Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.
Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang selalu mendapatkan perhatian semua orang, baik mahasiswa juga dosen. Cinta keduanya yang dulu selalu penuh gairah, kerap membuat iri siapa saja yang melihat, termasuk dirinya yang sudah lama jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. "Shania, sudah waktunya," panggil ibunya dari luar kamar. Ia mengambil napas dalam-dalam dan keluar, menuju ke malam pernikahan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Shania melangkah ke aula pernikahan yang megah dan mewah yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Ia melihat Alex, calon suaminya, yang tampan dalam balutan jas putih yang membuatnya bak pangeran berkuda, tersenyum menatapnya. Namun, Shania tahu jika senyum lelaki itu palsu. Saat mereka bertukar cincin, Shania tahu jika lelaki di depannya tidak benar-benar melakukannya. Pasti dalam bayangannya, wanita cantik yang berdiri di depannya saat ini adalah Maura, kekasih sejatinya yang pergi setahun lalu karena lebih memilih mengejar karir ke luar negeri dibanding menikah dengannya. Saat mereka tengah menerima ucapan selamat dari para tamu undangan, tiba-tiba Shania mendengar ponsel Alex berdering. Ada perubahan ekspresi yang tampak di wajah suaminya ketika membaca pesan yang masuk ke ponselnya. "Dari siapa?" tanya Shania mencoba mencairkan suasana di antara mereka yang terasa hambar. Hati Shania berdebar saat melihat manik mata Alex yang menatapnya tanpa berkedip. Tapi, sejenak kemudian lelaki itu mengalihkan pandangannya, menatap kembali ponselnya. "Bukan siapa-siapa. Lagipula itu bukan urusanmu," ucapnya seraya pergi meninggalkan Shania sendirian. Shania melihat Hanum, mamanya Alex, mencoba menghentikan langkah putranya itu. "Kamu mau kemana, Alex?" "Aku bosan, Mah. Aku mau ke kamar." "Alex, jangan bersikap kekanak-kanakan. Ini pernikahanmu, masa kamu tega membiarkan Shania menyambut tamu sendirian." Sedetik Shania bisa melihat Alex menatapnya. Lalu, ia kembali berbalik dan tetap meninggalkannya. "Apa Mama pikir aku akan peduli padanya? Biarkan saja ia berdiri di sana menyambut para tamu atau teman-temannya yang berisik itu. Dengan aku menikahinya, itu juga sudah membuatnya bahagia." Perkataan Alex sontak membuat hati Shania sakit. Tidak ada yang memaksanya menikah, baik dirinya atau pun kedua orang tua mereka. Alex sendiri yang mau menikah dan memilih Shania sebagai calon istrinya. Meskipun Shania mencintainya sejak lama, tapi tak pernah sedikit pun ia memaksa kedua orang tuanya supaya bisa dinikahi oleh putra tunggal keluarga Sebastian itu. Gadis itu cukup tahu diri jika perasaannya bertepuk sebelah tangan sejak awal. "Alex, jaga ucapanmu! Papamu bisa marah karena kalimatmu barusan." Alex terlihat tak acuh. Ia tetap pergi dan mengabaikan ucapan mamanya. Hanum melihat sejak tadi menantunya memperhatikan interaksi yang terjadi dengan sang putra, sebab itu ia lalu mendekati gadis yang tampak cantik dalam balutan gaun putih dengan pita berwarna merah di bagian perutnya tersebut. "Mama Minta maaf atas sikap Alex barusan, yah. Kamu tenang saja, Shania. Mama pastikan ia akan selalu bersikap baik padamu." Shania tersenyum. "Iya, Mah. Alex mungkin capek. Sepertinya dia butuh istirahat." Shania hanya sedang membesarkan hatinya sendiri, karena faktanya Alex tak pernah kembali lagi hingga pesta pernikahan usai. Setengah jam kemudian setelah teman-teman Shania pamit, gadis itu melangkah menuju kamar pengantin yang ada di hotel bintang lima milik keluarga Sebastian —keluarga Alex. Terlebih dahulu ia pamit pada kedua orang tuanya, yang kamarnya satu lantai dengan kamar pengantin. "Lakukan yang terbaik. Lakukan selayaknya seorang istri." Sebuah pesan, ibunya berikan sesaat Shania hendak menuju kamarnya. "Ini pesan khusus atau bagaimana, Bu?" tanya Shania yang mendadak merasakan kehangatan di kedua pipinya. "Tidak. Ibu hanya mengingatkanmu kalau mulai malam ini dan seterusnya statusmu telah berubah. Bukan lagi seorang gadis, tapi sudah menjadi istri dari seorang laki-laki. Di mana kehidupan dan kewajibanmu juga otomatis berubah." Shania mengerti. Tanpa perlu diingatkan ia bahkan selalu mengatakan pada dirinya sendiri jika mulai sekarang ia sudah tak sebebas dulu. Jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam ketika Shania kemudian berjalan menuju kamarnya. Namun, sisa beberapa langkah lagi ia sampai di ambang pintu, terdengar suara teriakan dari arah kamarnya. "Kau pikir dengan bersikap seperti ini Papa dan mama akan kasihan begitu?" Shania mendengar dengan seksama. 'Itu suara Papa Jimmy,' gumamnya. "Pernikahan ini bukan Papa atau mama yang usulkan, tapi kamu sendiri yang memintanya. Tapi, apa yang Papa lihat tadi di sana benar-benar membuat Papa dan mama-mu malu, tahu!" Sejenak hening. Tak ada sahutan dari siapa pun termasuk Alex sendiri. "Tahu kalau kamu bersikap seperti itu pada Shania, Papa tak akan pernah mau melamar gadis itu untukmu ke keluarganya!" "Aku tidak memaksa Papa untuk melamarnya. Aku sendiri bisa, dan aku yakin Shania akan menerimaku." "Oh, sombong! Kalau begitu Papa mau tahu, apa maksud dan tujuanmu menikahinya kalau kamu mengabaikannya seperti tadi?" Shania menahan napas demi ingin mendengar jawaban Alex. Tapi, ditunggu sekian detik lelaki itu tak juga bicara. "Kamu benar-benar memalukan, Lex. Lihat! Kamu bahkan tidak tahu alasanmu menikahinya." Jimmy kembali bicara. "Sudah, Pah. Hentikan. Nanti Shania dengar." Suara Hanum mencoba menjadi tim penengah. "Biarkan saja, Mah. Biarkan Shania tahu jika pria yang baru menikahinya itu adalah seorang pria bodoh. Padahal Papa yakin seandainya mereka tidak menikah, Shania bisa mendapatkan lelaki lain yang lebih pantas dan jauh lebih baik." "Shania tak akan pernah mau menikah dengan lelaki lain, karena aku tahu kalau lelaki yang ia cintai cuma aku." "Heh! Selain bodoh, ternyata aku punya putra yang sangat sombong. Kamu pikir lelaki di dunia ini cuma kamu? Kamu pikir meskipun Shania mencintaimu, lantas dia tidak akan mencintai lelaki lain begitu?" Alex terdiam, tidak terdengar ia membalas ucapan papanya. "Sudah, Mah. Lebih baik kita kembali ke kamar. Papa khawatir akan kelepasan bila lama-lama berada di sini." Mendengar langkah kaki keluar kamar, Shania buru-buru mencari tempat bersembunyi. Beruntung ada celah dekat lift, yang membuatnya tak terlihat dari pintu kamar sang mertua. Tak lama terdengar suara pintu ditutup. Shania yakin kalau kedua mertuanya telah masuk ke kamar mereka. Mendadak Shania ragu, apakah ia harus masuk ke kamar pengantin yang otomatis ada Alex di dalamnya. Atau ia memilih masuk kamar lain dan tidur sendirian. Sekian detik Shania diam dan berpikir keras. Sampai akhirnya ia melihat Alex keluar dan tahu-tahu berdiri di depannya. "Sedang apa kamu berdiri di sini? Aku menunggumu sejak tadi," ucap Alexander dingin. "Untuk apa kamu menungguku?" tanya Shania berusaha tenang. Ia tak mau terlihat gugup di depan suaminya itu. "Untuk apa katamu? Bukankah ini malam pengantin kita? Tentu saja aku mau melakukan tugasku sebagai seorang suami. Dan aku harap kamu juga melakukan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik!" Shania tak mampu membalas ucapan Alex. Lidahnya mendadak kelu sebab tidak menduga bila lelaki itu akan meminta jatah malam pertamanya. Belum sempat Shania berbicara, tiba-tiba Alex menarik tangannya dan membawa ke kamar. "Alex, tolong lepasin!" Lelaki itu tampak tak peduli dengan ucapan sang istri, ia langsung menutup kamar setelah membuat gadis cantik itu terdorong ke belakang pintu kamar. "Alex, jangan bersikap seperti ini. Aku tidak ehm ...!" ***Shania tersudut dan takut. Ia tidak siap untuk melakukan hal tersebut, terutama bersama Alex. Namun, ciuman pertama yang ia simpan selama ini, harus ia relakan pada lelaki yang tak mencintainya itu. "Alex, tolong ... aku belum siap," kata Shania, berusaha melepaskan diri dalam kuluman liar sang suami. Selain itu, bau alkohol begitu menyengat, membuat kepala Shania menjadi pusing. Alex melepaskan. Ia menatap Shania dengan mata tajam dan dingin. "Kau belum siap? Kita sudah menikah, Shania. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri."Alex kembali memaksa. Ia kemudian melepas gaun pengantin yang Shania kenakan hingga membuat gadis itu setengah telanjang. Seketika Alex berdiri mematung saat menatap keindahan tubuh istrinya itu. Sontak Shania menutup tubuhnya dengan kedua tangan. Tatapan sang suami membuatnya risih, tapi juga gugup.Namun, ketika Alex hendak kembali mendekat, tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Ia melihat layar dan terkejut."Apa ada yang penting?" tanya Vict
Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya. Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya. "Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku."Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga y
Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu.""Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?""Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki ya
Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
"Kenapa kamu begitu takut, Alex?" tanya Shania dengan ekspresi tak percaya. "Aku katakan sekali lagi, tidak ada yang aku takutkan. Aku cuma mau kamu mundur." Alex berkata dengan tatapan tajam menatap Shania. "Tapi, aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlibat dalam proyek ini," balas Shania yang mencoba mempertahankan martabatnya. Alex tampakmeneguk air mineral yang ada di dalam gelas, lalu membalas ucapan sang istri sambil tersenyum sinis. "Kalau begitu kamu harus menerima konsekuensinya. Aku tidak akan meloloskan desain dari perusahaanmu."Shania memandang Alex dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak bisa memutuskan nasib perusahaanku hanya karena kamu tidak ingin aku terlibat dalam proyek ini!"Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak bergeming. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku adalah klien yang akan memutuskan apakah desain dari perusahaanmu akan diterima atau tidak."Shania merasa frustrasi dan marah. "Kamu tidak adil,
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu.""Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?""Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki ya
Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya. Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya. "Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku."Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga y
Shania tersudut dan takut. Ia tidak siap untuk melakukan hal tersebut, terutama bersama Alex. Namun, ciuman pertama yang ia simpan selama ini, harus ia relakan pada lelaki yang tak mencintainya itu. "Alex, tolong ... aku belum siap," kata Shania, berusaha melepaskan diri dalam kuluman liar sang suami. Selain itu, bau alkohol begitu menyengat, membuat kepala Shania menjadi pusing. Alex melepaskan. Ia menatap Shania dengan mata tajam dan dingin. "Kau belum siap? Kita sudah menikah, Shania. Lakukan tugasmu sebagai seorang istri."Alex kembali memaksa. Ia kemudian melepas gaun pengantin yang Shania kenakan hingga membuat gadis itu setengah telanjang. Seketika Alex berdiri mematung saat menatap keindahan tubuh istrinya itu. Sontak Shania menutup tubuhnya dengan kedua tangan. Tatapan sang suami membuatnya risih, tapi juga gugup.Namun, ketika Alex hendak kembali mendekat, tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di ponselnya. Ia melihat layar dan terkejut."Apa ada yang penting?" tanya Vict