Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"
Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu." "Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?" "Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki yang bahkan tak pernah menganggap istrinya ada." Setelah berkata demikian, Shania memilih pergi. Ia berjalan menaiki tangga, menuju kamarnya. Shania tak tahu kalau Alex mengejarnya. "Apa-apaan kamu, Alex?" Terkejut Shania ketika suaminya itu berdiri di belakangnya saat ia baru saja melepas pakaian. Alex terdiam saat melihat punggung mulus istrinya. "Kau pikir aku berselera melihatmu?" ucap Alex menghina. "Lagipula untuk apa bersikap sok polos begitu. Aku ini suamimu. Kita bahkan pernah melakukan hubungan suami istri." "Jangan mengungkit satu kejadian yang bahkan aku tak mau mengingatnya." "Tak mau, bukan berarti tak pernah terjadi. Mau bagaimana pun juga itu bukan hal tabu yang tidak boleh kita lakukan." "Tapi, kamu melakukannya dalam keadaan mabuk." Seketika ada seringai yang hadir di bibir Alex. Lelaki itu kemudian mendekat saat sang istri menutupi tubuhnya dengan handuk. "Apa yang kamu lakukan? Aku mau mandi!" seru Shania ketika tiba-tiba Alex mendekat dan mendorongnya. Alex diam saja. Ia lalu menarik kedua tangan Shania ke atas kepala. "Le-lepasin aku, Lex?" Suara Shania mendadak bergetar. Antara perasaan takut dan gugup menjadi satu. "Waktu itu aku mabuk dan kamu terus menerus mengingatnya. Apakah itu berarti kamu mau kita mengulangi hal tersebut dalam keadaan sadar seperti sekarang?" tanya Alex yang entah ada angin apa tiba-tiba peduli dan mau menghampiri Shania di kamarnya. Selama ini mereka memang tidur terpisah. Alex yang sejak awal tidak serius menikahi Shania, memilih untuk tidur sendiri dan membiarkan Shania tidur di kamar yang lain. "Kamu mau melakukan ini bukan?" tanya Alex yang kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Shania. Shania jelas menolak, tapi tak bisa berbuat apa-apa sebab kedua tangannya yang dipegang erat. Alex lalu melepas ciumannya. Seringai kembali hadir di bibirnya. "Jangan pura-pura!Kamu senang aku menciummu seperti tadi bukan?" "Tidak. Sama sekali tidak." Namun, penolakan Shania justru mendapat serangan. Alex kembali mencium istrinya bahkan mendorongnya, membawa ke tempat tidur. "Alex, lepaskan!" seru Shania dalam kesempatannya melepas pagutan. Tapi, lagi-lagi Alex tak peduli. Ia bahkan sudah mendorong istrinya itu ke atas ranjang. "Jangan macam-macam, Lex! Aku enggak akan pernah maafin kamu kalau sampai, ehm!" Tak ada lanjutan kemarahan Shania sebab Alex yang sudah kembali membungkam mulut Shania. Lalu, masih dalam pagutan dengan penolakan yang istrinya berikan, Alex melepas lilitan handuk yang menutupi tubuh sang istri. "Lex!" seru Shania berekspresi tak percaya saat Alex membuatnya telanjang untuk kedua kalinya. Momen malam pengantin yang berakhir kesakitan Shania, kembali membuat perempuan itu merasakan kengerian. Namun, ketika Alex akan kembali menyerang, ponsel di sakunya tiba-tiba berdering. Alex berhenti dan memilih untuk memeriksa gadget-nya. Lalu, "Iya, halo!" sapa Alex seraya melepas pegangan di kedua tangan Shania. Serta merta istrinya itu melepaskan diri dan menjauh. "Ada apa?" tanya Alex dengan suara lembut. Ia fokus dengan si penelepon, tapi tatapannya tajam mengawasi gerakan Shania. "Aku akan kesana sekarang." Setelah berkata demikian, Alex bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Shania yang terlihat lega. Tapi, lagi-lagi ia kecewa karena kepergian Alex yang selalu tiba-tiba. "Kemana sebenarnya kamu pergi, Lex?" Shania bertanya pada dirinya sendiri. Melupakan Alex yang tadi hampir kembali melecehkannya, Shania melanjutkan rencananya untuk membersihkan diri. Nyeri di hatinya saat melihat sang suami langsung berubah tak peduli demi seseorang yang tidak ia tahu. ** Pagi hari Shania bangun kesiangan. Ia tidak bisa tidur semalaman karena terus menangis meratapi pernikahannya yang tidak sesuai kenyataan. "Ah, kenapa jadi begini?" tanya Shania ketika ia melihat wajahnya di cermin. Kedua matanya tampak bengkak sisa tangisannya semalam. Sekarang, ia bingung bagaimana cara menutupinya. "Bagaimana aku pergi bekerja dengan muka seperti ini," ucapnya kesal. Sejenak ia berpikir, lalu ia tersenyum seolah menemukan solusi. "Kita coba cara itu dulu," ucapnya kemudian pergi keluar kamar. Ia berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu. Tas kerja sudah ia bawa sekalian. Jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh, mau tak mau membuat Shania harus melakukannya dengan cepat. "Ada yang Ibu butuhkan?" Seorang pelayan bertanya ketika Shania muncul di dapur. "Iya," jawabnya. "Tapi, saya bisa ambil sendiri." "Oh, iya." Pelayan itu lalu undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya. Shania berjalan menuju kulkas. Di dalam sana ada sesuatu yang dicarinya. "Semoga ini berhasil," ucap Shania seraya mengambil sepotong timun dari dalam kulkas. Shania lalu mengiris tipis timun tersebut menjadi beberapa lembar. Setelah itu, ia menempelkannya di kedua mata. "Segarnya," ucap Shania sembari duduk di kursi ruang makan. Beberapa menit berlalu, Shania baru menyadari jika tidak ada orang lain di ruangan tersebut selain dirinya. 'Mungkin ia tidak pulang semalam,' batin Shania membicarakan Alex. Ada rasa nyeri yang kembali hadir demi membayangkan kondisi pernikahannya yang menyedihkan. Perasaan menjadi orang asing di kehidupan pernikahannya sendiri, membuatnya terkadang ingin melepaskan diri. Tapi, Shania teringat kedua orang tuanya. Bagaimana pun pernikahannya baru seumur jagung. Apa kata orang nanti mengenai kehidupan rumah tangganya yang hancur karena keegoisannya. Ya, tak bisa dipungkiri, pernikahan yang seharusnya tidak terjadi itu, juga karena perasaan cinta yang Shania miliki terhadap Alex. Ia yang merasa bahagia karena tiba-tiba mendapat lamaran dari kawan baiknya itu, langsung menerima lamaran tersebut tanpa pikir panjang. Padahal Shania tahu dengan pasti jika cinta Alex hanya untuk Maura seorang. 'Aku harus terima ini, bukan?' gumam Shania pilu. Masih dalam kegiatannya menempelkan irisan timun di kedua mata, tiba-tiba ada bulir air mata yang terjatuh. 'Kenapa aku cengeng sekali, Tuhan?' batin Shania kemudian mencoba menghentikan tangisnya. Tak lama kemudian Shania melepaskan irisan timun dari kedua matanya. Lalu, ia ambil cermin kecil untuk melihat kondisi wajahnya sekarang. "Bagaimana bisa hilang kalau aku terus menangis," ucap Shania sembari menepuk-nepuk kedua pipinya. Shania berusaha melupakan Alex. Meski sulit, ia harus melakukannya. Namun, ketika perempuan itu bertekad untuk melupakan apa yang terjadi, tiba-tiba ia harus menahan rasa sesak dan nyeri di dadanya saat melihat sebuah gambar di ponselnya. "Benar dugaanku, bukan?" ***Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
"Kenapa kamu begitu takut, Alex?" tanya Shania dengan ekspresi tak percaya. "Aku katakan sekali lagi, tidak ada yang aku takutkan. Aku cuma mau kamu mundur." Alex berkata dengan tatapan tajam menatap Shania. "Tapi, aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlibat dalam proyek ini," balas Shania yang mencoba mempertahankan martabatnya. Alex tampakmeneguk air mineral yang ada di dalam gelas, lalu membalas ucapan sang istri sambil tersenyum sinis. "Kalau begitu kamu harus menerima konsekuensinya. Aku tidak akan meloloskan desain dari perusahaanmu."Shania memandang Alex dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak bisa memutuskan nasib perusahaanku hanya karena kamu tidak ingin aku terlibat dalam proyek ini!"Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak bergeming. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku adalah klien yang akan memutuskan apakah desain dari perusahaanmu akan diterima atau tidak."Shania merasa frustrasi dan marah. "Kamu tidak adil,
Shania duduk di depan meja, memandang Ethan dengan ekspresi yang sedih. "Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan proyek ini, Pak," katanya dengan nada yang lembut.Ethan memandang Shania dengan ekspresi terkejut. "Apa? Mengapa?"Shania menghela napas dan memandang ke bawah. "Aku tahu bahwa Alex tidak suka kalau aku masih ada di dalam proyek ini. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagi kesuksesan tim."Ethan memandang Shania dengan ekspresi tidak setuju. "Tidak, Shania. Kamu tidak bisa mundur sekarang. Kamu adalah bagian penting dari tim ini. Kita tidak bisa melanjutkan proyek ini tanpa kamu."Shania menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa, Pak Ethan. Aku tidak ingin membuat tim ini gagal karena aku."Ethan memandang Shania tegas. "Shania, aku tidak akan membiarkan kamu mundur. Kamu adalah anggota tim yang berharga dan kita membutuhkan kamu. Kita akan menghadapi Alex bersama-sama dan membuktikan bahwa kita bisa melakukannya."Shania memandang Ethan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Ethan
Shania berdiri di pelataran gedung perusahaan milik keluarga Sebastian, merasa sedikit gugup. Ia telah memutuskan untuk mendatangi kantor Alex dan meminta suaminya itu untuk meloloskan proyek Ethan.Seorang petugas keamanan menyambut Shania dengan sikapnya yang ramah. Setelahnya ia mengantar Shania sampai ke meja resepsionis. "Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang petugas front office menyapa Shania sama ramahnya dengan si petugas keamanan. "Saya mau bertemu suami saya." Shania memberi tahu petugas meja depan tersebut, tanpa basa basi. "Baik, mohon tunggu sebentar. Kami akan hubungi sekretaris bapak dulu mengenai kedatangan Ibu."Shania mengangguk dan tersenyum. Ia lalu memilih untuk duduk di lobi menunggu kabar dari si petugas. Shania berencana untuk membicarakan masalah lelang proyek yang sudah Alex putuskan kemarin. Awalnya Shania ingin membahas masalah ini di rumah, tapi Alex tidak pulang ke rumah semalam, entah kemana. Semalaman Shania merasa frustrasi hingga
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p
Brian melihat wajah penuh penyesalan yang tampak di wajah sahabatnya. Entah apa karena sudah mengabaikan sosok sang istri yang selama ini begitu mencintainya, atau karena kepergian perempuan itu hingga membuatnya berada dalam masalah sekarang. "Kamu tahu, Lex. Aku bertanya-tanya sejak kemarin, kenapa kamu tiba-tiba peduli mengenai Shania?""Apa maksudmu?" Alex bertanya tak mengerti. Dalam sikap sesal yang ia rasakan karena sudah melewati banyak hal, kini ia dihadapkan satu pertanyaan sahabatnya sendiri yang justru bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. "Bukan, selama ini sejak kamu kembali menjalin hubungan dengan Maura, aku perhatikan kamu cuek dan tak peduli dengan omongan orang tuamu. Kamu bahkan berani melawan Tante Hanum di pesta pernikahanmu dengan Shania waktu itu."Alex diam mendengarkan. Kalimat Brian mengingatkan dirinya tentang sikapnya selama ini. "Kamu tahu resiko yang akan kamu dapatkan bila kembali menjalin hubungan dengan Maura, sebab sejak awal papamu tida
Setelah kunjungan ke kediaman orang tuanya, Alex jadi terus kepikiran akan ucapan sang mama. Rumah yang besar yang sebelumnya ia tempati bersama Shania, terasa kosong dan sepi. Hal itulah yang membuatnya tinggal di apartemen bersama Maura. Aksinya hanya karena tak ingin mengingat sosok Shania yang tidak tahu di mana keberadaannya setelah pergi dari rumah. Namun, anehnya Alex malah tidak semangat untuk mengerjakan apapun saat menginap di apartemen. Pekerjaannya menjadi terlantar hingga akhirnya ia meminta Brian menyelesaikan semua tugas yang belum tuntas. Sepekan Alex telah menjadi sosok yang lain. Hidupnya mendadak berubah setelah hanya berdiam diri dengan minuman alkohol yang menemaninya dalam lamunan. Maura bukan tidak menegur. Wanita itu bahkan sampai harus mengencangkan volume suaranya biar Alex dengar. Tapi, usahanya semua sia-sia. Mereka malah bertengkar setiap hari karena sikap Alex yang keras kepala. Akhir dari pelarian Alex saat dirinya mendapat kabar dari Brian, bahwasan
Alex terlihat tak baik ketika memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Selama hampir lebih dari seminggu ia tinggal di apartemen bersama Maura, tiba-tiba saja ia ingin pulang. "Papa sudah mulai mencariku. Aku akan ada dalam masalah kalau masih tetap berada di sini.""Kalau gitu aku akan temani kamu," ucap Maura yang khawatir dengan kondisi Alex. "Tidak usah. Aku mau sendiri dulu."Maura menatap Alex tak suka. "Ya sudah aku akan antar kamu pulang," ucap Maura seraya beranjak hendak mengambil tas miliknya. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri.""Tapi, kamu sedang tidak dalam kondisi baik, Lex."Lelaki itu tampak tak peduli. "Aku sehat. Jangan lihat aku seolah aku orang yang tidak waras," jawabnya sedikit kesal. "Kamu memang jadi tidak waras setelah mengunjungi mamamu. Aku bahkan tidak tahu apa saja yang terjadi di sana. Kamu selalu diam setiap aku tanya." Maura mulai terpancing karena sikap keras kepala Alex. Alex yang tengah bersiap pergi, sejenak berhenti bergerak. Ia memandang Maur
Sudah beberapa hari sejak Alex mengunjungi kediaman orang tuanya, sejak itu juga ia terlihat tidak masuk kantor. Asisten pribadi Jimmy, bahkan sampai mendatangani Alex di rumahnya. Namun, lelaki itu tidak ada di sana. Jimmy marah besar karena sang putra melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pimpinan dengan bolos bekerja berhari-hari, melewati beberapa meeting dengan para klien hingga harus re-schedule berkali-kali. Pengusaha itu bahkan harus memerintahkan sang asisten untuk mencari tahu di mana keberadaan Alex. Hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya sebab dirinya bukanlah seorang ayah yang ikut campur urusan anaknya. "Apakah Anda yakin, Pak?" tanya Hery, asisten pribadi Jimmy. "Yakin apa, Her?" Jimmy bertanya balik. "Mencari tahu atau memata-matai Mas Alex."Jimmy mengerutkan keningnya. "Apakah masalah untukmu?""Tidak sama sekali, Pak. Tapi, ini jauh dari kebiasaan Anda."Jimmy menggeleng. "Aku tahu, tapi anak ini sudah keterlaluan. Banyak pekerjaan yang terbengkalai
Rachel dan Ethan mampir ke sebuah restoran di sekitaran bandara. Setelah Ethan terlambat bertemu dengan Shania, lelaki itu meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan Rachel. "Tapi, aku tak bisa lama." Rachel kembali mengingatkan lelaki di depannya. "Kamu sudah mengatakan itu sebanyak tiga kali." Ethan menyahut dengan wajah gemas, tapi tak menghilangkan raut sedih sebab kepergian Shania. "Tenang saja, aku tak akan lupa. Aku juga harus kembali ke kantor secepatnya." Ethan meyakinkan gadis di depannya untuk tidak perlu khawatir. "Aku cuma mau tahu, apakah Shania telah berpisah dengan Alex?"Rachel tidak terkejut sama sekali. Setelah menghadapi permasalahan Shania, terlalu banyak kejutan demi kejutan yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Termasuk tentang berdirinya Ethan di bandara sesaat setelah Shania masuk ke area boarding, yang tidak Rachel sangka sama sekali. "Kamu belum jawab pertanyaanku," sahut Rachel, tidak langsung menjawab pertanyaan Ethan barusan. "Shania mengabariku sema