Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya.
"Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa kamu mati?" Fiersa menatap heran. "Ya, malu saja. Masa aku yang karyawan baru bisa datang terlambat. Kalah sama yang punya perusahaan." Fiersa tertawa mendengar jawaban Shania. "Enggak apa-apa. Lagian kamu enggak terlambat, kok. Pak Ethan-nya saja yang datangnya kepagian." "Apa beliau memang selalu datang pagi?" "Enggak juga. Cuma karena lagi ada lelang proyek saja, jadinya Pak Ethan fokus urusin itu." "Oh," sahut Shania paham. "Apa sudah ada tim yang diminta untuk ngerjain proyek itu? Kamu kepilih?" "Enggak. Aku 'kan masih junior. Beberapa karyawan senior yang diminta untuk buat desain." Lagi-lagi Shania mengangguk. "Perusahaan bonafit, ya, yang mau diikuti sama perusahaan kita?" "Iya." Fiersa mengangguk. Tatapannya sudah fokus ke layar komputer. "PT. A yang ngadain lelangnya." "PT. A?" "Iya." Fiersa mengalihkan pandangannya menatap Shania. "Kayanya waktu acara makan-makan di kafe Pak Ethan udah bilang, deh, kalau kita dapatin proyek PT. A beliau akan kasih kita bonus," lanjutnya senang. Shania mencoba mengingat. Tapi, ia lupa sebab saking bahagianya bisa diterima dengan baik di tempatnya bekerja itu. "Ini PT. A mana, sih, yang dimaksud?" "Masa kamu enggak tahu, Shania? Itu loh salah satu perusahaan milik keluarga Sebastian." "Apa? PT. A milik keluarga Sebastian?" tanya Shania memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. "Iya." Fiersa melihat ekspresi Shania yang terlihat kaget. "Kenapa kamu?" Shania tampak salah tingkah. Ia lalu meminta maaf tanpa sadar. "Kenapa kamu minta maaf? Memang kamu salah apa?" Kawan di sebelahnya itu semakin heran. "Enggak. Cuma aku kaget saja." Shania tersenyum canggung. Fiersa mengangkat kedua bahunya. "Ya, bukan kamu saja yang kaget. Kami seluruh karyawan juga kaget waktu dengar rencana Pak Ethan yang mau ikut lelang proyek PT. A. Ya ... bukan apa-apa, tapi kamu tahu 'kan perusahaan seperti apa milik keluarga konglomerat itu? Sedangkan perusahaan kita belum pernah menangani proyek besar." "Kenapa? Padahal yang aku lihat perusahaan ini sudah lama. Para karyawannya juga sepertinya sudah berpengalaman." "Memang benar, tapi kamu mungkin tahu perusahaan besar seperti PT. A atau lainnya, pasti akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang seperti apa?" Shania cukup mengerti dengan penjelasan yang Fiersa sampaikan. Baginya tak masalah jika Ethan mau ikut lelang, karena itu akan menjadi sebuah pencapaian dalam mendirikan perusahaannya. Namun, masalahnya adalah bagaimana jika Ethan benar-benar mendapatkan lelang proyek itu? 'Semoga saja ini bukan sebuah masalah. Aku bekerja bukan karena ingin bertemu dengannya, tapi justru karena ingin menghindarinya,' batin Shania membayangkan jika sampai Ethan lolos lelang, ia khawatir akan bertemu dengan Alex. Mengingat sosok Alex, pikiran Shania kembali ke sebuah poto yang ia lihat tadi pagi. 'Itu menyakitkan,' gumamnya. "Kamu bicara apa, Shania?" tanya Fiersa yang tidak sengaja mendengar gumaman Shania. "Eh, bukan apa-apa." ** Shania tiba di rumah. Setelah lelah seharian bekerja, dia berharap suaminya akan menyambutnya dengan normal. Tapi, tak ada Alex di manapun di dalam rumah itu. "Seharusnya kamu jangan banyak berharap, Shania." Perempuan itu bicara pada dirinya sendiri. Shania lantas berjalan menuju kamar. Terdengar suara pintu ketika kakinya sudah akan menaiki anak tangga. Tampak Alex masuk dengan wajahnya yang juga sama lelah. Satu keanehan bagi Shania karena jarang sekali suaminya itu pulang kantor di waktu masih senja. "Hai, Lex!" sapa Shania saat suaminya itu berjalan mendekat. Tapi, Alex hanya melihatnya sebentar tanpa membalas sapaan dari istrinya itu. Lelaki itu berjalan melewati, lalu mendahului menaiki tangga. Meski sudah berusaha untuk memantapkan hati, tapi rasa sakit di hati Shania masih saja hadir sebab melihat sikap acuh suaminya itu. Dia kemudian memilih untuk berjalan menyusul, dan masuk ke kamar, menangis. Shania masih menangis meski saat ini ia sudah berada di dalam bath tub. Perempuan itu merasa sakit hati dan kesepian. Dia merasa benar-benar tidak dicintai atau pun dihargai oleh suaminya. Alex memandangnya sebentar, lalu berpaling dan meninggalkan kamar. Sungguh menyakitkan baginya. "Setidaknya anggap aku ada. Aku tidak meminta banyak. Bersikap normal saja seperti ketika kita masih berteman." Shania berbicara pada dirinya sendiri, air matanya terus mengalir. Shania sudah memutuskan untuk tidak peduli lagi dan mengurus dirinya sendiri sejak seminggu dirinya berstatus istri Alex. Namun, rasa itu tidaklah mudah. Sikap Alex selalu membuatnya sakit hati, hingga membuatnya menangis. "Apa salahku padamu, sampai kamu tega melakukan hal ini padaku? Kalau memang kamu tidak suka menikah denganku, tolong kembalikan aku pada keluargaku," ucap Shania yang pada akhirnya tertidur setelah ritual mandinya selesai. Namun, tidak ada yang tahan ketika tidur dalam keadaan perut kosong. Itulah yang Shania rasakan setelah satu jam tertidur. Ia terbangun dengan perutnya yang keroncongan. Dengan muka kusut setelah bangun tidur, Shania berjalan menuju dapur. Seperti biasa, tak ada makanan di atas meja makan kecuali roti dan selai. Karena memang dua pelayan yang Alex pekerjakan hanya diminta untuk mengurus rumah. Urusan makanan, itu menjadi urusan Shania. "Lagipula kamu hanya makan sendiri. Aku tidak akan ada di rumah saat makan malam. Sarapan, mereka masih bisa membuatkan aku kopi atau sekedar menyiapkan roti bakar." Meski Alex berkata demikian, tetap saja Shania masak untuk dua porsi. Walau akhirnya sering makanan yang ia buat berujung di tangan satpam rumah atau satpam perumahan. Seperti malam ini, Shania yang tidak tahu apakah Alex sudah makan malam atau belum, memilih untuk memasak sedikit lebih banyak. Saat memasak, kembali Shania merasakan kesedihan sebab sikap Alex kepadanya yang tak pernah berubah. Mungkin kedua matanya masih bengkak sekarang, tapi Shania tampak tak peduli. Di tengah kegiatan masak dan pikirannya yang sedang sedih, tiba-tiba Shania mendengar suara Alex dari arah ruang makan. "Aku lapar. Apakah kamu masak banyak malam ini?" tanyanya seraya mengambil air dingin dalam lemari es. "Ya. Sebentar lagi siap," jawabnya pelan. Mungkin Alex tak peduli sebab setelahnya lelaki itu tidak merespon jawaban Shania barusan. Ia malah kembali ke ruang makan, duduk dan memainkan gadget yang selalu dibawanya kemana pun ia berjalan. Shania membawa makanan ke ruang makan dan meletakkannya di depan Alex. Perempuan itu tidak menoleh atau pun bicara. Alex melihat makanan yang disajikan, lalu menatap punggung Shania yang sudah menjauh. Sedangkan Shania sendiri memilih kembali ke dapur dan memutuskan untuk tidak makan bersama Alex. 'Aku yakin kamu tak akan peduli, Lex,' gumam Shania. ***Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
"Kenapa kamu begitu takut, Alex?" tanya Shania dengan ekspresi tak percaya. "Aku katakan sekali lagi, tidak ada yang aku takutkan. Aku cuma mau kamu mundur." Alex berkata dengan tatapan tajam menatap Shania. "Tapi, aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlibat dalam proyek ini," balas Shania yang mencoba mempertahankan martabatnya. Alex tampakmeneguk air mineral yang ada di dalam gelas, lalu membalas ucapan sang istri sambil tersenyum sinis. "Kalau begitu kamu harus menerima konsekuensinya. Aku tidak akan meloloskan desain dari perusahaanmu."Shania memandang Alex dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak bisa memutuskan nasib perusahaanku hanya karena kamu tidak ingin aku terlibat dalam proyek ini!"Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak bergeming. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku adalah klien yang akan memutuskan apakah desain dari perusahaanmu akan diterima atau tidak."Shania merasa frustrasi dan marah. "Kamu tidak adil,
Shania duduk di depan meja, memandang Ethan dengan ekspresi yang sedih. "Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan proyek ini, Pak," katanya dengan nada yang lembut.Ethan memandang Shania dengan ekspresi terkejut. "Apa? Mengapa?"Shania menghela napas dan memandang ke bawah. "Aku tahu bahwa Alex tidak suka kalau aku masih ada di dalam proyek ini. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagi kesuksesan tim."Ethan memandang Shania dengan ekspresi tidak setuju. "Tidak, Shania. Kamu tidak bisa mundur sekarang. Kamu adalah bagian penting dari tim ini. Kita tidak bisa melanjutkan proyek ini tanpa kamu."Shania menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa, Pak Ethan. Aku tidak ingin membuat tim ini gagal karena aku."Ethan memandang Shania tegas. "Shania, aku tidak akan membiarkan kamu mundur. Kamu adalah anggota tim yang berharga dan kita membutuhkan kamu. Kita akan menghadapi Alex bersama-sama dan membuktikan bahwa kita bisa melakukannya."Shania memandang Ethan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Ethan
Shania berdiri di pelataran gedung perusahaan milik keluarga Sebastian, merasa sedikit gugup. Ia telah memutuskan untuk mendatangi kantor Alex dan meminta suaminya itu untuk meloloskan proyek Ethan.Seorang petugas keamanan menyambut Shania dengan sikapnya yang ramah. Setelahnya ia mengantar Shania sampai ke meja resepsionis. "Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang petugas front office menyapa Shania sama ramahnya dengan si petugas keamanan. "Saya mau bertemu suami saya." Shania memberi tahu petugas meja depan tersebut, tanpa basa basi. "Baik, mohon tunggu sebentar. Kami akan hubungi sekretaris bapak dulu mengenai kedatangan Ibu."Shania mengangguk dan tersenyum. Ia lalu memilih untuk duduk di lobi menunggu kabar dari si petugas. Shania berencana untuk membicarakan masalah lelang proyek yang sudah Alex putuskan kemarin. Awalnya Shania ingin membahas masalah ini di rumah, tapi Alex tidak pulang ke rumah semalam, entah kemana. Semalaman Shania merasa frustrasi hingga
Shania dibuat terkejut dengan kemunculan Maura di kantor suaminya. Namun, sikap terkejutnya belum seberapa dibanding ucapan Alex ketika memberi tahu sang mantan kekasih bahwa Shania adalah tamunya."Siapa tamu yang kamu maksud?" tanya Maura tak mengerti maksud Alex."Shania sudah mau pulang. Jadi, aku rasa kehadiranmu tidak mengganggu," ucap lelaki itu lembut. Terlebih tatapannya sangat melukai hati Shania, yang selama mereka menikah tidak pernah mendapat perhatian yang serupa seperti apa yang Alex lakukan sekarang kepada Maura.Shania kaget dengan sikap Alex yang begitu perhatian dan lembut, hal yang sangat ia inginkan dari lelaki itu, tapi tak pernah ia dapatkan.Pada akhirnya Shania memutuskan untuk pergi. Namun, ia masih meminta kepada Alex untuk memikirkan permintaannya."Ya, urusanku sudah selesai, Maura. Aku sudah mau pergi karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.""Ah, sayang sekali. Padahal aku masih ingin berbincang denganmu setelah kita tidak bertemu lama, Shan
Hujan tengah menyapa semesta di waktu senja menjelang malam. Suara rintiknya menjadi melodi indah yang Tuhan ciptakan untuk manusia nikmati. Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun ikut merasakan akan keagungan sang Maha Pencipta, sehingga tak ada yang bisa dilakukan selain mengucap syukur akan nikmat yang diberikan.Pun dengan yang Shania alami saat ini. Menatap jendela kamarnya di vila yang kini menjadi tempat tinggalnya, perempuan itu berkali-kali mengucap syukur akan nikmat yang Tuhan berikan seiring takdir hidup yang tengah dijalani. Dua hari lagi —terhitung dari hari ini, Shania sudah akan berpindah tempat. Tujuannya nanti adalah rumah tantenya, adik kandung sang ibu. Gunawan, suami dari tantenya menghubunginya siang tadi untuk menanyakan kesiapan Shania. Jam berapa take off dan landing, sehingga sang paman bisa memperkirakan jam berapa harus sudah berada di bandara, menjemputnya. "Jangan banyak-banyak membawa barang. Semua keperluanmu bisa dibeli di sini."Begitu pesan ya
Suasana kafe tempat pertemuan Rachel dan Brian terlihat cukup ramai. Jam menunjuk ke angka lima sore di mana sudah banyak orang bubar kantor dan memilih nongkrong sebelum pulang ke rumah. Pemilihan tempat adalah tugas Rachel, seperti yang selalu ia lakukan dahulu ketika masih sering pergi dengan Brian. Seperti sore itu, tempat yang berada di sudut ibukota yang belum pernah keduanya kunjungi —sudah ada dalam list, tapi belum sempat mereka wujudkan. Brian sudah tiba lebih dulu dan menunggu Rachel di salah satu meja yang ada di pojok kafe. Lelaki itu tampak memainkan ponsel ketika gadis yang ia tunggu datang dan menyapanya. "Hai!"Brian memandang Rachel yang berdiri di sampingnya. "H-hai!" balasnya sedikit canggung. Sudah lama keduanya tidak bertemu, membuat suasana terasa kurang nyaman. Namun, seperti kebiasaannya, Brian tetap menyapa Rachel sembari mengecup pipi kanan dan kiri gadis itu. "Apakah aku membuatmu menunggu lama?" tanya Rachel yang kemudian memilih tempat duduk di depan
Setelah sampai ruangan, Alex bergegas memanggil Brian, sahabat sekaligus sekretarisnya. "Kamu tahu hubunganku dengan Maura sekarang bukan?""Ya. Bersenang-senang di atas tangisan wanita lain." Brian berkata sarkas. Tapi, hal tersebut tidak membuat Alex tersinggung. Alex hanya memutar bola matanya, malas. Ia seolah sudah tak lagi peduli dengan nyinyiran orang-orang tentang hubungan tak pantas yang ia lakukan bersama Maura. "Sepertinya papa sudah tahu. Orang-orang brengsek itu bicara saat meeting berlangsung. Sial sekali!" umpat Alex kesal. Teringat di benaknya saat salah seorang manajer mengeluh atas gosip para karyawan tentang interaksi antara dirinya dengan Maura yang dianggap berlebihan. "Tapi, aku setuju dengan keluhan itu. Kamu tidak mengaca, Lex. Seharusnya kamu tidak melakukan itu di sini."Alex mengernyit. "Kamu itu sahabatku atau bukan? Kok kamu malah membela mereka."Brian mengambil tempat duduk di depan Alex, yang terhalang meja kerja berukuran lumayan besar. "Dalam ha
Rachel tampak tak percaya dengan cerita yang baru saja Shania ceritakan. "Jadi, kamu pernah meminta dijodohkan dengan Alex?""Ya. Tapi, terlambat." Shania tersenyum miris. Pandangannya kembali menerawang. Bayangan pernikahan yang ia bayangkan akan indah, tercoreng dengan pemaksaan yang Alex lakukan dalam keadaan mabuk. Telah membuat hatinya sakit, Shania memilih untuk melupakan apa yang telah terjadi. Kini ia harus membuka lembaran baru dengan melupakan sosok Alex yang seharusnya sejak awal tidak pernah melamarnya "Pernikahanku dengan Alex adalah sebuah kesalahan. Aku yang terlalu bahagia sampai mengabaikan kebahagiaanku yang sebenarnya." Shania menatap Rachel yang tampak benderai air mata. "Alex tak pernah mencintaiku, seharusnya aku sadari itu sejak awal. Dan bukannya malah meminta ayah dan ibu melamarkannya untukku.""Tapi, waktu itu Alex menolak," sahut Rachel berusaha menghapus air mata di pipinya. "Ya, karena Alex menolak itu seharusnya aku tidak menerimanya saat ia gantian
Pagi hari menjelang saat orang-orang yang Nyonya Sebastian pilih untuk mendandani Shania datang, sang calon pengantin wanita malah terlihat tak bersemangat. Shania tampak lesu dan tak bergairah. Alhasil, ia baru dirias saat hari sudah menjelang siang.Setelah semalam berbincang dengan Alex, Shania merasa ragu untuk melanjutkan pernikahannya dengan teman masa kecilnya itu. 'Tapi, sebelumnya tidak ada ucapanmu tentang bakti pada kedua orang tua kita, Lex.'Masih terbayang di benak Shania saat rasa terkejut hadir setelah Alex mengatakan alasan menikahinya. 'Lantas, apakah menurutmu kita tidak perlu berbakti kepada mereka?''Berbakti pada kedua orang tua tidak harus dengan cara ini. Masih ada cara lain.''Oke. Lantas, kalau kamu tidak mau melakukan apa yang aku katakan, apakah menggagalkan rencana pernikahan kita besok adalah solusinya?'Shania bingung harus menjawab apa. Satu sisi ia tidak suka alasan Alex menikahinya karena rasa ingin berbakti pada kedua orang tua. Tapi, di sisi yang
Meskipun kaget, tapi nyatanya Shania senang mendapat lamaran dari Alex tersebut. Ia lupa bahkan mungkin tak peduli akan hubungan Alex dengan Maura. Sebab yang ia tahu, perempuan itu pergi ke luar negeri untuk meningkatkan karirnya di dunia desain. Shania tidak bertanya kepada Alex mengenai hubungannya dengan Maura. Ia kadung bahagia dan memilih untuk diam hingga pernikahan terjadi. "Baiklah, kalau kalian memang setuju. Kita tinggal cari tanggal pernikahan yang pas. Tapi, sebelumnya kami mau kamu dan orang tuamu datang langsung ke rumah ini secara resmi untuk melamar Shania. Kami mau lamaran dan pernikahan diselenggarakan secara terbuka agar semua masyarakat tahu bahwa kalian menikah bukan karena masalah.""Tentu saja, Om. Aku juga memang mau peristiwa sakral ini dilangsungkan secara terbuka. Biar semua orang tahu status aku dan Shania."Alex benar-benar meyakinkan Shania juga kedua orang tua temannya itu bahwa ia bersungguh-sungguh menjalin hubungan serius, yakni pernikahan. Bahkan
Dua tahun sebelumnya. Shania berlari mencari ibunya setelah pulang dari tempatnya bekerja."Bu! Ibu!" teriak Shania ketika sudah berada di ruang tengah, yakni ruangan megah yang kerap dijadikan tempat berkumpulnya keluarga. "Ibu di dapur!" Teriakan wanita lainnya menggema di rumah besar tersebut. Shania tersenyum, ia lalu berlari menuju dapur di mana ibunya berada. Tapi, ia tidak menemukan sang ibu ada di sana. Merasa heran, Shania pun kembali berteriak. "Bu! Di dapur mana sih? Kok enggak ada.""Dapur belakang," sahut ibunya lagi. Menambah langkahnya sekian meter ke belakang, akhirnya Shania berhasil menemukan ibunya. Wanita itu terlihat berantakan dengan noda tepung menempel di muka dan tangannya. "Ada apa teriak-teriak? Kaya tinggal di hutan aja," sahutnya kesal —sama sekali tidak menyadari bahwa rumah yang ditempati itu memang seperti hutan kecil sebab memiliki luas area yang luar biasa. "Ibu lagi ngapain?" tanya Shania seraya berjalan mendekat, lalu mencium pipi kiri dan ka
Suasana senja terlihat begitu memukau dalam pandangan Shania yang berdiri di jendela kamar. Pepohonan yang berdiri di luar menambah ketenangan yang perempuan itu sudah lama tidak rasakan. Mentari sudah mulai menurun mendekati garis horizontal yang tak tampak. Warna keemasan di balik pepohonan rindang, membuat Shania penasaran dan mencoba mendongak, mencari. Saat Shania masih menikmati pemandangan menakjubkan di luar sana, tiba-tiba terdengar pintu terbuka dari luar. "Ini cemilan yang kamu minta." Rachel muncul sembari membawa nampan yg cukup besar. Di atasnya terdapat banyak cemilan, juga minuman yang Shania pesan. Gadis itu meletakkan nampan di atas meja. Lalu, menghampiri sang sahabat, yang kembali menatap keluar setelah sempat menengok, menatapnya. "Kenapa kamu memilih tempat ini untuk pergi?" tanya Rachel kini berdiri di sebelah Shania. Tatapan keduanya sama-sama ke depan, memandang senja yang semakin lama semakin menghilang, berlabuh kembali ke peraduannya. "Menurut kamu b
Sekian detik berlalu semua orang menunggu Shania bicara. Hingga ketika Rachel mencolek tangannya, istri Alex itu akhirnya tersadar dari lamunan. "Rachel, maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir." Shania mulai berkata sembari menggenggam tangan sang sahabat. Gadis di depannya menarik napas dan menunggu kalimat apa yang akan sahabatnya itu katakan. "Itu bukan masalah. Aku rela melakukan apapun supaya kamu bahagia." Linangan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Selepas itu Shania memandang Alex yang menatapnya angkuh. "Alex, ayo kita bercerai."Tak percaya dengan ucapan Shania, Alex sontak beranjak maju dan menghampiri istrinya itu dengan ekspresi marah. Di belakangnya, Maura terlihat bahagia dengan senyum mengembang di bibirnya. Ditatapnya Shania tanpa kata. Lalu, beralih menatap Rachel yang menunjukkan ekspresi puas. Alex seolah berkata, 'semua gara-gara kamu!'"Apakah keputusanmu itu sudah finish, Shania?" tanya Alex dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. Shania me