Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya.
Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya. "Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku." Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga yang semakin dekat, juga kerja sama bisnis yang mampu membuat dua keluarga menjadi keluarga paling berpengaruh di mata masyarakat. Setidaknya itu yang kedua orang tua Shania lihat. Tapi, kenyataannya, Shania justru tidak pernah mendapatkan apa yang dipikirkan oleh papa dan mamanya. Fakta di lapangan menunjukkan, jika Shania kerap tinggal sendirian di rumah mewah nan megah, tapi sunyi tersebut. Alex sering pergi tanpa memberi tahu tujuannya, membuat Shania terasing dan sendirian. Hanya ada dua orang pelayan, seorang supir yang ada di rumah, yang selalu menemani keseharian Shania di rumah. "Kemana kamu selalu pergi, Alex?" tanya Shania di satu malam saat Alex pulang ke rumah. "Aku bekerja. Memang kamu pikir kemana?" jawab Alex datar. "Bekerja? Sampai larut malam?" Alex menatap tajam Shania. "Aku hanya perlu waktu untuk diri sendiri," jawabnya, lalu berjalan menuju kamar. Shania merasa sakit hati. Meski ia tahu dirinya tidak dicintai, bahkan tak diinginkan, tapi ia berharap Alex menganggapnya ada. "Memang apa yang aku lakukan, sampai kamu berpikir mencari tempat untuk sendiri," tanya Shania pada diri sendiri. Pada akhirnya, kembali Shania hanya bisa menangis dan merenungi nasibnya. Malam itu keduanya makan malam bersama, hal yang jarang terjadi semenjak mereka tinggal berdua. Seperti biasanya Shania memasak untuknya dan Alex. Meski seringnya makanan itu akan terbuang atau diberikan kepada orang-orang yang kelaparan sebab sang suami yang selalu pulang sampai larut malam. "Aku mau kembali bekerja." Tiba-tiba Shania berbicara di tengah ketenangan mereka menikmati hidangan buatannya yang tak pernah gagal. Ya, meski terlahir dari keluarga kaya raya, Shania adalah perempuan yang jago masak. Sejak kecil ia sudah belajar memasak dari chef di kediaman orang tuanya. Memasak makanan lokal atau luar, Shania sudah menguasai semua. Alex sendiri mengakui itu. Sejak remaja ia sudah sering dibuatkan makanan oleh Shania. Bahkan, bekal makan siangnya adalah makanan yang kawannya buat. Mendengar ucapan Shania tadi sesaat membuat Alex menahan sendoknya di udara. Tapi, sedetik kemudian ia kembali menyantap hidangannya. "Bekerja? Di mana?" tanya Alex seolah perhatian. Shania melihat ekspresi suaminya yang masih tak berubah, datar dan tak peduli. "Ada lowongan di salah satu perusahaan untuk bagian desain interior. Kebetulan sesuai dengan jurusanku." Shania masih menatap Alex. Berusaha mencari perubahan ekspresi pada wajah suaminya itu. Namun, hingga makanan di atas piring Alex habis, mimik wajahnya masih sama. "Kenapa?" tanyanya sembari mengelap bibirnya dengan napkin. Meski satu kata, tapi Shania tahu maksud pertanyaan suaminya itu. "Aku hanya merasa hidupku monoton," ucap Shania santai. Keduanya saling diam dengan Alex yang menatap Shania sedangkan istrinya sendiri memilih untuk menghabiskan makanannya yang masih setengah piring. "Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan," ucap Alex kemudian beranjak berdiri. Shania yang masih belum habis makanannya, sontak tercengang demi melihat sikap Alex yang dengan tega meninggalkannya sendirian di meja makan. Tersenyum Shania dengan air mata yang mengalir. "Apa yang salah denganku," katanya dengan suara bergetar. Kembali Shania memakan hidangan makan malamnya, bercampur air mata yang ikut masuk ke dalam mulut. *** Shania memutuskan untuk mengubah hidupnya. Dia mulai bekerja sebagai desainer interior di sebuah perusahaan kecil. Kegiatan ini membuatnya sibuk dan melupakan kesepian. Di tempat kerja, Shania bertemu dengan rekan-rekan kerja yang ramah dan menyenangkan. Mereka membuatnya merasa diterima dan dihargai. Shania segera saja menemukan kegembiraan dalam hidupnya. Bahkan, ia hampir tak peduli dengan keberadaan Alex yang masih selalu pulang malam. Salah satu rekan kerja Shania, bernama Ethan, menunjukkan perhatian dan dukungan kepadanya. Keduanya seperti cocok satu sama lain. Namun, semua teman-temannya tak ada yang mengenali sosok Shania yang merupakan anak orang kaya. "Ini sangat menyenangkan. Aku tidak akan melihat orang-orang berpura-pura bicara dan dekat hanya karena statusku," ucap Shania di hari pertamanya bekerja. Dua hari bekerja dan menikmati hari-harinya sebagai seorang karyawan, Shania dikejutkan dengan acara penyambutan yang digawangi oleh Ethan. Lelaki itu mengajak beberapa karyawan yang memiliki waktu luang untuk ikut mengadakan pesta kecil-kecilan di sebuah kafe setelah jam kantor berakhir. "Tapi, 'kan kita belum gajian, Pak?" celetuk seorang karyawan lelaki tersenyum malu. Shania sontak menatap karyawan tersebut, membuatnya justru tak enak hati karena merasa sudah merepotkan. "Tenang saja, itu biar jadi urusan saya," ucap Ethan sontak membuat suasana riuh. "Habis makan-makan lanjut karaoke, yah, Pak?" Seorang karyawan perempuan tampak tak mau kalah. "Gampang, itu bisa diatur. Yang penting, buat proyek dengan perusahaan A lolos. Setelahnya saya akan kasih bonus untuk kalian." Keriuhan tidak berakhir sampai semua orang berada di kafe. Mereka menikmati pesta penyambutan Shania dengan perasaan gembira. Bahkan, pesta benar-benar berlanjut sampai ke tempat karaoke. "Fiersa, boleh aku tanya sesuatu?" Shania yang duduk di sudut sofa, bertanya pada salah satu kawan barunya. "Ya, kenapa?" Fiersa yang sedang melihat teman-temannya bernyanyi, tertawa di tengah tatapan serius Shania. "Sebenarnya jabatan Ethan di kantor itu apa?" "Pak Ethan? Dia 'kan yang punya perusahaan." "Hah! Benarkah?" Pandangan Fiersa teralihkan karena sikap tak percaya Shania. "Memang kemarin Pak Ethan ngenalin dirinya sendiri apa ke kamu?" "Eh, dia enggak bilang apa-apa. Cuma kasih tahu job desk aku aja. Bagian yang sedang kosong dan itu sedang sangat dibutuhkan." "Hem, enggak aneh. Pak Ethan memang selalu begitu dari dulu. Kita juga seandainya enggak tahu kedudukannya di perusahaan, mungkin akan selalu bersikap kurang ajar sama beliau. Pak Ethan selalu bersikap selayaknya teman. Karena itulah bikin kita semangat kerja. Bahkan, walau gaji di sini enggak sebesar di perusahaan lain, tapi kebijakan dan kenyamanannya bikin kita betah dan bertahan kerja di sini." Shania terdiam mendengar penjelasan Fiersa. Sontak ia menatap Ethan yang tengah duet bernyanyi dengan salah seorang karyawan. Tak ada perasaan spesial yang hadir di hatinya, tapi ada rasa kagum atas sosok laki-laki yang terlihat sederhana di depannya itu. "Dari mana kamu?" Alex berdiri di depan pintu saat Shania membuka pintu rumah. Terkejut Shania saat melihat suaminya sudah ada di rumah. Dilihatnya jam di pergelangan tangan, 'jam sembilan,' batin Shania seketika merasa aneh. "Tumben kamu sudah pulang," sahut Shania yang memilih untuk berjalan melewati. Alex kesal karena merasa diabaikan. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Shania!" Perempuan itu berbalik, "Apa kamu lupa kalau sejak kemarin aku sudah bekerja? Ah, tentu saja, kamu 'kan memang tidak pernah peduli dengan apa yang aku lakukan." Shania menyindir, membuat wajah Alex memerah seketika. "Jaga cara bicaramu. Aku ini suami kamu, Shania!" ***Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu.""Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?""Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki ya
Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang selalu mendapatkan perhatian semua orang, baik mahasiswa juga dosen. Cinta keduanya yang dulu selalu penuh gairah, kerap membuat iri siapa saja yang melihat, termasuk dirinya yang sudah lama jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. "Shania, sudah waktunya," panggil ibunya dari luar kamar.Ia mengambil napas dalam-dalam dan keluar, menuju ke malam pernikahan yang akan mengubah hidupnya selamanya.Shania melangkah ke aula pernikahan yang megah dan mewah yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Ia melihat Alex, calon suaminya, yang tampan dalam balutan jas putih yang membuatnya bak pangeran berkuda, tersenyum menatapnya. Namun, Shania tahu jika senyum lelaki itu
Shania tersudut dan takut. Ia tidak siap untuk melakukan hal tersebut, terutama bersama Alex. Namun, ciuman pertama yang ia simpan selama ini, harus ia relakan pada lelaki yang tak mencintainya itu. "Alex, tolong ... aku belum siap," kata Shania, berusaha melepaskan diri dalam kuluman liar sang suami. Selain itu, bau alkohol begitu menyengat, membuat kepala Shania menjadi pusing. Alex melepaskan. Ia menatap Shania dengan mata tajam dan dingin. "Kau belum siap? Kita sudah menikah, Shania. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri."Alex kembali memaksa. Ia kemudian melepas gaun pengantin yang Shania kenakan hingga membuat gadis itu setengah telanjang. Seketika Alex berdiri mematung saat menatap keindahan tubuh istrinya itu. Sontak Shania menutup tubuhnya dengan kedua tangan. Tatapan sang suami membuatnya risih, tapi juga gugup.Namun, ketika Alex hendak kembali mendekat, tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Ia melihat layar dan terkejut."Apa ada yang penting?" tanya Vict
Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu.""Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?""Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki ya
Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya. Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya. "Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku."Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga y
Shania tersudut dan takut. Ia tidak siap untuk melakukan hal tersebut, terutama bersama Alex. Namun, ciuman pertama yang ia simpan selama ini, harus ia relakan pada lelaki yang tak mencintainya itu. "Alex, tolong ... aku belum siap," kata Shania, berusaha melepaskan diri dalam kuluman liar sang suami. Selain itu, bau alkohol begitu menyengat, membuat kepala Shania menjadi pusing. Alex melepaskan. Ia menatap Shania dengan mata tajam dan dingin. "Kau belum siap? Kita sudah menikah, Shania. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri."Alex kembali memaksa. Ia kemudian melepas gaun pengantin yang Shania kenakan hingga membuat gadis itu setengah telanjang. Seketika Alex berdiri mematung saat menatap keindahan tubuh istrinya itu. Sontak Shania menutup tubuhnya dengan kedua tangan. Tatapan sang suami membuatnya risih, tapi juga gugup.Namun, ketika Alex hendak kembali mendekat, tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Ia melihat layar dan terkejut."Apa ada yang penting?" tanya Vict
Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang selalu mendapatkan perhatian semua orang, baik mahasiswa juga dosen. Cinta keduanya yang dulu selalu penuh gairah, kerap membuat iri siapa saja yang melihat, termasuk dirinya yang sudah lama jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. "Shania, sudah waktunya," panggil ibunya dari luar kamar.Ia mengambil napas dalam-dalam dan keluar, menuju ke malam pernikahan yang akan mengubah hidupnya selamanya.Shania melangkah ke aula pernikahan yang megah dan mewah yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Ia melihat Alex, calon suaminya, yang tampan dalam balutan jas putih yang membuatnya bak pangeran berkuda, tersenyum menatapnya. Namun, Shania tahu jika senyum lelaki itu