Sophia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Daniel setelah lelah mencoba melunakkan hati pria itu selama lima tahun. Ia kemudian menyanggupi pilihan orang tuanya yang ingin menikahkan Sophia dengan pria lain. Namun, siapa sangka pria yang akan ia nikahi tersebut adalah keponakan sang mantan? Tidak hanya itu, kenapa Daniel kemudian menunjukkan penyesalan dan menginginkan Sophia kembali padanya?
View MoreDaniel tiba di depan pintu kamar 1520 dengan napas memburu. Ia tak berpikir panjang, langsung mengangkat kakinya dan menendang pintu dengan sekuat tenaga. Pintu itu terayun terbuka dengan suara dentuman keras. Di dalam kamar, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya mendidih. Mr. Choi berdiri di tepi ranjang dengan kemeja yang telah terbuka sebagian, sementara Sophia terduduk di lantai dengan tubuh gemetar, wajahnya pucat pasi. Tatapan ketakutan di mata gadis itu seakan menusuk langsung ke hati Daniel. Tanpa memberi kesempatan bagi pria tua itu untuk bereaksi, Daniel langsung menerjang. Tinju kerasnya menghantam rahang Mr. Choi, membuat pria itu terhuyung mundur. "Bajingan!" kecam Daniel, bara api di matanya sudah menyala. Ia terlihat begitu kesal, berani-beraninya lelaki tua itu berbuat kejam kepada Sophia. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Sophia, apalagi Mr. Choi. Cuih! Tangan kekarnya kembali menghantam wajah pria itu, kali ini lebih kuat. Bugh! Mr
Kesadaran Sophia perlahan kembali, kepalanya terasa berat, dan pandangannya masih sedikit buram. Begitu matanya terbuka, ia langsung menyadari sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ia tidak lagi berada di lorong hotel, melainkan di dalam sebuah kamar yang asing. Cahaya lampu remang-remang membuat ruangan terasa semakin mencekam. Saat mencoba bergerak, ia tersentak. Tangannya terikat di belakang kursi dengan tali yang begitu erat, membuat pergelangannya terasa sakit. Napasnya memburu saat ia menyadari sesuatu yang lain—mulutnya juga disumpal dengan sapu tangan. Panik mulai menjalari tubuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ia bisa berada di sini? Sophia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya menjadi gelap. Ia ingat merasa pusing setelah minum di ruang pertemuan, lalu pergi ke toilet … setelah itu, semuanya kabur. Telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat dari luar kamar. Dan saat pintu terbuka—deti
Pakaian yang Sophia kenakan saat ini sama sekali tidak membantunya untuk merasa lebih nyaman. Gaun malam selutut berwarna merah marun yang diberikan David memang elegan, tapi terlalu terbuka untuk seleranya. Potongan deep V-neck di bagian dada membuat kulitnya lebih banyak terekspos, dan meskipun lengan gaunnya panjang, belahan tinggi di bagian rok gaun itu membuatnya merasa terlalu terekspos. Sejak awal ia enggan mengenakan pakaian ini, tapi David bersikeras, mengatakan bahwa tampilan yang menawan akan memberi kesan lebih baik kepada klien mereka. "Silakan duduk." David mempersilakan dengan gestur tangan. Mereka semua duduk di kursi, mengelilingi meja panjang yang sudah disiapkan untuk pertemuan ini. Segelas anggur merah diletakkan di hadapan mereka, sementara seorang pelayan berdiri di sudut ruangan. "Jadi, bagaimana rencana Anda untuk proyek di perbukitan barat?" tanya Mr. Choi, mulai memasuki pembicaraan bisnis. David menyandarkan punggungnya ke kursi dengan percaya diri
Ruang kamar William masih terasa sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. William meneguk air terakhir dari gelasnya, lalu meletakkannya di meja dengan sedikit lebih keras dari biasanya. "Pergilah, aku ingin sendiri dulu," ucapnya tegas. Suara itu menusuk hati Sophia lebih dalam dari yang ia bayangkan. Jemarinya mengepal, menahan dorongan untuk meminta maaf sekali lagi. Namun, tatapan dingin William membuatnya tahu bahwa apa pun yang dikatakannya sekarang tak akan mengubah keadaan. Ia menundukkan kepala, menatap lantai yang terasa begitu dingin di bawah kakinya. Udara di ruangan seolah semakin berat, menekan dadanya hingga terasa sesak. Ia tahu kesalahannya besar. Sangat besar. Gelas itu bukan sekadar barang, melainkan kenangan yang berharga bagi William—satu-satunya peninggalan dari almarhum istrinya. Dan kini, karena kecerobohannya, benda itu telah hancur berkeping-keping. Menelan ludah dengan susah payah, Sophia melangkah mundur perlahan. "Baik, Kake
"Maaf, aku tidak sengaja ..." Sophia menundukkan kepalanya, suaranya lirih nyaris tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan. Namun, alih-alih mereda, suasana justru semakin tegang. Ia bisa merasakan tatapan tajam yang mengarah padanya, seolah kesalahan kecil ini adalah dosa besar yang tidak terampuni. Tanpa sadar, hatinya berharap—mengharapkan seseorang membelanya, atau setidaknya mengatakan bahwa ini bukan masalah besar. Tapi tidak ada satu pun suara yang terdengar. Semua orang hanya diam membeku di tempatnya. Lalu, suara Anne tiba-tiba terdengar keras di ruangan yang mendadak hening. "Astaga, Sophia! Apa yang kau lakukan?" Tatapan tajamnya menusuk langsung ke arah Sophia. "Kau tahu gelas kristal itu adalah kesayangan Tuan William, bukan? Itu pemberian almarhum istrinya! Bagaimana mungkin kau bisa seceroboh ini?" Deg. Jantung Sophia seolah mencelos. Ia menoleh ke arah William yang masih diam, menatap pecahan gelas di lantai dengan ekspresi sedih. Semua orang ta
"Sudah lama aku tidak melangkahkan kakiku di mansion ini," ucap Laura, matanya menyapu setiap sudut koridor yang terasa begitu familiar, meski bertahun-tahun telah berlalu. Hari ini, ia sedang bersama Anne. Mereka berdua menelusuri koridor mansion Williams, Laura terus mengamati interiornya dengan saksama. Meski sudah bertahun lamanya ia tak melangkahkan kaki di sini, semuanya masih sama seperti dulu. Sementara itu, Anne merasa senang akhirnya Laura sudah kembali lagi. "Aku tidak menyangka kau benar-benar sudah kembali," ujarnya pelan, menoleh ke arah Laura yang masih larut dalam pengamatannya. Laura tersenyum tipis, jemarinya menyentuh ukiran di tiang kayu yang berdiri kokoh di sudut ruangan. "Aku juga tidak menyangka." Anne memperhatikannya dengan saksama. Sejak tadi, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi entah mengapa, ia ragu. "Setelah sekian lama, kau masih mengingat tempat ini dengan baik." Anne akhirnya bersuara lagi, berusaha mencairkan suasana. Laura tidak
Ruangan terasa lebih dingin saat langkah David mendekat. Seolah kehadirannya membawa sesuatu yang menekan dada, membuat udara semakin sulit dihirup. Ia akhirnya berhenti tepat di samping Sophia. Tatapannya tenang, tetapi ada sesuatu di balik senyum tipisnya yang membuat bulu kuduk berdiri. "Kau menghilang dari pesta Kakek cukup lama," suaranya terdengar ramah. Namun, justru itulah yang membuat Sophia semakin waspada. "Aku mencarimu." Jemari Sophia mengepal di sisi gaunnya, berusaha menenangkan debar jantung yang tiba-tiba menggila. "Aku hanya … butuh udara segar," jawabnya. David mengangkat satu alis sebelum melirik sekilas ke arah pria yang berdiri di samping istrinya. "Dan kau memilih mencari udara segar bersama pamanku?" Daniel, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Kami tidak sengaja bertemu di sini," katanya singkat, nada suaranya tetap tenang meski matanya menatap David lekat. David mengangguk pelan. "Bagus kalau begitu, Paman. Karena seharusnya dia ada bers
Daniel mengernyit, rasa gelisah tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya. Entah kenapa, melihat punggung Sophia yang menghilang di balik pintu membuat dadanya terasa sesak. "Lepaskan, Laura," ucapnya tiba-tiba. Laura yang masih memeluknya dari belakang sedikit tersentak. "Daniel?" "Aku bilang, lepaskan." Kali ini suara Daniel terdengar lebih tegas. Laura terdiam sejenak, sebelum akhirnya perlahan melonggarkan pelukannya. Sementara itu, Daniel segera berbalik, menatap Laura beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata kembali, "Kau bilang aku masih mencintaimu, tapi sejujurnya aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan sekarang." Daniel mengusap wajahnya kasar, berusaha mencoba menahan sesak yang ada di dalam dadanya, ia menghela napas berat, kemudian berkata lagi, "Lima tahun bukan waktu yang singkat, Laura. Aku sudah terlalu lama belajar hidup tanpamu." Sepasang mata Laura berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Namun, ia mencoba untuk berkata meski terasa sesak. "Jadi … maksudmu?" "A
Daniel dan Laura berdiri berhadapan di sebuah ruangan yang sepi. Suara bising dari pesta ulang tahun William terasa jauh, seakan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Laura menggigit bibirnya, matanya menatap Daniel dengan ragu. "Daniel … aku minta maaf." "Untuk apa?" "Aku tahu aku salah telah meninggalkanmu dulu." Sebuah senyum sinis terukir di wajah Daniel. "Lima tahun kau pergi tanpa kabar, dan sekarang kau kembali hanya dengan maaf?" Laura mengepalkan tangannya, ia tahu ia salah karena telah meninggalkan Daniel begitu saja. "Aku pergi bukan tanpa alasan, Daniel. Aku harus melakukannya." Daniel menatapnya tajam. "Harus? Kenapa? Apa karena ada pria lain?" Laura cepat-cepat menggeleng. "Bukan. Bukan seperti itu." Ia mengalihkan pandangannya, berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Lalu, dengan suara yang hampir bergetar, Laura berkata, "Aku mengidap penyakit jantung bawaan sejak kecil, Daniel." Daniel terdiam. "Saat itu dokter memberitahuku bahwa usiaku mungkin
“Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.” Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara. Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung. Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perh...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments