Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya.
"Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa kamu mati?" Fiersa menatap heran. "Ya, malu saja. Masa aku yang karyawan baru bisa datang terlambat. Kalah sama yang punya perusahaan." Fiersa tertawa mendengar jawaban Shania. "Enggak apa-apa. Lagian kamu enggak terlambat, kok. Pak Ethan-nya saja yang datangnya kepagian." "Apa beliau memang selalu datang pagi?" "Enggak juga. Cuma karena lagi ada lelang proyek saja, jadinya Pak Ethan fokus urusin itu." "Oh," sahut Shania paham. "Apa sudah ada tim yang diminta untuk ngerjain proyek itu? Kamu kepilih?" "Enggak. Aku 'kan masih junior. Beberapa karyawan senior yang diminta untuk buat desain." Lagi-lagi Shania mengangguk. "Perusahaan bonafit, ya, yang mau diikuti sama perusahaan kita?" "Iya." Fiersa mengangguk. Tatapannya sudah fokus ke layar komputer. "PT. A yang ngadain lelangnya." "PT. A?" "Iya." Fiersa mengalihkan pandangannya menatap Shania. "Kayanya waktu acara makan-makan di kafe Pak Ethan udah bilang, deh, kalau kita dapatin proyek PT. A beliau akan kasih kita bonus," lanjutnya senang. Shania mencoba mengingat. Tapi, ia lupa sebab saking bahagianya bisa diterima dengan baik di tempatnya bekerja itu. "Ini PT. A mana, sih, yang dimaksud?" "Masa kamu enggak tahu, Shania? Itu loh salah satu perusahaan milik keluarga Sebastian." "Apa? PT. A milik keluarga Sebastian?" tanya Shania memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. "Iya." Fiersa melihat ekspresi Shania yang terlihat kaget. "Kenapa kamu?" Shania tampak salah tingkah. Ia lalu meminta maaf tanpa sadar. "Kenapa kamu minta maaf? Memang kamu salah apa?" Kawan di sebelahnya itu semakin heran. "Enggak. Cuma aku kaget saja." Shania tersenyum canggung. Fiersa mengangkat kedua bahunya. "Ya, bukan kamu saja yang kaget. Kami seluruh karyawan juga kaget waktu dengar rencana Pak Ethan yang mau ikut lelang proyek PT. A. Ya ... bukan apa-apa, tapi kamu tahu 'kan perusahaan seperti apa milik keluarga konglomerat itu? Sedangkan perusahaan kita belum pernah menangani proyek besar." "Kenapa? Padahal yang aku lihat perusahaan ini sudah lama. Para karyawannya juga sepertinya sudah berpengalaman." "Memang benar, tapi kamu mungkin tahu perusahaan besar seperti PT. A atau lainnya, pasti akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang seperti apa?" Shania cukup mengerti dengan penjelasan yang Fiersa sampaikan. Baginya tak masalah jika Ethan mau ikut lelang, karena itu akan menjadi sebuah pencapaian dalam mendirikan perusahaannya. Namun, masalahnya adalah bagaimana jika Ethan benar-benar mendapatkan lelang proyek itu? 'Semoga saja ini bukan sebuah masalah. Aku bekerja bukan karena ingin bertemu dengannya, tapi justru karena ingin menghindarinya,' batin Shania membayangkan jika sampai Ethan lolos lelang, ia khawatir akan bertemu dengan Alex. Mengingat sosok Alex, pikiran Shania kembali ke sebuah poto yang ia lihat tadi pagi. 'Itu menyakitkan,' gumamnya. "Kamu bicara apa, Shania?" tanya Fiersa yang tidak sengaja mendengar gumaman Shania. "Eh, bukan apa-apa." ** Shania tiba di rumah. Setelah lelah seharian bekerja, dia berharap suaminya akan menyambutnya dengan normal. Tapi, tak ada Alex di manapun di dalam rumah itu. "Seharusnya kamu jangan banyak berharap, Shania." Perempuan itu bicara pada dirinya sendiri. Shania lantas berjalan menuju kamar. Terdengar suara pintu ketika kakinya sudah akan menaiki anak tangga. Tampak Alex masuk dengan wajahnya yang juga sama lelah. Satu keanehan bagi Shania karena jarang sekali suaminya itu pulang kantor di waktu masih senja. "Hai, Lex!" sapa Shania saat suaminya itu berjalan mendekat. Tapi, Alex hanya melihatnya sebentar tanpa membalas sapaan dari istrinya itu. Lelaki itu berjalan melewati, lalu mendahului menaiki tangga. Meski sudah berusaha untuk memantapkan hati, tapi rasa sakit di hati Shania masih saja hadir sebab melihat sikap acuh suaminya itu. Dia kemudian memilih untuk berjalan menyusul, dan masuk ke kamar, menangis. Shania masih menangis meski saat ini ia sudah berada di dalam bath tub. Perempuan itu merasa sakit hati dan kesepian. Dia merasa benar-benar tidak dicintai atau pun dihargai oleh suaminya. Alex memandangnya sebentar, lalu berpaling dan meninggalkan kamar. Sungguh menyakitkan baginya. "Setidaknya anggap aku ada. Aku tidak meminta banyak. Bersikap normal saja seperti ketika kita masih berteman." Shania berbicara pada dirinya sendiri, air matanya terus mengalir. Shania sudah memutuskan untuk tidak peduli lagi dan mengurus dirinya sendiri sejak seminggu dirinya berstatus istri Alex. Namun, rasa itu tidaklah mudah. Sikap Alex selalu membuatnya sakit hati, hingga membuatnya menangis. "Apa salahku padamu, sampai kamu tega melakukan hal ini padaku? Kalau memang kamu tidak suka menikah denganku, tolong kembalikan aku pada keluargaku," ucap Shania yang pada akhirnya tertidur setelah ritual mandinya selesai. Namun, tidak ada yang tahan ketika tidur dalam keadaan perut kosong. Itulah yang Shania rasakan setelah satu jam tertidur. Ia terbangun dengan perutnya yang keroncongan. Dengan muka kusut setelah bangun tidur, Shania berjalan menuju dapur. Seperti biasa, tak ada makanan di atas meja makan kecuali roti dan selai. Karena memang dua pelayan yang Alex pekerjakan hanya diminta untuk mengurus rumah. Urusan makanan, itu menjadi urusan Shania. "Lagipula kamu hanya makan sendiri. Aku tidak akan ada di rumah saat makan malam. Sarapan, mereka masih bisa membuatkan aku kopi atau sekedar menyiapkan roti bakar." Meski Alex berkata demikian, tetap saja Shania masak untuk dua porsi. Walau akhirnya sering makanan yang ia buat berujung di tangan satpam rumah atau satpam perumahan. Seperti malam ini, Shania yang tidak tahu apakah Alex sudah makan malam atau belum, memilih untuk memasak sedikit lebih banyak. Saat memasak, kembali Shania merasakan kesedihan sebab sikap Alex kepadanya yang tak pernah berubah. Mungkin kedua matanya masih bengkak sekarang, tapi Shania tampak tak peduli. Di tengah kegiatan masak dan pikirannya yang sedang sedih, tiba-tiba Shania mendengar suara Alex dari arah ruang makan. "Aku lapar. Apakah kamu masak banyak malam ini?" tanyanya seraya mengambil air dingin dalam lemari es. "Ya. Sebentar lagi siap," jawabnya pelan. Mungkin Alex tak peduli sebab setelahnya lelaki itu tidak merespon jawaban Shania barusan. Ia malah kembali ke ruang makan, duduk dan memainkan gadget yang selalu dibawanya kemana pun ia berjalan. Shania membawa makanan ke ruang makan dan meletakkannya di depan Alex. Perempuan itu tidak menoleh atau pun bicara. Alex melihat makanan yang disajikan, lalu menatap punggung Shania yang sudah menjauh. Sedangkan Shania sendiri memilih kembali ke dapur dan memutuskan untuk tidak makan bersama Alex. 'Aku yakin kamu tak akan peduli, Lex,' gumam Shania. ***Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
"Kenapa kamu begitu takut, Alex?" tanya Shania dengan ekspresi tak percaya. "Aku katakan sekali lagi, tidak ada yang aku takutkan. Aku cuma mau kamu mundur." Alex berkata dengan tatapan tajam menatap Shania. "Tapi, aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlibat dalam proyek ini," balas Shania yang mencoba mempertahankan martabatnya. Alex tampakmeneguk air mineral yang ada di dalam gelas, lalu membalas ucapan sang istri sambil tersenyum sinis. "Kalau begitu kamu harus menerima konsekuensinya. Aku tidak akan meloloskan desain dari perusahaanmu."Shania memandang Alex dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak bisa memutuskan nasib perusahaanku hanya karena kamu tidak ingin aku terlibat dalam proyek ini!"Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak bergeming. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku adalah klien yang akan memutuskan apakah desain dari perusahaanmu akan diterima atau tidak."Shania merasa frustrasi dan marah. "Kamu tidak adil,
Shania duduk di depan meja, memandang Ethan dengan ekspresi yang sedih. "Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan proyek ini, Pak," katanya dengan nada yang lembut.Ethan memandang Shania dengan ekspresi terkejut. "Apa? Mengapa?"Shania menghela napas dan memandang ke bawah. "Aku tahu bahwa Alex tidak suka kalau aku masih ada di dalam proyek ini. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagi kesuksesan tim."Ethan memandang Shania dengan ekspresi tidak setuju. "Tidak, Shania. Kamu tidak bisa mundur sekarang. Kamu adalah bagian penting dari tim ini. Kita tidak bisa melanjutkan proyek ini tanpa kamu."Shania menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa, Pak Ethan. Aku tidak ingin membuat tim ini gagal karena aku."Ethan memandang Shania tegas. "Shania, aku tidak akan membiarkan kamu mundur. Kamu adalah anggota tim yang berharga dan kita membutuhkan kamu. Kita akan menghadapi Alex bersama-sama dan membuktikan bahwa kita bisa melakukannya."Shania memandang Ethan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Ethan
Shania berdiri di pelataran gedung perusahaan milik keluarga Sebastian, merasa sedikit gugup. Ia telah memutuskan untuk mendatangi kantor Alex dan meminta suaminya itu untuk meloloskan proyek Ethan.Seorang petugas keamanan menyambut Shania dengan sikapnya yang ramah. Setelahnya ia mengantar Shania sampai ke meja resepsionis. "Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang petugas front office menyapa Shania sama ramahnya dengan si petugas keamanan. "Saya mau bertemu suami saya." Shania memberi tahu petugas meja depan tersebut, tanpa basa basi. "Baik, mohon tunggu sebentar. Kami akan hubungi sekretaris bapak dulu mengenai kedatangan Ibu."Shania mengangguk dan tersenyum. Ia lalu memilih untuk duduk di lobi menunggu kabar dari si petugas. Shania berencana untuk membicarakan masalah lelang proyek yang sudah Alex putuskan kemarin. Awalnya Shania ingin membahas masalah ini di rumah, tapi Alex tidak pulang ke rumah semalam, entah kemana. Semalaman Shania merasa frustrasi hingga
Shania dibuat terkejut dengan kemunculan Maura di kantor suaminya. Namun, sikap terkejutnya belum seberapa dibanding ucapan Alex ketika memberi tahu sang mantan kekasih bahwa Shania adalah tamunya."Siapa tamu yang kamu maksud?" tanya Maura tak mengerti maksud Alex."Shania sudah mau pulang. Jadi, aku rasa kehadiranmu tidak mengganggu," ucap lelaki itu lembut. Terlebih tatapannya sangat melukai hati Shania, yang selama mereka menikah tidak pernah mendapat perhatian yang serupa seperti apa yang Alex lakukan sekarang kepada Maura.Shania kaget dengan sikap Alex yang begitu perhatian dan lembut, hal yang sangat ia inginkan dari lelaki itu, tapi tak pernah ia dapatkan.Pada akhirnya Shania memutuskan untuk pergi. Namun, ia masih meminta kepada Alex untuk memikirkan permintaannya."Ya, urusanku sudah selesai, Maura. Aku sudah mau pergi karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.""Ah, sayang sekali. Padahal aku masih ingin berbincang denganmu setelah kita tidak bertemu lama, Shan
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p
Brian melihat wajah penuh penyesalan yang tampak di wajah sahabatnya. Entah apa karena sudah mengabaikan sosok sang istri yang selama ini begitu mencintainya, atau karena kepergian perempuan itu hingga membuatnya berada dalam masalah sekarang. "Kamu tahu, Lex. Aku bertanya-tanya sejak kemarin, kenapa kamu tiba-tiba peduli mengenai Shania?""Apa maksudmu?" Alex bertanya tak mengerti. Dalam sikap sesal yang ia rasakan karena sudah melewati banyak hal, kini ia dihadapkan satu pertanyaan sahabatnya sendiri yang justru bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. "Bukan, selama ini sejak kamu kembali menjalin hubungan dengan Maura, aku perhatikan kamu cuek dan tak peduli dengan omongan orang tuamu. Kamu bahkan berani melawan Tante Hanum di pesta pernikahanmu dengan Shania waktu itu."Alex diam mendengarkan. Kalimat Brian mengingatkan dirinya tentang sikapnya selama ini. "Kamu tahu resiko yang akan kamu dapatkan bila kembali menjalin hubungan dengan Maura, sebab sejak awal papamu tida
Setelah kunjungan ke kediaman orang tuanya, Alex jadi terus kepikiran akan ucapan sang mama. Rumah yang besar yang sebelumnya ia tempati bersama Shania, terasa kosong dan sepi. Hal itulah yang membuatnya tinggal di apartemen bersama Maura. Aksinya hanya karena tak ingin mengingat sosok Shania yang tidak tahu di mana keberadaannya setelah pergi dari rumah. Namun, anehnya Alex malah tidak semangat untuk mengerjakan apapun saat menginap di apartemen. Pekerjaannya menjadi terlantar hingga akhirnya ia meminta Brian menyelesaikan semua tugas yang belum tuntas. Sepekan Alex telah menjadi sosok yang lain. Hidupnya mendadak berubah setelah hanya berdiam diri dengan minuman alkohol yang menemaninya dalam lamunan. Maura bukan tidak menegur. Wanita itu bahkan sampai harus mengencangkan volume suaranya biar Alex dengar. Tapi, usahanya semua sia-sia. Mereka malah bertengkar setiap hari karena sikap Alex yang keras kepala. Akhir dari pelarian Alex saat dirinya mendapat kabar dari Brian, bahwasan
Alex terlihat tak baik ketika memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Selama hampir lebih dari seminggu ia tinggal di apartemen bersama Maura, tiba-tiba saja ia ingin pulang. "Papa sudah mulai mencariku. Aku akan ada dalam masalah kalau masih tetap berada di sini.""Kalau gitu aku akan temani kamu," ucap Maura yang khawatir dengan kondisi Alex. "Tidak usah. Aku mau sendiri dulu."Maura menatap Alex tak suka. "Ya sudah aku akan antar kamu pulang," ucap Maura seraya beranjak hendak mengambil tas miliknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri.""Tapi, kamu sedang tidak dalam kondisi baik, Lex."Lelaki itu tampak tak peduli. "Aku sehat. Jangan lihat aku seolah aku orang yang tidak waras," jawabnya sedikit kesal. "Kamu memang jadi tidak waras setelah mengunjungi mamamu. Aku bahkan tidak tahu apa saja yang terjadi di sana. Kamu selalu diam setiap aku tanya." Maura mulai terpancing karena sikap keras kepala Alex. Alex yang tengah bersiap pergi, sejenak berhenti bergerak. Ia memandang Maur
Sudah beberapa hari sejak Alex mengunjungi kediaman orang tuanya, sejak itu juga ia terlihat tidak masuk kantor. Asisten pribadi Jimmy, bahkan sampai mendatangani Alex di rumahnya. Namun, lelaki itu tidak ada di sana. Jimmy marah besar karena sang putra melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pimpinan dengan bolos bekerja berhari-hari, melewati beberapa meeting dengan para klien hingga harus re-schedule berkali-kali. Pengusaha itu bahkan harus memerintahkan sang asisten untuk mencari tahu di mana keberadaan Alex. Hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya sebab dirinya bukanlah seorang ayah yang ikut campur urusan anaknya. "Apakah Anda yakin, Pak?" tanya Hery, asisten pribadi Jimmy. "Yakin apa, Her?" Jimmy bertanya balik. "Mencari tahu atau memata-matai Mas Alex."Jimmy mengerutkan keningnya. "Apakah masalah untukmu?""Tidak sama sekali, Pak. Tapi, ini jauh dari kebiasaan Anda."Jimmy menggeleng. "Aku tahu, tapi anak ini sudah keterlaluan. Banyak pekerjaan yang terbengkalai
Rachel dan Ethan mampir ke sebuah restoran di sekitaran bandara. Setelah Ethan terlambat bertemu dengan Shania, lelaki itu meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan Rachel. "Tapi, aku tak bisa lama." Rachel kembali mengingatkan lelaki di depannya. "Kamu sudah mengatakan itu sebanyak tiga kali." Ethan menyahut dengan wajah gemas, tapi tak menghilangkan raut sedih sebab kepergian Shania. "Tenang saja, aku tak akan lupa. Aku juga harus kembali ke kantor secepatnya." Ethan meyakinkan gadis di depannya untuk tidak perlu khawatir. "Aku cuma mau tahu, apakah Shania telah berpisah dengan Alex?"Rachel tidak terkejut sama sekali. Setelah menghadapi permasalahan Shania, terlalu banyak kejutan demi kejutan yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Termasuk tentang berdirinya Ethan di bandara sesaat setelah Shania masuk ke area boarding, yang tidak Rachel sangka sama sekali. "Kamu belum jawab pertanyaanku," sahut Rachel, tidak langsung menjawab pertanyaan Ethan barusan. "Shania mengabariku sema