Shania memasuki rumah dengan perasaan yang tidak enak. Ia masih teringat dengan kemunculan Maura di kantor Alex tadi siang. Ia merasa bahwa Alex masih memiliki perasaan untuk Maura, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.'Apakah selama ini Alex kerap bertemu dengannya?' batin Shania tiba-tiba sesak. Saat ia memasuki ruang tamu, Shania melihat Alex yang sedang duduk di sofa, menonton TV. Ia berjalan mendekati Alex dengan langkah yang pelan."Alex, aku ingin berbicara denganmu," kata Shania dengan nada yang serius.Alex memandang Shania dengan rasa penasaran, tapi tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. "Apa yang kamu ingin bicarakan?" tanya Alex yang sebenarnya tidak terlalu serius menonton layar terang di depannya. Lelaki itu lebih fokus pada gadget di tangannya yang masih menyala. Shania duduk di sebelah Alex dengan postur yang tegak. "Aku ingin tahu tentang Maura.""Kenapa dengannya?""Sejak kapan ia kembali?" Shania bertanya penuh kehati-hatian. Alex menengok pelan, tapi tida
Shania duduk di meja makannya sendirian. Semalaman ia tidak bisa tidur karena terus menangis dan memikirkan nasib rumah tangganya. Tak terlihat keberadaan Alex, yang mungkin saja sudah pergi sebelum Shania bangun. Atau, mungkin saja lelaki itu yang justru belum bangun karena tidak memiliki jam kerja. Kedudukannya sebagai seorang CEO, membuat waktu kerjanya fleksibel —alias seenaknya. Teringat akan perdebatan antara dirinya dan Alex semalam yang berujung sikap tak peduli lelaki itu kepada nasib rumah tangga mereka, Shania akhirnya memutuskan akan kembali pulang ke rumah orang tuanya. "Aku akan pulang. Tapi, setelah proyek di perusahaannya selesai aku kerjakan," kata Shania pada dirinya sendiri. Suaranya terdenger pilu, juga menyedihkan. Tapi, ia berusaha sekali kuat di tengah sikap Alex yang sudah tak suka akan keberadaannya.Di dalam perjalanan —setelah Shania kenyang menikmati sarapan roti dan sosis panggang beserta scramble egg buatannya, Rachel tiba-tiba menghubunginya."Aku su
Maura?' batin Shania. Shania merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang tidak terduga. Ia tidak bisa percaya bahwa Alex memintanya kembali presentasi hanya untuk menyenangkan Maura. Perasaan sakit dan terluka yang sudah ada di hatinya sejak kemarin semakin menjadi-jadi."Apa maksudnya ini?" tanya Shania kepada Alex dengan nada yang dingin dan marah.Alex tersenyum dan mengangkat bahu. "Maura ingin melihat presentasi kamu, dan aku pikir itu ide yang baik."Shania merasa seperti ingin meledak. "Ide yang baik? Kamu pikir itu ide yang baik? Setelah semua yang telah terjadi, kamu masih bisa meminta aku untuk melakukan ini?"Maura tersenyum dan memandang Shania dengan mata yang dingin. "Aku ingin melihat apa yang membuat Alex begitu yakin dengan kamu," katanya dengan nada manis, yang sengaja dibuat-buat. Shania merasa seperti ingin muntah. Ia tidak bisa percaya bahwa Maura bisa begitu tidak sensitif dan tidak menghargai statusnya. Ia juga tidak bisa percaya bahwa Alex bisa begitu tidak p
"Jadi, dia belum tahu tentang hubungan pernikahan kalian yang sejak awal tidak harmonis?"Setelah perbincangan dengan Maura berakhir, sesuai janji Shania bertemu dengan Rachel di kantor Bayu —papanya Rachel. Saat ini keduanya tengah duduk di kantin sembari istirahat makan siang. "Aku tidak tahu pasti. Tapi, apa maksud ucapannya ketika ia bilang cemburu? Padahal sudah jelas-jelas Alex jarang ada di rumah sejak kami menikah dan aku yakin keduanya selalu bersama." Shania berkata lesu. "Aku baru sadar sekarang, bau parfum yang menempel di kemeja kerja Alex ternyata adalah milik Maura. Aku tahu ketika tadi berbicara dengannya," kata Shania menambahkan. Rachel tampak berhenti memasukkan makanan ke dalam mulutnya ketika melihat wajah Shania yang lesu dan tak semangat. Ia hanya mengunyah makanan yang sudah kepalang masuk. "Apa kamu juga berpikir bahwa selama ini orang yang selalu menghubungi Alex adalah Maura?" tanya Rachel hati-hati. "Pasti.""Apa kamu berpikir juga kalau selama ini Ale
Shania yang melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Alex menyatakan cintanya kepada Maura di depan mahasiswa lain, langsung berlari sembari menangis setelah melihat Maura menerima cincin yang Alex sodorkan. "Aku terlambat, Rachel. Aku menyesal sekarang.""Tidak, Shania. Kamu bukan terlambat. Tapi, karena memang Alex tidak pernah mencintaimu."Pernyataan Rachel membuat Shania tersadar jika selama ini ia telah membuang banyak waktu atas lelaki yang ternyata tidak pernah memiliki perasaan cinta kepadanya. Shania menghela napas dalam-dalam, mengingat kembali kenangan masa lalunya dengan Alex. Ia merasa bahwa ia telah terlalu lama memendam perasaannya terhadap Alex, dan sekarang ia harus membayar harga untuk itu."Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Rachel," kata Shania dengan suara yang lemah. "Aku merasa seperti terjebak dalam situasi ini dan tidak tahu bagaimana cara keluarnya."Rachel mengangguk mengerti. "Aku tahu, Shania. Tapi, kamu harus ingat bahwa kamu tidak sendirian.
Shania mengingat dengan jelas percakapannya dengan Maura tempo hari. Karena itulah ia bisa menilai jika kemunculan wanita itu yang tiba-tiba di saat rapat sedang berlangsung, adalah sebuah kesengajaan. Maura sudah mulai menjalankan misi dan rencananya. Maura seperti ingin menunjukkan jika ia tidak pernah merasa insecure atau takut sekali pun. Menghampiri Alex di tengah-tengah banyak orang yang tidak ia kenal, benar-benar sebuah aksi yang pantas untuk diapresiasi. 'Ia tengah membuktikan jika apa yang dituduhkannya tidaklah benar,' batin Shania bicara. Setelah diskusi selesai, Shania dan timnya meninggalkan kantor Alex. Di dalam mobil, Ethan memandang Shania dengan ekspresi penasaran."Hey, apa yang terjadi tadi?" tanya Ethan. "Kamu terlihat tidak nyaman ketika wanita itu muncul."Shania menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa, Ethan. Aku hanya sedikit lelah saja."Ethan tidak percaya. Ia tahu bahwa Shania tidak seperti itu. "Shania, aku tahu kamu tidak seperti itu," kata Ethan. "A
Rachel mengejar Shania, meninggalkan papa dan mamanya yang menatap pilu. Dua orang tua itu sepertinya tahu apa yang terjadi, yang membuat putri mereka memikirkan yang tidak-tidak. Melihat kondisi Shania yang terlihat tak baik, Rachel akhirnya mengajak sahabatnya itu ke kamar. "Apa Alex sudah melakukan itu padamu?" tanya Rachel kepada Shania di kamarnya. "Melakukan apa?" tanya Shania tak mengerti akan pertanyaan Rachel. "Jangan pura-pura bodoh, Shania! Apa Alex sudah mengambil kesucianmu?""Alex suamiku, Chel.""Damn! Jadi, walau dia tidak menyukaimu, dia tetap meminta haknya sebagai suami, begitu?"Suasana kamar mendadak menegang. Aura kedua sahabat itu terasa memanas setelah Shania muntah untuk kedua kalinya. "Dia mabuk malam itu." Shania menjawab santai. "What! Apa lagi ini?" Rachel tampak histeris. "Are you crazy, Shania? Dia mabuk dan mengambil mahkota-mu, tapi kamu masih bisa bersikap sesantai ini?" tanya Rachel dengan ekspresi tak percaya. Shania hanya menatap sekilas sah
Gejala hamil yang kerap para calon ibu alami, juga Shania rasakan. Perempuan itu selalu mengalami masa-masa mual dan mabuk sesaat setelah sarapan pagi. Bahkan, terkadang makanan di atas piring belum habis ia santap. Seperti di satu pagi saat ia sarapan bersama Alex, gejala morning sickness kembali Shania alami. Dua hari lalu Alex pulang dan menginap di rumah. Setelah sebelumnya lelaki itu tak pulang, entah tidur di mana. 'Pasti bersama Maura, siapa lagi?' batin Shania merasa perih.Tapi, Shania udah memutuskan untuk tak ambil pusing lagi atas apapun yang Alex lakukan dengan kekasihnya itu. Sudah dua hari Shania sarapan bersama Alex, sebab suaminya itu mendadak ingin dibuatkan sarapan olehnya. Tak ada penolakan yang Shania lakukan. Selain karena senang, ia juga sudah tidak memikirkan apapun lagi selain menunggu momen pergi dari rumah. "Mukamu terlihat pucat. Apa kamu sakit?" tanya Alex yang tiba-tiba perhatian. Sudah sejak kemarin Alex perhatikan wajah Shania yang sembab dan layu.
Shania mungkin tidak menyangka dengan informasi yang baru saja Alex berikan tentang hubungannya dengan Maura yang ternyata hanya sebatas hubungan biasa, tanpa ada hal istimewa yang selayaknya para peselingkuh lakukan di luaran sana. Tapi, apakah Shania akan percaya begitu saja? Tentu tidak, meski Alex mengatakan dengan mimik wajah serius —yang jika orang lain lihat akan langsung menilai bahwa yang diucapkannya adalah nyata, Shania tidak langsung menelan bulat-bulat apa yang suaminya itu katakan. Apalagi bukan sekali dua kali Shania melihat kemesraan yang Alex dan Maura lakukan ketika sedang berada di kantor. Keduanya terlihat tidak sungkan untuk berlaku mesra meski ada banyak orang di depan mereka. Hingga malam menjelang dini hari, Alex berhasil membuat malam yang dingin menjadi hangat sebab keintiman yang dilakukannya bersama sang istri. Shania tidak menolak kali ini. Setelah rencana yang dibuatnya untuk pergi dari kehidupan Alex bersama anak yang ada di dalam kandungannya, bukan s
Alex tidak menjawab, ia malah semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Shania. Shania merasa takut dan berusaha berontak lebih keras, tapi Alex terlalu kuat. Bahkan, ia semakin terpacu ketika dadanya menempel dengan tubuh Shania yang kenyal. "Alex, tolong!" pintanya lagi, suaranya mulai terdengar panik.Tapi, Alex tidak peduli. Ia malah semakin mendekatkan bibirnya ke bibir Shania.Shania merasa sangat takut dan berusaha berontak dengan segala kekuatannya. Tapi, Alex terlalu kuat dan ia tidak bisa melepaskan diri.Saat itu, Shania merasa sangat putus asa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bisa berharap bahwa Alex akan segera sadar dan melepaskannya.Namun, ketakutannya semakin menjadi ketika Alex berhasil menciumnya. Alex bahkan menekan kepalanya agar Shania tidak sampai melepaskan diri. Shania merasa sesak ketika Alex melakukannya dengan nafsu yang begitu membara. Kekuatannya seketika melemah seiring pagutan Alex di bibirnya yang semakin intim dan panas. Menyadari perl
Rachel menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Shania memang tidak bisa bertahan melihat kemesraan Alex dan Maura. Tapi, ia tidak bisa meninggalkan Alex karena ia sudah terlalu jauh terlibat dalam hubungan itu."Ethan mengernyit, tidak memahami maksud Rachel. "Apa yang membuat Shania tidak bisa meninggalkan Alex?" tanya Ethan penasaran. Rachel tersenyum sedih. "Shania merasa bersalah karena telah mencintai Alex, tapi tidak bisa memiliki hatinya. Ia juga merasa bersalah karena telah menikah dengan Alex, tapi tidak bisa membuatnya bahagia."Ethan menghela napas dalam-dalam, mencoba memahami kompleksitas perasaan Shania. "Apa yang akan Shania lakukan sekarang?" tanya Ethan, ingin tahu lebih lanjut.Rachel menggeleng. "Aku tidak tahu. Shania masih belum tahu apa yang ingin dilakukannya. Tapi, aku tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kesedihan dan kekecewaan," ujar Rachel berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan rencana Shania yang memilih pergi ke luar negeri kepad
Rachel melanjutkan ceritanya, "Alex tidak menyadari perubahan sikap Shania. Ia terlalu sibuk dengan hubungannya dengan Maura. Tapi, aku bisa melihat perubahan itu. Shania menjadi lebih tertutup dan tidak lagi ceria seperti dulu."Ethan mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami apa yang terjadi antara Shania, Alex, dan Maura."Apa yang terjadi kemudian?" tanya Ethan, penasaran dengan kelanjutan cerita.Rachel mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Shania mencoba untuk melupakan Alex dan fokus pada studinya. Tapi, ia tidak bisa menghindari Alex dan Maura, karena mereka berdua selalu bersama-sama. Shania merasa sakit hati dan kecewa, tapi ia tidak bisa menunjukkan perasaannya itu kepada Alex."Ethan mengangguk, memahami perasaan Shania. "Aku mengerti sekali posisinya. Lalu, apa yang akhirnya Shania lakukan?" Ethan bertanya lagi.Rachel tersenyum sedih, "Pada akhirnya Shania malah menerima lamaran Alex setelah kekasihnya itu tiba-tiba pergi meninggalkannya setahun yang lalu
Bulan yang terlihat utuh dengan warna terang menyinari semesta, menjadi saksi ketika Rachel dan Ethan akhirnya melanjutkan obrolan. Kafe yang sejatinya tutup, kini terbuka untuk si pemilik dengan membiarkan para karyawannya pulang. "Biasanya insting lelaki itu lemah dibanding perempuan, tapi entah apa yang ada pada dirimu, kenapa kamu seolah tahu sekali tentang masalah yang sedang dihadapi oleh Shania." Rachel memulai obrolan setelah karyawannya menyediakan minuman dan snack untuknya juga Ethan. "Sejak kapan kamu menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Shania?" tanya Rachel kemudian. Ethan menghela napas panjang. Lelaki itu seolah ingin mengambil ancang-ancang untuk melepaskan uneg-uneg yang selama ini mendekam di dalam pikirannya. "Sejak pertama ia bekerja di perusahaanku."Rachel diam. Ia melihat kedua mata Ethan yang menatap lurus ke luar. "Shania sudah terlihat murung sejak awal bekerja. Meski ia selalu menutupi dengan sikap ceria di depan anak-anak yang lain, tapi aku tahu k
Semua orang memandang sosok lelaki yang selama ini terlihat penuh karisma dalam balutan pakaian formal —jas dan dasi, mendadak santai dengan pakaian kasual. Tidak hanya Shania yang terkejut, tapi Rachel dan Ethan, terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya tatkala melihat sosok Alex berdiri tak jauh dari mereka. "Pak Alex," ucap Ethan pelan. Meski ia sudah tahu hubungan Shania dengan Alex, tapi ia tetap tak menyangka akan kehadiran pengusaha itu di depan mereka.Entah apa yang terjadi, padahal sebelumnya Alex menutup-nutupi hubungannya dengan Shania. Tapi sekarang, justru hal tersebut berbanding terbalik. Ethan menilai sepertinya Alex tengah ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Alex berjalan menghampiri saat orang-orang di depannya tidak mengatakan apapun. Ia lalu berhenti tepat di depan Shania. "Aku lihat mobilmu di rumah. Jadi, aku memutuskan untuk menjemputmu di sini." Alex berkata pada Shania yang menatapnya dalam diam. Tatapan istrinya masih terlihat tak percaya dengan
"Kamu ini kenapa sih? Belakangan ini sikapmu aneh sekali!" Shania berseru kesal. Namun, Alex tampaknya mengabaikan ucapan Shania karena selanjutnya ia masih memaksa istrinya itu untuk segera pulang. "Aku akan pulang kalau sudah selesai." Shania menjawab santai. "Kalau begitu jangan salahkan aku kalau akan ada hal yang mengejutkan terjadi."Shania mengernyit. "Memang apa yang terjadi?""Bukan kejutan kalau aku memberi tahumu. Jadi, aku tanya sekali lagi, kamu mau pulang sekarang atau nanti?" Alex kembali bertanya. Shania pun tetap pada jawabannya. "Aku akan pulang kalau sudah selesai."Bukan Shania yang memutuskan panggilan, tapi Alex yang langsung mematikan ponselnya setelah Shania memberi keputusan. "Dia ini kenapa sih?" tanya Shania heran. Sejak tadi Alex bersikap aneh. 'Tidak! Tapi, sejak sepekan yang lalu,' batin Shania yang kemudian memilih tak peduli. Ia pun kembali ke ruangan karaoke. Bergabung dengan teman-temannya yang masih asik bernyanyi. "Ada apa?" tanya Rachel berb
Suasana kafe semakin malam semakin seru ketika Rachel sebagai pemilik, ikut serta dalam perayaan keberhasilan tim Ethan yang telah selesai dalam mengerjakan proyek di PT. A. Sebagai sahabat, Shania senang karena bisa berbagi kebahagiaan dengan perempuan yang malam itu berpenampilan formal sebab baru pulang dari kantor. Begitu juga dengan para karyawan Ethan, yang tidak sungkan bersikap santai hingga bercanda meski sang pemilik kafe ada beserta mereka. Mereka justru senang dan bergembira bersama karena sikap Rachel yang sangat ramah dan ceria. Semua bisa berbaur dengan asik membuat pesta tersebut berjalan seru, tapi tidak menghilangkan keakraban. "Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanya Rachel pada Shania di tengah keseruan karyawan Ethan yang sudah mulai bernyanyi di ruang karaoke. "Ehm, beberapa udah aku cicil," jawab Shania santai. "Sudah nentuin kemana tujuan kamu?"Shania mengangguk. "Sudah.""Kemana?" Rachel terus bertanya karena penasaran. Namun, Shania malah tersenyum s
Semua karyawan memandang takjub saat kaki mereka berdiri di depan teras sebuah kafe yang terlihat eye catching. Sebuah kafe yang cukup luas dengan parkiran yang memadai, membuat anak buah Ethan, termasuk dirinya memandang tak percaya. Ethan yang bukan pribadi suka hang out, memang tidak tahu mengenai tempat yang ia kunjungi sekarang. Bahkan, dari sekian banyak karyawan Ethan, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ada tempat tersebut. "Ini keren banget, sumpah!" seru Fiersa yang mendapat anggukan Mita di sebelahnya. Teman-temannya yang lain pun mengangguk setuju saat Fiersa memuji tempat tersebut. "Kok kita bisa enggak tahu ada tempat ini, ya? Gimana bisa!" seru mereka tak percaya. Tatapan kagum dan tak percaya semakin tampak di wajah anak-anak muda tersebut ketika sudah memasuki ruangan kafe. "Kamu tahu dari mana ada tempat kaya gini?" tanya Fiersa pada Shania. "Ehm, sebenarnya kafe ini belum lama launching, sekitar tiga bulan yang lalu-lah. Aku tahu tempat ini, karena p