Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah.
Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri. Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik. Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk. Adrian! Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi. "Halo--" jawab Luna dengan segera. "Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna. "Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir. Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuskan panggilan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih berpacu. Tangan yang menggenggam ponsel sedikit bergetar. Ia tahu, pembicaraan di acara reuni tadi seharusnya tak pernah terjadi. Namun, apa ia bisa mengabaikan perasaan yang menyeruak tanpa kendali? Ketukan keras di pintu memutus lamunannya. "Luna!" suara berat Hendri terdengar memanggilnya dari luar kamar. "Sebentar," jawab Luna terbata, buru-buru menyimpan ponselnya di laci meja rias. Ia berdiri sejenak di depan cermin, memastikan ekspresinya tak menunjukkan kegelisahan. Begitu pintu dibuka, Hendri langsung masuk begitu saja. Tak seberapa lama, Hendri kembali keluar dengan membawa ponsel serta laptopnya. Luna mengabaikan suaminya itu, dia memilih untuk duduk di tepi kasur. "Besok aku keluar kota sampai seminggu. Aku harap, kau tidak macam-macam selama aku pergi." Hendri mendekat, menatap wajah Luna tajam. "Ibu dan Mbak Siska akan mengawasimu selama aku pergi." "Lakukan apa yang menurutmu baik." jawab Luna datar. Hendri menghela nafas besar, lalu keluar dengan sedikit menyentak pintu hingga berdentum. Luna merenung, dia lupa kapan kali terakhir dia dan Hendri saling bicara selayaknya suami istri pada umumnya. Di awal pernikahan mereka, semua berjalan normal. Meski tak romantis, tetapi Hendri cukup perhatian. Terlebih sejak kehamilan Luna, Hendri sangat protektif dan sangat menjaganya. Setelah kelahiran anak mereka pun Hendri menjadi sosok ayah yang baik dan bertanggung jawab untuk putranya. Sampai usia Rafi menginjak tiga tahun. Namun semenjak dia mendapat promosi jabatan di perusahaannya, dia menjadi semakin sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak lagi ada waktu untuk keluarga kecilnya. Dari segi keuangan, sejak awal menikah Luna memang tidak bergantung pada Hendri karena dia pun juga bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Sampai lama kelamaan, Hendri lalai akan tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan rumah tangga. Luna memejamkan mata, mengingat kembali masa manis pernikahan yang pernah mereka lewati. Sayangnya, hanya secuil saja kenangan itu ada. Karena seiring berjalannya waktu, hanya kehampaan dan kesakitan yang selalu dia tutupi oleh senyum palsunya. Malam itu, Luna terjaga meski tubuhnya terasa lelah. Sementara Hendri tenggelam dalam dunianya sendiri. Luna bahkan tak ingat kapan mereka memadu kasih sekedar untuk meghangatkan ranjang mereka. Luna benar-benar tak lagi mendapat nafkah lahir dan batin. Luna meraih ponselnya, mencoba menghubungi Sita. Ia ingin sekali bicara, tetapi ragu. Apa ia akan menjadi beban lagi? Sudah berapa kali ia mencurahkan keluhannya pada sahabatnya itu tanpa menemukan solusi, karena Luna tetap bertahan pada pendiriannya yang berharap suatu hari nanti pernikahannya akan kembali normal seperti keinginannya. Ia menutup aplikasi pesan dan mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan Adrian justru muncul begitu saja. Wajah pria itu, dengan tatapan dan senyum tulus yang membuatnya merasa aman, menghantui pikirannya. Hatinya berdebar lagi, tetapi kali ini bukan karena takut. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Luna melirik layar. Adrian. Namanya muncul di layar, membuat Luna tercekat. “Tidak, aku tidak boleh,” bisiknya pada diri sendiri. Ia membiarkan panggilan itu berakhir tanpa jawaban. Tetapi tak lama kemudian, sebuah pesan masuk. [Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu menghubungiku, Luna.] Luna menatap pesan itu dengan nafas tertahan. Hatinya ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tahu ini tak pantas. Dengan gerakan tegas, ia meletakkan ponselnya kembali di atas meja tanpa membalas pesan Adrian. "Aku gak boleh melakukan ini. Ini salah, Luna," gumamnya pada dirinya sendiri. *** Pagi harinya, Luna dikejutkan oleh suara keras dari dapur. Denting piring pecah menggema, membuatnya tergesa turun dari ranjang. Ia berlari ke dapur dan mendapati Hendri berdiri di tengah lantai yang dipenuhi pecahan kaca. Luna menatap lantai dengan amarah yang mulai menggelitik, sedangkan pelaku kekacauan sudah berlarian kesana-kemari. "Bereskan, jangan sampai pecahannya mengenai anak-anak!" titah Hendri sebelum ikut bergabung dengan ibunya di meja makan. Kekacauan ini harusnya menjadi tanggung jawab Siska, karena pelakunya adalah anak-anak Siska. Tetapi malah dirinya yang harus menjadi babu sepagi ini. Sementara Siska tak terlihat batang hidungnya, pastilah masih terbuai oleh mimpinya yang begitu melenakan. Luna menahan napas, menekan air mata yang menggenang di sudut matanya. Dengan hati-hati, ia memungut pecahan kaca yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar dan beberapa kali pecahan itu melukai jari-jarinya, tetapi ia tidak peduli. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa terjepit yang ia rasakan di dalam rumah ini. Hendri sudah bersiap untuk pergi ke luar kota, entah untuk urusan pekerjaan atau hal lain, Luna tak begitu peduli. Karena pernikahan mereka benar-benar sudah hambar. Luna segegera membawa beling pecahan piring itu ke halaman belakang untuk dia kubur bersama pecahan yang lain. Namun saat ia kembali ke dalam rumah untuk mengambil sekop, samar dia mendengar pembicaraan antara Hendri dan ibunya. "Salam buat Ratna, ya, bilang Ibu kangen sekali sama dia." Suara Ibu mertuanya terdengar sangat riang. Luna memasang pendengarannya dengan lebar di balik pintu dapur, untuk mastikan pembicaraan ibu dan anak itu. "Iya, Bu, nanti kusampaikan. Ratna pasti senang dapat oleh-oleh dari Ibu." kini suara Hendri yang terdengar tak kalah riang dari ibunya. Tidak salah lagi, Luna mendengar nama wanita lain. "Ratna? Siapa dia? Kenapa aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya?" gumamnya dalam hati sembari terus mencuri dengar obrolan Hendri dan ibunya. "Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?""Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan."Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri.Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu."Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna.Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya.Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri."Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya."Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja."Lun--""Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-menta
Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya.Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya.Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi.[Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?]Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk.Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah."Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna sedang mengu
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H
Keesokan paginya, rumah terasa kacau dengan anak-anak Siska yang berlarian, meninggalkan remah-remah di sofa. Ibu mertua duduk santai, mengamati Luna yang sibuk menyiapkan teh.“Luna, tehnya mana? Lama sekali,” suara ibu mertuanya tajam.Luna buru-buru menuangkan teh, tangannya gemetar, lalu menyerahkannya dengan senyum kecil. Ibu mertuanya menyeruput sedikit dan mengerutkan dahi. “Pahit banget! Gulanya kurang, tambahin lagi.”Tanpa berkata apa-apa, Luna kembali ke dapur dan menambahkan gula. Hendri masuk ke dapur, memeriksa meja makan. “Ibu pesan, jangan lupa belanja untuk arisan lusa. Kamu harus siapkan semuanya.”“Tapi lusa aku ada reuni,” jawab Luna pelan, mengaduk teh mertuanya.Hendri mendekat, matanya tajam. “Reuni? Untuk apa? Acara begitu enggak penting.”“Aku sudah janji dengan teman-temanku,” Luna mencoba memberi ruang pada keberaniannya.“Sudah berani kamu?” suara Hendri meninggi, “aku bilang tidak perlu pergi. Titik!” tekan Hendri sembari menekan kuat bahu Luna.Hendri ber
Dengan langkah berat, Luna meraih tasnya dan berjalan keluar dari gedung kantor. Udara malam yang sejuk sedikit mengurangi rasa penatnya, tetapi tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, akhirnya Luna memutuskan untuk tetap pergi ke butik. Dia harus menuntaskan rasa penasaran yang bercokol di pikirannya. Untuk hasilnya, dia akan pikirkan nanti.Sesampainya di butik, Luna berdiri sejenak di depan pintu kaca yang dihiasi ornamen emas. Butik itu terlihat elegan meski ukurannya kecil, dengan pajangan busana yang mewah di etalase. Luna melangkah masuk, diiringi suara lonceng kecil yang tergantung di pintu."Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang wanita muda dengan senyum ramah, mengenakan seragam butik yang rapi.Luna tersenyum tipis. "Saya lihat-lihat dulu, ya, Mbak.""Baik, Bu, silakan!"Wanita itu mengangguk sopan, membiarkan Luna menjelajahi butik dengan leluasa. Luna memandangi gaun-gaun mahal yang terpajang, merasa
Luna terbangun dengan mata yang masih sembap akibat tangisannya semalam. Sinar matahari samar menerobos dari sela-sela tirai mengingatkannya bahwa hari baru telah dimulai, meski hatinya masih terasa berat. Ia menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur, mencoba menyusun keberanian untuk menghadapi hari ini. Suara di luar kamar terdengar samar-samar—suara ibu mertuanya yang sedang mengomel entah dengan siapa di pagi buta seperti ini.Setelah mencuci muka, Luna meraih ponselnya, berniat mengecek pesan masuk. Tidak ada kabar apapun dari Hendri, pun kabar lanjutan dari Ayu tentang Ratna. Akan tetapi matanya justru menatap pesan dari Adrian kemarin. Sejenak ia terpikir untuk menghapusnya, namun sesuatu menahannya. Ada bagian dari dirinya yang penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian bicarakan. Namun, ia tahu, membalas pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sudah susah payah ia tutup.Pikiran itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk keras. "Luna, bangun ..
[Ayo bertemu, Aluna] Luna terdiam beberapa saat menatap pesan dari Adrian. Nama itu membangkitkan kenangan lama, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk membuka kembali masa lalu. Dengan cepat, ia menutup layar ponselnya tanpa membalas pesan tersebut. Ia tak ingin menambah rumit hidupnya yang sudah cukup melelahkan. "Aku nggak bisa, Adrian," gumamnya pada diri sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya bahwa keputusan itu benar. Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Meski ada keengganan untuk menghadapi ibu mertuanya yang sering membuat suasana hati buruk, ia tahu tidak ada pilihan lain. Rafi masih di rumah ibunya dan ia tidak ingin berlama-lama di luar untuk menghindari masalah baru. Terlebih ini sudah malam. Ketika Luna sampai di rumah, suasana rumah sudah terlihat gelap. Namun begitu dia masuk, lampu di ruang tengah masih menyala terang, menandakan ibu mertuanya dan Siska, kakak iparnya, masih ada di rumahnya. Dengan langkah pel
Luna masih memandang kepergian Hendri yang semakin menjauh, rasa sesak kian memenuhi dadanya manakala mobil hitam suaminya itu tak lagi terjangkau oleh indera penglihatannya.Setelah memetralkan perasaannya, Luna kembali membuka ponselnya, mengetikkan nama "Ratna" di kolom pencarian media sosial. Ada banyak hasil, tetapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria yang ia bayangkan. Nama itu terlalu umum, dan Luna tahu ia membutuhkan lebih banyak informasi untuk mempersempit pencariannya.Luna memutuskan untuk menghubungi Ayu lagi.[Ay, kamu punya foto Ratna atau tahu alamat rumahnya?]Pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Luna merasa sedikit kecewa, tetapi ia mencoba memahami bahwa Ayu mungkin sedang sibuk.Ia memutuskan untuk bersiap dan segera pergi ke rumah ibunya seperti rencana semula. Tak butuh waktu lama, dia sudah rapi dengan dress terusan tanpa lengan berwarna pastel. Ia biarkan rambut panjangnya tergerai indah."Mau ke mana kamu?" tanya ibu mertuanya yang melihat Luna sedang mengu
"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"Luna terpaku di tempatnya, pikirannya sibuk menyimpulkan semua sikap Hendri selama ini dan mengkaitkan dengan apa yang dia pikirkan."Kalau memang benar, pantas saja tidak pernah menganggapku lagi selama ini." gumamnya pada dirinya sendiri.Di dalam sana, Hendri dan Ibunya masih asyik membicarakan wanita bernama Ratna itu."Apakah aku harus mulai peduli?" bisik hati Luna.Sesaat ia terdiam, memikirkan langkah apa yang harus dia ambil. Setelahnya dia masuk untuk memulai misi pertamanya.Melihat Luna masuk, Hendri dan Ibunya berhenti berbicara. Setelah mencuci tangan di wastafel, Luna mengambil duduk di meja makan, berselang satu kursi di samping kanan Hendri."Ngapain kamu?" tanya Ibu mertuanya."Sarapan, Bu." sahut Luna cuek, lalu meraih roti dan selai coklat yang berada di tengah meja."Lun--""Kenapa? Bukankah kamu tahu kalau ini kebiasaanku setiap hari, Mas? Aku tidak akan bisa bekerja kalau belum sarapan. Jadi, jangan mentang-menta
Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah. Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri.Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik. Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk.Adrian!Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi."Halo--" jawab Luna dengan segera."Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna."Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir.Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuska
Keesokan paginya, rumah terasa kacau dengan anak-anak Siska yang berlarian, meninggalkan remah-remah di sofa. Ibu mertua duduk santai, mengamati Luna yang sibuk menyiapkan teh.“Luna, tehnya mana? Lama sekali,” suara ibu mertuanya tajam.Luna buru-buru menuangkan teh, tangannya gemetar, lalu menyerahkannya dengan senyum kecil. Ibu mertuanya menyeruput sedikit dan mengerutkan dahi. “Pahit banget! Gulanya kurang, tambahin lagi.”Tanpa berkata apa-apa, Luna kembali ke dapur dan menambahkan gula. Hendri masuk ke dapur, memeriksa meja makan. “Ibu pesan, jangan lupa belanja untuk arisan lusa. Kamu harus siapkan semuanya.”“Tapi lusa aku ada reuni,” jawab Luna pelan, mengaduk teh mertuanya.Hendri mendekat, matanya tajam. “Reuni? Untuk apa? Acara begitu enggak penting.”“Aku sudah janji dengan teman-temanku,” Luna mencoba memberi ruang pada keberaniannya.“Sudah berani kamu?” suara Hendri meninggi, “aku bilang tidak perlu pergi. Titik!” tekan Hendri sembari menekan kuat bahu Luna.Hendri ber
Brak!"Dari mana saja kamu?" Hendri menggebrak meja begitu Luna melangkah masuk. Nada suaranya tajam, seperti sembilu yang mengiris udara.Luna menghela napas panjang, tangannya masih menggenggam tali tas kerja. “Ada masalah di kantor. Aku harus menyelesaikannya sebelum cuti,” jawabnya, mencoba tetap tenang meski lelah merambat di setiap pori.“Masalah? Masalahnya itu kamu! Kamu yang keras kepala! Sudah kubilang resign, tapi kamu tetap kerja!” hardiknya dengan tatapan sinis.Luna melepas sepatu tanpa berkata-kata. Hendri selalu seperti ini—melontarkan amarah, tak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban apa pun akan percuma, hanya akan menyulut lebih banyak argumen.“Aku tidak mau berdebat,” ucapnya pelan, lalu melangkah masuk ke rumah.Hendri mengikutinya, napasnya terdengar berat. “Ibu akan datang malam ini. Siapkan makan malam yang layak. Jangan bikin malu. Pastikan mereka menyukai makan malamnya.”Luna berhenti di depan pintu kamar. “Mereka?”“Mbak Siska dan anak-anak,” jawab H