perhatian.Usai shalat Maghrib, mereka berkumpul duduk di ruang keluarga, berbincang hangat selayaknya keluarga dekat."Em ... maaf, Nak Adrian. Kalau boleh, Bapak mau bicara sesuatu." kata Pak Pramono mengalihkan perhatian semua orang.Mbak Jum segera mengajak Rafi untuk menyingkir dari sana karena dia tahu akan ada pembicaraan orang dewasa."Iya, Pak, silakan." jawab Adrian tetap tenang."Terimakasih seka
Dua hari kemudian Luna sudah diperbolehkan pulang, dibantu Bu Septi Luna melangkah perlahan menuju lift yang akan mengantarnya turun ke lantai satu gedung rumah sakit itu."Tadi, Adrian bilang akan jenguk kamu di rumah." kata Bu Septi setelah kotak berjalan itu tertutup sempurna."Adrian?" gumam Luna memastikan. Bu Septi mengangguk.Sejak dua hari yang lalu, Adrian belum datang lagi ke rumah sakit. Luna berpikir bahwa Adrian memang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Adrian juga mengatakan hal yang sama di chat kemarin."Tadi pas kamu mandi, dia telepon ke hp kamu, jadi Ibu yang jawab kalau hari ini kamu boleh pulang, gitu." beritahu Bu Septi diakhiri dengan kekehan kecil. Membuat Luna menggeleng pelan."Ibu, ih," decak Luna dengan senyum kecil."Sama Ibu gak boleh main rahasia-rahasiaan." goda Bu Septi lagi."Rahasia apa, sih, Bu? Luna gak ada apa-apa sama Adrian, cuma teman." kilah Luna menyangkal meski wajahnya memanas."Iya, Ibu juga tahu." kekeh Bu Septi dengan nada menggoda."Tapi
"Semua proses hukum sudah aku serahkan sama pengacara, kamu tinggal ikuti prosesnya saja." Beritahu Adrian yang baru datang lagi setelah pulang dari kantor. Kini Luna sudah lebih baik, tapi masih hatus dirawat di rumah sakit.Selama dua hari dirawat, selama itu pula Adrian menemaninya bersama Rafi dan Mbak Jum. Kalau siang, Luna ditemani oleh keluarganya yang kemarin baru datang dari acara wisuda Andra di Jogja.Ayah dan Ibu Luna sangat marah dan kecewa terhadap perilaku menantunya. Mereka sering memperingati Luna untuk berpisah saja andai Hendri tak juga mau berubah. Namun, Luna masih saja bertahan walau Hendri memamg kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya.Puncaknya adalah kemarin, Luna sampai harus mendapat perawatan intensif akibat perbuatan Hendri. Sejak saat itu juga, Pak Pramono tidak lagi mengijinkan Luna membela Hendri walau sekedar ucapan. Pak Pramono dan Bu Septi jugalah yang mendesak Luna untuk segera melaporkan tindak kekerasan ini pada pihak yang berwajib."Terima